Sore
itu. Sepulang sekolah di CLC Terusan 1, aku mengendarai motor kesayanganku
untuk pulang kerumah. Tak jauh memang, tapi cukup melelahkan kalau ditempuh
dengan jalan kaki. Kondisi Ladang yang panas tak membuatku menyerah untuk
belajar. Iya, namaku Adam, yang mengikuti orang tua merantau ke Negara
Malaysia. Untung pemerintah Indonesia menyediakan sekolah gratis bagi kami
anak-anak yang memang membutuhkan asupan pendidikan. Disamping belajar disore
hari, aku bekerja ketika pagi. Umurku yang hampir menginjak 20 tahun tak
menyurutkanku untuk mendapatkan ijazah setara Paket B.
“Dam,
ikutlah aku pulang.” Suara Ijal yang mengagetkanku dari belakang.
“Ayuk,
naiklah cepat.” Kataku menyambut permintaan temanku yang satu ini. Ijal memang
teman akrabku, dia juga bernasib sama denganku, sebagai anak perantau dinegeri
orang. Kami mengendarai motor pelan. Lumayan tak panas memang, karena matahari
menurunkan panasnya dengan lembut. Tak ganas seperti ketika siang hari.
Sesampainya
didepan rumah Ijal, dia turun dengan pelan. “Makasih, Dam.” Dia mengucapkan
dengan keras sampingku. “Oke, Sampai ketemu besok, Jal”. Sambil kami berbalas
sapa dengan tangan. Aku lanjutkan laju motor itu. Tak lama sampai juga dirumah.
Tak
lama aku rebahkan badan ini. Bukan dikasur empuk, hanya sebuah kursi sederhana
yang terbuat dari kayu diruang tamu. Seperti biasa, Aku buka smarthoneku,
aku lihat-lihat media social yang ada dismartphone ku. Saat itu aku buka
Facebook, diberanda ku mainkan jari-jemariku, aku geser jari Jempolku kekanan
dan kekiri. Tak sadar perhatiannku tertuju kesudut kiri atas. Ada sosok
perempuan, nama FB nya Erna Setiani. Penasaranku tumbuh. Seolah ingin
mengenalnya.
“Ah,
ku Add saja FB nya”, ucapku dalam hati.
Ku
pencet tombol Add. Setelah itu, aku tak berharap banyak dia menerima permintaan
pertemananku itu. Sambil terus melihat kebawah, kalau-kalau ada curahan hati
teman yang kadang lebay-lebay atau hanya melihat berita-berita yang bersliweran
di beranda FB-ku. Tiba-tiba, ada satu pemberitahuan muncul.
Aku buka pemberitahuan itu. Tertulis “Erna
Setiani menerima permintaan teman”.
Langusng
saja aku buka FB nya. Tiba-tiba detak jantung ini berdetak kencang. Aliran
darahku mengalir duakali lipat seperti biasanya. Tak tahu kenapa.
Batinku berperang. Ingin rasanya berkenalan
dengan dia. Namun aku bingung bagaimana harus memulai. Sempat keinginan ini
tertahan, tapi penasaran berhasil merobohkan semuanya. Aku beranikan diri.
Mencoba menchat dia.
“Hai,
Assalamualaikum.”
Mungkin kata-kata itu pantas untuk
memulai sebuah percakapan. Tapi aku tak terlalu mengharapkan balasanya. Toh aku
juga tak tau siapa dia. Aku tutup percakapan itu. Beralih kehalaman baru.
“Hai juga, Waalaikumsalam.”
Tiba-tiba sebuah bunyi singkat terdengar di HP ku. Bentuk bulatan dilengkapi
fotonya muncul di pojokan HP ku. Detak jantungku bertambah kencang. Tak
kusangka dia membalas Chat ku. Bingung menyelimuti diri. Aku tak tahu harus
melanjutkan apa lagi. Otakku berputar, merangkai kata untuk membalas chat itu.
“Boleh kenalan tidak?” mungkin itu
kata yang pantas. Menurutku. Tapi tak tahu lah, yang terpenting aku harus
secepatnya membalas chat itu. Setidaknya jangan sampai dia menunggu terlalu
lama. Dan ternyata ku lihat namanya di FB ada tulisan kalau dia sedang mengetik,
jelas balasanku inginya dia meng-iyakan ajakanku berkenalan.
“Boleh.” Akhrnya muncul juga
balasanya.
