Agenda Grebeg Onje 2017 |
arifsae.com - Sejarah berasal dari bahasa Arab ‘sajaroh’, yang artinya
pohon. Konstruksi anatomi pohon terdiri dari tiga komponen utama, yaitu akar, batang dan buah/daun. Dengan demikian, sejarah bisa dimaknai
sebagai anatomi ‘pohon peradaban’ yang terdiri dari akar masa silam, batang
masa kini, dan buah masa depan. Jadi,
sejarah merupakan kesatuan tiga dimensi waktu
(masa silam, masa kini dan masa depan) yang menjadi ruang tumbuh
kebudayaan manusia. Batang pohon masa kini tidak bisa dipisah dari akar masa
silam. Batang pohon yang terputus dari
akarnya akan mati dan mustahil bisa memproduksi buah. Purbalingga sebagai sebuah tatanan sosial,
adalah juga sebuah ‘pohon’ peradaban yang harus terus dicari persambungan akar
nilai kesejarahannya.
Transisi Majapahit → Demak Oleh Wali Sanga
Pasca Majapahit, Islam mendapat momentum sejarah untuk hadir
dan terlibat sebagai subyek nilai di dalam proses politik Nusantara. Demak
merupakan hasil karya peradaban Bangsa Nusantara pasca Majapahit. Sebuah
tatanan sosial yang dikonstruksi berdasarkan nilai-nilai Islam. Keruntuhan
Majapahit tahun 1479 M yang dikenal dengan istilah ‘sirna ilang kertaning bumi’
adalah peristiwa paling tragis dalam sejarah Nusantara. Berbagai konflik
internal keraton dan bencana alam berupa semburan lumpur di daerah Canggu
membuat keutuhan Majapahit gagal dipertahankan. Kerajaan yang sedemikinan besar
dan menjadi kebanggaan Bangsa Nusantara ini ‘luluh lantak’ di lantai sejarah.
Tokoh-tokoh Islam yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga mencoba menawarkan alternatif
solusi untuk merespon tragedi akbar tersebut. Keputus asaan bangsa nusantara
mencoba dibangkitkan kembali dengan dibangunnya kerajaan atau kesultanan Demak.
Ide Wali Sanga inilah yang menjadi episode baru tatanan politik Nusantara.
Demak berhasil mengutuhkan kembali puing-puing peradaban
Nusantara. Tatanan dengan nuansa dan atmosfir baru ini seperti semilir angin
pantai yang meyegarkan kembali jiwa bangsa nusantara yang sempat depresi akibat
tragedi sirna ilang kertaning bumi. Wali Sanga adalah konseptor yang meletakan
batu bata sejarah peradaban Nusantara pasca Majapahit. Setelah sebelumnya di
era pra Demak, kebudayaan Nusantara
diinspirasi oleh konsep nilai Hindu-Budha. Demak sebagai pusat kekuasaan tentu
sangat efektif sebagai sarana penyebaran Islam di Nusantara. Kerajaan Islam
besutan Wali Sanga ini kemudian berlangsung hingga beberapa kali pergantian
Raja. Dimulai dari Raden Patah (1500 – 1518), lalu digantikan putranya yaitu
Pati Unus (1518 – 1521). Setelah Pati Unus Wafat, tahta kerajaan dipegang oleh
adiknya yang bernama Sultan Trenggono (1521 - 1546). Kemudian putra Sultan
Trenggono yang bernama Sultan Prawoto atau pangeran Mukmin (1546 – 1549)
menjadi raja terakhir kerajaan Demak.
Sepeninggal Sultan Prawoto, Wali Sanga kemudian berinisiatif
memindahkan pusat konsentrasi perjuangan Islam ke daerah pedalaman Jawa, yaitu
Pajang, di daerah Surakarta. Murid pinunjul Sunan Kali Jaga yang bernama Jaka
Tingkir alias Mas Karebet yang mendapat ‘titah langit’ untuk menjadi Raja
pertama pedalaman Jawa dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Dari Pajang lah kemudian
syiar Islam merambah di wilayah pedalaman Jawa. Konsepsi Islam terus menjadi
inspirasi perjalanan sejarah hingga ke berbagai level tatanan sosial.
