arifsae.com - Komando Dwikora menjadi puncak dari konfrontasi
Indonesia-Malaysia dengan jargon Ganyang Malaysia yang menjadi kalimat sangat
populer saat itu. Untuk melegalkan segala tindakan, maka Presiden Sukarno
mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 95 tahun 1964. Keputusan ini menyangkut
tentang pengerahan para sukarelawan Indonesia dalam rangka peng-ganyang-an dan
penghancuran proyek neo-kolonialisme yang membutuhkan banyak personil.
Maka, untuk mengatasinya, banyak dibuka rekrutmen untuk
menjaring anggota-angggota yang berani mengambil segala resiko. Banyak warga
Indonesia yang berbondong-bondong mendaftarakan diri untuk ikut berkontribusi, salah
satu orangnya adalah Janatin alias Usman dan Tohir alias Harun. Mari mengenal
tentang Usman dan Harun.
Usman: Inspirasi dari Kota Perwira
Nama yang diberikan oleh ayahnya adalah Janatin. Ia lahir
tepat pada hari Kamis Pon tanggal 18 Maret 1943. Sekitar jam 10. 00 siang,
Janatin membuka mata untuk pertama kalinya melihat dunia. Janatin lahir dari rahim Siti Rukijah,
seorang ibu rumah tangga di Dusun Tawangsari, yang masuk ke dalam wilayah
administrasi Desa Jatisaba, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga.
Janatin lahir di wilayah yang masuk ke dalam kawasan Kecamatan Purbalingga,
tepatnya di Desa Jatisaba.
Janatin merupakan anak ke-7. Nama-nama saudaranya dari yang
paling tua hingga muda, yaitu: (1) Ahmad Kusni, anggota militer; (2) Ahmad Chuneni,
anggota militer; (3) Ahmad Matori, anggota militer; (4) Siti Rochajah, ibu
rumah tangga; (5) Mohammad Chalimi, Pegawai Kecamatan Bobotsari; (6) Siti
Rodijah, ibu rumah tangga; (7) Djanatin; dan anak terakhir (8) Siti Turijah,
seorang ibu rumah tangga.
Ayahnya, Haji Mochammad Ali, merupakan orang yang dihormati
karena posisinya sebagai seorang kayim atau lebe. Posisi kayim ini bersifat sebagai tangan
kanan Kepala Desa, terutama yang berkaitan dalam masalah-masalah keagamaan.
Sebagai seorang kayim atau lebe, pola pendidikan yang diberikan kepada
anak-anaknya juga tidak jauh dari sifat religiusitas agama Islam. Hal ini
didukung dari bangunan mushola yang ada di depan rumah Janatin ketika
kecil. Dengan adanya mushola ini, maka
tidak mengherankan anak-anak H. Moch. Ali dapat memperoleh ilmu agama dengan
baik.
Janatin mempunyai kakak pertama, Letnan Ahmad Kusni. Ia
pernah berjuang dan gugur menjadi martil bangsa tahun 1949. Setelah gugur, ia
dimakamkan di makam Pahlawan Purbosaroyo, Purbalingga. Selain Letkol Ahmad
Kusni, dua kakak Janatin lainnya, Letda Ahmad Chuneni dan Sersan Mayor Mathori,
juga merupakan anggota militer. Mereka sering memperlihatkan sikap seorang
anggota militer yang disiplin dan tegas kepada saudara-saudaranya, termasuk
kepada Janatin. Janatin melihat sosok kakak-kakaknya itu dengan sebuah
kekaguman.
Kecintaan Janatin terhadap dunia militer yang terinspirasi
dari kakak-kakaknya menjadikan motivasi tersendiri bagi Janatin dikemudian
hari. Selain itu, dengan peristiwa terbunuhnya Letkol Ahmad Kusni, Janatin
kecil ingin membalaskan kematian kakaknya ini kepada para penjajah yang mencoba
mengganggu martabat Republik Indonesia.