“Namaku Mohammad Adam, biasa
dipanggil Adam. Namamu Siapa?”
“Namaku Erna Setiani.”
“Kamu tinggal dimana?” Aku mencoba
meneruskan obrolanku, supaya obrolanku dengannya tak berhenti disini.
“Aku tinggal di Malaysia”.
“Berarti sama denganku, aku juga
tinggal di Malaysia.” Obrolan ini semakin lama semakin dalam. Meskipun hanya
berbalas singkat, tapi setidaknya dia memberikan respon untukku. Itu cukup
bagiku. Obrolan itu berlansung hingga malam tak menampakan lagi keramainnya.
Kami bercakap-cakap tentang diri kita masing-masing. Seolah kami sangat akrab,
dan kenal suadah sangat lama. Hingga dia mengakhiri Chat kami karena ingin
tidur.
***
Sejak saat itu, kami semakin dekat.
Dekat. Seolah kami sudah kenal lama sekali. Sehari tak mendapat Chat darinya,
seakan dunia tak akan tersinari Matahari. Kedekatan ini membuat aku kecanduan,
mungkin bisa membuatku kehilangan tarikan nafasku bila tak bisa mendengar
kabarnya setiap hari.
Aku pun heran. Belum pernah
sekalipun melihatnya, apalagi bertatapan mata denganya. Tapi kedekatan hati ini
membuatku yakin, bahwa hati ini memilihnya untuk membuka pintu hatiku dan
menetap dalam rumah jatung hatiku. Daripada hati ini semakin mendapatkan
siksaan yang menyiksa, aku beranikan diri untuk mengajaknya bertemu. Dia memang
bertempat tinggal tak jauh dari rumahku. Kami akhirnya bersepakat bertemu di
suatu tempat.
“Iya boleh, ketemuan dimana?”
Itualah jawaban darinya ketika aku ajak bertemu.
“Mau ketemuan di Simpang Sapi ya?”
“Oke.”
Hati ini berbunga-bunga seperti
mekarnya setelah musim kemarau panjang. Kami janjian disuatu tempat. Janjian
itu disepakat. Biarlah saya yang mendatangainya. Setidaknya biar dia tidak
terlalu jauh pergi dari rumahnya.
Kami sepakat untuk bertemu hari
Minggu. Hari dimana aku libur kerja dan libur sekolah. Aku siapkan baju khusus.
Bak orang mau bertempur dengan baju perangnya, aku siapkan perlengkapan tempur
juga. Seperti parfum, baju terbaikku. Aku mantapkan laju motorku, kencang.
Maklumlah, jalan disini memang harus kencang. Selain jalannya yang mulus,
jalannya juga tak terlalu banyak kendaraan.
Sesampainya dilokkasi yang kami
sepakati. Aku menunggu dengan perasaan tak karuan. Entang perasaan apa ini.
Grogi, nerfes. Ah apalah namanya, yang jelas jantung ini berdebar kencang.
Aku
hubungi dia lewat telepon, “Hallo, Erna dimana?”
“Disebelah
penjual Pisang Goreng.” Ah, semakin tak menentu saja isi dari hati ini. Detak
jantungku begitu kencang. Ku palingkan kepala kearah Penjual Gorengan Pisang.
Ada seseorang, berpakain merah. Iya, ku rasa dia orangnya. Paras cantik
menambah semaraknya baju merah itu. Aku dekati.
***
Sejak
saat pertemuan itu. Hati ini tak henti-hentinya dipenuhi dengan bunga-bunga
kehidupan. Nampaknya dia juga mempunyai perasaan yang sama denganku. Seolah
kami sudah saling mencintai meski tak resmi dengan kata-kata. Seolah hubungan
ini mengalir seperti air. Kebiasaan Chat juga masih kami lakukan. Tak
pernah terlewatkan.
Hingga
tiba hari dimana dia Chat yang agak aneh. Entah apa maksudnya.
“Sebenarnya
Abang, anggap Erna sebagai apa? Adik ataukah Pacar?” Aku sedikit kaget melihat
Chat aneh ini. Langusng aku menjawab.
“Yang
jelas bukan adik, bukan pula pacar?” Jawabku.
“Terus
Abang anggap Erna apa?”
“Bukan
Pacar lagi, tapi Abang ingin hubungan kita melebihi pacar. Abang ingin menjadi
suami buat kamu Erna.”
“Hibur
Erna, Bang.”
“Ada
apa dengan Adik?”
