Merah-Putih |
arifsae.com - Tidak diragukan lagi sang saka bendera Merah-Putih sudah menjadi
aji-aji yang sakral dalam kehidupan berbangsa masyarakat Indonesia saat ini. Kesakralan itu telah lestari
sejak nenek moyang kita pertama menjalani kehidupannya. Berbagai tradisi masih terus terjaga hingga saat ini, salah satunya berwujud aliran kepercayaan (sangkan paraning
dumadi) tradisi masyarakat berupa mentifact (jiwa), sociofact (perilaku sosial) dan artefact
(alat).
Tradisi merupakan kebiasaan yang diturunkan dan berkembang
seperti kondisi awal semula tanpa perubuahan berarti dari makna dan pengertian
semula. Begitu juga nilai-nilai sebuah warna yang terus lestari dari makna awal hingga ini.
Misalnya, warna hijau bermakna kedamaian, warna kuning untuk kebesaran
dan kemegahan, warna hitam yang mencerminkan duka, dan warna merah-putih untuk
keberanian dan kesucian.
Istilah tradisi biasanya dihubungkan dengan hal-hal yang
berbau adat-istiadat, keyakinan atau keprecayaan, kebiasaan, ajaran turun
temurun dari nenek moyang. Sedangkan tradisional adalah bentuk sifatnya. Oleh karena itu, dalam
penulisan sejarah atau historiografi, baik dalam metode maupun sumber-sumber
yang menggunakan sumber tradisional (babad, suluk, dll) dinamakan historiografi
tradisional.
Dalam menelusuri tradisi warna Merah-Putih, kita patut leluri leluhur, yaitu meresapi nilai-nilai dari nenek moyang kita. Berikut hasil kajian dari penulis.
Dalam menelusuri tradisi warna Merah-Putih, kita patut leluri leluhur, yaitu meresapi nilai-nilai dari nenek moyang kita. Berikut hasil kajian dari penulis.
Merah-Putih dalam Tradisi Jawa
Salah satu tradisi Jawa yang masih ada hingga kini adalah sesajen, yaitu
memberikan makan dan minum bagi leluhur yang telah kembali pulang (mulih) ke
jaman kelanggengan (akhirat). Mereka menyediakan ruang khusus untuk melakukan
tradisi ini. Bagi masyarakat Jawa klasik, keluarga yang tidak memberikan sajen sama
saja tidak menghargai leluhur dan nenek moyang mereka.
Dalam tradisi Jawa, apabila keluarga sedang mendapatkan
musibah atau untuk mengatasi musibah, maka akan diadakan sebuah selametan
berupa bubur merah-putih, yaitu semacam piring bubur yang diolah dengan
gula merah dari beras atau ketan kemudian bubur putih dituangkan diatasnya.
Nilai-nilai ini bisa ditelusuri lebih jauh lagi.
Warna merah untuk mengingatkan asal-usul kejadian manusia
dari unsur merah (sel telur) wanita dan unsur putih (sperma) laki-laki.
Filosofi dari warna itu adalah untuk mengingatkan manusia berasal dari mana dan akan kembali ke mana (sangkan paran ing dumadi). Memang dalam
masyarakat pedesaan, simbol-simbol leluhur dan simbol phallus (alat kelamin
laki-laki) masih sangat intens penggunaanya.
Misalnya, apabila seorang laki-laki akan pergi ketempat
jauh dan dalam waktu yang lama, maka akan diusap wajahnya dengan telapak tangan
bapak/ibu. Terlebih dulu tangan dari bapak/ibu itu diusapkan ke dzakar atau
fajrinya sebagai tempat pengingat asal mula kelahirannya. Nama dari tradisi ini adalah
digemboki.
Ritual ini dimaksudkan untuk menghindari dari sawan atau
bala. Langkah pertama ketika seorang anak pergi jauh mengucapkan doa sebagai
berikut: “….tiri-tiri jabang bayi kedadayane saka banyu peli, laliya banyu susu
elinga sega lan banyu…”, yang bermakna seorang anak harus ingat kalau dia
berasal dari air mani, dan air susu ibu untuk mengingat nasi dan air.
Contoh lain adalah ketika sebuah keluarga membangun rumah, maka akan
dipasang kuda-kuda dan blandar juga dikibarkan umbul-umbul atau rontek (bendera
kecil) berwarna merah-putih dilengkapi dengan cengkir gadhing, tebu dan janur
(daun muda kelapa) diatas bangunan rumah yang sedang dibangun. Ini dimaksudkan
sebagai simbol keberanian, kemandirian, kesungguhan dan kemantapan hati dalam
menghadapi samudera kehidupan.
Merah-Putih dan Burung Garuda
Sudah
tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia gabungan antara warna Merah-Putih dan Burung Garuda. Di negara-negara lain, juga mempercayai tentang legenda Burung Garuda, sebut saja negara Polandia, Amerika, Bangsa Arya dan tentu Indonesia.
Jenis burung ini juga disebut sebagai Rajawali atau Elang.
Dalam
Adiparwa, bagian awal dari epos Mahabarata, dikisahkan seekor Burung Garuda
adalah pemenang dalam memperebutkan amrta dengan para Naga dan raksasa. Burung
Garuda kemudian menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Dalam epos Mahabarata ini, Burung
Garuda merupakan sahabat dari Raja Fasarata yang berusaha menyelamatkan Dewi
Shinta dari Rahwana, meski tidak berhasil karena berujung kematian pada Burung Garuda.
Burung
Garuda juga berwujud kendaraan Raja Airlangga sebagai yang dipoercaya sebagai jelmaan dari Dewa Wisnu.
Kemudian, dalam kesenian pewayangan, Burung Garuda dalam wayang purwa muncul
dengan nama Wilmuka yang merupakan salah satu jenis burung buas. Setelah Indonesia
merdeka, Burung Garuda muncul setelah ribuan tahun mengendap di bawah alam
bawah sadar ingatan kolektif masyarakat.
Bendera Merah-Putih sebagai lambang keberanian, kesucian, kemandirian, konsep asal mula manusia, konsep sangkan paraning dhumadi tidak hanya telah muncul
dalam ranah sejarah, namun dalam bawah sadar masyarakt Indonesia yang tumbuh subur
dalam kepercayaan. Ini sudah menjadi pandangan hidup kerokhanian masyarakat Indonesia.
Akhirnya mitos merah-putih bersama dengan tradisi dan legenda-legenda lainnya tidak hanya memperlihatkan wujudnya dalam kehidupan sejarah, namun menampakan pandangan hidup dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.[]
Sumber: Aminudin Kasdi, Bendera Merah Putih, disampaikan dalam Seminar Nasional Refleksi Sumpah Pemuda pada tanggal 10 Oktober 2018 di Auditorium Museum Nasinoal.
Akhirnya mitos merah-putih bersama dengan tradisi dan legenda-legenda lainnya tidak hanya memperlihatkan wujudnya dalam kehidupan sejarah, namun menampakan pandangan hidup dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.[]
Sumber: Aminudin Kasdi, Bendera Merah Putih, disampaikan dalam Seminar Nasional Refleksi Sumpah Pemuda pada tanggal 10 Oktober 2018 di Auditorium Museum Nasinoal.