Hujan Itu |
arifsae.com - Jika ada orang yang suka hujan, datanglah ke negeri hamparan
Sawit ini. Disinilah hujan datang seperti puteri malu, namun terkadang juga tak
tahu malu. Datang tanpa permisi, begitu juga ketika pergi. Disinilah negeri
Sabah, negera bagian Malaysia yang menguji ke tabahan orang-orang yang hidup di
sudut-sudut ladang Sawit.
Para pekerja, yang sebagian besar orang Indonesia, sudah
sangat akrab dengan ujian ketabahan itu. Apalagi dengan labilnya cuaca disini.
Ya, karena disinilah hujan dan panas terlalu sering mengumbar kebersamaan.
Terkadang hujan turun dengan garang, namun tiba-tiba panas langsung datang.
Mereka setia dalam cuaca yang dianugerahkan Tuhan. Satu hal yang ditunggu,
hadirnya lengkungan pelangi yang muncul setelah hujan dan panas bertemu. Indah,
sangat indah.
Aku tidak bohong. Di Sabah, kecantikan hujan kadang seperti
gadis kecil lucu yang menggunakan sepatu kaca bak puteri cinderela. Kadangkala,
hujan mengejutkan bumi gersang bersama aspal-aspal dan trotoar jalanan. Begitu
juga sudut pepohanan Sawit yang menjulur panjang disepanjang jalan, diblok-blok
himpitan sawitan ditengah para pekerja berpeluh keringat.
Dari hujanlah, cerita ceria dan duka turut berdendang
bersama. Enam bulan disini, aku masih harus menyesuaikan, terutama ketika
panas. Dirumah yang aku tempati, suhunya cukup untuk menguras keringat. Kipas
angin menjadi harga mati, kalau tidak, barisan semut mungkin yang akan mati.
Apalagi ketika hujan turun ketika aku dirumah, rasanya tak
bisa tergambarkan. Paling sering, aku melihat dari dekat jendela sambil tiduran
menjulurkan kaki ditempat pembaringan. Ku layangkan sorotan tajam keluar sambil
mencermati lantunan air yang memuncrat ke kaca jendela.
Dari jendela, tampak langit dengan juluran kabel yang
panjang. Sesekali disampingnya goyangan pohon lincah menari bersama kencangnya
angin. Dalam kondisi kering, biasanya akan berjejer burung liar yang ramai
seperti sedang berdemonstrasi. Mobil dan motor lalu lalang, karena sebelah
pohon itu adalah klinik tempat orang sakit mencurahkan segala keluh kesahnya,
seakan-akan dalam bangunan itu tempat segala usaha mencurahkan harapan
kesembuhan.
Selain itu, yang kucintai ketika hujan adalah ketika
anak-anak berduyun datang, mereka pasti mengikutkan selembar payung, yang
kadang terisi oleh sosok berbadan kecil yang berdesak-desakan. Mereka ingin
meminta segenggam ilmu dan mempersembahkan segala baktinya kepada guru.
Akulah yang mereka anggap guru itu. Malu rasanya. Apalagi
ketika hujan sedang semangat-semangatnya turun, rasa malas beranjak dari
indahnya lamunan dalam jendela begitu menggoda, ingin rasanya selalu asik
bercengkerama dengan hujan. Tapi inilah kewajiban yang harus ditunaikan. Mereka
para siswa CLC SMPT Teruasan 2 yang dengan senang hati menyatu dengan hujan
karena ingin memburu ilmu ditengah perantauan.
Mereka hanya korban, dari orang tua yang ingin merantau
memperbaiki segi ekonomi. Akibatnya pendidikan tak terlalu dipedulikan. Disini
memang ada Humana, semacam LSM Malaysia yang memang fokus pada anak-anak migran
yang mengadu nasib di ladang Sawit. Humana 132 juga berdampingan dengan CLC
SMPT Teruasan 2. Kami berbagi jam, karena memang masalah waktu tak bisa
dipaksakan bersatu. Humana 132 pagi, CLC Terusan 2 mengalah sore hari.
Biar berbeda, kami punya tujuan yang sama, menyelamatkan
pendidikan mereka. Terutama CLC di Sabah ini, yang memang sudah memfasilitasi
mereka untuk kembali ke Indonesia menyambut masa depan yang lebih baik.
