ANAK-ANAK TERBUANG:
STUDI TENTANG SIKAP
MASYARAKAT TERHADAP ADHA
DI SURAKARTA
Karya :
Latifah M. Sholikhah
A. Latar Belakang
Penyakit Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV AIDS) merupakan masalah
kesehatan terbesar didunia dewasa ini, terdapat hampir di seluruh dunia.
Penyakit ini telah menjadi pandemi yang menghawatirkan masyarakat di banyak
negara, karena disamping belum ditemukan obat dan vaksin untuk pencegahan,
penyakit ini juga memiliki “window periode” dan fase asimtomatik (tanpa
gejala) yang relatif panjang dalam perjalanan penyakit. Saat ini penderita HIV AIDS cenderung terus
meningkat dengan angka kematian yang tinggi.
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2014 bahwa lebih dari 33 juta
orang terinfeksi HIV di seluruh dunia, dan 90% dari mereka berada di negara berkembang. HIV
telah menginfeksi 4,4 juta anak-anak dan telah mengakibatkan kematian 3,2 juta.
Setiap hari 1800 anak termasuk bayi baru lahir terinfeksi HIV. Di Indonesia
HIV AIDS menyerang anak-anak yang hidup sebanyak 530.000 orang.
Ditjen PP dan PL
Kemenkes RI tahun 2014 menyebutkan bahwa jumlah komulatif kasus infeksi HIV
AIDS yang dilaporkan sejak 1987 sampai September 2014 provinsi Jawa Tengah
menempati posisi ke tujuh dari sepuluh provinsi. Sementara, salah satu kota di
Jawa Tengah yang mempunyai kasus HIV ADIS adalah Kota Surakarta. Berdasarkan
laporan dari KPA Provinsi Jawa Tengah, Kota Surakarta menduduki posisi ke tiga
dari lima kabupaten atau kota dengan jumlah HIV AIDS terbesar di Jawa
Tengah. Menurut Komisi Penanggulangan
AIDS (KPA) Kota Surakarta sampai bulan Maret 2016 jumlah kasus HIV AIDS di
Surakarta mencapai 1.882 kasus dan sebanyak 502 orang pengidap meninggal dunia[1]. Peningkatan kasus HIV AIDS di
Surakarta seperti terlihat tabel di bawah ini:
Tabel 1: Jumlah kasus HIV AIDS di
Surakarta
Tahun
|
HIV
|
AIDS
|
Jumlah
|
2011
|
77
|
123
|
200
|
2012
|
57
|
158
|
215
|
2013
|
84
|
203
|
287
|
2014
|
87
|
204
|
291
|
2015
|
99
|
242
|
346
|
Sumber: Solopos,
2016
Dalam hal ini
kasus HIV AIDS diatas juga termasuk Anak dengan HIV AIDS
(ADHA). Saat ini nasib ADHA di Surakarta tidak menentu. Hal ini dikarenakan
masyarakat selalu tidak menerima keberadaan ADHA di lingkungan tempat tinggal
mereka. Bahkan pada saat akan dipindahkan ke Kedung Lumbu, Pasar Kliwon,
Surakarta masyarakat langsung memblokade jalan masuk menuju rumah yang akan
ditempati oleh ADHA tersebut.
Berdasarkan
observasi pendahuluan[2], ADHA
menjalankan aktivitasnya di dalam rumah. Masyarakat cenderung menjauhi dan
mengucilkan ADHA yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka. Kurangnya
pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit HIV AIDS membuat masyarakat merasa
takut untuk berdekatan dengan ADHA. ADHA di Kota Surakarta saat ini ditampung
di sebuah Yayasan mandiri Lentera yang berperan aktif mengangkat derajat dan
martabat ADHA.
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu mengkaji sikap masyarakat terhadap Anak Dengan HIV AIDS (ADHA) di Surakarta.
C. Pertanyaan Penelitian
1.
