Buku Usman Janatin |
Usman Janatin
merupakan putera
ke-8 dari sembilan bersaudara pasangan Haji Mochammad Ali
dan Siti Rukijah. Ia lahir pada tanggal 18 Maret 1943 pada pukul 10.00. Janatin, begitu keluarga memanggilnya, terlahir dari keluarga petani yang religius. Di lingkungan inilah, Janatin terbentuk kepribadiaannya. Ayahnya bekerja sebagai seorang petani sekaligus sebagai kayim, yaitu seorang
yang dipercayai
sebagai pemuka agama desa. Maka sedikit banyak pola pendidikan
yang diterima
Janatin juga
tidak bias dilepaskan dalam suasana
yang religius. Kakak-kakaknya yang sebagian
besar merupakan anggota militer menjadikan motivasi tersendiri dalam diri Janatin untuk mengikuti jejak mereka menjadi anggota militer. Terlebih lagi
kejadian
gugurnya Letkol Kusni,
kakak sulung Janatin, yang
meninggal
karena
berperang pada
masa
revolusi senjata tahun 1949.
Kehidupan semasa kecil Janatin dilalui selayaknya anak kecil seusianya.
Janatin menghabiskan masa kecilnya dengan menempuh pendidikan
formal dan
bermain bersama teman-temannya. Pendidikan formal dimulai dari SR
Jatisaba yang ditempuh
dari
kelas 1 sampai 3. Untuk kelas 3
sampai dengan
6, Janatin
harus
melanjutkan ke SR Bancar yang berjarak 3 km. Semua jenjang sekolah dasar ini ditempuh Janatin dengan berjalan
kaki. Setelah
selesai menyelesaikan jenjang sekolah dasarnya, Janatin melanjutkan ke jenjang
yang lebih
tinggi di SMP Budi Mulya, Purbalingga. Di sini,
Janatin bergaul dengan
berbagai
teman yang berasal dari berbagai latar belakang.
Selama bersekolah,
Janatin merupakan anak
yang tidak
terlalu menonjol dalam
bidang
akademik, namun sangat menonjol ketika mengikuti pelajaran
yang membutuhkan
ketangkasan fisik. Selepas sekolah,
ia tidak lupa menghabisakan waktu untuk bermain dengan teman-temannya,
salah satu kegemarannya adalah bermain sepak
bola dan bulutangkis.
Ia juga tidak lupa membantu pekerjaan ayahnya,
seperti mencarikan rumput untuk makanan ternak,
dan sesekali membantu
di sawah.
Semasa Janatin menjalani tahap akhir pendidikan
di SMP Budi Mulya, ia
mendengar tentang memanasnya hubungan Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda mengenai masa depan Irian
Barat. Puncaknya pada
tanggal 19 Desember 1961 Presiden RI Soekarno mengumandangkan Tri Komando
Rakyat (Trikora) di alun-alun kota Yogyakarta, sebagai bentuk konfrontasi total
dengan Belanda guna memperjuangkan kembalinya Irian Barat. Sejalan dengan
kampanye pembebasan Irian Barat tersebut, dilakuan mobilisasi besar-besaran untuk merekrut anggota milieter dan sukarelawan. Pemuda Janatin terpanggil untuk mendaftarkan dirinya sebagai
calon Tamtama KKO-AL.
Meskipun ada sedikit penolakan dari
orang tuanya, Janatin yang terpanggil untuk
membela harkat
dan
martabat bangsanya nekat
mendaftarkan dirinya ke
Sekolah
Calon Tamtama KKO-AL
(secatmoko) di Malang pada tahun 1962. Dengan tahapan seleksi ia berhasil
lulus. Berbagai
latihan fisik
dan mental dilalui oleh Janatin,
hingga dinyatakan lulus pendidikan tanggal 1 Juni 1962,
Janatin mendapatkan pangkat Prajurit III KKO. Niat Janatin untuk mengusir
Belanda dari Irian Barat urung terlaksana, karena tercapai kesepakatan damai
antara Indonesia dengan Belanda pasca persetujuan New York tanggal 15 Agustus
1962. Persetujuan New York mengakhir perseteruan Indonesia-Belanda dan Irian Barat
dinyatakan kembali ke Pangkuan NKRI melalui perantara Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Tugas pertama Janatin yaitu mengikuti Operasi Sadar di
Irian Barat untuk memastikan penyerahan kekuasaan berjalan lancer.