Setidaknya lebih baik dari orang tua mereka.
***
Hari itu, memang hujan sedang datang. Anak-anak ladang ini
membubarkan angan untuk meminta ilmu. Mereka seperti pejuang ilmu yang haus
akan peperangan, meski sadar senjata mereka tak selengkap dan secanggih
dikampung halaman. Kalau di Indonesia, segela suasana dan bangunan sangat
terasa perkembangan kemajuannya. Disini, semuanya serba terbatas dan dibatasi.
Tapi mereka tetap kesatria yang tak takut mati menghadapi
kerasnya hidup disini, harapannya mereka akan pulang untuk melanjutkan
pendidikan dikampung halaman. Gurulah yang memikul harapan besar itu. Mereka
dengan setia menjemputku untuk berangkat kesekolah dengan payung, tentu saja
aku tak bisa menolak.
Hujan deras cukup membasahi bajuku, setidaknya samping baju.
Sekolah sebenarnya tak terlalu jauh dari rumah, sekitar 200 meter. Dari rumah
pekerja, hanya sekitar 500 meter. Tapi tetap saja, banyak dari anak-anak yang
sudah tak tertarik menyelesaikan pendidikannya. Jangankan untuk sekolah setiap
hari, untuk mengikuti ujian kesetaraan saja tak bergairah sedikitpun, yang
jelas, bagi mereka pundi-pundi ringgit lebih menarik.
Ah, biarlah. Toh masih banyak yang seperti Ira. Dia gadis
kecil lincah seperti Kancil, yang selalu bersemangat bersama kawan-kawannya
untuk selalu sekolah, meski hujan deras sekalipun. Hari ini, sebelum memulai
pelajaran, Ira terlihat beda. Raut mukanya terlihat tak ceria.
“Ira, kamu kenapa? Terlihat murung.” Aku bertanya,
memastikan dia baik-baik saja.
“Pak, i..ini Pak.” Ucapnya terlihat terbata-bata.
“Iya, nak, kenapa? Bilang saja.”
“Saya mau balik ke Indonesia. Mamaku mengajakku pulang bulan
depan. Bolehkan aku meminta surat pindah sekolah?”
Seperti terdengar halilintar besar, tapi di Sabah hujan
turun dengan ramah, jarang sekali terdengar halilinar. Hati ini tiba-tiba
menjadi basah. Sama seperti baju yang ku kenakan yang basah oleh hujan. Rasa
akan kehilangan dan rasa bahagia begitu seru bertarung didalam. Mereka
memperebutkan piala kemenangan, untuk menentukan keputusanku akan pernyataan
Ira itu.
“Memang kenapa pulang?” Jawabku membalas dengan pertanyaan.
Yang bisa ku pastikan, rasa itu belum ada yang menang. Setidaknya harapan itu
menunggu jawaban kepastian Ira.
Begitulah disini, sekolah seperti tempat imajinasi. Semuanya
serba tak pasti, mereka menganggap sekolah bisa pindah kapanpun, tanpa berdamai
dengan prosedur. Mereka tak mengerti itu, mungkin terlalu rumit bagi mereka
yang hanya mengikuti kemauan rantau orang tua. Misalkan, kalau mereka pindah
besok, ya tinggal pergi, tanpa memikirkan kelanjutan pendidikan. Biasanya
ketika ada ladang yang lebih menggiurkan tawaran gaji, mereka akan angkat kaki
mengikuti setelah mendapat kepastian. Masalah pendidikan anak mereka, itu
nanti.
“Ibuku mau ajak pulang, nanti aku sambung sekolah disana,
itulah aku minta surat pindah Pak, supaya bisa lanjut sekolah di kampung.”
Suaranya pelan, kalah dengan suara hujan yang terjun bebas
dari langit. Namun, sayup sedikit terdengar jawabannya. Aku tersenyum menjawab
pertanyaanya dan kupikir senyumanku seperti senyuman orang jahat.
“Kamu sudah pikir baik-baik? Jangan sampai seperti Aiman,
dia sudah pulang minta surat pindah, satu bulan kemudian dia balik lagi. Dan
datanya sudah dikeluarkan dari sekolah. Tidak semudah itu pindah sekolah Ira.”