Bagaimana sikap masyarakat Kota Surakarta
terhadap Anak dengan HIV AIDS (ADHA) ?
2.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi
terbentuknya sikap tersebut ?
3.
Bagaimana metode yang paling tepat dalam
mengubah sikap masyarakat terhadap ADHA ?
D. Manfaat Penelitian
1.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi masyarakat pada
umumnya untuk lebih berempati terhadap Anak Dengan HIV AIDS (ADHA).
2.
Membantu petugas kesehatan untuk merencanakan tindak lanjut dalam
menanggulangi kasus HIV AIDS di Kota Surakarta.
TINJAUAN
PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
Anak
dengan HIV AIDS (ADHA)
AIDS(Acquired Immunodeficiency Syndrome)adalah
kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh virus
yang disebut HIV(Human Immunodeficiency Virus).
Dalam bahasa Indonesia AIDS disebut sindrom cacat kekebalan tubuh[3]. HIV dapat ditularkan melalui empat (4) cara, yakni: (a)
Hubungan seks (anal, oral, vagina) yang tidak terlindung dengan orang yang
telah teinfeksi HIV; (b) Penggunaan jarum suntik atau jarum tindik secara
bergantian dengan orang yang terinfeksi HIV; (c) Ibu hamil penderita HIV kepada
bayi yang dikandungnya; (d) Kontak darah/ luka dan transfusi darah yang sudah
tercemar virus HIV. Akan tetapi HIV tidak dapat menular
melalui gigitan nyamuk, orang bersalaman, berciuman, orang berpelukan, makan
bersama/piring dan gelas, tinggal serumah[4]. Kecuali beberapa upaya medis[5], upaya pencegahan penularan HIV/AIDS juga dapat
dilakukan dengan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) mengenai HIV/AIDS
kepada masyarakat agar tidak melakukan perilaku beresiko, khususnya pada
remaja.
Seseorang
yang terjangkit HIV AIDS dapat berdampak sangat luas dalam hubungan sosial,
dengan keluarga, hubungan dengan teman-teman, relasi dan jaringan kerja akan
berubah baik kuantitas maupun kualitasnya. Anak-anak yang terjangkit HIVAIDS secara alamiah
hubungan sosialnya akan berubah. Dampak yang paling berat dirasakan oleh
orang-orang dekat lainnya. Perubahan hubungan sosial dapat berpengaruh positif
atau negatif pada setiap orang. Reaksi masing-masing orang berbeda, tergantung
sampai sejauh mana perasaan dekat atau jauh, suka dan tidak suka seseorang
terhadap yang bersangkutan[6].
Anak yang didiagnosa HIV[7]
juga mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarga. Orang tua harus
menghadapi masalah berat dalam perawatan anak, pemberian kasih sayang, dan
sebagainya sehinga dapat mempengaruhi pertumbuhan mental anak. Orang tua
memerlukan waktu untuk menghadapi masalah emosi, sok, kesedihan, penolakan,
perasaan berdosa, cemas, marah dan berbagai permasalahan lain[8].
Infeksi HIV adalah penyakit yang tidak hanya mempengaruh anak yang terinfeksi,
tetapi juga saudaranya yang tidak terinfeksi dan anggota keluarga lainya.
Perkembangan anak akan terlambat. Angka kesakitan dan kematian pada anak yang
tidak terinfeksi juga akan meningkat karena ibunya mengalami gangguan kesehatan[9].
Anak penderita HIV AIDS
setidaknya membutuhkan bentuk dukungan dari lingkungan sosialnya. Dimensi
dukungan sosial meliputi tiga hal, yaitu: (a) Emotional
support, meliputi perasaan nyaman, dihargai,
dicintai, dan diperhatikan;
(b) Cognitive
support, meliputi informasi, pengetahuan dan
nasehat; (c) Material support,
meliputi bantuan atau pelayanan berupa sesuatu barang dalam mengatasi suatu
masalah[10].
