Nama Punah? |
arifsae.com - Laju perkembangan dunia saat ini begitu cepat, apalagi dengan adanya Revolusi Industri 4.0. Imbasnya, modernisasi terjadi diberbagai bidang kehidupan, dan itu tak bisa dihindari. Termasuk dalam hal ini adalah "nama". Iya, nama-nama yang kita sandang saat ini juga terkena dampak dari perubahan itu.
Dampak dari perubahan itu adalah nama-nama asli Indonesia (baca: Jawa) yang benar-benar akan punah beberapa tahun yang akan datang. Mengerikan kan terdengarnya?
Saya sering berbicara kepada anak-anak didik saya, "Nama itu mengandung doa dan harapan, orang tua mencari nama buat kita itu susah, jadi jangan sekali-kali memanggil nama teman yang bukan nama aslinya."
Dalam adat Jawa (karena saya orang Jawa), memberikan nama saja tidak boleh sembarangan, harus melalui ritual-ritual tertentu. Orang dulu sangat menjaga tradisi agar tidak "kualat atau pamali".
Termasuk untuk menggantinya. Kalau anak kecil sakit-sakitan, menurut orang tua, salah satu sebabnya adalah "kaboten jeneng" (terlalu berat memikul nama). Maka dia harus di rituali (bancaki) dan diganti namanya agar bisa sehat jiwa-raganya. Meski terdengar mistik, tapi begitulah kenyataannya.
Tradisi ini masih terus dilakukan sebagian masyarakat Jawa saat ini, terutama di pesisir pantai utara. Biasanya, pemberian nama dilakukan ketika puputan (putus ari-arinya), yaitu dengan cara slametan beserta pengajian kecil serta pembacaan Sholawat Badar.
Tak ketinggalan, dalam ritual ini orang tua jaman dulu harus menyediakan Umbu Rampe (kelengkapan) berupa bubur merah putih dengan tumpeng kecil yang diujungnya diberi hasan Sate lombok dan bawang.
Nama Satu Kata
Orang tua jaman dulu sangat populer memberikan nama anaknya dengan satu kata. Itu kalau orang biasa, kalau kalangan ningrat bisa dua atau lebih. Penamaan satu kata ini bisa dilihat dari nama seperti, Siti, Paijo, Tariyem, Runtah, Pono, Wagimin, dll. Atau populer dengan awalan Su-, seperti Sukarno, Suharto, Suwarno, Suwardi, Sugimin, Suwono, dll.
Contoh lain penamaan perempuan Jawa berakhiran "em", seperti Partem, Juminem, Tinem, Wagiyem, Sariyem, Tukiyem, dan sebagainya. Atau yang berakhiran "ah" seperti Minah, Partinah, Sarinah, Ginah, Jumirah, Sakinah dan sebagainya.
Itulah nama-nama asli Jawa yang sudah jarang kita temu akhir-akhir ini. Tentu saja karena serangan modernisasi dan kemajuan teknologi yang mengakibatkan perubahan itu semuanya.
Realitanya memang orang tua zaman sekarang lebih suka memberikan nama anaknya ke Timur Tengahan (baca: Arab) atau ke Barat-Baratan (baca: Amerika dan Eropa). Tak heran di pelosok kampung-kampung pun sudah sangat banyak anak-anak yang diberi nama Al Jufri, Akbar, Abdullah, Muhammad, atau ARIF SAEFUDIN, itu nama saya 😝 atau nama-nama seperti Jefry, Valdo, Ronald, Goerge, Michael, Thomas, Noah, dan sebagainya.
Benarkah Akan Punah?
Ketika saya mengajar, saya sering melihat daftar absen generasi 1995-2000 yang terpampang didaftar absen kelas. Dan hampir 99 % tidak ada lagi nama anak yang menggunakan nama satu kata. Kalaupun ada, hanya 1 %. Selebihnya dua kata bahkan ada yang sampai 5 kata, kaya kereta saja.😏
Artinya adalah, generasi milenial saat ini (dan yang akan datang) mungkin tidak akan menggunakan nama-nama asli Jawa itu lagi. Apabila dilihat, era penamaan itu berakhir pada generasi 60 hingga 70-an yang berarti 10 hingga 20 yang akan datang, nama-nama asli Jawa itu benar-benar akan punah? Sekarang saja sudah sangat jarang ditemui nama-nama asli Jawa tersebut. Benar kan?
Saya pribadi namanya jelas berbau ke-Arab-Araban. Tapi nama anak, saya padukan: Ayudiasyia. Sebenarnya bermaksud mengambil nama ke-Jawa yang dipadukan dengan ke-Arab.
Memang susah melestarikannya ya?, mungkin anda berminat melestarikan nama asli Jawa tersebut?😵