Bersama Anak-Anak Terusan 2 |
arifsae.com - Kita tidak pernah bisa memilih darimana kita dilahrkan. Dari
orang tua seperti apa, atau dari lingkungan mana. Karena itu semua adalah hak
“prerogratif” Tuhan. Tugas kita adalah berusaha menggapai harapan, cita dan asa
yang kita impikan, karena sukses merupakan pertemuan antara persiapan dan
kesempatan.
Itulah
yang menjadi harapan saya. Disini. Di belantara himpitan Pohon Sawit, yang
membentang dari ujung hingga ujung Negeri Sabah, Malaysia. Negeri Sabah
merupakan wilayah negara bagian dari Kerajaan Malaysia yang termasuk kedalam 13
negara bagian dalam persekutuan Malaysia. Wilayah ini merupakan wilayah
terbesar kedua, setelah Sarawak, dalam bagian persekutuan itu. Julukan untuk
menggambarkan wilayah ini adalah Negeri di Bawah Banyu (Land Below the Wind).
Di rimbunnya Pohon Sawit Negeri Sabah telah menyimpan
berbagai harapan dan kesempatan dari anak-anak “kandung” Indonesia. Iya. Di
belantara sawit itu, lahir anak-anak Indonesia yang tak tahu jati diri mereka.
Sebagian besar, mereka lahir karena mengikut orang tua yang memilih menjadi
Buruh Migran Indonesia (BMI) di Sabah. Ada yang berdokumen resmi secara legal,
namun lebih banyak yang illegal. Mereka datang lewat jalur “Tikus”.
Malaysia merupakan negara favorit bagi para BMI ini. Menurut
data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI) pada tahun 2018, Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia hampir mencapai 3
Juta jiwa. Belum lagi yang tidak resmi. Dari data itu, kita bisa membayangkan
berapa banyak orang Indonesia yang mengais rizki di negeri Jiran ini.
Jumlah TKI di Malaysia ini adalah yang terbesar di dunia.
Meski banyak dijumpai kekerasan dan kasus, namun tidak bisa disangkal, Malaysia
masih menjadi favorit bagi para pemburu kerja dari Indonesia. Alasan yang
paling utama adalah faktor Ringgit. Mereka rela meninggalkan Indonesia demi
setumpuk materi, dengan secara tidak langsung menelantarkan pendidikan
anak-anak mereka.
Pendidikan mereka terlupakan. Ini disebabkan karena di
Sekolah Kebangsaan Malaysia, tidak menerima orang-orang yang “berpassport”,
apalagi mereka yang ilegal. Sehingga, puluhan ribu anak-anak Indonesai tak
bisa menikmati lezatnya bangku sekolah. Salah satunya tentu diwilayah Sabah
ini. Itulah mengapa, pemerintah hadir bagi anak-anak Indonesia di Sabah.
Menebar Serpih Asa
Peran
pemerintah Indonesa untuk memenuhi pendidikan warga negaranya berlandas
komitmen global untuk mencapai sasaran Education for All, yaitu sebuah gerakan
untuk memberikan “pendidikan untuk semua”. Pemerintah juga mengeluarkan PP No. 28
Tahun 1990 tentang pendidikan dasar antara 7-15 tahun untuk mengenyam
pendidikan wajib 9 tahun, tidak terkecuali mereka yang berada di luar negeri.
Proses
pemberian layanan pendidikan di Malaysia tidak mudah, butuh proses yang
panjang. Proses itu bahkan sudah dimulai dari era Presiden Megawati
Sukarnoputeri pada tahun 2003 silam, dan baru terrealisasi pada era Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2006. Dalam kesepakatan Annual Consultations
2006, disetujui akan dikirimnya guru-guru dari Indonesia untuk anak-anak di
perkebunan Sawit.
Dari
kesepakatan itu, dibentuklah sebuah LSM Humana Child Aid Society tahun 2006.
Namun, dilihat dari perkembanganya, hasil output (ijazah) dari Humana tidak
bisa digunakan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di
Indonesia. Hal ini tentu disebabkan “kurikulum” yang digunakan Humana bukan
kurikulum Indonesia, melainkan menggunakan kurikulum Malaysia.