Masyarakat
Masyarakat terdiri atas
individu-individu manusia yang membentuk dan dibentuk oleh organisasi.
Masyarakat adalah perpaduan anatara heterogenitas dan keteraturan. Masyarakat
adalah bentuk paling modern dari peradaban manusia hingga saat ini, dari bentuk
awalnya komunitas (homogen) berkembang menjadi massa
(heterogen tak teratur)[11].
Masyarakat juga dapat berarti merupakan kumpulan individu dan kelompok yang
membentuk organisasi sosial yang kompleks. Dalam organisasi sosial tersebut
terdapat nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berfungsi sebagai
aturan-aturan untuk bertingkah laku dan berinteraksi dalam kehidupan masyarakat[12].
Definisi lain menyebut masyarakat
sebagai suatu kumpulan manusia yang saling berinteraksi dengan pemikiran,
perasaan dan aturan (norma dan nilai) yang dipegang bersama[13]. Atau dinyatakan bahwa
masyarakat adalah setiap kelompok manusia, yang hidup dan bekerja sama dalam
jangka waktu yang cukup lama, sehingga mereka dapat mengorganisir diri dan
sadar, bahwa mereka merupakan suatu kesatuan sosial dengan batas-batas sosial
yang jelas[14]. Dari berbagai definisi di
atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud masyarakat yaitu suatu kumpulan
manusia yang saling berinteraksi, yang hidup dan bekerja sama dalam suatu
kesatuan sosial.
Stigma
Stigma
adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh
lingkungannya[15]. Stigma dapat mendorong seseorang untuk mempunyai prasangka
pemikiran, perilaku dan atau tindakan oleh pihak pemerintah, masyarakat,
penyedia pelayanan kesehatan, teman-teman dan keluarga-keluarga[16].
Sedangkan stigma
terkait AIDS adalah segala persangkaan, penghinaan dan diskriminasi yang
diajukan kepada Anak Dengan HIV AIDS (ADHA) serta individu, kelompok dan
komunitas yang
berhubungan dengan ADHA[17]. Adanya stigma dan
diskriminasi akan berdampak
pada tatanan sosial masyarakat. ADHA dapat kehilangan kasih sayang dan
kehangatan pergaulan sosial[18].
Sikap
(Attitude)
Pengertian
sikapdapat
dibatasi sebagai keadaan jiwa untuk berpendapat, berfikir, bertindak, dan lain
sebagainya yang merupakan refleksi dari berbagai macam aspek, baik fisik maupun
nonfisik. Sikap juga diartikan sebagai suatu reaksi psikis seseorang terhadap
lingkungannya. Reaksi tersebut dibedakan menjadi dua yakni dalam bentuk pasif
(tanpa tindakan nyata atau konkrit) dan dalam bentuk aktif (dengan tindakan
konkrit). Sedangkan dalam pengertian umum sikap adalah segala perbuatan atau
tindakan yang dilakukan oleh makhluk hidup[19].
Terbentuk
dan berubahnya sikap dapat dipandang sebagai proses persuasif. Dalam proses
ini, pesan yang berkaitan dengan
objek sikap disampaikan kepada individu agar menyetujui ide-ide yang termuat dalam pesan
tersebut[20]. Sedangkan faktor yang menjadi dasar dalam menerima
pengetahuan antara lain adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, tempat dimana
masyarakat tersebut berada di pedesaan atau perkotaan[21].
Sikap dapat terbentuk
atau berubah melalui empat macam, yakni: (a) Adopsi, kejadian-kejadian dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi berulang-ulang dan terus menerus, lama
kelamaan secara bertahap diserap kedalam diri individu dan mempengaruhi
terbentuknya suatu sikap; (b) Diferensiasi, dengan berkembangnya intelegensi,
bertambahnya pengalaman, sejalan dengan bertambahnya usia, maka ada hal-hal
yang tadinya dianggap sejenis, sekarang dipandang tersendiri lepas dari
jenisnya. Terhadap objek tersebut dapat terbentuk
sikap tersendiri pula; (c) Integrasi, pembentukan sikap disini terjadi secara
bertahap, dimulai dengan berbagai pengalaman yang berhubungan dengan satu hal
tentu sehingga akhirnya terbentuk sikap mengenal hal tersebut; (d) Trauma,
adalah pengalaman yang tiba-tiba mengejutkan yang meninggalkan kesan mendalam
pada jiwa orang yang bersangkutan[22].
