Satelitpost, 7 Mei 2018 |
Tragedi
kekerasan di lingkungan sekolah ini merupakan berita duka bagi dunia pendidikan
di Indonesia. Betapa tidak, sekolah yang seharusnya menjadi rumah kedua dan
menjadi tempat bersemainya nilai-nilai karakter mulia, dinodai dengan perbuatan
tamparan oknum guru tersebut. Kekerasan didalam sekolah atas nama apapun dan
dalam bentuk bagaimanapun seharusnya tidak terjadi lagi, ini demi terbangunnya
sekolah ramah anak.
Kekerasan
sendiri mempunyai dua bentuk. Menurut Bashori (2010), pertama, kekerasan dalam
bentuk sederhana, dan berskala kecil atau tidak terencanakan. Kedua, kekerasaan
yang terkordinir yang dilakukan oleh kelompok atau golongan tertentu. Kekerasan
yang dilakukan oleh oknum guru berinisial LS ini masuk dalam kategori pertama.
Sang guru terancam pasal 80 ayat 1 UU Nomor 35 Tahun 2014,
perubahan dari UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman
hukuman dari tindakan kekerasan tersebut adalah kurungan penjara tiga tahun
enam bulan. Sungguh ironis. Secara umum, lembaga pendidikan kita saat ini masih
belum maksimal menghilangkan tindak kekerasaan kepada anak di lingkungan
sekolah.
Hal ini bisa dilihat dari data Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) periode Januari-Maret 2018. Dalam laporannya, KPAI telah
menerima aduan kekerasan fisik dilingkungan sekolah sebanyak 72 kasus,
kekerasan psikis 9 kasus, kekerasan finansial dan kekerasan seksual sebanyak 2
kasus. Dan mungkin masih banyak kekerasaan yang belum teridentifikasi, baik
dilaporkan atau diviralkan.
Merujuk pada hasil data dari KPAI tersebut, lingkungan
sekolah hingga saat ini masih jauh dari cita-cita bapak pendidikan kita, Ki
Hajar Dewantara. Beliau menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membangun
“manusia seutuhnya” dengan konsep tripusat pendididikan, yaitu kolaborasi
antara pranata sekolah, keluarga dan masyarakat.
Disinilah peran antar pranata itu bersinergi untuk
mewujudkan sekolah ramah anak. Guru menjadi penentu keharmonisan hubungan antar
warga sekolah, terutama antara siswa dengan siswa atau antara guru dengan siswa
sendiri. Inilah fungsi pendidikan, yaitu untuk menuntun segala kekuatan kodrat
yang ada pada diri anak.
Dengan melihat berbagai tragedi keekerasan ini, pemerintah
seharusnya merajut kebijakan sekolah ramah anak diseluruh pelosok Indonesia.
Sehingga kedepan, sekoalah tidak hanya menjadi lembaga yang hanya berorientasi
dengan pencapaian kurikulum, namun juga penghormatan terhadap prinsip
perlindunga anak.
Memanusiakan Siswa
Berbagai
fakta diatas, mengindikasikan bahwa pendidikan belum menjadi peran signifikan
dalam pembentukan kepribadian siswa yang demokratis sekaligus humanis.
Akibatnya mereka menjadi “robot zaman” yang kehilangan empati dalam hati nurani
(Alfandi, 2011).
Pendidikan
yang seharusnya ramah anak hanya bisa terwujud jika memenuhi 5 aspek. Aspek
pertama (UNICEF, 2009), kualitas pelajar yang harus mencakup sehat jasmani dan
rohani, kedua, kualitas konten, kurikulum yang mendukung perkembangan anak,
tiga, kualitas lingkungan belajar yang berpusat pada anak, empat, kualitas
lingkungan belajar dan pelayanan yang nyaman dan lima, kualitas hasil, mencakup
aspek pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang sesuai pada tingkatan kelas dalam
tingkat nasional.
Sekolah
yang ramah anak akan tetap menjadi mimpi jika sistem pendidikan di Indonesia
belum mau berpihak pada spirit memanusiakan siswa. Pendidikan saat ini harus
merubah orientasi dari fokus hasil menjadi fokus proses. Sekolah tidak hanya
pabrik perakit manusia dengan standar akhir yang sama, namun juga menghargai
segala potensi siswa yang dimiliki.
Merajut kembali makna pendidikan ramah anak harus dilakukan
secara kontinyu. Guru selayaknya memberikan kasih sayang dalam sentuhan
pembelajaran, karena proses pembelajaran tidak hanya berkutat pada nilai angka,
namun juga nilai-nilai kemanusiaan. Karena apabila guru melakukan kekerasan,
lukanya akan membekas seumur hidup dalam memori siswa. Oleh karena itu, menghargai
potensi anak menjadi penting, sehingga guru bisa menghargai nilai humanis
sekaligus sisi demokratis dalam setiap diri siswa.
Menurut John Deway (1953), sekolah adalah sebuah masyarakat
mini, yang disatu pihak sekolah harus mencerminkan kehidupan bersama di luar
sekolah dan dipihak lain harus memberikan sumbangan demi memperbaiki kehidupan
sosial yang lebih beradab bagi generasi muda. Oleh karena itu, mari sama-sama
kita merajut sekolah ramah anak dengan benar-benar mengedepankan nilai-nilai
mulia pendidikan. Sehingga sekolah benar-benar akan menciptakan generasi yang
mampu mengukirkan namanya diperadaban dunia.[]
Satelitpost, 7 Mei 2018 Lihat DISINI.