“Tѐtѐsing Madu, Rembesing Kusuma” - Bibit Unggul ‘Pohon’
Purbalingga -
Salah satu daerah pedalaman Jawa yang tidak bisa lepas dari
eksistensi politik Pajang adalah
Purbalingga. Bahkan hubungan Purbalingga dan Pajang bisa dibilang sebagai
hubungan istimewa karena berkait langsung dengan urusan Trah Raja Pajang. Dari
sinilah terlihat bahwa Purbalingga sesungguhnya memiliki garis sejarah yang
kuat dengan Pajang. Garis sejarah tersebut tentu bisa menjadi modal moral dan
spiritual bagi Purbalingga masa kini untuk menemukan martabat dan harga diri
sejarahnya. Hubungan antara Purbalingga dengan Pajang menjadi istimewa karena
Pajang merupakan kerajaan Islam pertama yang berhasil didirikan di daerah
pedalaman Jawa. Artinya, Purbalingga memiliki tali sejarah yang tersambung
dengan artefak penting dalam sejarah pekembangan Islam, yaitu Pajang. Berikut
uraian lengkap yang menjadi fakta bahwa Purbalingga memiliki ketersambungan
darah sejarah dengan Pajang.
Ki Tepus Rumput, tokoh inilah yang mengawali cerita babad Onje.
Beliau merupakan tokoh sentral keberadaan Kadipaten Onje pada masa
lampau. Diceritakan Sanurji (juru kunci makam Adipati Onje), ketika itu di
suatu tempat masih dalam keadaan alas (hutan) gung liwang-liwung. Tempat
tersebut berada di sebelah timur gunung Slamet. Dialah petualang yang berasal
dari bang kulon (wilayah barat). Nama sang petualang itu Ki Tepus Rumput. Dalam
perjalanannya Ki Tepus Rumput singgah di suatu tempat. Duduk di atas sebuah
batu dan bersandar pada pohon jati sambil beristirahat. Ternyata pohon jati
yang digunakan untuk bersandar Ki Tepus Rumput berbau wangi. Tempat
peristirahatan itu sekarang di kenal dengan nama Jati Wangi. (menurut Sanurji).
Kemudian mendengar suara kokok ayam jantan dari arah
tenggara. Dengan mendengar kokok ayam tersebut Ki Tepus Rumput menduga, ada
manusia lain yang mendiami tempat itu. Ki Tepus Rumput mencari tempat asal
suara kokok ayam, ternyata ada sebuah padepokan yang dihuni oleh Ki Onje Bukut.
Di sekeliling padhepokan itu ditumbuhi
banyak pohon burus. Ki Tepus Rumput
juga ditemui oleh sosok manusia, yang bernama Ki Kantharaga. Dalam pertemuannya
itu Ki Tepus Rumput di suruh bertapa di wetan gunung gede (Gunung Slamet) yang
bernama bukit Tukung. Ternyata Ki Kantharaga setelah memberikan wejangan dan
perintah kemudian menghilang.
Karena tempat
pertemuan antara Ki Tepus Rumput, Ki Onje Bukut dan Ki Kantharaga banyak
ditumbuhi pohon burus maka tempat itu dinamakan Onje (bunga/kembang pohon
burus). Petualangan Ki Tepus Rumput
sekaligus merupakan suatu
perjalanan ritual berupa bertapa. Dalam
bertapa tersebut mendapatkan suatu wisik (ilham) agar mengikuti suatu
sayembara yang diselenggarakan Sultan Pajang. Sayembara tersebut dilaksanakan
karena Cincin milik Sultan Pajang yaitu Socaludira hilang. Cincin tersebut
masuk ke jumbleng (jamban), dan belum
ada yang dapat menemukannya. Isi sayembara tersebut, bahwa barang siapa yang
dapat menemukan Cincin Sultan Pajang maka apabila seorang perempuan akan
dijadikan istri dan apabila seorang laki-laki
dihadiahi Garwa Selir Sultan yaitu Putri Adipati Menoreh yang bernama Kencana wungu dan tanah
seluas dua ratus grumbul.