Pembentukan dan perubahan sikap
akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu (1) Faktor internal (individu itu
sendiri) yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luar dengan selektif
sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak. (2) Faktor
eksternal yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang merupakan
stimulus untuk membentuk atau mengubah
sikap[23].
Sedangkan
faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut Gerungan diantaranya
ialah: (a) Pengalaman pribadi, apa yang telah dan sedang dialami akan ikut
membentuk dan memepengaruhi penghayatan seseorang terhadap stimulus sosial; (b)
Kebudayaan dimana seseorang hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar
terhadap pembentukan sikap; (c) Orang lain yang dianggap penting, seseorang
yang diharapkan persetujuannnya bagi setiap gerak, tingkah dan pendapat,
seseorang yang tidak ingin dikecewakan atau seseorang yang berarti khusus akan
memepengaruhi pembentukan sikap terhadap sesuatu; (d) Media massa, sebagai saran komunikasi,
berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan
lain-lain mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan.
Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif bagi
terbentuknya sikap terhadap hal tersebut; (e) Institusi atau lembaga pendidikan
dan lembaga agama, sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan
sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam
arti individu; (f) Serta faktor emosi dalam diri individu, tidak semua bentuk
sikap dipengaruhi oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang,
kadang-kadang sesuatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh
emosi yang berfungsi sebagai penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk
mekanisme pertahanan ego[24].
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bersifat
kualitatif dengan metode deskriptif analitis, yang didukung oleh data-data
kuantitatif. Teknik
pengumpulan data yang digunakan ialah lapangan dan kepustakaan. Studi lapangan
dilaksanakan dengan menggunakan metode wawancara mendalam (indept interview) yang dipandu oleh sebuah wawancara terstruktur. Wawancara dilakukan
menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan[25]. Wawancara
dilakukan terhadap beberapa narasumber penting di lokasi penelitian yang
ditentukan secara purposive, yakni
yang dianggap mewakili kelompok-kelompok yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian.
Wawancara mendalam antara lain dilakukan terhadap Yayasan Lentera, pejabat di
Dinas Sosial, maupun pejabat di lingkungan Dinas Kesehatan Surakarta, Ketua Program KPA Surakarta, Lurah Sondakan, Guru SD
N 2 Bumi, Guru SMP Murni, serta tokoh-tokoh masyarakat
lainnya.
Selain wawancara mendalam, penelitian ini juga
didukung oleh data kuantitatif, yakni berupa penyebaran kuesioner menggunakan skala likert yang disebarkan kepada 360 orang anggota masyarakat. Kuesioner merupakan daftar pertanyaan
terstruktur dengan alternatif (option)
jawaban yang telah tersedia sehingga responden tinggal memilih jawaban sesuai
dengan aspirasi, persepsi, sikap, keadaan atau pendapat pribadinya[26].
Dalam penelitian ini angket (kuesioner) berfungsi
untuk mengetahui mengetahui
sikap dan faktor yang mempengaruhi sikap masyarakat terhadap keberadaan ADHA di
Kota Surakarta.