Dari
keadaan itu, maka secara tidak langsung mendorong terbetuknya Sekolah
Indonesia. Dengan surat dari Kementerian Luar Negeri bernomor
120/DI/VI/2008/02/01 tertanggal 16 Juni 2008, yang meminta pada Kementerin
Pendidikan dan Kebudayaan untuk mendirikan sebuah sekolah Indonesia di Kota
Kinabalu (Red: Ibu Kota Sabah). Hingga akhinrya, pertanggal 1 Desember 2008,
diresmikan dan mulai berjalan secara operasional Sekolah Indonesia Kota
Kinabalu (SIKK).
Dalam
perkembangannya, SIKK hanya bisa melayani anak-anak Indonesia yang berada
disekitar Kota Kinabalu dan sekitarnya. Sedangkan anak-anak yang berada di
ladang-ladang Sawit belum terjamah. Sehingga dicari sebuah solusi untuk
menyediakan akses pendidikan untuk meraka. Karena semangat inilah, didirikan
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) atau Pusat Pembelajaran Masyarakat
(PPM), kalau dalam bahasa Inggris nya, Community Learning Centre (CLC).
Lewat
perjanjian antara Presiden SBY dan PM Najib Tun Razak, dalam The 8th Annual
Consultations di Lombok pada 20 Oktober 2011 ditanda tangani sebuah kesepakatan
secara legal dan formal tentang pendirian CLC tersebut dan efektif berlaku
mulai tanggal 25 November 2011.
Pada
akhir 2018, sudah didirikan 114 CLC Sekolah Dasar (SD) dan 45 CLC Sekolah
Menengah Pertama (SMP) yang tersebar diseluruh pelosok penjuru Ladang-Ladang
Sawit di seluruh Sabah. Kesempatan inilah yang membuat kesadaran orang tua
untuk menyekolahkan anak-anaknya. Tujuan utama dari program ini tentu tidak
lain dan tidak bukan adalah, mengembalikan mereka ke Indonesia. Mengejar mimpi,
meraih cita-cita dan menggapai kesuksesan.
Menuju Puncak Cita
Saya
teringat pepatah, Harimau tidak akan mendapatkan mangsa apabila tidak keluar
dari sarangnya. Begitupun dengan saya, harus keluar “sarang” untuk mendapatkan
“mangsa”. Iya, sejak 2017 saya ditugaskan oleh Pemerintah Indonesia menjadi
salah satu bagian dari ratusan guru-guru Indonesia yang ditugaskan di CLC-CLC
di Sabah.
Tantangan
baru yang saya temui tentu tidak akan didapatkan di Indonesia. Ini luar negeri.
Ini Malaysia. Ini Sabah. Bahkan, kata kawans saya, “Sabah Keras”. Keras karena
disini suhu bisa sangat panas. Bahkan, pernah mendekati 35 derajat Celcius.
Keras karena rumah-rumah guru tidak semewah rumah di Indonesia. Jangan
membayangkan Sabah seperti wilayah Semenanjung dengan Menara Peronasnya.
Kami,
guru Indonesia yang berada di Sabah mendapatkan fasilitas dari Company atau
pihak ladang. Kata kawan saya, “Fasilitas yang akan didapat tergantung amal dan
perbuatan di Indonesia.” Joks semacam itu kadang membuat kami terawa, memang
ada benarnya. Kalau company itu besar, kemungkinan fasilitas juga baik. Namun apabila
company itu kecil, bisa dipastikan, hanya pasrah dan doa yang menyertai
langkah.
Misalkan,
ada yang rumahnya dari kayu dan rusak. Ada yang tanpa sinyal sama sekali. Ada
yang listrik hanya 6-8 jam sehari. Bahkan ada yang perjalanan dari jalan besar utama
ke rumah menempuh 2 jam. Bagaimana kami memenuihi kebutuhan? Untuk memenuhi
kebutuhan kami keluar ladang untuk ke kota (Bandar). Kalau ada toko (kedai) itu
bisa menjadi alternatif, tentu dengan harga yang lebih mahal.
Lalu,
sekolahannya seperti apa? Sekali lagi, jangan membayangkan sekolah di
Indonesia. Kondisi sekolah hampir sama dengan rumah, tergantung Company. Namun
ada beberapa perbedaan antara CLC satu dengan lainnya, yaitu jam belajar. Hal
ini disebabkan karena harus berbagi jam dengan Humana. Apabila di ladang itu
ada Humana, makan bisa dipastikan proses belajar CLC dilakukan siang hari,
antara jam 14.00.-17.00 waktu Sabah. Namun, apabila diladang itu tidak ada
Humana, pembelajran bisa dilakukan pagi hari.