Saat usia Janatin memasuki 7 tahun, ayahnya mendaftarkan
Janatin ke sekolah formal. Janatin didaftarkan ke Sekolah Rakyat (SR) terdekat, yaitu SR Jatisaba. Tepatnya tahun
1951, Janatin untuk pertama kalinya memasuki pendidikannya di SR Jatisaba.
Jarak dari rumahnya hingga SR Jatisaba sekitar 1 km. Untuk menuju ke
sekolahnya, Janatin selalu berjalan kaki dengan teman-teman sebayanya.
Proses Janatin bersekolah di SR Jatisaba dilalui hanya 3
tahun. Hal ini dikarenakan keterbatasan ruangan yang ada di SR Jatisaba. SR
Jatisaba hanya bisa menampung kelas 1 hingga kelas 3 sehingga untuk melanjutkan
kelas 4 sampai 6, Janatin harus pindah ke SR Bancar yang jaraknya lebih jauh
lagi, yaitu sekitar 3 km. Jarak ini tidak menghambat Janatin untuk
menyelesaikan pendidikan dasarnya. Ia selalu bersemangat untuk mengikuti
pelajaran menuju ke SR Bancar meski harus ditempuh dengan jalan kaki, karena
waktu itu memang belum ada kendaraan umum dan akses jalan masih sangat
terbatas.
Setelah melalui proses pendidikan selama 6 tahun di SR,
akhirnya Janatin lulus tahun 1957. Kemudian, ia melanjutkan ke jenjang
pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Bhakti Mulya. Janatin memilih sekolah
ini karena satu-satunya dan karena paling dekat dibandingkan dengan
sekolah-sekolah lainnya. Jarak antara rumah Janatin ke SMP Bhakti Mulyajuga
sekitar 3 km.
Seperti ketika sekolah di SR Bancar, Janatin juga berjalan
kaki ketika berangkat ke SMP Bhakti Mulya. Di lingkungannya yang baru, Janatin
merupakan anak yang suka bergaul dengan teman-temannya dari berbagai latar
belakang. Hal ini dikarenakan SMP Bhakti Mulya merupakan sekolah yang sebagian
besar murid-muridnya berasal dari keturunan Tionghoa sehingga keakraban yang
terjalin antara Janatin dan teman-temannya di SMP Bhakti Mulya merupakan
pertemanan antar-etnis.
Setelah pulang sekolah, Janatin sering membantu ayahnya
dalam berbagai bidang pekerjaan. Profesi ayahnya yang juga menjadi sebagai
petani menyebabkan keseharianya dihabiskan di sawah. Tidak jarang Janatin
membantu ayahnya di sawah. Selain membantu dalam bidang pertanian, Janatin juga
sering membantu untuk mencarikan makanan (ngarit) hewan ternak kambing yang
memang dipelihara ayahnya. Semua
kegiatan itu dilakukan Janatin bersama saudara-saudaranya ketika tidak sedang
bersekolah.
Selain bermain dengan teman-temannya dan membantu kedua
orang tuanya, Janatin juga dikenal sebagai penyayang binatang. Hewan peliharaan
yang paling disayangi Janatin adalah seekor bajing kelapa (Tupai). Nama ini
diberikan karena jenis tupai ini memang suka melubangi pohon Kelapa. Tupai ini
hidup di pohon-pohon kelapa yang banyak dijumpai di sekitar rumah Janatin.
Janatin menangkap tupai kecil ini di sekitar pohon kelapa dekat rumahnya.
Janatin mengambil dan memeliharanya dengan kasih sayang, bahkan Tupai ini
sangat jinak dengan Janatin.
Pernah suatu ketika, Janatin pulang dari sekolah dan
langsung diajaknya bermain. Sering ketika Janatin bepergian Tupai ini ditaruh
dipundaknya, bahkan Siti Rodijah, mengibaratkan Janatin sama seperti Si Buta
dari Gua Hantu karena seringnya tupai ini ditaruh di pundaknya, sama seperti
Pendekar Buta yang mengendong kera kecil di pundaknya. Tupai ini dirawat oleh
Janatin hingga ia mendaftarkan diri menjadi anggota Korps Komando Angkatan Laut
(KKO-AL).
