arifsae.com - Ketika kita memilih menjadi perantau, kita akan mengalami "tabrakan" budaya dan bahasa. Jangankan diluar negeri, antar provinsi saja sudah sangat terasa perbedaanya.
Meminjam istilah Samuel Huntington, peristiwa ini dinamakan "benturan peradaban" atau clash of civilization. Memang tidak serumit itu, tabrakan budaya dan bahasa yang saya maksud adalah kasus yang saya alami sendiri.
Saya seorang guru di Sabah, Malaysia. Tentunya untuk mengajar anak-anak Indonesia. Misi saya jelas: "mengindonesiakan anak Indonesia". Namun ditempat yang jauh dari Indonesia ini, tentunya budaya dan bahasa di lingkungan Sabah sangat berbeda dengan wilayah di Indonesia.
JAIM 4 (dok Pribadi) |
Bentrokan budaya ini tidak bisa dihindari. Pilihannya ada dua, kita mempengaruhi atau dipengeruhi. Atau diantara keduanya, menyesuaikan dengan kondisi lingkungan, seperti pepatah, "Di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung". Artinya dimana kita berada harusnya menghormati adat istiadat ditempat tinggal kita.
Menghormati adat ditempat kita berpijak adalah keharusan. Karena bangsa Indonesia memang sudah memiliki gen ke-bhineka-an itu. Menghormati budaya dan bahasa ditempat kita berada memang merupakan bentuk aplikatif dari pepatah diatas.
Tapi permasalahanya adalah, bagaimana jadinya kalau kita sudah benar-benar terpengaruh budaya rantau dan melupakan budaya dan bahasa asli kita sendiri? Tentunya dalam konteks ini, bagaimana jadinya guru Indonesia yang mempunyai misi meng-Indonesikan anak Indonesia yang di Malaysia, ternyata terbawa arus di-Malaysia-kan oleh bahasa dan budaya Sabah, Malaysia?
Benturan Budaya dan Bahasa
Seperti kata Samuel Huntington, era globalisasi ini, dunia akan mengalami masa benturan budaya. Budaya kuat akan mempengaruhi budaya yang lemah. Contohnya, budaya barat mempengaruhi budaya anak muda Indonesia saat ini. Atau budaya Korea yang sudah menyerang hampir seluruh anak-anak melenial masa kini.
Apakah kita harus bersifat kolot atau bertindak konservatif? Tentu tidak. Mengetahui budaya dan bahasa asing tentu merupakan proses belajar dan memperkaya skill kita. Yang ditekankan adalah kita menyikapi budaya dan bahasa asing itu sebagai pelajaran dan komparasi terhadap budaya Indonesia, sehingga kita bisa memaknai bagaimana hidup berbudaya.
Disinilah posisi Nasionalisme ditempatkan. Bahasa nasional yang kita sepakati dalam Sumpah Pemuda tahun 1928, bahwa kita akan menjunjungi tinggi bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa untuk menjadi alat pemersatu dari 546 bahasa lokal. Itulah kecerdasan para founding father negara ini.
Karena bahasa merupakan identitas suatu bangsa. Bahasa juga mencerminkan budaya seseorang. Karena bahasa dan budaya merupakan dua sisi mata uang dan tidak bisa dipisahkan. Lewat bahasa-lah kemajuan dan kemunduran budaya suatu bangsa bisa dilihat.
Contohnya, seorang Jawa merantau ke Jakarta. Karena terlalu lama, orang Jawa itu sudah melupakan budaya aslinya, dan beralih kepada bahasa gaul. Sehingga ketika orang Jawa itu pulang ke daerah asalnya, dia tidak mau menggunakan bahsa Jawa lagi, tapi memilih bahasa gaul yang diidentikan dengan bahasa kekinian.
Ironis. Karena selain menjunjung tinggi bahasa Indonesia, kita juga selayaknya harus melestarikan bahasa lokal. Artinya, ketika bertemu dengan orang yang berbeda suku dan budaya, pakailah bahasa Indonesia, karena itu bahasa pemersatu. Tapi kalau kita bertemu orang yang satu daerah, alangkah indahnya menggunakan bahasa daerah kita.
Kita tidak susah memperdulikan image bahwa bahasa daerah adalah bahasa kampungan, bahasa ndeso atau bahasa yang tidak keren. Karena bahasa daerah itulah penyangga bahasa Indonesia. Jadi intinya adalah, "Junjung tinggi bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah kita. Itu."
Guru Sabah dan Bahasa
Kembali lagi ke topik utama. Tujuan adanya tulisan ini adalah mirisnya saya pribadi melihat kawan-kawan sesama guru yang "kalah" bahasa dengan bahasa Sabah disini. Mereka dalam kesehariannya sudah menggunakan bahasa Sabah, bahkan kepada teman sesama guru sekalipun.
Sebagai contoh, guru yang sebetulnya harus "meng-Indonesikan" justru kalah dengan bahasa Sabah, sehingga kesannya "di-Malaysia-kan". Apakah salah guru Sabah menggunakan bahasa Sabah? Sekali lagi jawabanya tidak. Tentunya dengan beberapa situasi.
Benar. Ketika kita berhadapan dengan orang-orang penduduk asli, karena bagaimanapun, kita berada di Sabah yang harus menyesuaikan dengan bahasa daerah setempat. Kita tidak perlu ragu untuk menggunakan bahasa Sabah dengan orang Sabah. Inilah makna, "Di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung".
Salah. Sekali lagi, Salah, ketika kita (sebagai guru) menghadapi siswa dalam proses belajar mengajar. Mengapa? Karena, sekali lagi, tugas kita sebagai guru untuk mengajarkan budaya dan bahasa Indonesia kepada anak-anak Indonesia yang ada di Sabah ini.
Disinilah, peran kita. Disinilah tugas kita yang sebenarnya sebagai seorang guru. Mereka harus diajarkan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia. Mereka juga harus dikenalkan dengan budaya Indonesia yang sangat kaya ini. Agar dalam dirinya tumbuh kecintaan terhadap negara aslinya, Indonesia.
Saya sendiri sudah berusaha 100% menggunakan Bahasa Indonesia ketika melakukan proses belajar. Bukan bahasa Sabah. Saya tidak mau kalah dengan bahasa mereka saat ini, yang saya mau adalah, mereka yang saya pengaruhi untuk ikut berbahasa Indonesia, bukan saya yang terpengaruh bahasa meraka. Tidak. Saya tidak mau.
Jadi, sekali lagi saya mengajak untuk selalu menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Jangan kalah. Apalagi ketika kita bertemu dengan rekan sesama guru, gunakan bahasa Indonesia yang baik. Terlebih ketika bertemu dengan teman satu daerah, sangat akan nyaman gunakan bahasa daerah kita.
Sehingga ketika saat kita pulang nanti di Indonesia, kita masih 100 % Indonesia, dan berhasil melaksanakan misi: Meng-Indonesia-kan anak Indonesia, bukan di Malaysia-kan. Semoga kita tetap melestarikan bahsa daerah, dan menjunjung tinggi Bahsa Indoneisa.
Tulisan ini bersifat refleksi peribadi. Terutama kepada diri sendiri. Mohon maaf apabila ada kata yang kurang berkenan.[]