Kuesioner disebarkan kepada responden, yang sampelnya ditarik
secara random. Dengan
teknik pengambilan sampel secara acak di suatu area (random area) yang diambil
sedemikan rupa sehingga tiap unit penelitian dari populasi mempunyai kesempatan
yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Pada sampel acak ini semua sampel
diberi kesempatan (probability sampling),
hasilnya dapat dievaluasi secara objektif namun pada terpilihnya sampel itu
harus benar-benar berdasarkan faktor kebetulan (chance), bebas dari subjektivitas. Teknik pengambilan
sampel dengan secara random sampling
memiliki keunggulan yaitu teknik ini tidak hanya terletak pada teori yang
mendasari, tetapi juga ada bukti-bukti empiris[27].
Selain
wawancara dan penyebaran kuesioner,
peneliti juga melakukan observasi langsung terhadap kehidupan sehari-hari ADHA
di Kota Surakarta dan sikap masyarakat terhadap keberadaan ADHA. Peneliti
mengamati dan mencatat hal-hal menurut apa adanya (kondisi aslinya). Mengamati
kondisi benda atau lokasi tertentu juga dilakukan sebagai usaha pemantapan
makna mengenai frekuensi mengenai pemakaian atau pemanfaatan yang berkaitan
dengan peristiwa yang berhubungan dengan sesuatu yang dikaji tersebut[28].
Selain itu, sebagai data sekunder, digunakan dokumen dan arsip. Teknik ini
dilakukan dengan maksud untuk mengumpulkan data dari dokumen dari instansi
terkait, artikel maupun arsip baik dari
media massa maupun buku-buku literatur sebagai data sekunder guna mendukung
data primer yang diperoleh di lapangan.
Lokasi penelitian dilakukan di Kota
Surakarta terhadap keberadaan ADHA. Kota Surakarta dipilih
karena merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang memiliki kasus komulatif
infeksi HIV AIDS yang tinggi, dimana dari tahun ke tahun cenderung mengalami
peningkatan. Selain itu, di kota ini terdapat sebuah yayasan, yakni Yayasan
Lentera, yang menampung keberadaan ADHA, tepatnya berada di Kelurahan Sondakan,
Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta.
MOHON MAAF TIDAK DIBAGIKAN FORMAT WORD NYA.
[1] Solopos,
26 Juli 2016.
[2] Observasi,
5 Maret 2016 di Yayasan Lenteran
[3] Riono,
Macam-Macam Penyakit Mematikan di Dunia,(Jakarta: Erlangga,
1999), halaman 46.
[4] Irwanto
dan Utomo, HIV AIDS,(Jakarta: Gramedia,
1998), halaman 67.
[5] Dalam upaya menurunkan risiko terinfeksi HIV,
berbagai organisasi kesehatan dunia termasuk Indonesia menganjurkan pencegahan
melalui pendekatan ABCD, yaitu : (a) A atau Abtienence yaitu menunda kegiatan seksual, tidak melakukan kegiatan
seksual sebelum menikah; (b) B
atau Be Faithful yaitu saling setia
pada pasangannya setelah menikah; (c) C
atau condom yaitu menggunakan kondom
bagi orang yang melakukan perilaku seks beresiko; (d) D atau Drugs, yaitu tidak menggunakan napza
terutama napza suntik agar tidak menggunakan jarum suntik bergantian dan secara
bersama-sama. Lihat, Frank, Hindari Penyebab AIDS,(Bandung: Grafindo,
1997), halaman 73.
[6] Kemensos,
Bahan Interaktif Kementrian Sosial dalam Rangka
Peringatan hari AIDS Sedunia (Jakarta:
Gramedia, 2011), halaman 125.