Meskipun tugas di Irian Barat telah
dilaksanakan Janatin dengan baik,
namun tugas
negara yang lain telah menanti Janatin dan prajurit-prajurit KKO-AL lainnya, yaitu Operasi
Dwikora. Komando Dwikora dikumandangkan oleh Presiden Soekarno sebagai bentuk
konfrontasi terhadap pembentukan Federasi Malaysia yang disebutnya bagian dari
proyek neokolonialisme Inggris. Pada tanggal 31 Agustus 1957 Inggris memberikan
kemerdekaan kepada Persekutuan Tanah Melayu (Malaya), sementara Singapura,
Sabah, dan Serawak tetap berstatus koloni Inggris. Di sisi lain,
Brunei yang masih
tergantung kepada
Inggris juga
menjadi rencana besar
membentuk Federasi Malaysia.
Pemerintah Inggris dan
negara-negara Blok Barat lainnya yang merasa khawatir dengan perkembangan
kekuatan komunisme di Indonesia, menyetujui gagasan tersebut yang dipandangnya
sebagai strategi pembendungan pengaruh komunis.
Keputusan pembentukan Federasi Malaysia mendapat protes keras dari pemerintah
Filipina dan sebagian masyarakat di Serawak serta Borneo Utara (Sabah). Filipina memprotes
karena berpandangan bahwa wilayah Sabah masih menjadi
bagian dari Kesultanan Sulu, di Mindanao, Filipina.
Sementara
itu rakyat Kalimantan
Utara yang menolak bergabung dengan Federasi Malaysia melancarkan serangkaian
aksi demonstrasi dan pemberontakan bersenjata. Pemberontakan tersebut dimotori
Partai Rakyat Brunei pimpinan Azahari yang menghendaki kemerdekaan penuh Kalimantan Utara, lepas dari koloni
Inggris, dan membentuk Negara Kesatuan Kalimantan Utara (NKKU).
Awalnya, Indonesia
memandang gagasan pembentukan Federasi Malaysia sebagai persoalan internal
Malaysia, Singapura dan Borneo Utara. Namun, setelah melihat peran Inggris yang
demikian dominan yang disertai pengerahan kekuatan militer secara
besar-besaran, Indonesia berbalik menentang pembentukan federasi. Presiden Soekarno
dalam pidato 17 Agustus 1962 menyebutnya sebagai proyek neokolonialisme Inggris
di Asia Tenggara. Tanggal 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri RI Soebandrio
menyatakan bahwa Indonesia dalam keadaan bermusuhan dengan Malaysia.
Guna menyelesaikan masalah sengketa wilayah, Presiden
Filipina Diosdado Macapagal berinisiatif menyelenggarakan Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) di Manila antara tanggal
7-11 Juni 1963. KTT tersebut dihadiri Presiden Soekarno (Indonesia), PM Tenku
Abdul Rahman (Malaya), dan Presiden Macapagal
(Filipina). KTT Manila menghasilkan Persetujuan Manila atau Manila Accord yang ditandatangani tanggal
31 Juli 1963. Salah satu pasal dalam Manila
Accord menyebutkan hak penentuan nasib sendiri atau referendum di
wilayah-wilayah yang diklaim sebagai bagian dari Federasi Malaysia. Adapun
pelaksanaan dan hasilnya diserahkan kepada PBB. Namun, belum lagi tim bentukan
PBB bekerja, secara sepihak Malaysia dan Inggris mengumumkan deklarasi Federasi
Malaysia pada tanggal 16 September 1963.
