Tahun ini agenda
keluarga pulang kampong, ah…untuk
membayangkannya saja sudah mual sebenarnnya ini adalah perjalanan kali kedua
dalam hidupku setelah 5 tahun lamannya, perjalanan yang menguras tenaga.
Aku masih ingat
jelas umurku ketika itu baru genap 12 tahun perjalanan pertamaku menuju
Malaysia setamat Sekolah Dasar orangtuaku mengajak untuk ikut dengan alasan
khawatir jika aku harus ditinggal jauh dari mereka terlebih pergaulan di
kampong yang tidak karuan, seperti balap-balapan motor dan Narkoba ibu memilih mengajaku ke Malaysia.
Bayang-bayang
perjalanan yang panjang membuatku malas untuk mengingatnnya, terlebih harus
bersembunyi kanan kiri agar perjalanan lancar dari pemeriksaan, sebentar lagi
itu akan terulang kini urusannya lebih rumit aku sudah bukan lagi anak kecil tentunnya
harus memiliki dokumen untuk keluar dari Malaysia sedangkan sampai saat ini aku
belum memilikinya, bagaimana tidak walaupun usiaku sudah cukup untuk memiliki
dokumen resmi tetapi karena perawakanku yang ceking kurus, membuat mandor tidak percaya jika aku telah berumur
lebih dari lima belas. Jadi, wajar aku khawatir namun ibu meyakinkanku
perjalanan ini akan baik-baik saja.
Mataku mulai
lelah akhirnnya segera kusandarkan pada kasur yang tak seberapa tebal hingga
menunggu mobil jemputan tiba. Pada bagian rumah lainnya orangtuaku masih
menerima tamu dan bapak masih sibuk mengikat barang-barang yang bertumpuk,
barang-barang itu pemberian para tetangga yang harus kami bawa ada minyak, gula,
dan bahan pokok lainnya. Aku mulai tidak perduli karena tubuhku meminta
istirahat.
“Yus,yus, bangun
ayo cepat, mobil jemputan sudah datang!” tanganku mengucek mata yang masih
terasa berat, ini jam berapa pikirku setahuku baru beberapa menit saja aku
menutup mata, jam dinding masih menunjukan pukul 12.00 malam dimulai dari sini
aku tidak dapat berleha-leha.
Tidak pikir panjang aku segera meraih beberapa
barang-barang untuk dimasukan ke dalam mobil membantu bapak. Waktu yang kami
miliki untuk membereskan barang hanya lima belas menit tidak boleh lebih,
karena setiap menitnnya telah diperhitungkan agar sampai dermaga tepat waktu,
tidak ada sedikitpun terlintas untuk menikmati perjalanan, aku memilih kursi
paling belakang agar tidurku tidak terganggu karena perjalan masih jauh. Dari
jendela mobil yang terlihat hanya gelap serta sesekali kilatan cahaya dari arah
berlawanan.
Setibannya di dermaga
aku mengikuti perintah sopir untuk segera memindahkan barang-barang tubuhku
masih limbung akibat perjalanan yang jauh, tapi itu tidak dapat kutunda karena
perahu telah menunggu. Menembus batas negara.
Perjalanan ini
yang paling panjang dua hari tiga malam di atas perahu sudah seperti rumah
sendiri sesekali aku pergi ke tepian kapal untuk melihat lautan luas. Dalam kapal
manusia berjubel berhimpitan dengan barang-barang belum lagi pemandangan mabuk
laut yang juga ikut mengguncang perutku. Malamnya aku sangat senang karena akan
melihat bintang yang banyak diangkasa, merasakan betapa kecilnnya aku di dunia
ini hingga mataku mulai lelah dan tertidur. Angin laut berhembus perlahan
membangunkanku dan memaksa melipat tubuhku sedemikian rupa agar semakin hangat.
Matahari pagi
telah terlihat, begitupun dengan dermaga tempat perahu bersandar bahagiaku
tidak terbendung lagi hanya menghitung jam aku akan sampai ke kampung halaman.
Dengan gesit ibu segera mencari kendaraan dan ayah menurunkan barang-barang.
Terlihat deretan bus yang berbaris rapih.
“bu…bu, bus mana
yang akan kita naiki,” aku masih bingung kerana satahuku lima tahun lalu bus di
sini tidak sebanyak ini.
“yang itu Yus!”
tangan ibu menunjuk kearah bus besar berwana merah.
Setelah
memastikan semua barangku masuk ke dalam bus, mataku menatap jendela bus yang
berjajar dari luar terlihat begitu penuh, wah,
sepertinnya harus berdiri, sudah lelah berhari-hari perjalanan harus berdiri.
