Purbalingga Doeloe |
arifsae.com - Tanggal 18 Desember,
setiap tahunnya Kabupaten Purbalingga merayakan hari lahir. Sejak Peraturan
Daerah (Perda) No. 15 Tahun 1996, secara sah konstitusional tanggal itu legal
di rayakan warganya. Bagi masyarakat Purbalingga, umumnya mereka menyambut
baik, tentu saja, karena banyak event
yang diadakan oleh Pemkab Purbalingga untuk menyambutnya. Dari pesta rakyat,
nikah massal, Purbalingga Fair, dan masih banyak acara lainnya. Tapi tahun ini berbeda, karena pandemi, semua jadi sepi. Baguslah.
Kalau ada acara perayaan-perayaan itu, jelas masyarakat
bergembira. Namun, kegembiraan itu nampaknya berbanding terbalik dengan fakta
sejarah yang sudah usang dan tidak sesuai lagi dengan jiwa zaman (zeigest) bangsa Indonesia saat ini. Itulah
yang saat ini dikampanyekan di sudut-sudut wilayah Republik Indonesia, yaitu
membangkitkan spirit nasionalisme dan patriotisme warga negaranya.
Mungkin, spirit inilah
yang sudah dilakukan oleh kabupaten-kabupaten di sekitar Purbalingga sebelumnya,
seperti Kabupaten Banyumas yang pada tahun 2016 sudah merubah hari jadinya dari
6 April menjadi 22 Februari. Begitupun Kabupaten Banjarnegara, yang tahun 2019 lalu sudah sepakat mengganti hari lahir dari 22 Agustus menjadi 26 Februari. Dibalik itu semua, ada
Prof. Dr. Sugeng Priyadi sebagai aktor utama pergantian itu. Beliau guru akademik saya di bangku kuliah.
Lalu, bagaimana dengan
Kabupaten Purbalingga? Nampaknya masih terlalu “nyaman” dengan tanggal 18 Desember. Sebenarnya, bagaimana latarbelakang pemilihan
tanggal 18 Desember sebagai hari jadi Kapubaten Purbalingga? Pemilihan tanggal itu berkaitan erat dengan peristiwa Perang Jawa atau Java
Oorlog (1825-1830) pimpinan Pangeran Diponegoro. Dialah seorang Pahlawan
Nasional yang ditetapkan pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.
87/TK/1973. Bahkan, Perang Jawa ini dianggap oleh Belanda sebagai peperangan paling menguras
tanaga dan “kantong” mereka.
Di Purbalingga sendiri,
perang ini dinamakan “Perang Biting”, berasal dari kata beteng atau benteng yaitu pertahanan dalam perang. Dalam puncak perang
di Purbalingga itu, Pasukan Diponegoro melawan pasukan Belanda yang dibantu
oleh penguasa lokal (dalam hal ini saya harus jujur, bahwa Bupati Purbalingga waktu itu membantu pihak Belanda) berhadapan di wilayah Kaligondang, Selakambang, Selanegara
dan Cilapar. Perang Biting ini baru berakhir setelah tertangkapnya Pangeran
Diponegoro pada tahun 1830.
Setelah Perang Jawa
berakhir inilah, babak baru penjajahan kolonial Belanda benar-benar dimulai. Karena Belanda di pihak yang menang, wilayah Kasunanan Surakarta harus diserahkan sebagian kepada pihak Belanda. Proses aneksasi berlangsung dari wilayah mancanegara Kasunanan
Surakarta kepada pemerintah Kolonial Belanda, termasuk wilayah Purbalingga. Era inilah yang boleh dikatakan
sebagai, “The Real of Colonial atau penjajahan yang sebenarnya”. Karena sebelum kemenangan Perang Jawa itu, praktis pengaruh
Belanda hanya pada suksesi kepemimpinan raja-raja Jawa.
Penyerahan kekuasaan atau bahasa halusnya "pengaturan administrasi
wilayah" oleh Belanda di tetapkan dengan sebuah surat dari Gubernur Jendral atau Besluit
Gouverneur General tanggal 18 Desember 1830 No 1, tentang pengambil alihan
kekuasaan atas wilayah-wilayah Vorstenlanden
/ bekas wilayah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta kepada Belanda. Salah satu
wilayah yang terkena aturan itu adalah Kabupaten Purbalingga.
Mengacu pada tanggal 18
Desember 1830 itulah, secara adminstratif wilayah Purbalingga dan sekitarnya "resmi" terbentuk. Dari dokumen inilah, secara data, memang jelas sebuah kabupaten terbentuk secara yuridis. Argemen dokumen dari Belanda inilah pijakan utama penetapan hari jadi. Kalau istilah saya, pijakan "kolonialisme", hal ini karena kekuasaan Kolonial Belanda di
Purbalingga dan sekitarnya resmi ditancapkan. Sama seperti Kabupaten Banjarnegara, tanggal 22 Agustus 1830 yang dijadikan hari jadi sangat berbau kolonialisme. Alasan itulah yang membuat kabupaten Banjarngera sekarang sudah merubahnya. Tentu dengan spirit dan jiwa zaman yang lebih nalar.