“Itulah Pak, aku juga bingung. Aku ingin selesaikan sekolah
disini saja, tapi mamaku bilang harus ikut balik kampung.”
Oke. Aku simpulkan Ira tak mau meladeni keinginan mamanya.
Dia sudah berfikir untuk masa depannya. Memberikan wejangan pada Ira menjadi
solusi ke-galau-an hiruk pikuk suasa hati. Aku berusaha memberikan masukan dan
nasehat untuknya.
“Ini semester berjalan, dan satu bulan lagi mau ujian
kenaikan kelas, nanti sekolah yang kamu daftar di kampung juga pasti
mempertimbangkan itu. Nanti ujungnya sekolahmu tak bisa dilanjutkan. Di kampung
ditolak dan disini sudah dikeluarkan. Bagaimana?” Entahlah. Mungkin jawabanku
jahat, tapi kejahatanku adalah untuk kebaikannya.
Ira nampaknya lebih mantap untuk bimbang. Tak ada kata
terucap. Mungkin kata-kataku terlihat menggoncangkan keyakinannya, “Menunggu
sampai ujian selesai menjadi solusi paling tepat, kalau mau pulang silahkan
setelah itu.”
“Iyalah, Pak. Nanti aku bilang mamaku.”
***
Beberapa hari setelah itu, Ira kembali ceria lagi. Aku
anggap pernyataanku tempo hari membuat mamanya yakin untuk tinggal beberapa
bulan lagi. Setidaknya untuk menunggu kenaikan kelas akhir semester ini.
Disini, tidak hanya satu lokasi tempat mengajar. Selain CLC
SMPT Tersusan 2 sebagai pusat CLC, juga ada Tempat Kegiatan Belajar (TKB)
disekitar. SMPT yang aku kelola mempunyai dua TKB, yaitu Terusan 1 dan Andamy.
Tidak terlalu banyak siswanya memang, tapi setidaknya menampung harapan mereka
yang masih mau mengadu masa depan.
Posisiku sebagai pengelola menjadikan semua harus diurus
sendiri. Kata kawanku, “Dari kepala sekolah, waka sekolah, guru, bahkan jadi
penjaga kantin, atau yang bersih-bersih sekolah dilakukan satu orang.” Begitu
kata kawanku tempo hari. Ya memang benar, dari administrasi hingga birokrasi,
pengelola lah yang mengatur semua. Berat? Jelas. Tapi bukan berarti aku
menyerah. Semua bisa karena dibiasakan.
Hari Kamis dan Jumat, jadwalku untuk ke TKB Terusan 1.
Itulah rutinitas setiap minggunya. Belum lagi ke Andamy setiap Rabu. Untung
saja ada kawan Guru di TKB Andamy, sedikit memperingan beban.
Jadwal memang sudah ditetapkan. Hari ini jadwalnya untuk ke
Terusan 1. Seperti biasa, aku ditemani kawan dari Andamy untuk mengajar di
sana. Cuaca nampaknya murung, menandakana hujan mengintip. “Ah, biar saja.
Kalaupun hujan ku persiapkan jas hujan.” Ucapku dalam hati.
Lumayan jauh untuk menuju ke Terusan 1, butuh waktu 30 menit
perjalanan menuju lokasi. Itu masih tergolong dekat, disini ada kawan yang
untuk sampai ke lokasi mengajar menghabiskan waktu 1 bahkan 2 jam. Itulah
kondisi tempat mengajar disini.
Benar saja, hujan menyambut kedatangan ku. Tapi ku lihat
masih ada panas. Begitulah, memang seperti itu cuaca disini. Aku mulai
terbiasa. Untung saja ada motor dari Pemerintah Indonesia, setidaknya
memperingan beratnya medan jalan. Di dalam sudut blok, tidak akan ada jalan
aspal, yang ada hanya tumpukan jalan krikil dan pasir. Itupun sudah mending.
Belum lagi, ketika hujan yang sering datang seperti akhir-akhir ini. Jalanan
biasanya berhimpun membentuk lubang genangan, yang membuat motor harus bekerja
keras.
