Juara 1 Menulis Artikel dari MUI Proinsi Banten |
arifsae.com - Para petugas akan melakukan pembongkaran pada beberapa makam
di pinggiran Kota Ma’la, Mekkah. Memang, setelah genap 3 tahun makam-makam
harus di ‘normalisasi’ dengan cara dibongkar kemudian dipindahkan. Tidak
perduli makam siapa itu, apakah makam pejabat tinggi atau rakyat jelata, semua
sama. Pada awalnya, semua berjalan
biasa, namun terjadi peristiwa yang diluar logika. Terjadi kehebohan, semua petugas
kaget tak percaya. Apa yang terjadi?
Ternyata para petugas penggalian kuburan menjumpai kondisi
jenazah yang tak biasa ditemui pada jenazah umumnya. Bukan tulang-belulang,
atau kain kafan kusut yang ditemukan, justru para petugas menyaksikan sebuah jenazah
yang masih utuh, terlihat baru, dan tak kurang satu apapun. Disamping itu,
tidak ada lecet apapun pada sosok mayat tersebut, bahkan kain kafan yang
menutupi jenazah tak sobek sedikitpun.
Sontak saja peristiwa ini membuat gempar. Para petugas
penggali kubur menemui atasan untuk melaporkan kejadian yang baru saja
disaksikan oleh banyak orang itu. Setelah menerima laporan dari petugas
penggali kubur, sang atasan kemudian mencari tahu, siapa orang dibalik makam
itu. Setelah menyelediki, dan mencari tahu dari berbagai informasi, ternyata
orang yang ada dalam makam itu bukan orang biasa, beliau adalah seorang ulama
asal Banten yang pernah menjadi Imam Ulama Al-Haramayin (Imam Ulama Dua Kota
Suci), beliau adalah Syekh Nawawi al-Bantani.
Nama besar Syekh Nawawi al-Bantani sudah mendunia. Beliau
adalah pembentuk “wajah” pesantren saat ini. Lembaga pendidikan tertua di
Indonesia ini tak bisa terlepas dari nama besarnya. Karyanya hampir tersebar
diseluruh pesantren-pesantren tradisional di Indonesia. Syekh Nawawi al-Bantani
merupakan salah satu peletak dasar nilai-nilai etis tradisi keilmuan pesantren,
buah intelektualnya sangat berjasa dalam mengarahkan ideologi pesantren yang
berada dibawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) hingga kini.
Dikalangan pesantren, Syekh Nawawi al-Bantani tidak hanya
dikenal sebagai penulis berbagai kitab-kitab dari berbagai disiplin ilmu,
beliau juga dijuluki sebagai Mahaguru
Sejati (The Great Scholar). Berkat murid-murid beliaulah, dikemudian hari akan
lahir tokoh-tokoh intelektual yang berperan tidak hanya dalam agama, namun
dalam memperjuangkan bangsa dan negaranya.
Syekh Nawawi al-Bantani
memilih murid dari berbagai latar belakang suku, ras dan golongan.
Inilah yang kita sebut sebagai multikulturalisme. Nilai-nilai multikultural
inilah yang saat ini masih relevan untuk di rawat. Perbedaan yang terjadi bukan
menjadi alasan bagi adanya permusuhan, namun di jadikan sebagai modal membangun
bangsa dengan spirit Bhinneka Tunggal Ika. Persatuan ini menjadi kebutuhan
mutlak untuk menjawab tantangan zaman, mengingat realita bangsa ini yang terus
dilanda cobaan des-integrasi. Persatuan inilah yang harus kita jadikan
identitas bangsa saat ini hingga kiamat nanti.
Menurut Samuel Hotington (1996), identitas sebuah bangsa
bisa menjadi hal yang bisa menyatukan atau bisa memisahkan. Identitas bangsa
yang plural ini, apabila tidak disikapi dengan arif, bisa menjadi penyulut api
permusuhan dan kobaran konflik. Oleh karena itu, kita patut belajar dari ulama
sekaliber Syekh Nawawi al-Bantani dalam memahami sebuah persatuan dengan
menguatkan identitas bangsa kita, salah satunya dengan melihat praktek
multikulturalisme didunia pesantren. Tulisan ini mengangkat tentang kehidupan
singkat Syekh Nawawi al-Bantani, sumbangan karya-karyanya dalam membentuk wajah
pesantren Indonesia, dan peran pesantren dalam persatuan Indonesia.