Jadi dari data 18 Desember inilah, dengan kata lain, penetapan hari jadi Purbalingga ini mengacu pada "serah terima" pengambil alihan wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta oleh pemerintah Kolonial
Belanda. Artinya, tanpa sadar, setiap tanggal 18 Desember, warga Purbalingga
merayakan kekalahan Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro, yang
notabene adalah pahlawan nasional dan sekaligus berpesta atas dikuasainya
wilayah Purbalingga oleh Kolonial Belanda. Ironis. Mengiris-iris...😂
Mari Berbenah Berubah
Penetapan hari jadi ini nampaknya didasarkan pada penelitian yang dilakukan
oleh pemda Purbalingga yang bekerjasama dengan LPM UGM. Penelitian itu terbit
pada tahun 1997, tepat satu tahun setelah Perda No. 15 Tahun 1996
tentang penetapan hari jadi. Dalam bukunya, Sejarah
Lahirnya Kabupaten Purbalingga, nampaknya para peneliti tidak mau mengambil
sumber-sumber lokal dalam kesimpulan penelitiannya. Dalam penelitian itu,
menyebut bahwa, cikal-bakal Kabupaten Purbalingga sebelum ada penetapan
definitif sebagai kabupaten, yaitu setelah Perang Diponegoro sulit ditemukan
arsip atau dokumen sejarahnya (Hlm. 50).
Para peneliti hanya memaparkan sekilas tentang babad sebagai pengantar, tanpa mengambil isinya sebagai rujukan. Bagi para peneliti, data yang kuat adalah yang tertulis, dan yang tertulis itu adalah sumber-sumber dari Belanda. Sebuah babad, meskipun banyak terkandung cerita dongeng atau
fiksi, namun disatu sisi banyak “fakta” tersembunyi yang terus lestari
turun-temurun. Karena menurut Prof. Taufik Abdullah, ketika sejarah kritis
ingin ditulis, maka hal pertama yang harus dihadapi adalah mencari “fakta”
dibelakang historiografi tradisional yang menentukan hayat “kewajaran sejarah”,
dan tradisi lisan yang merupakan mirage of reality.
Pada intinya, jangan sampai kita merayakan sebuah hari jadi yang merupakan moment untuk
menyalurkan pesta tahunan dan sebagai simbolisasi bahwa sebuah kabupaten telah
berdiri namun ternyata hanya “pepesan kosong” belaka. Dalam memilih hari jadi,
seharusnya berdasarkan data sekaligus kecocokan jiwa lokalitas masyarakatnya
dan jiwa zaman yang menjunjung spirit nasionalisme dan patriotisme. Salah satu
caranya dengan menggali fakta dibalik babad-babad yang mencerminkan jiwa
kearifan lokal setempat.
Babad yang dimaksud adalah Babad Purbalingga, Babad Onje, Babad
Jambukarang, dan Babad Banyumas. Hal inilah yang juga dilakukan oleh Kabupaten
Banjarnegara yang merujuk pada Babad
Kalibening sebagai salah satu sumber untuk merubah hari jadinya, dari 22
Agustus menjadi 26 Februari. Mengacu pada tanggal 26 Februari 1571, yaitu saat
Jaka Kaiman (Warga Utama II) menyampaikan wasiat dari mertuanya, yaitu Adipati Wirasaba (Warga Utama I) untuk membagi kekuasaan menjadi 4 kadipaten,
salah satunya adalah Banjar Patembakan (Banjarnegara).
Pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan Purbalingga? mau sampai kapan
Kabupaten Purbalingga merayakan hari “kolonialisme” Belanda ini? atau masih
ingin melanjutkan tradisi merayakan kekalahan perjuangan pahlawan nasional
Pangeran Diponegoro di Purbalingga? Seharusnya tidak. Mari berbenah
bersama-sama untuk berubah, dengan cara menggali akar sejarah lokalitas Purbalingga. Ada versi Ki Arsantaka, ada versi Adipati Wirasaba, ada versi Jambu Karang, manakah yang paling relevan? pembahasan ini kapan-kapan akan saya uraikan. (Kalau malas tidak menyerang. hehe..)
Nampaknya sampai saat ini, politic will dari pemerintah Kabupaten Purbalingga tidak terdengar, masih tetap menggunakan 18 Desember. Jadi kalau masih merayakan HUT dengan tanggal itu, maaf, saya sebagai putera asli Purbalingga, lebih
baik menonton sambil ngopi saja, dan mengucapkan selamat HUT "Kolonialisme" di Purbalingga...😁 Tarikkk sis.....[]