Harun: Sukarelawan dari Bawean
Harun
bernama asli Tohir. Ia lahir pada tanggal 14 April 1943 di Pulau Bawean,
Gresik, Jawa Timur. Nama pulau Bawean tak bisa terlepas dari seorang ulama
terkenal yang pernah hidup dan dikuburkan di sana, yaitu Syekh Zainuddin Bawean
Al Makki dan Syekh Muhammad Hasan Asyari Al-Baweani.
Nama pulau ini juga sering disebut Pulau Putri, karena
banyak orang yang berasal dari pulau ini merantau ke Jawa dan luar negeri,
terutama ke Singapura dan Malaysia. Bahkan, di negeri itu, ada beberapa tempat
perkampungan yang merupakan perkumpulan orang-orang Bawean. Di sana ada istilah
“Orang Boyan”, yang ditujukan untuk orang-orang Bawean.
Pulau Bawean dulu pernah menjadi wilayah Surabaya, terhitung
sejak pemerintahan Kolonial sampai Indonesia merdeka. Jarak Pulau Bawean ke
Surabaya sekitar 15 kolometer, dan harus ditempuh 15 menit menggunakan perahu.
Sejak 1974, Pulau Bawean menjadi bagian dari wilayah administrasi Kabupaten
Gresik, Provinsi Jawa Timur. Tohir lahir dari lingkungan pantai yang bermata
pencaharian nelayan. Nama ayahnya adalah Mahdar seorang nelayan, dan ibunya
bernama Aswiyani.
Sejak kecil, Tohir sudah akrab besentuhan dengan
karang-karang dipinggir pantai. Tak jarang, ia ikut berlayar bersama keluarga
dan sahabat-sahabatnya. Bahkan, kecintaanya dalam berlayar, ia sering meninggalkan
sekolah dasarnya. Ia terpukau keindahan ombak dibandingkan dengan mengikuti
pelajaran di kelas.
Tohir sering ikut berlayar meski dengan diam-diam. Biasanya
sekali menaiki kapal harus berhari-hari untuk mencari ikan. Meskipun jarang
mengikuti pelajar, Tohir berhasil menyelesaikan sekolah dasarnya dengan cukup
baik. Karena adat Bawean yang lebih banyak merantau, setelah lulus sekolah
dasar ia melanjutkan rantauanya ke Tanjung Periok, Jakarta.
Untuk membiayai sekolah dan hidupnya di
Jakarta, ia sesekali menggeluti hobinya untuk mengikuti berlayar dan mencari
ikan. Dan terkadang ia menjadi pelayan dalam sebuah kapal pelayaran. Untuk
mengikuti pelajarannya yang tertinggal, Tohir menyalin dan menanyakan pelajaran
serta meminjam catatan buku pelajarannya. Ia memang tak bisa fokus untuk
sekolah, karena lingkungan telah membentuknya seperti itu. Namun ada sisi posif
dalam setiap pelayaran yang dilaluinya, Tohir menjadi tau seluk beluk tempat
yang disinggahinya dalam pelayaran. Dari beberapa negara yang pernah
disinggahinya, Singapura merupakan tempat yang paling sering Tohir datangi.
Terkadang,
sekali berlayar ia harus menghabiskan waktunya berhari-hari di tengah lautan.
Seperti ketika singgah di Singapura, Tohir ikut dalam kapal rute Tanjung
Pinang-Singapura. Ia beberapa kali bermalam berhari-hari disana. Dari
pengalaman berlayar ke Singapura inilah Tohir menjadi hafal daerah-daerah
Singapura sampai ke gang-gang nya. Pengetahuan ini akan sangat berguna nantinya
ketika Tohir memilih untuk mendaftarkan dirinya menjadi sukarelawan dari
KKO-AL.