“Hibur
Erna, Bang. Hibur.”
Jawabanya
membuatku tak tenang. Langung saja aku hubungi dia lewat telephone langsung.
“Adik
kenapa?”
Langusng
terdengar suara tangisan. Ternyata Erna sedang menangis tersedu-sedu. Perasaan
ini bertambah tak tenang. Bertanya-tanya. Pikiran ini sudah melayang,
menebak-nebak apa yang sedang terjadi dengannya. Kekhawatiran itu muncul,
apalagi mendengar isak tangisnya yang semakin kencang. Ingin cepat-cepat
rasanya mendenarkan jawabanya. Apa yang menyebabkannya sampai menangis.
“Adik
dilamar orang di kampong.” Dia menjawab pertanyaanku, sambil terus terbata-bata
mengucapkannya, karena masih menangis.
Perasaanku
hancur. Seolah ada meteor mengantamku dengan kencang. Entah kata apa yang bisa
menggambarkan perasaanku saat ini. Sakit. Sakit sekali. Kalau aku perempuan,
sudah ku tumpahkan segala air mata yang masih tertahan dipelupuk mata ini.
“Terus
kamu bagaimana?” Sambil memastikan jawabanya.
Pertanyaanku
justru membuat tangisannya menjadi-jadi. Isak tangisnya semakin keras. Tanpa
mengharapkan jawabanya, aku mencoba menenangkannya.
“Erna,
coba Sholat Istikharoh. Aku tidak ingin melihat Erna menangis. Semoga keputusan
yang nanti kamu ambil akan jadi jalan terbaik buat kamu.” Itulah kata-kata
terakhirku, sebelum percakapan kami akhiri.
Gelap.
Seolah taka da hari esok. Sakit hati ini.
“Tapi
aku harus kuat. Tak boleh lihat kesedihanku kepada siapapun juga.” Itulah kata
yang menguatkan diriku sendiri.
Setelah
itu, kami jadi jarang berkomunikasi. Aku tak tahu kabarnya dia. Karena memang
dari tradisi kami, ketika orang tua dijodohkan, kami harus menuruti keinginan
orang tua ssebagai bentuk bakti kami pada mereka.
1
bulan sudah berlalu sejak perisiwa itu. Hingga ada telephone dating dari HP ku,
aku lihat ada nama Erna yang memanggilnya. Aku setengah bahagia. Langsung ku
angkat telephone itu.
“Hallo,
Assalaualaikum.”
“Walikum
salam, bagaimana kabar abang?”
“Alhamulilah
sehat. Kamu bagaimana?”
“Sehat
juga. Tapi juga sedih.”
“Kenapa
sedih?”
“Adik
sedih karena terharu bisa dengar suara Abang lagi. Walaupun kita tak bisa jumpa
lagi. Aku akan menuruti permintaan orang tua, Bang.”
“Kalau
begitu, jangan bersedih. Kamu harus bahagia. Kita akan menjadi sahabat baik
walaupun kita tak akan bertemu lagi”
Kali
ini airmata ini tak bisa terbendung. Ada sedikit aliran air dipipiku. Tapi tak
akan ku biarkan. Harus ku usir segera. Aku tak mau terlihat lemah dimata Erna.
“Terimakasih,
Abang sudah menghiburku.”
“Abang
doakan, semoga Erna bahagia bersama jodoh disana. Semoga menjadi keluarga yang
Sakinah, Mawadah, Warakhmah.”
“Amin.
Semoga Abang bahagia bersama orang-orang yang tersayang. Terimakasih untuk
semuanya. Assalamualaikum.” Kami mengakhiri telephone itu dengan balas salamku.
Sejak
percakapan terakhirku dengan Erna. Aku bertekad akan memulai hidup baru bersama
keluarga tercinta dan teman, seperti Ijal. Teman baikku.
“Dam, ayolah main.” Tiba-tiba suara Ijal terdengar dari luar. Iya ku akan memulai hiup baru. Tanpa perassaan dendam, tanpa sakit hati, aku hanya ingin bahagia. Bahagia dengan kehidupanku, bersama teman-teman disekolah. Aku yakin, suatu saat nanti, akan datang hikmah dan anugerah yang diberikan Tuhan dihati, untuk mengganti kesedihan ini. Untuk saat ini, aku hanya ingin melanjutkan dan menyelesaikan sekolahku. Itu saja.[]
*Kisah diambil dari tokoh utama