Dalam mengikuti sayembara di Keraton Pajang, Ki Tepus
Rumput berhasil menemukan Cincin
Socaludira milik Sultan Hadiwijaya. Maka ditepatilah janji Sultan Hadiwijaya
bahwa kalau yang dapat menemukan seorang laki-laki maka akan diberi hadiah
garwa selir. Yaitu seorang putri yang
berasal dari Menoreh anak dari Adpiati Menoreh. Maka sang Sultan pun memberikan
hadiah tersebut dengan disertai pemberian lainnya yaitu berupa tanah seluas 200
grumbul dan diberi julukan atau “Sinebut Ing Ngaluhur, Kiyai Ageng
Ore-Ore”. Sultan Hadiwijaya berpesan
bahwa sang putri jangan sekali-kali “digauli”.
Dalam naskah Babad Onje
disebutkan,
“Ingkang abdi sami boten saguh mendhet, amung Kyai Ki Tepus Rumput ingkang saged mendhet. Lajeng dipunpaikani
dinamelan sumur ing sandhingipun, nunten kepanggih kagungan dalem supe, lajeng
kapundhut kalih Kanjeng Sultan Pajang, dhawuhe Kanjeng Sultan, “ingsun ora
wani-wani, sapa kang anemokaken manira paringi bojo ingsung bocah desa asal
Menoreh, Putrane Kyai Dipati Menoreh, iya rawatana, ananing iya wus meteng olih
kapat tengah, iya iku poma-poma aja kowe tumpangi”.
Dari uraian tersebut menjelaskan bahwa Kadipaten Onje
berhubungan erat dengan kerajaan Pajang. Kerajaan Pajang merupakan kerajaan
Islam yang berdiri pada tahun 1568 M didirikan oleh Jaka Tingkir yang mempunyai
nama lain Mas Karebet putra Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenongo, kemudian
bergelar Sultan Hadiwijaya. Kedudukannya sebagai Raja Pajang disahkan oleh
Sunan Giri .
ONJE : Akar ‘Pohon’ Purbalingga
Tidak ataupun belum
ada yang menyebutkan tahun berapa secara
pasti kerajaan Pajang mengadakan sayembara yang dimenangkan oleh Ki Tepus
Rumput. Setelah mengikuti sayembara dan berhasil mendapatkan hadiah dari Sultan
Hadiwijaya, Ki Tepus Rumput kemudian
kembali ke arah barat, yaitu ke dhusun
Truka Onje dengan disertai empat orang pengawal yaitu:
1. Puspa
Jaga
2. Puspa
Kantha
3. Puspa
Raga
4. Puspa
Dipa
Dengan demikian maka Ki Tepus Rumput menjadi Adipati I di Kadipaten Onje, dengan julukan Kyai
Adipati Ore-Ore. Sebagai pusat Kadipaten berada di sebelah timur Sungai
Klawing.
Tibalah pada saatnya
anak yang dikandung Putri Menoreh lahir, dan ternyata lahir bayi laki-laki. Ki
Tepus Rumput memberitahukan kepada Sultan Pajang. Sultan Pajang bersabda;
“Ya kaulah yang merawat anak itu baik-baik, besok jika anak
itu sudah mampu melayamkan tombak bawalah kemari”.
Maka setelah tiba pada waktunya, dipersembahkanlah anak itu
ke Keraton Pajang. Kemudian Sultan Hadiwijaya memberi nama atau gelar Kyai Adipati Anyakrapati ing Onje, dengan
ditandai upacara bupati serta diberi tanah seluas 800 grumbul. Selain itu juga
diberi sentana kamisepuh atau pengikut kaum kepala desa sebanyak tujuh keluarga
supaya menjadi pembantu di Onje.
Setelah menata pemerintahan dan dirasa sang Putra Sultan
sudah mampu menjadi adipati yang
mumpuni, maka Ki Tepus Rumput
melanjutkan petualangannya menuju ke arah timur Kadipaten Onje.