Cahaya dari Tanara yang Mendunia
Generasi muda saat ini harus bangga, bahwa Indonesia pernah
mempunyai ulama yang pernah mendunia. Nama lengkapnya adalah Muhammad Nawawi
al-Syaikh al-Jawi al-Bantani atau Syekh Nawawi al-Bantani. Orang Indonesia
lebih familiar dengan sebutan Kiai Haji Nawawi Putra Banten (Chaidar, 1978:
5). KH Nawawi (akan digunakan kemudian,
karena lebih ke “Indonesiaan”) lahir pada tahun 1230 Hijriah atau 1813 Masehi
di Kampung Tanara, Serang, Banten. Ayahnya bernama KH ‘Umar bin Arabi dan
Ibunya Zubaydah. Ayahnya seorang penghulu dan ulama di Tanara. Bila ditelusuri
silsilah ayahnya, KH Nawawi masih keturunan Sunan Gunung Jati (Adurahman, 1996:
86). Lingkungan keluarga yang kental dengan nilai-nilai agama membuatnya
memiliki pemahaman agama yang komperhensif dimasa mudanya.
Pondasi pendidikan yang diberikan oleh KH ‘Umar mencakup
pengetahuan keislaman, seperti Nahwu dan Sharaf, Fiqih, Tauhid dan Tafsir.
Setelah cukupi umur, KH Nawawi kecil melanjutkan ilmunya dengan berguru kepada
Kiai Sahal, ulama Banten, dan Kiai Yusuf dari Purwakarta. Pada tahun 1826 saat
usianya 13 tahun, ayahnya meninggal dunia, 2 tahun kemudian KH Nawawi dan
saudarannya pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji. Di Mekkah inilah, KH
Nawawi tinggal selama 3 tahun dan belajar kepada ulama-ulama besar disana,
beliau berguru kepada Sayid Ahmad Nahrawi, Sayid Ahmad Dimyati, dan Ahmad Zayni
Dahlan. Sedangkan di Madinah, KH Nawawi berguru kepada Muhammad Khatib
al-Hanbali. Selain di Mekkah dan Madinah, beliau juga belajar kepada
ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Ensiklpedia Islam Indonesia, 1994: 24).
KH Nawawi pernah kembali ke Nusantara pada tahun 1831
Masehi, dan sempat mengajar diberbagai tempat. Namun, karena kondisi politik
Nusantara waktu itu, akhirnya 3 tahun kemudian beliau pergi lagi ke Mekkah dan
menetap disana hingga wafatnya. Ketika kembali ke Mekkah, beliau melanjutkan
pemenuhan “dahaga” ilmunya pada guru-guru yang berasal dari Nusantara, seperti
Syaikh Muhammad Khatib Sambas, Syaikh ‘Abdul Gani Bima, Syaikh Yusuf
Sumulaweni, dan Syaikh ‘Abdul Hamid Dagastani, masih banyak yang lainnya
(Saghir, 2000: 36-37). Dengan keputusannya menetap di Hijaz ini, beliau
menuangkan ilmunya dengan berbagai hasil kitab-kitab yang sangat berguna bagi
kehidupan Islam di Nusantara bahkan dunia Islam pada umumnya.
Dari pengalamannya selama melakukan rihlah selama 30 tahun,
akhirnya KH Nawawi melakukan halaqa di Masjid al-Haram. Dengan berbekal ilmu
dan kecerdasannya, KH Nawawi mendapatkan simpati dari murid-muridnya dan dari
pembaca karya-karyanya. Murid-muridnya berasal dari berbagai penjuru negera,
terutama dari Nusantara, seperti Suku Jawa, Sunda, Madura, Minang, dan lainnya.
Dari pengajaranya di Mekkah ini, dikemudian hari murid-muridnya akan meneruskan
perjuangan Islam di Nusantara dengan mendirikan pesantren-pesantren besar,
seperti KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dari Jombang, KH Kholil dari Bangkalan
Madura, KH Tubagus Ahmad Bakri dari Purwakarta, KH Ilyas dari Serang Banten,
dan masih banyak murid-muridnya yang dikemudian hari yang mendedikasikan
hidupnya untuk umat Islam di Nusantara.