Berbeda
dengan Janatin yang tidak bisa terlacak kisah percintaanya, Tohir pernah
mengalami persistiwa tak mengenakan dengan perempuan. Ketika umurnya baru 21
tahun, Tohir menjalin cinta dengan seorang perempuan bernama Nurlaila. Hubungan
keduanya bisa dibilang serius. Keseriusan itu yang membawa Tohir untuk
bertungangan dengan gadis pujaan hatinya itu.
Kakak sulungnya yang bernama Samsuri menjadi orang yang
menyaksikan prosesi lamaran yang dilakukan keluarga Tohir kepada keluarga
Nurlaila. Diwaklikanya prosesi lamaran itu karena ayah Tohir telah meninggal
dunia pada tahun 1963. Mereka berdua telah bersepakat untuk menjalin rumah
tangga dikemudian hari.
Namun
rencana itu berantakan, karena setelah Tohir berlayar dalam waktu yang lama dan
kembali untuk menemui Nurlaila, Tohir manyaksikan pemandangan yang menyayat
hati. Calon pengantinya akan melaksanakan proses pernikahan dengan laki-laki
lain, Tohir marah besar. Ternyata laki-laki itu adalah pilihan kedua orang tua Nurlaila,
yang berarti pernikahan itu merupakan perjodohan.
Pada hari pernikahan Nurlaila dilangsungkan, dan tamu sedang
ramai-ramainya, Tohir datang bersama teman-temannya. Pada saat proses ijab
qobul akan dilaksanakan dan pernikahan hampir selesai membacakan proses ijab
qobul, Tohir membuat onar dan marah-marah. Ia meminta untuk proses pernikahan
itu dibatalkan.
Penghulu
yang akan menikahkan mereka akhirnya lari menuju rumah kakaknya Tohir yang
berada di Jalan Jember Lorong 61 Tanjung priok. Penghulu itu menemui kakak
Tohir, Samsuri untuk mencegah kekacauan yang terjadi. Akhirnya Samsuri mau
membujuk Tohir untuk menghentikan kekacauna yang terjadi. Sebagai adik,
akhirnya Tohir mengikuti kata-kata kakaknya untuk mengentikan segala ulah
Tohir. Ia menerima perkawinan itu meski dengan berat hati.
Pada
bulan Juni 1964, Tohir memasuki dunia kemiliterannya. Ia mendapatkan pangkat
Prajurit KKO II (Prako) dan menapatkan pelatihan sleama lima bulan didaerah
Riau daratan pada tanggal 1 November 1964. Pada tanggal 1 April 1965 Tohir
mandapatkan kenaikan pangkat menjadi Kopral KKO I (Kopko I). Selesai
mendapatkan pelatihan didaratan Riau sebagai sukarelawan Dwikora, ia
mendapatkan tugas untuk menuju Pulau Sambu dan bergabung rekan-rekannya yang
lain.
Pengalamannya ketika berlayar berkali-kali ke Singapura
menjadikan Tohir ahli dalam penyamaran. Terlebih mukanya yang mirip Tionghoa
menjadikan penyamaran lebih mudah. Tohir juga dikenal karena bisa menguasai
beberapa bahasa asing, seperti Ingris, Melayu, Tionghoa dan Belanda.
Takdir inilah yang akhirnya menemukannya dengan Janatin di
Pulau Sambu. Tohir bergabung kepada Tim Brahman I pimpinan Kapten Paulus
Subekti. Tugas dari Tim ini adalahmelakukan demolisi, sabotase pada obyek
militer dan ekonomis, juga menyiapkan kantong gerilya, mengadakan propaganda,
perang urat saraf, mengumpulkan informasi serta melakukan kontra intelijen.[]
Bagian Buku Usman Jantin dan Harun Tohir, Pesan Bukunya DISINI.