Adipati Onje II kemudian dipegang oleh Anyakrapati. Adipati
Anyakrapati menikah dengan dua orang wanita, yaitu Puteri Keling dari Jawa
Barat, dan puteri adipati cipaku yang benama Rara Pakuwati. Pernikahannya
dengan puteri keling tidak dikaruniai anak. Dari Rara Pakuwati, Adipati
menurunkan tiga orang anak, yaitu Raden Mangunjaya, Raden Citra Kusuma dan Rara
Banowati. Dua orang Istrinya ini
kemudian wafat oleh sebuah peristiwa di internal keluarga kadipaten.
Setelah dua orang istri adipati Anyakrapati meninggal dunia,
beliau kemudian menikah lagi dengan puteri adipati Arenan yang bernama Nyai
Pingen. Dari Istrinya yang ketiga inilah, lahir dua orang putra yang bernama Ki
Wangsantaka dan Ki Arsantaka.
Dua orang dengan watak dan potensi yang pinunjul. Dua Jawara
ini menarik untuk dikupas hingga ke ceruk terdalam ruang sejarah Purbalingga.
Kakak beradik ini mengambil pilihan sikap yang berbeda dalam menjalani
prinsip-prinsip sejati kemanusiaannya. Ki Wangsantaka memilih memegang
idealisme Onje dengan meneruskan seluruh tata nilai yang dibangun leluhurnya.
Sementara itu Ki Arsantaka memilih mengembara ke luar Onje dan berkarir di
pemerintahan Belanda waktu itu. Dua sikap yang tampak berseberangan jika dilihat
dari kulit luarnya. Tetapi jika kita bersedia untuk sedikit arif dalam melihat
persoalan dan realitas di jaman itu, pilihan Ki Arsantaka tentu bukanlah
keputusan yang keliru.
Ki Wangsantaka yang kuat memegang prinsip, dengan menolak
berkompromi dengan Belanda waktu itu adalah juga sebuah ketangguhan
nasionalisme yang patut untuk diteladani. Dengan segala resiko yang harus
dihadapi, Ki Wangsantaka memilih berkonfrontasi dengan Belanda. Pada sisi lain,
sikap fleksibel dan kompromis Ki Arsantaka juga membuahkan prestasi yang besar.
Belanda dipandang oleh Ki Arsantaka terlalu kuat jika harus diladeni secara
militer. Maka dengan bergabung menjadi pejabat pemerintahan Belanda, yaitu
menjadi Demang di daerah Banjarnegara, Ki Arsantaka berhasil meminimalisir kebringasan
Belanda. Kabupaten Purbalingga tetap dipegang oleh trah Onje adalah bukti
penghormatan Belanda kepada Ki Arsantaka. Inilah prestasi diplomatik yang
brilian dari salah seorang putra mahkota Onje.
Sementara Ki Wangsantaka dengan segala keteguhan pribadinya
itu merupakan ‘penjaga gawang' nilai patriotisme. Sikap Ki Wangsantaka telah
membuktikan kepada dunia bahwa Onje sebagai sebuah wilayah perdikan yang gagal
‘dirayu’ oleh Belanda untuk tunduk dan bertekuk lutut.
Kyai Arsantaka
Setelah dewasa, Kyai Arsantaka menikah dengan 2 orang putri.
Istri pertama bernama Nyai Merden dan istri kedua bernama Nyai Kedung Lumbu.
Dari istri pertama, Kyai Arsantaka di karuniai 5 orang putera, yakni; pertama
Nyai Arsamenggala, kedua Kyai Dipayuda, ketiga Kyai Arsayuda, yang kemudian
menjadi menantu Tumenggung Yudanegara II. Putera keempat bernama Mas
Ranamenggala dan kelima adalah Nyai Pancaprana. Dengan istri kedua, Kyai
Arsantaka di karuniai 1 putera yaitu Mas Candrawijaya, yang di kemudian hari
menjadi Patih Purbalingga.
Dari babad inilah maka selanjutnya masyarakat Purbalingga
meyakini bahwa Kyai Arsantaka merupakan leluhur para penguasa di Kabupaten
Purbalingga.
Kabupaten Purbalingga, menurut Babad Purbalingga, di awali
ketika Kyai Arsayuda, Putera ke-3 Kyai Arsantaka dari istri pertamanya yaitu
Nyai Merden, di jadikan menantu Tumenggung Yudanegara II, yang kemudian diangkat sebagai Bupati
Banyumas, selanjutnya diangkat menjadi Bupati Purbalingga dengan gelar Ngabehi
Dipayuda III.