Dalam melakukan pengajaranya, KH Nawawi dikenal sebagai
seorang yang menjunjung nilai-nilai “demokratis”, beliau mau menerima semua ide
dan pandangan dari murid-muridnya agar melatih mereka untuk berani mengemukakan
ide dan gagasan yang membangun untuk umat (Ensiklpedia Islam Indonesia, 1994:
841-842). Beliau sangat menghormati segala bentuk perbedaan, inilah pelajaran
yang sangat penting. Sebuah modal multikultural yang berbalut nilai demokratis
yang saat itupun tidak dimiliki oleh para pejuang di Nusantara.
Disamping melakukan pengajaran, KH Nawawi juga menghasilkan
karya-karya yang sangat banyak, hasil karyanya tidak hanya diakui oleh ulama
Nusantara, namun dihormati pula di dunia Islam, terutama yang berkaitan dengan
Mazhab Syafi’i. Memang tidak bisa dipastikan berapa karya KH Nawawi, karena
terlalu banyak dan bahkan ada yang tidak terlacak. Namun yang pasti,
karya-karyanya ditulis dari berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti Tafsir,
Fiqih, Usul al-Din, Ilmu Tauhid, Akhlak dan Tasawuf, Sirah Nabawiyah, Tata
Bahasa Arab, Hadist dan Akhlak (Bruinesen, 1995: 143).
Menurut Martin Van Bruinessen (1995: 236), pada era 90-an,
karya KH Nawawi masih mendominasi kurikulum dilebih dari 40 pesantren besar di
Indonesia. Bukan hanya di Indonesia, karyanya juga digunakan diberbagai wilayah
Islam di Asia Tenggara, seperti Filipina, Thailand, dan Malaysia. Banyaknya
karya yang digunakan diberbagai negara disebabkan kemampuan KH Nawawi
menyederhanakan pengajaran yang mengandung hikmah sehingga bisa dijiwai oleh
setiap pembaca. Keluasan ilmu yang dimiliki KH Nawawi membuat karya-karyanya
diajarkan para Kiai dan disukai oleh kalangan santri sehingga masih menjadi
rujukan utama hingga saat ini. Banyak kalangan yang menganggap KH Nawawi
sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah ulama besar yang membuat
Syarah Shahih Muslim dan Riyadlush Shalihin.
Pondasi Membangun Negeri
Tidak bisa dipungkiri, pesantren merupakan tempat “kawah
candradimuka” dalam pendidikan Islam dan tempat perkembangannya embrio bangsa
Indonesia dalam menemukan jati dirinya. Pemahamaan ini dipertegas dengan
kuantitas penduduk Indonesia yang 85 % merupakan muslim, dan Indonesia
merupakan pemeluk muslim terbesar didunia. Tentu peran ini tidak bisa
dilepaskan dari pesantren. Menurut Zamakhsyari Dhofier (2011: 100), mengkaji
tentang Islam di Indonesia tidak akan lengakap apabila tidak menelusuri lembaga
pesantren dan mengkaji karya-karya peletak pondasinya.
KH Nawawi merupakan tokoh dari Indoensia yang berkaliber
dunia, sehingga beliau dipercaya mengajar di Mekkah al-Mukarramah dan menjadi
Imam al-Haramayn (Imam ‘Ulama Dua Kota Suci, Mekkah dan Madinah). Setelah
karya-karya KH Nawawi masuk ke Indonesia, wacana keislaman didunia pesantren
mulai berkembang pesat. Menurut Van Brunessen (1995: 153), sejak tahun 1888
Masehi, pola intelektual pesantren berubah dengan drastis. Artinya,
kesinambungan dan dakwah dalam tradisi pesantren sangat penting. Sumbangan
besar KH Nawawi berada pada bidang ilmu tafsir, bahkah karyanya sudah dijadikan
rujukan diberbagai wilayah Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri, sejak tahun
1990 diperkirakan ada sekiar 22 tulisan karya KH Nawawi yang masih dipelajari.
