Satelitpos 14 Juli 2018 |
Mencegah eksploitasi politik pada anak membutuhkan peran
aktif dari semua elemen masyarakat. Tidak hanya aparat yang berwenang, tapi
juga harus melibatkan seluruh pihak terkait, terutama keluarga dan sekolah
sebagai tempat membentuk pondasi dan memproduksi generasi penentu bangsa.
Temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejak awal
kampanye pilkada 2018 nampaknya cukup menjadi bukti. Tercatat selama
Februari-April 2018 saja, terdapat 22 kasus eksploitasi politik pada anak.
Padahal, berdasarkan data, saat ini terdapat sekitar 80 juta anak atau
sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia. Sementara saat ini, terdapat 10 juta
anak dari 171 daerah yang akan menggelar Pilkada serentak 2018.
Ralita dilapangan, eksploitasi politik pada anak ini terus
terjadi. Justeru, tak jarang aktor utamanya berasal dari orang tua sendiri.
Mereka mengajak anaknya untuk mengkuti pilihan politiknya, bahkan tak jarang
motif ekonomi dan konsumtif menjadi pemicunya.
Ekspolitasi politik pada anak jelas tidak dibenarkan. Norma
ini jelas diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014,
dalam penjelasan Pasal 15 tertuang, setiap anak berhak untuk memperoleh
perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik. Inilah yang menjadi
norma yuridis untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab perlindungan pada
anak.
Kendati sudah tertuang jelas dalam peraturan perundangan,
nampaknya eksploitasi politik anak tetap akan rawan terjadi. Khususnya dalam
tahun politik yang semakin memanas hingga puncaknya pemilu 2019 nanti.
Pasalnya, hanya sanksi administrasi yang akan didapatkan pagi sang pelanggar.
Ini menjadi lampu kuning akan bencana eksploitasi politik pada anak.
Refungsionalisasi Keluarga
Selain
mempercayakan kepada instansi pemangku kepentingan, seperti KPAI dan Bawaslu
untuk mencegah peristiwa ini terjadi lagi, kita juga harus melakukan tindakan
yang konkret dengan menempatkan anak pada zona aman dari eksploitasi politik.
Pertama-tama dengan refungsionalisasi atau mengembalikan fungsi sesungguhnya
dari keluarga.
Keluarga merupakan satu kesatuan yang terpadu. Menurut Ki
Hajar Dewantara, keluarga merupakan kumpulan beberapa orang yang terikat, mengerti
dan merasa berdiri sebagai satu gabungan yang hakiki, esensial, nyaman, dan
berkehendak bersama-sama memperteguh untuk memuliakan anggotanya. Sedangkan
fungsi keluarga, menurut ahli sosiologi Friedman (Zaidin Ali, 2006), meliputi
fungsi aktif, sosialisasi, reproduski, ekonomi, dan perawatan. Apabila setiap
unit keluarga melakukan fungsi tersebut, niscaya tak akan ada eksploitasi
politik pada anak lagi.
Akan tetapi, banyak unit keluarga yang mengalami disfungsi.
Fakta ini bisa dijumpai justu ketika orang tua sendirilah yang mengajak anak
ikut berkampanye. Inilah yang menjadi dilema disfungsi keluarga, dan faktor
ekonomi menjadi pemicu terbesarnya. Disinilah lunturnya pola edukasi orang tua,
sehingga acuh pada perkembangan anaknya. Dalam kondisi ini, keluarga bukan lagi
tempat zona nyaman edukasi anak.
Hal ini bisa membentuk persepsi anak yang masih sangat mudah
menerima rangsangan dari dunia luar. Driver (Susanti, 2003) mengatakan persepsi
sebagai sebuah pengenalan sesuatu dengan menggunakan panca indera. Pembentukan
persepsi sangat ditentukan oleh latar belakang sosial, pendidikan dan
pengalaman proses pembelajaran serta juga pengaruh dari lingkungan sekitar.
Kampanye yang tak ramah anak akan mempengaruhi persepsi dan
perkembangan mental mereka. Aktifitas kampanye biasaya menggunakan bahasa
provokasi, tindakan intimidasi bahkan contoh diskriminasi kepada kelompok lain
yang berbeda pilihannya. Disinilah refungsionalisasi keluarga harus dihidupkan.
Keluarga merupakan pembentuk dasar peradaban masyarakat.
Butuh kedewasaan berfikir secara sadar dari setiap orang tua untuk menumbuhkan
pendidikan politik sejak dini. Pendidikan politik ini lebih dikenal sebagai
political forming karena terkandung intensitas membentuk orang “sadar status”
politik ditengah masyarakat. Pendidikan politik juga sering disebut politische
bilding, karena menyangkut aktifitas menyadarkan diri sendiri sebagai insan
politik (Khoirun, dkk. 1999).
Edukasi politik sejak dini yang dilakukan oleh keluarga
sangat penting dilakukan. Hal ini karena negara sendiri sudah menjamin hak
kewajiban warga negeranya, yang tertuang pada pasal 28B UUD 1945 tentang
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta hak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi pada anak. Aksi ini diharapkan mampu memberikan
pembelajaran politik secara benar dan tepat.
Keluarga selayaknya menjadi garda terdepan dalam melindungi
eksploitasi politik pada anak. Salah satu caranya dengan tidak mengajak
anak-anak dalam segala kegiatan kampanye pemilu. Jika keluarga ingin melakukan
kegiatan kampanye, sebaiknya anak dirumah dengan ibunya, begitu sebaliknya.
Orang tua harus “mengalah” untuk masa depan anaknya, karena masa-masa tumbuh
kembang anak adalah periode emas yang tak akan tergantikan lagi.
Satu Visi Misi
Kolaborasi
antar komponen menjadi hal mutlak yang harus dilakukan. Tidak hanya dirumah,
namun juga di sekolah sebagai “rumah kedua” yang memiliki andil dalam membentuk
karakter anak. Kolaborasi anara orang tua dan pihak sekolah menjadi hal
penting. Menurut Paula McCoullough, guru di Okhaloma (2012), ketika orang tua
dan sekolah berkolaborasi, maka akan menjadi tim yang tak terkalahkan.
Dengan begitu, antara orang tua, masyarakat, sekolah dan
instansi terkait mempunyai satu visi misi untuk tetap melindungi hak
perlindungan anak dari ekspoitasi politik. Selain melindungi, orang tua dan
sekolah juga mampu mengawal tumbuh kembang anak sehingga bisa melejitkan
potensi dan prestasi anak menjadi generasi penentu yang unggul.[]