1. R.
Tumenggung Dipayuda III
R. Tumenggung Dipayuda adalah putra ke-3 dari Kyai
Arsakusuma yang berganti nama menjadi Kyai Arsantaka dengan istri yang bernama
Nyai Merden. Banyak babad atau cerita tentang berdirinya sebuah pusat kekuasaan
kabupaten Purbalingga, dimana Kyai
Arsantaka disebut-sebut sebagai cikal bakal berdirinya kabupaten Purbalingga.
Dari perkawinannya dengan Nyai Merden, Kyai Arsantaka dikaruniai 5 orang
putera, yakni: Nyai Arsamenggala, Kyai Dipayuda I, Kyai Arsayuda, Mas
Ranamenggala dan terakhir adalah Nyai Pancaprana.
Sebelum menjadi Bupati Purbalingga, Kyai Arsayuda adalah
menantu dari Tumenggung Yudanegara II ( 1728-1759) yang kemudian diangkat
sebagai Bupati Banyumas, selanjutnya diangkat sebagai Bupati Purbalingga
bergelar Ngabehi Dipayuda III.
Pada masa kekuasaan R. Tumenggung Dipayuda III,
pemerintahannya dianggap monumental karena desa Purbalingga di jadikan sebagai
Ibukota kabupaten yang sebelumnya berada di Karang lewas.
2. R.
Tumenggung Dipakusuma I
R. Tumenggung Dipakusuma adalah putra dari Ngabehi Dipayuda
III dengan istri ke-3 yang bernama Nyai Tegal Pingen (putri dari Kyai Singayuda
dan cucu dari Pangeran Mahdum Wali Prakosa, Pekiringan). Dari perkawinan
tersebut, R. Ngabehi Dipayuda III dikaruniai 5 orang putra, yakni; pertama
Raden Tumenggung Dipakusuma I yang kemudian menjadi Bupati Purbalingga
menggantikan Ngabehi Dipayuda III, kedua Raden Dipawikrama yang kemudian
menjadi Ngabehi Dayuh Luhur, ketiga R. Kertasana yang kemudian diangkat menjadi
Patih purbalingga, keempat R. Nganten Mertakusuma dan kelima Kyai Kertadikrama
yang kemudian diangkat menjadi Demang Purbalingga.
3. R.
Tumenggung Bratasoedira (24 Juni 1830)
R. Tumenggung Bratasoedira adalah putra dari R. Tumenggung
Dipakusuma I dengan Raden Ayu Angger, puteri Pangeran Aria Prabu Amijaya yang
berarti cucu dari Mangkunegara I. Dengan
perkawanan tersebut, R. Tumenggung Dipakusuma I dikaruniai 4 putra, yakni;
pertama Raden Mas Tumenggung Bratasoedira ( Raden Mas Danukusuma), Kedua Raden
Mas Bratakusuma, ketiga Raden Mas Taruna Kusuma I, dan keempat adalah Raden Ayu
Suryaningrat.
4. R.
Tumenggung Taruna Kusuma I (1 Agustus 1830)
R. Tumenggung Taruna Kusuma adalah adik dari R. Tumenggung
Bratasoedira, yang berarti adalah putra ke-3 dari R. Tumenggung Dipakusuma I
dengan istrinya Raden Ayu Angger ( cucu dari Amangkurat I).
5. R.
Tumenggung Dipa Kusuma II (22 Agustus 1831)
R. Tumenggung Dipa Kusuma II adalah putra dari Raden Mas
Tumenggung Bratasudira (Bupati Purbalingga ke-3) yang kawin dengan Mbok Mas
Widata dari Kawong. Dari perkawinan tersebut di karuniai 4 putra, yakni;
pertama Raden Ayu Mangkusudira, kedua Raden Anglingkusuma, ketiga Raden Mas
Tumenggung Dipa Kusuma II, keempat Raden Dipasudira.
6. R.
Adipati Dipa Kusuma III (7 Agustus 1846)
R. Adipati Dipa Kusuma III adalah putera pertama dari R.
Tumenggung Dipa Kusuma II dengan istri keduanya yaitu Raden Ayu Karangsari,
puteri dari Raden Tumenggung Citrasuma, Bupati Jepara.