Tindakan sepihak tersebut, dipandang Indonesia
sebagai pengingkaran terhadap kesepakatan damai Manila Accord. Akhirnya, terjadilah pergeseran pasukan secara masif
di perbatasan Indonesia-Malaysia, baik disekitar Selat Malaka
maupun Kalimantan. Sementara itu, masyarakat dari dua belah pihak pun turut
“memanaskan” suhu konfrontasi. Demonstrasi kerap terjadi di sekitar kedutaan
besar masing-masing. Puncaknya, tanggal 21 September
1963 Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Penyerangan dan penghinaan terhadap lambang negara
RI (Garuda Pancasila) di Kedubes RI di Kuala Lumpur membangkitkan kemarahan
Presiden Soekarno. Melihat kian meredupnya peluang penyelesaian secara
diplomatik, akhirnya tanggal 3 Mei 1964 Presiden Soekarno dalam rapat raksasa
di Jakarta mengumandangkan Komando Dwikora, yang berbunyi: (1)
Perhebat
ketahanan revolusi Indonesiadan (2) Bantu
perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah untuk
membubarkan Negara Boneka Malaysia.
Komando Dwikora menjadi puncak
dari konfrontasi Indonesia-Malaysia dengan jargon Ganyang Malaysia. Berbagai angkatan berbenah untuk menindaklanjuti Komando Dwikora ini. Salah
satunya adalah KKO-AL. Sebagai salah satu pasukan berkualifikasi khusus, KKO-AL
secara simultan melaksanakan serangkaian latihan operasi yang bersifat khusus
pula seperti infiltrasi, demolisi, sabotase, gerilya, dan antigerilya, serta
operasi intilijen dan perang hutan. Latihan infiltrasi, gerilya, dan perang
hutan menjadi fokus utama mengingat kondisi medan Kalimantan sebagian
besar berupa bukit-bukit berlembah yang diselimuti hutan
rimba lebat. Sementara untuk menghadapi medan operasi di sekitar Selat Malaka,
KKO-AL
menambahkan serial latihannya dengan materi renang tempur, infiltrasi, dan
sabotase melalui laut.
Guna
menjaring prajurit-prajurit yang memenuhi standar tersebut, KKO-AL melaksanakan
serangkaian seleksi personel. Janatin,
yang pangkatnya telah dinaikkan menjadi Prajurit II KKO-AL setelah bertugas dari Irian Barat,
berhasil lulus seleksi dan mengikuti latihan khusus di Cisarua, Bogor, selama
satu bulan pada bulan April 1964. Adapun materi pendidikan meliputi intelijen
dan kontra-intelijen, sabotase, demolisi, gerilya, dan sebagainya. Pelatihan
khusus ini dikomandani Mayor KKO Budi Prayitno dan Letnan KKO Harahap sebagai
wakilnya. Setelah lulus dari pendidikan khusus di Cisarua, Prako II Janatin kemudian ditempatkan di OperasiA/Koti, di Pulau Sambu.
Untuk memperkuat Operasi A/Koti, KKO-AL mengerahkan sekitar 300 personel mulai dari
pangkat perwira hingga kopral. Kesatuan-kesatuan yang tergabung dalam Ops. A
selanjutnya dibagi menjadi beberapa tim dengan sandi Brahma dan berada di bawah
kendali dua basis. Basis II bertugas mengkoordinasikan operasi di Semenanjung
Malaya dan Basis VI bertugas di wilayah Kalimantan Utara.
Janatin
bertemu dengan Tohir dan Gani bin Arup di Pulau Sambu karena berada dalam satu kesatuan, yaitu Tim
Brahma I yang dipimpin Kapten KKO Paulus Subekti. Janatin,
Tohir, dan Gani mendapat tugas yang sama yakni melakukan infiltrasi sekaligus
mengadakan sabotase di instalasi militer Inggris di Singapura.