Untuk memastikan semua itu aku segera naik ternyata hampir semua kursi terisi
untungnya ibu telah lebih awal naik setidaknya ada satu kursi yang kosong, tapi
apa tega aku membirkan bapak berdiri mukannya terlihat begitu lelah tidak kalah
lelahnnya denganku sudahlah biar kursi itu untuk bapak saja. Mataku terus
celingkukan kiri kanan ada terselip satu kursi kosong dibagian belakang.
“bu!yus, duduk
dibelakang ya, biar bapak yang di sini,” sambil menunggu penumpang lain meroko
di bawah aku berjalan menuju ke belakang.
Dideretan itu
sudah ada seorang pemuda aku kira usiannya tidak jauh beda dengan ku,
“hai boleh duduk
di sini?” sapaku untuk memastikan kalau kursi itu memang tidak ada yang
menduduki.
“O,tentu saja boleh!”
jawabnnya ramah tanpa ragu aku segera duduk disamping jendela sambil menikmati
pemandangan manusia yang sedang hilir mudik.
Setelah lelah
seharian akhirnnya aku dapat duduk dan bersantai, sambil membuka ponsel untuk
sekedar update status dimedsos. Raung
mesin bus mulai terdengar, pak sopir mulai menekan klakson tanda bus sudah siap
jalan, dengan segera para penumpang yang berada di bawah tadi mematikan
rokoknnya untuk kemudian bergegas naik kedalam bus.
Mataku masih
menikmati ponsel, namun setelah bus berjalan serasa otaku ada yang aneh mataku
tidak dapat dengan fokus menatap layar ponsel akhirnnya aku memutuskan untuk
menyimpan dalam saku celana.
“Hai, siapa namamu?”
aku terperanjat pemuda tadi menyapaku mungkin ia pikir bosan jika harus berdiam
diaman,
“hai, Namaku
Yusril, kamu?” aku coba mengimbangi pertanyaannya tadi agar percakapan terus
berjalan habis bosan juga jika hanya melihat ke jendela yang ada nanti perutku
mual.
“Namaku Wandi,
kamu mau kemana atau dari mana?”
“aku baru saja
datang dari Malaysia kamu Wan, emh,
baiknnya aku memanggilmu Wan, atau di?”
“Hahaha, apa saja boleh asal masih Wandi
artinnya, Wah, Malaysia asik lah, pasti habis berlibur? aku baru saja dari rumah
paman, mau pulang sebentar lagikan masuk sekolah.”
Aku menjawab dengan
senyum tipis ada rasa iri ketika mendengar kata sekolah, aku sudah lupa
bagaimana asiknnya sekolah karena hari-hariku kuhabiskan di tengah-tengah blok
kelapa sawit.
“he,tidak aku bukan liburan, ibu dan
bapak kerja disana jadi aku ikut dengan mereka,”
“O, lantas di
sana kamu sekolah?” tanya Wandi padaku,
“tidak aku
membantu ibu dan ayah bekerja, dulu sempat sekolah di Sekolah Dasar tapi itu
sudah lama sekali,” sebenarnnya Wandi tak perlu tahu sekolah atau tidak bisa
saja aku bilang aku sekolah namun lidahku tidak menjawabnnya seperti itu. Entah
kenapa.
Jawaban tadi
membuatku malu memang seharusnnya diusiaku sekarang aku masih sekolah tapi apa
boleh buat keluargaku memilih lain. Sempat terpikir ingin sekolah tapi
bagaimana dengan bapak dan ibu disana nanti mereka sudah tua membutuhkan
tenagaku, apa boleh buat aku kubur dalam dalam keinginan itu.
“Wah, sayangnnya tapi tak apa, semoga
nanti kamu bisa lanjut sekolah.”
Wandi mencoba
menenangkan perasaan ku. Setelah wandi berkata seperti itu ada rasa ingin tahu
yang kuat tentang sekolah. Tiba-tiba kami sama-sama diam sepertinnya Wandi
sedang mensyukuri hidupnnya, ia masih beruntung bisa sekolah. Aku tidak pernah
kecil hati.
“Akupun Ingin
sekolah sepertimu Wan, di mana kamu sekolah sekarang wan?” pertanyaanku
memancing agar Wandi menceritakan mengenai sekolah walaupun hanya cerita dari
orang yang baru ku kenal tapi mendengarnnya saja aku sudah sangat senang, Wandi
mulai menceritakannya. Segera kupasang telinga betul-betul untuk mendengarkan
wandi bercerita, ia mengawali cerita ketika asiknnya belajar matematika, juga
percobaan-percoban yang dibuat pada pelajaran IPA, selanjutnnya taman-teman
dekatnnya juga kegiatan ekstrakulikuler yang ia sukai.