Kondisi
bangunan pun tidak bisa disama ratakan. Ada yang hanya dari kayu, ada juga yang
sudah bertembok. Terkadang, yang membuat kami merasa “special” disini karena
dituntun untuk menjadi manusia setengah “dewa”. Mengapa? Karena kami harus tau
segalanya. Dari urusan sekolah sampai kemasyarakatan. Secara administrasi kami
dianggap selayaknya sekolah umum di Indonesia, yang mendapatkan Dana
Operasional, menginput Dapodik dan tentu beban se-abreg yang menimpa kami. Dari
Kepala Sekolah, Guru, Tata Usaha, kantin, bahkan petugas pembersih jadi satu.
Belum
lagi, kami harus menempuh ke Tempat Kegiatan Belajar (TKB), semacam cabang dari
CLC, untuk belajar disana. Tidak tanggung-tanggung, puluhan kilometer harus
kami tempuh untuk sampai di TKB-TKB itu. Ditambah karena disini kekurangan
guru, kami harus meng-handle mata pelajaran yang bukan menjadi passioan kami.
tapi itulah keadaan disini, lingkungan dan kondisi geografis yang memaksa kami
untuk menikmatinya. Termasuk menikmati proses belajar dengan anak-anak BMI ini.
Kami
harus benar-benar memulai dari awal, karena sebagian mereka lahir di Sabah.
Tidak tahu kekayaan budaya yang ber-bhinneka di Indonesia. Mereka hanya
mengenal asal mereka dari sukunya. Mereka menyebut “suku” dengan sebutan
“bangsa”. Apabila ada pertanyaan, “Apa Bangsa kamu?”, mereka akan menjawab,
“Bangsa saya Bugis, Bangsa saya Timor, Bangsa saya Jawa.”
Tapi
itulah tugas kami disini. Mengenalkan “kecantikan” Ibu Pertiwi, dan membujuk
mereka untuk kembali dan membangun negeri. Dengan proses pembelajaran yang
seadanya, kami mencoba memaksimalkan segala potensi dan sumber daya yang
dimiliki untuk menggajak mereka kembali ke Indonesia, tentu dengan jalan
melanjutkan sekolah di Indonesia. Salah satu caranya dengan program beasiswa.
Meraih Segudang Bahagia
Saat
ini, sudah ratusan siswa yang dikembalikan ke Indonesia dengan berbagai program
beasiswa. Salah satunya adalah beasiswa repatriasi Sabah Bridge dan Afirmasi
Pendidikan Menengah (ADEM). Sudah banyak dari alumnus-alummnus CLC di Sabah
yang melanjutkan sekolahnya di Indonesia, bahkan sampai perguruan tinggi.
Sejak
tahun 2015-2018, sudah ada 453 peserta didik yang melanjutkan sekolah
diberbagai penjuru sekolah di Indonesia. Bahkan sudah ada yang sampai perguruan
tinggi bergensi di dalam dan luar negeri. Itulah kebanggaan dan kebahagian tertinggi
kami sebagai guru ladang di Sabah, Malaysia ini.
Saya
sendiri bertugas di CLC SMP Terusan 2, lokasi yang bernaung di Company Wilmar
ini memberikan fasilitas yang memadai. Proses pembelajaran dilakuakn sore hari,
karena paginya digunakan oleh Humana. TKB yang CLC Terusan 2 miliki ada 3, TKB
Andamy, TKB Terusan 1 dan TKB Rumidi. Dan saya menjadi “pengelola”, semacam
kepala sekolah mini dari CLC Terusan 2 sejak 2017 hingga kini (2019).
Meski
dengan fasilitas yang serba terbatas, kami selalu menggaungkan dan mengajak
mereka untuk selalu berusaha dan membuka mindseet mereka. Minimal, mereka harus
berusaha lebih baik dari orang tuannya yang bekerja sebagai BMI di Sabah.
Mereka bisa. Mereka mampu. Mereka mau untuk pulang ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Begitulah.
Hak-hak mereka sebagai warga negara tetap berusaha dipenuhi untuk mengenyam
pendidikan. Sehingga mereka bisa memanen hasilnya kelak, menyimpannya dalam
setumpuk gudang bahagia. Tentunya untuk turut serta berkontribusi membangun
Indonesia. Tidak ada jalan lain, saat ini, kami sebagai guru, mempunyai
kata-kata sakral, “Ayo kita pulang, Nak…”[]