Sesampainya di Terusan 1, ada keanehan. Tidak ada anak-anak
yang biasanya menyambut kedatanganku. Tidak ada yang menyalami, memeluk, dan
membawakan buku belajar yang akan digunakan. Sekolah sepi. Tak ada satupun yang
menampakan diri.
“Perasaan, ini bukan hari libur, kenapa mereka tak ada yang
datang satupun.” Kata sekilas yang terlintas dibenakku.
Aku mencari tau. Apa yang terjadi. Tapi tak ada yang lewat
satupun, memang hujan tak mau sepenuhnya meninggalkan Terusan 1, masih ada
gerimis menemani. Aku punya nomor telepon alumnus yang masih tersimpan rapi.
Dia menyanggupi untuk memanggil beberapa anak.
Tidak lama, dikejauhan terlihat mereka berlari. Gerimis kali
ini menjadi pendorong mereka untuk berlari kencang. Ada yang membawa tas kecil
dengan tubuh yang kecil, ada yang membawa payung untuk berlindung dari hujan.
“Kenapa kalian tidak berangkat sekolah?”
Sambil terengah-tengah mereka mangadu, “Pak, sekolah petang
ini mau dibubarkan.”
Sekolah petang biasanya untuk menyebut CLC, dan sekolah pagi
untuk Humana. Aku yang sedang duduk diatas motor langsung meninggalkannya untuk
lebih memperhatikan apa yang disampaikan Mawar, siswa yang baru saja berucap.
Ucapanya langsung saja menambah gemuruh gerimis yang semakin membesar. Pertanda
hujan deras akan turun.
“Ayo, kita masuk kelas dulu. Jangan disini, hujan semakin
besar.” Kami menuju ke kelas, setidaknya aku berusaha menenangkan hati. Meski
perang gejolak ini terus terjadi. Pertanyaan seolah-olah muncul berduyun-duyun.
Ada apa ini. Apa yang terjadi. Mengapa sekolah petang harus dibubarkan.
Mawar dan yang lain duduk, tapi tidak mau didalam kelas.
Mereka memilih diluar kelas. Akhirnya, aku mengalah. Aku dudukan mereka diluar
kelas. Setelah menguasai kondisi, aku tak tahan untuk bertanya,
“Memang kenapa sekolah petang harus dibubarkan?”
“Kemarin, budak laki-laki merusak sekolah, Pak.”
“Merusak apa?”
“Itu Pak Guru, jendela dibelakang kelas, ada bola disana.
Mereka merusak jaring jendela dan mengambil bola didalamnya.”
“Memang untuk apa bola itu diambil?”
“Main di taman depan sekolah Pak. Dia orang sekarang tidak
berani berangkat sekolah.”
“Terus, siapa yang mau membubarkan sekolah petang ini?”
Penasaranku semakin menjadi.
“Tuan Khaerul.”
Nama yang tak asing.
Nama yang dulu pernah diceritakan kawan yang sudah pulang. Kawan ku pernah
dikira sebagai pekerja Sawit, dan menyuruh untuk membersihkan kebun. Bahkan,
nama itu sangat dikenang kawanku hingga saat ini.
Mungkin karena di Terusan 1 ini rumah guru digabungkan
dengan rumah pekerja, jadi tidak ada rumah khusus yang dipersiapkan untuk guru.
Tidak seperti di Terusan 2, yang sudah tersedia rumah khusus untuk para guru,
baik Humana maupun CLC.
Untuk memantapkan persepsiku, aku bertanya, “Siapa Tuan
Khaerul?”
“Itu Pak, Assisten Manager yang gemuk macam gorilla. Seram
betul pak, Galak orangnya.”
“Oh, berarti betul. Dia orang yang diceritakan kawan ku
tempo hari itu.” Itulah kata yang muncul dibenakku. Bayang-bayang dalam angan
muncul, pikiran ini berfikir macam-macam. Tapi secepatnya aku harus mencari
solusi.
“Ya sudah, hari ini cuti dulu ya. Besok kalian tetap
berangkat, hari ini saya mau menemui Tuan Khaerul dirumahnya.”
“Iya pak.”