Tidak terasa
perjalanan makasar bulukumba yang begitu singkat, sudah banyak yang ku dengar
dari Wandi mengenai sekolah aku rasa itu sudah cukup. Wandi mulai merapihkan
barang barangnnya,
“sebentar lagi aku turun, nanti kita sambung
lagi percakapan kita, boleh aku meminta no hp mu?” aku sangat senang bertemu
dengan Wandi. Tidak lupa akupun meminta alamat media sosial yang dapat ku
hubungi. Semenjak itu kami memulai pertemanan.
Lambaian
tangannya mengakhiri pertemuan kami, semakin jauh Wandi semakin kecil dan
menghilang dari pandanganku. Laju bus semakin cepat liukan demi liukan membuat
perut semakin mual aku coba menenangkan diriku dengan bersandar pada jendela
mobil sambil sesekali menikmati angin sepoy-sepoy dari luar. Tidak lama
tujuanku telah sampai gumam hatiku, aku masih melamun membayangkan bagaimana
sekolah tapi untuk saat ini biarlah itu menguap bersama asap kendaraan.
****
Matahari tepat
di atas ubun-ubunku itu pertanda karjaku hari ini selesai, aku segera pulang
untuk mengisi perut membersihkan tubuh dari keringat, setelah itu,
membentangkan sajadah untuk berdoa seperti biasannya. Sambil mencari buku yang
akan ku bawa pergi sekolah, aku teringat kawanku satu tahun lalu Wandi, apa
kabar dia. Sudah satu tahun berlalu nomor ponsel yang kupunya mungkin sudah
tidak lagi aktif.
Ponsel yang
sedari tadi aku pegang terus ku putar-putar sambil berpikir bagaimana menghubungi
Wandi teringat aku pernah bertukar pertemanan di Facebook kursor segera ku arahkan pada mode pencarian untuk mencari
namannya, akhirnya! Selanjutnnya ku
kirim pesan singkat untuk sekedar bertannya kabar, tak lama Wandi membalas
pesanku.
“Kabarku baik
bagaimana denganmu,senangnnya aku mendapat pesan dari kawan di Malaysia,” jawab Wandi.
Kami bercerita
panjang mengenai sekolah saat ini Wandi sedang mempersiapkan untuk ujian Nasional,
aku tidak mau kalah jariku terus menekan huruf-huruf yang berada di layar
ponsel, menceritakan tentang pengalamanku pertamakali sekolah dan kegiatanku di
Jambore Anak Indonesia Malaysia yang baru saja ku ikuti, Wandi sangat terkejut
mengetahui aku sekolah. Ia pikir aku sekolah di sekolah Malaysia. Namun setelah
kujelaskan ia baru paham mengenai sekolahku. Pasti ia ikut senang mendengarnya,
sebagai teman baik Wandi selalu memberiku semangat kami berdua membuat janji
sebagai dua orang teman jauh, suatu hari nanti ketika kami berjumpa kembali
kami akan bercerita tentang kesuksesan yang kami perjuangkan.
Jaman semakin
maju media penghubung antara satu daerah dengan daerah lain sudah terasa tidak
ada batasan lagi setiap orang dapat menghubungi siapa saja yang mereka mau,
walaupun tidak semua orang yang kita kenal adalah orang yang pernah bertemu
dengan kita, kita tetap memanggil mereka dengan sebutan teman. Hal itu tidak
untuk Wandi walaupun saat ini kami hanya dapat menikmati pertemanan melalui
layar ponsel tapi kami pernah berjumpa dan akan selalu berjanji untuk berjumpa
sekedar melepas rindu saat aku pulang nanti. Aku tersenyum membayangkannya
serasa masa depan tidak jauh lagi.
Seperti
kuceritakan tadi pada Wandi kini di tempatku mencari rezeki, Malaysia ada
sekolah untuk anak-anak seperti kami aku sangat beruntung menjadi bagian dari
sekolah tersebut. Jam dinding telah menunjukan pukul 03.00 sore aku segera
bergegas menuju sekolah, yang berada dibalik bukit. Kemarin aku mendengar kabar
dari Tuan[1]
hari ini ada guru baru yang datang untuk mengajari kami, semangatku
berkali-kali lipat sandal segera kusambar untuk memudahkan langkah ku menuju
sekolah, buku yang hanya satu itu kulipat dan kutenggerkan pada saku celana
belakang. Hidup adalah teka teki yang terus berlanjut aku tidak pernah tahu
kapan kesuksesan menghampiriku tapi selama ada jalan untuk berusaha aku selalu
ada disitu.
[1] Tuan adalah panggilan para pekerja untuk Manager di Setiap Ladang
Malaysia