Murid-muridnya terseber sebagai faounding father dalam
menjaga pondasi Islam dan turut membidani kelahiran negara Indonesia. Seperti
KH Hasyim Asy’ari yang mendirikan organisasi massa terbesar di Indonesia,
Nahdlatul Ulama. KH Hasyim Asy’ari termasuk murid yang memiliki semangat
tersendiri untuk mengajarkan karya-karya gurunya di Nusantara, karena setelah
belajar dengan K.H Nawawi di Mekkah, beliau mendirikan Pondok Pesantren
Tebuireng, yaitu pondok pesantren paling berpengaruh di Indonesia pada abad-20.
Ketika masa pendudukan Jepang, KH Hasyim Asy’ari tidak mau melakukan upacara
Seikeri (membungkuk kebendera Jepang), sehingga beliau sempat ditahan oleh
Jepang. Setelah merdeka, beliau diangkat sebagai Ro’is ‘Am (ketua umum) Masyumi
pertama periode 1945-1947. Masa revolusi senjata, beliau sebagai jenderal yang
membawahi laskar-laskar perjuangan, seperti GPII, Hizbullah, Sabillilah dan
lainnya.
Kemudian, murid lainnya adalah KH Kholil dari Bangkalan
Madura, yang terkenal dengan karomahnya. Sama seperti KH Hasyim As’ari, KH
Kholil juga berperan penting dalam dunia pendidikan dan perlawanan terhadap
penjajah. Dalam bidang pendidikan, beliau mencetak murid-murid yang memiliki
integritas, berwawasan, dan tangguh. Selain itu, perlawanan terhadap penjajah
dilakukan dibelakang layar, beliau selalu memberi suwuk (tenaga dalam) dan
mempersilahkan pondoknya sebagai tempat persembunyian para pejuang.
Selanjutnya, KH Tubagus Ahmad Bakri dari Purwakarta. Seorang
ulama dari tanah pasundan yang mendirikan pesantren As-Salafiyyah. Banyak karya
yang juga dilahirkan oleh pemikirannya, masa hidupnya didedikasikan untuk
mengaji dan membuat karya. Ada juga murid dari KH Nawawi yang berjuang secara
fisik melawan kekejaman senjata, beliau adalah KH Wasit. KH Wasit memimpin
pembrontakan di Cilegon pada tahun 1888 Masehi. Murid-muridnya tersebar hampir
disejumlah pesantren diseluruh Indonesia.
Dengan kata lain, pesantren di Indonesia memiliki geneologi
yang hampir sama meskipun berbeda daerah dan budaya. Pada waktu itu, polarisasi
pemikiran modernitas yang sedang dikembangkan oleh Jammaludin al-Afgani dan
Muhammad Abduh di Mekkah menjadi pemersatu ulama tradisional di Indonesia yang
sebagian besar alumnus dari Mekkah dan Madinah. Dengan keterkaitan para ulama
Nusantara ini, maka secara tidak langsung mempercepat penyebaran karya-karya KH
Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi para Ulama Nusantara (Dhofier,
2011: 57). Besarnya pengaruh pemikiran KH Nawawi terhadap tokoh ulama di
Indonesia membuat beliau dikatakan sebagai salah satu “poros” dari akar
keilmuan pesantren dan NU.
Dari Pesantren untuk Indonesia
Sumbangan KH Nawawi yang paling dibutuhkan oleh Indonesia
saat ini adalah nilai-nilai multikulturalisme ditengah maraknya paham
disintegrasi bangsa. Nilai multikultural dari KH Nawawi bisa dilihat dari
proses pengajarannya di Mekkah. Ketika beliau menerima murid, beliau tidak
melihat dari mana asal suku, ras atau golongan, namun oleh beliau diterima
dengan tangan terbuka. Pendapat yang berbeda dari murid-muridnya diterima
sebagai kekayaan intelektual. Murid yang diterima juga dari berbagai tingkat
intelektual, ada yang dari dasar pemulaan tata bahasa Arab, atau murid yang
cukup pintar dan yang sudah mengajar ditempat mereka sendiri (Stennbrik, 1984:
117).