Saat
memperoleh perintah untuk melaksanakan infiltrasi dan kegiatan intelijen ke
wilayah Singapura, Janatin
ditunjuk sebagai Komandan Tim, karena dinilai lebih senior dan memiliki
pengalaman kemiliteran. Namun kelemahannya, Janatin “buta” dengan situasi Singapura. Tohir,
justru sebaliknya, sangat paham dengan situasi Singapura, bahkan hafal
gang-gang kecilnya. Oleh sebab itu, Janatin
banyak memperoleh informasi mengenai Singapura dari Tohir.
Guna mengelabui agen-agen
rahasia atau informan Inggris dan Malaysia, Janatin mengganti namanya menjadi Usman bin Haji
Muhammad Ali dan Tohir menjadi Harun bin Said. Bersama dengan Gani bin Arup,
Usman dan Harun menyamar sebagai pedagang yang kerap hilir mudik dengan
menggunakan perahu kecil. Dengan berkedok pedagang keliling, ketiganya banyak
mendapatkan keterangan serta leluasa melakukan pengintaian di beberapa objek
vital. Ketiganya berhasil masuk ke Singapura dan kembali ke basis dengan
selamat sebanyak dua kali. Di basis Sambu inilah, didiskusikan beberapa titik
sasaran beserta kemungkinan dampaknya.
Pada tanggal 9 Maret 1965,
ketiga prajurit komando ALRI tersebut berhasil masuk ke tengah kota Singapura. Dengan pertimbangan yang matang, ketiganya
lalu sepakat bahwa sasaran utama mereka adalah gedung megah yang terletak di Orchard Road dan tidak jauh dari Istana
Kepresidenan Singapura, yaitu MacDonald House. Disinlah bom
meledak pada tanggal 10 Maret 1965. Ledakan tersebut merusak beberapa bangunan dan menewaskan 6 orang meninggal dunia dan puluhan luka-luka.
Mereka lalu berencana kembali ke pangkalan. Meskipun berhasil menyamar dengan menaiki Kapal Begama yang hendak menuju Bangkok, namun mereka ketahuan oleh pemilik kapal dan disuruh untuk meninggalkan kapal esok harinya. Saat diturunkan, mereka mendapati sebuah
sebuah motor boat
yang dikemudikan seorang Tionghoa.
Keduanya lalu nekad merampas morot boat tersebut dan membawanya berlayar menuju
Pulau Sambu. Malang di tengah perjalanan mesin kapal tiba-tiba macet sehingga
terombang-ambing di laut. Akhirnya pukul 09.00 pagi tanggal 13 Maret 1965
keduanya ditangkap patroli polisi perairan Singapura.
Setelah melalui proses identifikasi dan diketahui
sebagai anggota KKO-AL,
Usman dan Harun kemudian diajukan ke pengadilan tanggal 4 Oktober 1965. Hakim
J. Chua menolak mengategorikan mereka sebagai tawanan perang, dengan alasan tidak
mengenakan seragam militer.
Pada tanggal 20 Oktober 1966,
pengadilan berdasarkan Pasal 302 Penal Code 119 menjatuhkan hukuman gantung
sampai mati. Upaya banding dari dua prajurit KKO-AL menemui jalan buntu, bahkan
ketika diajukan Privy Council di London tidak membuahkan hasil. Pada
tanggal 12 Mei 1968, Privy Council
secara resmi menolak banding, tanpa proses persidangan sama sekali.
Sementara itu, situasi politik
Indonesia menjelang akhir tahun 1965 juga terjadi perubahan yang signifikan. Era
kepemimpinan Soekarno beralih ke Soeharto sejak tahun 1967. Dengan demikian
upaya pembebasan Usman dan Harun kini beralih Presiden Soeharto. Peralihan
kekuasaan itu membuka babakan baru dalam hubungan diplomatik antara Indonesia
dengan Singapura dan Malaysia. Di bawah kepemimpinan Soeharto dengan rezim Orde
Barunya, dilakukan normalisasi hubungan dengan Malaysia dan Singapura. Republik
Singapura sendiri resmi memperoleh kemerdekaan dari Imggris tanggal 9 Agustus
1965.