7. R.
Tumenggung Dipa Kusuma IV (4 Sept 1869)
R. Tumenggung Dipa Kusuma IV adalah putra dari Raden
Tumenggung Dipa Kusuma II dengan istri ke-3 nya yang bernama Raden Ayu Brobot.
Dengan istri ke-3 nya, Dipa Kusuma II di karuniai 5 putra, yakni; pertama Raden
Ayu Adipati Suranegara, menjadi bupati Pemalang, kemudian yang kedua R. Dipaningrat, ketiga Raden Dipaatmadja yang
kemudian menjadi patih Banyumas selanjutnya menjadi Bupati Purbalingga dengan
gelar Raden Tumenggung Dipa Kusuma IV.
Kemudian keempat adalah Raden ayu Dipasudira dan kelima Raden Ayu Mangku
Atmadja.
8. R.
Tumenggung Dipa Kusuma V (14 Februari 1868)
R. Tumenggung Dipa
Kusuma V adalah putra dari R. Tumenggung Dipa Kusuma IV dengan istrinya yang
bernama Raden Ayu dipa Atmadja. Dari perkawinan tersebut di karuniai 8 putra,
yakni; Raden Ayu Tumenggung Cakraseputra, menjadi Bupati Purwokerto, kedua
Raden Tumenggung Dipa Kusuma V ( Kanjeng Candi Wulan), ketiga Raden Adipati
Dipa Kusuma VI, keempat Raden Ayu Wiryaseputra, kelima Raden Sumadarmaja,
keenam Raden Ayu Adipati Cakranegara, ketujuh Raden Ayu Taruna Kusuma IV, dan kedelapan Raden Ayu taruna Atmadja.
9. R.
Brotodimedjo (20 Nopember 1893-13 Sept 1899)
Raden Brotodimedjo adalah Ymt Bupati Purbalingga. Ia adalah
mantan patih Purbalingga.
10. R.
Tumenggung Adipati Dipa Kusuma VI (13 Sept 1899)
R. Tumenggung Dipa Kusuma VI adalah adik dari Dipa Kusuma V,
yang berarti putra ketiga dari R. Adipati Dipa Kusuma dengan istri yang bernama
Raden ayu Dipa Atmadja.
11. K.R.A.A.
Soegondo (29 Oktober 1925)
K.R.A.A Soegondo adalah putra dari Raden Tumenggung Dipa Kusuma IV, yang
sekaligus menjadi menantu dari Paku Buwono X di Surakarta.
Selanjutnya setelah kekuasaan K.R.A.A. Soegondo berakhir,
terjadi kevakuman. Baru kemudian,
setelah Indonesia merdeka bupati Purbalingga diangkat oleh DPRD, berturut-turut
dapat disebutkan sebagai berikut:
12. Mas
Soeyoto (1946-1947)
13. R. Mas
Kartono (1947-1950)
14. R. Oetoyo
Koesoemo (1950-1954)
15. R.
Hadisoekmo (1954-1960)
16. R.
Mohammad Soedjadi (1960-1967)
17. R. Bambang
Moerdharmo, SH (1967-1973)
18. Letkol PSK
Goentoer Daryono (1973-1979)
19. Drs.
Soetarno (1979-1984)
20. Drs.
Soekirman (1984-1989)
21. Drs.
Soelarno (1989-1999)
22. Drs. H.
Triyono Budi Sasongko, M.Si + Drs. Sotarto Rahmat (2000-2005)
23. Drs. H.
Triyono Budi Sasongko, M.Si + Drs. Heru Sudjotmoko,M.Si (2005-2010)
24. Drs. Heru
Sudjatmoko, M.Si+ Drs. Sukento Ridho Marhaendriyanto,M.Si (2010-2015)
25. Drs.
Sukento Ridho M + H. Tasdi, SH MM. (2015-2016).
26. H. Tasdi
SH MM + Dyah Hayuning Pratiwi, S.E, B.Econ. (2016-2021).
Oleh : Agus Sukoco, dipaparkan dalam rangkaian acara Grebeg Onje 2017