[7] Terdapat tiga faktor utama yang
berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu: (i). Faktor Ibu, antara
lain Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan
jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi
penularan HIV dari ibu ke anaknya. Selain itu, jumlah sel CD4 (Ibu yang memiliki
jumlah sel CD4 yang rendah lebih berisiko menularkan Hiv ke bayinya. Semakin
rendah sel CD4 semakin besar risiko penularan); status gizi selama hamil,
penyakit infeksi selama hamil, dan gangguan pada payudara (seperti mastitis,
abses dan luka di puting payudara) dapat meningkatkan risiko penularan HIV
melalui ASI. (ii). Faktor Bayi, antara lain bayi lahir prematur dengan Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih rentan terhadap penularan HIV karena sistem
organ dan sistem kekebalan tubuhnya berkembang kurang baik, adanya luka di
mulut bayi. (iii) Faktor Obstetri, antara lain jenis persalinan (risiko
penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada perslinan melalui bedah
sesar (sectio caesaria), lama
persalinan (semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV
dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara
bayi dan lendir ibu, serta ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum
persalinan meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat jika
dibandingkan ketuban pecah kurang dari 4 jam, maupun tindakan episiotomy
(ekstrasi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan HIV kaena berpotensi
melukai ibu atau bayi). Lihat, Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman
Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak Bagi Tenaga Kesehatan (Jakarta:
Direktorat Jedral Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. 2014), halaman 20-23.
[8] Depkes
RI, Pedoman NasionalPenanggulangan AIDS (Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2003), halaman 154.
[9] Rie AV et all, Membidik AIDS Ikhtiar
Memahami HIV dan ODHA (Yogyakarta: Balai Penerbit Galang Press Yogyakarta dan Yayasan
Memajukan Ilmu Penyakit Dalam,
2013), halaman 56.
[10] Nursalam,
Model Asuhan Keperawatan Pada Pasien HIV AIDS (Bandung: Grafindo,
2005), halaman 56.
[11]Gunawan
Sumodiningrat et all, Membangun
Indonesia emas: model pembangunan Indonesia baru menuju negara-bangsa yang
unggul dalam persainagn global. (Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2005), halaman 112.
[12] Bagja Waluya, Sosiologi:
Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat.(Bandung: Setia Purna Inves, 2007), halaman 1.
[13] Neni Nurmayanti Hasanah,Get
Success UN Sosiologi. (Bandung:
Garfindo Media Pratama, 2008), halaman 20.
[14]Nursal
Luth dan Daniel Fernandez,(Bandung: Sosiologi 2 Untuk SMU Kelas 3. PT
Galaxy Puspa Mega, 2000), halaman 142-144.
[15]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
BesarBahasa Indonesia(Jakarta: Balai Pustaka, 2003), hal 89
[16]Zainul Ahwan. 2013. Stigma
dan Diskriminasi HIV & AIDS Pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) di
Masyarakat. Pasuruan: Universitas Yudharta, halaman. 7.
[17]Asep Sukmara, Perubahan
Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Sosial Masyarakat Desa Talise Sebagai Desa
Proyek Penegelolaan Sumber Daya Pesisir Berbasis Masyarakat Di Sulawesi Utara (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002), halaman 6.
[18]Oktarina,
Hubungan Antara Karakteristik Responden,
Keadaan Wilayah Dengan Pengetahuan, Sikap Terhadap HIV Pada Masyarakat
Indonesia (UNISA, 2009), halaman
363.
[19]Eka Riyana, Stigma dan Diskriminasi Terhadap ODHA di
Kota Bandung.(Bandung: UNPAD, 2012), hal 45.
[20]Agusyanti, Situasi AIDS di Sulawesi Selatan (Sulawesi
Selatan: UNHAS, 2012), halaman 56.
[21]Oktarina,
op.cit. halaman 98.
[22]Ritianawati,
Psikologi Pendidikan (Jakarta: Bumi
Aksara, 2010), halaman 78
[23] Dayaksini dan
Hudaniah, op. cit. halaman 34.
[24]Gerungan, Psikologi Umum (Jakarta: Salemba, 2013), halaman 56.
[25]Sutopo,
Metodologi Penelitian (Surakarta:
Universitas Sebelas Maret, 2006), halaman 84.
[26]Singarimbun
dan Effendi, Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1985), halaman 66.
[27]Sumadi
Suryabrata, Metode Penelitian (Jakarta:
Gramedia, 1983), halaman 84.
[28]Sutopo,
op cit, halaman 27.