Hal ini menjadi pijakan dalam mengembangkan jatidiri
pesantren khususnya dan jatidiri bangsa pada umumnya. Pesanten, sebuah lembaga
pendidikan tertua di Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Salah satunya
adalah, kesadaran multikulturalisme disaat wacana itu masih diperdebatkan
dilevel politik nasional, seperti Budi Utomo pada tahun 1908, organisasi
pertama yang anggotanya berasal dari Prijaji Jawa saja. Oleh karena itu,
kesadaran berbangsa yang saat ini mulai surut harus kita kuatkan lagi, dengan
belajar dari kehidupan pesantren disekeliling kita. Memang ada sebagian kecil
pesantren yang sudah terjebak dengan paham-paham “radikalisme”. Namun itu hanya
sebagian kecil, karena sebagian besar kehidupan di pesanteren sangat kental
dengan nilai-nilai multikulturalisme dan mendorong pembentukan jatidiri bangsa
Indonesia.
Setidaknya ada tiga hal mendasar yang bisa kita lihat dan
rasakan dari sumbangsih pesantren dalam usahanya membentuk jatidiri bangsa
Indonesia, yaitu (1) secara geneologiis; (2) secara paradigmatis; dan (3)
secara sosiologis. Pertama, secara geneologi, pesantrean sudah mengalami kontak
secara langsung dengan penganut agama lain ketika masa Hindu-Budha di Jawa.
Pesantren sudah memberikan contoh dengan baik, bagaimana berdialog dengan
kelompok yang memiliki kepercayaan berbeda. Para founding father penyebaran
Islam, Wali Sanga, mengajarkan kepada
kita, bahwa mereka tidak menghapus kebudayaan agama Hindu-Budha, namun justru
mencari titik temu persamaan agama Hindu-Budha dengan ajaran agama Islam.
Kedua, secara paradigmatis. Dalam dunia pesantren, jelas
terlihat nilai dan prinsip toleransi dan keterbukaan. Ajaran pesantren
mengajarkan tentang toleransi terhadap perbedaan. Misalnya dalam pengajaranya,
pesantern mengajarkan semua madzab ilmu fiqih pada para santri. KH Nawawi dalam
melakukan pengajarannya juga selalu menerima pendapat yang berbeda. Dalam
menghargai perbedaan ini, pesantren menampakan toleransi terhadap perbedaan
yang terjadi antar pesantren dalam memahami teks hadits maupun Al-Qur’an yang
disesuakan dengan nilai-nilai kearifan lokal.
Pada bagian ini, pesantren menampakan wajah yang universal,
atau Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Wajah universal ini ditransformasikan
kedalam nilai-nilai lokal yang plural. Misalnya, pesanteren yang tumbuh
didaerah Jawa, akan menampakan wajah keislamannya dengan nilai-nilai kebudayaan
Jawa. Pesantren menyadari, tidak akan memutlakan suatu tafsiran, namun
membiarkan berbagai tafsiran tentang keagamaan itu berkembang sesuai dengan
kebutuhan zaman.
Ada pertanyaan, kalau pesantren sudah memberikan sumbangsih
nilai multikulturalsime di Indonesia, tapi kenapa Indonesia saat ini justru
banyak konflik dan permusuhan? Memang inilah ironi yang menyentuh hati nurani.
Jawabanya, kita kurang belajar dari ulama dan sejarah bangsa kita sendiri.
Paling penting yang perlu diingat, kita masih mempunyai mozaik dipesantren
apabila kita memerlukan sebuah contoh arti sebuah persatuan ditengah perbedaan.
Pesantren telah memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana menjalani
kehidupan yang harmonis dalam atap perbedaan. Inilah esensi dari ajaran KH
Nawawi dengan membentuk pondasi jatidiri bangsa lewat karya-karyanya yang
diteruskan oleh para muridnya didunia pesantren.
Dengan semua teladan dari KH Nawawi, kita harus siap
menerima keberadaan orang atau kelompok lain yang berbeda dengan kita. Dengan
cara membiasakan diri seperti itu, hati kita akan terbiasa menerima perbedaan.
Nafsu untuk mengejar kekuasaan akan terkalahkan dengan semangat persatuan.
Tidak akan ada lagi ego untuk menonjolkan identitas kelompok sendiri, tapi
semuanya akan saling menghormati. Bangsa ini harus belajar terhadap kesuksesan
pesantren dalam mengimplementasikan nilai-nilai multikulturalisme. Kita harus
belajar untuk saling belajar, bukan saling menghajar, pelangi terdiri dari
banyak warna yang berjejer menjadi satu, jadi bukankan pelangi indah karena berbeda?