Kami menunggu hujan reda. Lamunanku semakin kabur, mencari
apa kata-kata yang harus ku ucapkan dirumah Tuan Khaerul nanti. Bagaimana kalau
orangnya benar-benar akan membubarkan sekolah. Atau bagaimana menghadapi orang
yang sudah dinyatakan galak oleh mereka. Aku benar-benar memutar otak untuk
mencari solusi dari maslah ini.
Hingga hujan mulai menghentikan kirimannya. Pertanda, aku
harus segera menuju ke rumah Tuan Khaerul. Rumahnya diatas bukit. Mirip seperti
pola bangunan jaman penjajahan Belanda di Indonesia. Rumah tertinggi itu rumah
penguasa, disusul oleh bangunan-bangunan pejabat rendah. Rumah Manager biasanya
paling tinggi, disusul assisten, sekolah hingga paling rendah bangunan para
pekerja. Hampir semua pola bangunan ladang di Sabah melakukan hal yang sama.
“Assalamualaikum.” Aku mulai mengetuk pintu, setelah
memastikan kalau itu betul-betul rumah Tuan Khaerul.
“Walikum salam.” Terlihat sosok laki-laki tinggi besar,
memang sedikit seram dibalik pintu yang terbuka itu.
“Maaf, Tuan mengganggu, kami Cikgu dari Indonesia.”
“Iya. Ada apa?” Nadanya sudah terdengar tak menyenangkan,
belum lagi sorot matanya yang tajam.
Kami duduk didepan rumah, yang memang ada kursi kecil. Cukup
untuk duduk dua orang. Aku meletakan tas, dan berusaha untuk duduk dengan
senyaman mungkin, menutupi kegugupan yang sedang bergejolak dalam hati. Tapi
aku berusaha menguasai kondisi.
“Tadi anak-anak bercerita kalau sekolah akan dibubarkan.
Benarkan itu Tuan?” Aku mulai membuka pembicaraan itu.
“Itulah, budak-budak kurang ajar. Tidak tahu diri. Sekolah
yang sudah cantik, dibuatnya rosak. Dia orang memang harus diberikan ganjaran.”
Dengan nada tingginya Tuan Khaerul memperlihatkan kegarangannya.
Kami berdiskusi ringan. Aku sebisa mungkin menguasai keadaan
dan mencoba untuk tenang. Tapi nadanya semakin tinggi,
“Untuk apa sekolah petang, disini juga sudah tak ada Cikgu
kan?”
Aku berusaha menjelaskan semaksimal mungkin, tentang sistem
CLC dan bagaimana meminta supaya di Terusan 1 ada guru Indonesia lagi. Namun
rasanya, negosiasi ini bermasalah. Nadanya tak berubah, semakin tinggi dan tak
terkurangi.
“Baiklah, Tuan. Saya besok akan jumpa dengan Manager Terusan
1, kalau memang sekolah petang akan tetap dibubarkan.”:
Sejak kata itu, muka Tuan Khaerul mulai berbeda. “Aih, tak
payah lah jumpa Manager. Sekolah petang akan sama saja dibubarkan.”
“Tidak semudah itu, Tuan. Dulu sekolah ini dibangun dengan
perjanjian antara ladang dan konsul. Mungkin setelah ini saya akan menghubungi
Konsul Kota Kinabalu untuk datang ke Terusan 1.”
Sontak saja, setelah mendengar itu, suasana diam sejenak.
Nada bicara dan raut wajah Tuan Khaerul berubah. Tidak segarang tadi, “Cikgu,
tak payahlah undang Konsul ke sini.”
Aku sudah mengira arah jawaban Tuan Khaerul. Ladang-ladang
di Sabah sangat menghargai Konsul, karena hampir 95 % para pekerja Sawit yang ada di Terusan
berasal dari Indonesia. Apabila berurusan dengan Konsul, maka akan berimbas
pada roda ekonomi sebuah company.
“Cikgu, ajarlah seperti biasa. Asal kasih tahu itu
budak-budak, jangan bikin rosak sekolah lagi.” Kegarangan Tuan Khaerul tak terlihat
dalam ucapannya kali ini.
“Oh, macam itu Tuan. Berarti ini sekolah petang tetap lah
boleh sekolah?”
“Iyalah, Cikgu. Boleh.”