Pada tanggal 15 Oktober 1968,
Presiden Soeharto mengirim utusan pribadinya Brigjen TNI Cokropranolo ke
Singapura untuk menemui Presiden Singapura Yusof bin Ishak dan Perdana Menteri
Lee Kwee Yew. Namun, pemerintah Singapura tetap menolak permintaan pembebasan
atau keringanan hukuman Usman dan Harun. Pada hari Rabu tanggal 16
Oktober 1968 pukul 18.00 pemerintah Singapura mengumumkan pelaksanaan hukuman
mati tetap dilaksanakan esoknya, tanggal 17 Oktober 1968.
Saat itulah, para pejabat negara
Indonesia tersebut terkagum-kagum melihat ketabahan dan keteguhan dari dua
prajurit KKO-AL
itu. Tidak terlihat perasaan takut atau putus asa sedikitpun walau hukuman
gantung telah menanti mereka. Usman dan Harun tetap dieksekusi gantung pada tanggal
17 Oktober 1968 pukul 06.00 di penjara Changi, Singapura.
Setelah pelaksanaan eksekusi, utusan pemerintah
Indonesia Dr. Ghafur dibantu empat pegawai KBRI mengurus jenazah keduanya. Meskipun dipersulit akhirnya, jenazah baru dapat
diterbangkan ke Indonesia pada pukul 14.00 dengan menggunakan pesawat dari
TNI AU.
Pemakaman Usman dan Harun dilakukan dalam sebuah upacara militer pada tanggal
18 Oktober 1968 pukul 13.00 di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan Inspektur
Upacara Letnan Jenderal TNI Sarbini. Keduanya dimakamkan berdampingan sesuai
keinginan mereka sebelum meninggal.
Berdasarkan Keputusan Presiden RI
No. 050/TK/Tahun 1968 tanggal 17 Oktober 1968, Usman dan Harun dianugerahi
gelar Pahlawan Nasional dan tanda kehormatan Bintang Sakti. Kemudian, sebagai
penghargaan atas jasa dan pengorbanan mereka, pangkat Janatin alias Usman bin
Haji Muhammad Ali dinaikkan menjadi Sersan Satu (Anm) KKO-AL dan pangkat Tohir alias Harun
bin Said dinaikkan menjadi Kopral (Anm) KKO-AL.
Hubungan
diplomatik antara
Indonesia dan Malaysia secara
resmi dibuka kembali pada tanggal 31 Agustus 1967
tepat hari ulang tahun kemerdekaan Malaysia yang ke sepuluh. Dibukannya kembali hubungan diplomatic ini menunjukkan berakhirnya konfrontasi yang telah dilakukan selama ini. Ketegangan dengan Singapura mereda praktis setelah kunjungan
PM Lee Kuan Yew ke Indonesia.
Ketika akan
berkunjung ke Indonesia pada tahun 1973, Presiden
Soeharto mempersilahkan kunjungan
PM Lee Kuan Yew, tetapi dengan satu syarat, yaitu ia harus melakukan ziarah ke makam pusara kedua
Pahlawan Nasional tersebut di TMP
Nasional Kalibata. Entah
apa yang dipikirkan PM Singapura
itu, dengan tangannya sendiri ia mau meletakkan karangan bunga di atas makam kedua pahlawan itu. Sejak kunjuangan PM Lee
Kuan Yew ke makam Sertu KKO-AL (Anm) Usman
Janatin dan
Kopral KKO-AL
(Anm) Harun tersebut, praktis
hubungan kedua negara kembali menjalani babak baru.[]
Untuk Memesan BUKU USMAN JANATIN, Silahkan hubungi DISINI.