Sebuah Refleksi
KH Nawawi wafat ketika menginjak usiannya yang ke 84 tahun,
tepatnya pada 24 Syawal 1314 Hijriyah/1897 Masehi. Beliau meninggal ketika
sedang menterjemahkan kitab Minhaj al-alibin karya Imam Nawawi al-Dimshaqi. KH
Nawawi dimakamkan ditempat tinggalnya disekitar Shi’ib ‘Ali Mekkah, tepatnya
dipekuburan Ma’la, yang berdekatan dengan kuburan Ibn Hajar dan Asma’ binti Abu
Bakar. Lewat kemasyuran namanya, KH Nawawi mendapat banyak gelar, diantaranya
Sayyid ‘Ulama al-Hijaz (Pemimpin ‘Ulama Hijaz), AI-Imam al-Muhaqqiq wa
al-Fahhamah al-Mudaqqiq (Imam yang Mumpuni Ilmunya), A’yan ‘Ulama al-Qarn
aI-Ram ‘Asyar Li al-Hijrah (Tokoh Ulama Abad 14 H), dan Imam Ulama Al-Haramayin
(Imam Ulama Dua Kota Suci).
Semasa hidupnya, banyak karya-karya yang lahir dari
ketinggian keintelektualannya. Tulisannya melintasi berbagai disiplin ilmu,
beliau juga meneruskan tradisi ulama Nusantara dalam mentransformasikan gagasan
keilmuannya melalui pengajaran kepada murid-muridnya. Perannya dalam
menyebarkan Islam di Nusantara sangat berguna bagi arah pembentukan identitas
bangsa kedepannya. Dengan pengajarannya di Mekkah al-Mukarramah, beliau
berhasil menghasilkan murid-murid yang menjadi tokoh nasional dalam
memperjuangkan Indonesia. Salah satu muridnya adalah Hadratul Syekh KH Hasyim
Asy’ari, ulama pendiri Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi Islam terbesar hingga
saat ini.
KH Nawawi merupakan ulama Rijal al-Dakwah yang jasa-jasanya
sangat terasa untuk dunia Islam di Indonesia maupun dunia Islam pada umumnya.
Dampak aktifitas dakwah yang dilakukan oleh KH Nawawi masih terasa sampai
sekarang. Bahkan hampir semua Kiai Pesantren masih menggunakan karya-karyanya
sebagai rujukan utama. Hal ini bisa ditelusuri dari geanologi keilmuan KH
Nawawi terhadap wajah pesantren dewasa ini. Salah satunya adalah nilai-nilai
multikulturalisme yang dipraktekan pesantren hingga saat ini.
Nilai-nilai inilah yang sangat dibutuhkan bangsa Indonesia
pada era globalisasi ini. Tantangan primordialisme dan cauvinisme saat ini
mulai menjamur diberbagai daerah Indonesia. Oleh karena itu, kita harus
menengok kebelakang sejenak untuk belajar tentang arti multikulturalsime dari
seorang ulama besar yang pernah dimiliki oleh Indonesia, Syekh Nawawi
al-Bantani.
Daftar Pustaka
Abdurahman Nawawi al-Bantani. 1996. An Intelectual Master of
the Pesantren Tradition, Dalam Studi Islamika, no. 3, vol. 3, Jakarta: INIS.
Bruinesen, Martin Van. 1995. Kitab Kuning (Pesantren dan
Tarekat). Bandung: Mizan.
Chaidar. 1978. Sejarah Pujangga Islam Shaykh Nawawi Banteni.
Jakarta: Sarana Utama.
Ensiklopedia Islam. 1994. Ensklopedia Islam Indonesia.
Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Huntington, Samuel P., 1996. The Clash of Civilizations and
the Remaking of World Order. New York: Simon & Schuster.
Wan Moh. Saghir. 2000. Wawasan Pemikiran Islam Ulama Asia
Tenggara. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah.
Karel A. Steenbrik. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam di
indonesia Abad 19. Jakarta: Bulan bintang.
Wan Mohd, Saghir. 2000. Wawasan Pemikiran Islam Ulama Asia
Tenggara. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah.
Zamakhsyari Dhofier. 2011. Tradisi Pesantren: Studi
Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES.
MUI Provinsi Banten |