Aku sudah menduga. Ini hanya gertak sambal saja. Mungkin
tujuan Tuan Khaerul untuk membuat kenakalan mereka hilang. Dengan cara
menakut-nakuti inilah, kenakalan mereka bisa dihentikan, mungkin maksud Tuan
Khaerul itu.
Tapi itulah mereka. Anak-anak Terusan 1 memang sudah lama
tak mendapatkan kasih sayang pendidikan. Terutama sejak kawan yang di Terusan 1
sudah pulang, karena memang habis kontrak. Sejak saat itu, aku harus berbagi
waktu dengan tiga lokasi belajar dalam satu minggu. Tidak efektif memang, tapi
kenyataanya seperti itu. Kondisi keras harus dihadapi mereka.
Mungkin itulah akibatnya mereka tak terkontrol. Sebenarnya
hanya butuh belaian kasih sayang pendidikan secara perlahan. Tapi lagi-lagi,
kerasnya kondisi diladang Sawit memang memakan korban, dan merekalah yang
menjadi korbanya.
Masalah kali selesai, tak ada kegaduan lagi. Mereka juga
sudah perlahan berubah. Aku memberikan pengertian, perlahan-lahan agar
kenakalan mereka tak diulang. Hari-hari berikutnya, seperti biasa, aku
mengadakan proses pembelajaran, sebisa dan semaksimal mungkin.
***
Hari-hariku berjalan baik setelah itu. Seluruh TKB
menjalankan kebiasaannya, sesuai dengan kemampuan, aku berusaha semaksimal
mungkin menjalankan tugas rangkap yang bertumpuk-tumpuk ini. Seperti hari ini,
saatnya mengajar di Terusan 2. Kali ini cuaca panas, dan kipas angin dirumah
sudah bekerja keras sejak pagi hari.
Aku tunggu mereka dikelas, tidak lama mereka terlihat
berjalan menanjak untuk menuju ke sekolah. Bangunan khas di Terusan 2 juga
sama, sekolah lebih tinggi. Cukup untuk membuat mereka mengeluarkan keringat
dengan berjalan kaki. Aku menyambut kedatangan mereka. Seperti biasa, mereka
bersalaman mencium tangan dengan berebut. Tapi, dari kumpulan anak, aku tak
melihat Ira.
“Dimana Ira? Dia tidak bersama kalian?”
“Memang Pak Guru belum tau? Ira sudah balik kampung dari
kemarin, Pak.”
Kabar itu seperti pukulan telak diwajahku. Ira pulang tanpa
kabar dan tanpa surat pindah. Dia akhirnya kalah oleh kemauan orang tuanya.
Tanpa kabar tanpa berita, dia pulang meninggalkan sebersit luka. Entah mengapa
rasa haru itu datang lagi. Tapi malu rasanya mengelurkan butiran air dari dalam
mata. Mengapa Ira harus balik kampung, mengapa tak menunggu satu bulan lagi.
Mengapa, dan mengapa?
Bulan ini sungguh ku benci. Hujan juga meninggalkan kesan.
Ketika turun begitu teratur dan membentuk genangan jalan disudut-sudut blok
Sawit, jalan bertabur kerikil yang berlobang genangan, bahkan hingga sungai
yang berubah warna kecoklatan. Terdengar kabar suram. Dalam benakku, “Mengapa
Ira? Dia punya bakat yang kalau diasah menjadi potensi untuknya.” Lagi-lagi,
kerasnya hidup diperantauan memakan korban.
Hari ini memang tak hujan. Tak segelap hari-hari sebelumnya.
Kecerahan matahari jelas nampak tanpa kotoran gumpalan-gumpalan hitam yang
menakutkan. Hari ini sangat panas menyengat. Pelajaran dikelas sudah berbeda
suasana, tanpa Ira dengan keceriaan yang menggema seisi kelas. Jelas rasa
kehilangan ini berimbas pada satu kelas.
Aku melihat sudut tempat duduk Ira, yang biasa dijadikan
langgannanya menjadi tempat untuk belajar. Kursi itu menggambarakan masa lalu
yang tidak akan kembali. Walau demikian, aku ingin Ira meraih masa depan cerah
seperti hari ini. Semoga saja dikampung sana dia melanjutkan sekolahnya. Aku
ingin mengenang hujan yang indah bersamanya di Terusan ini, dibenakku.[]