Tulisan di Muat |
Kondisi Indonesia akhir-akhir ini mengkhawatirkan. Berbagai peristiwa menyiratkan sebagian besar masyarakat sedang terjangkit virus primordialis yang sempit. Kekhawatiran ini dirasakan juga oleh Presiden Joko Widodo. Dalam beberapa pidatonya, beliau sering mengingatkan tentang pentingnya persatuan ditengah kebhinekaan bangsa yang tak bisa dielakan.
Saat ini, ketika memasuki tahun politik, “cobaan” kebhinekaan sepertinya akan muncul lagi. Nampaknya, kita harus berpegang kepada Spirit Pancasila untuk mengantisipasinya. Sehingga semboyan Bhineka Tunggal Ika yang terdapat dalam pijakan lambang burung garuda, menjadi prinsip dalam menjalani kehidupan berbangsa.
Makna dan nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika harus ditanamkan kepada setiap manusia di tanah Indonesia. Semangat kebhinekaan dalam bingkai ke Indonesiaan inilah yang menjadi keabadian integrasi Indonesia. Dilevel inilah fungsi edukasi keluarga hadir, karena dari keluargalah unit pembangun pondasi bangsa yang kokoh dimulai.
Dilingkungan keluargalah, awal tumbuh kembang seorang anak dimulai. Pola hubungan sikap dan perilaku yang dilakukan oleh anggota keluarga, seperti ayah kepada ibu, kakak kepada adik, atau orang tua kepada anak akan mempengaruhi perilaku anak dalam lingkungan sosial masyarakat kedepanya.
Meski sangat vital, tidak banyak keluarga yang menanamkan spirit kebhinekaan dalam setiap interaksi dalam rumah. Banyak unit keluarga yang menerapkan edukasi dengan sistem otoriter tanpa dialog, hal ini akan menjadi pemantik anak tidak mau menerima perbedaan selain “kebenaran” versi dirinya sendiri.
Akibatnya, terjadi pertikaian yang justru dilakukan oleh para pelajar yang notabene masih dikategorikan sebagai anak-anak. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada tahun 2015 menunjukan bahwa anak korban kekerasan sebanyak 127, sementara anak menjadi pelaku kekerasan di sekolah 64. Anak korban tawuran 71, sementara anak menjadi pelaku tawuran 88 anak. Ironis.
Kekerasaan ini menurut Teori Sosial Albert Bandura, diakibatkan karena anak-anak mengamati dan meniru perilaku, sikap dan reaksi dari lingkungan sosial terdekatnya. Kekerasan ini justru timbul karena pola asuh yang dicontohkan kepada orang tua kepada para anaknya. Sikap otoriter dan egois dari orang tua, menyebabkan anak tidak menghargai perbedaaan pendapat orang lain, sehingga jalan penyelesaianya dengan cara kekerasaan.
Disinilah tugas keluarga untuk menyemai nilai-nilai kebhinekaan agar anak dapat menghargai dan menerima suatu perbedaan. Tugas ini diimplementasikan dengan menciptakan interaksi dalam keluarga sebagai proses pendidikan yang berkelanjutan, sehingga kedepan akan lahir generasi penentu yang berintelektual tinggi, berakhlak kuat dan yang terpenting melanjutkan merawat kebhinekaan.
Segala bentuk interaksi antara anggota keluarga yang bisa memantik kekerasaan tidak patut dipertontonkan dengan alasan apapun. Oleh karena itu, menanamkan nilai-nilai kebhinekaan dalam keluarga menjadi solusi dari permasalahan kekerasaan anak yang menjurus pada benih primordialisme ini. Upaya dan cara untuk mewujudkannya adalah, pertama dengan ketauladanan dari kedua tuanya. Ungkapan “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” menjadi keniscayaan yang tak bisa terelakan.
Menurut Abdullah Nashih Ulwan, keteladanan akan berhasil mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual dan etos sosial anak. Berdasarkan penelitian pada ahli psikolgi, 75 % proses belajar anak didapatkan dari penglihatan dan pengamatan, sementara hanya 15 % dengan indera pendengaran dan lainnya.
Jadi apabila kita ingin mengajarkan anak sesuatu, maka mulailah dari ucapan dan perilaku orang tua, karena anak-anak adalah peniru yang sempurna dari orang tua. Mendidikan anak sama halnya dengan mendidik diri kita sendiri.
Kedua, selalu kedepankan komunikasi yang dialogis. Anak sejak dini harus dibiasakan dengan tradisi dialog ketika bertemu sebuah perbedaan. Mereka harus disadarkan, bahwa setiap perbedaan tidak selalu ancaman, dan tidak serta merta selalu berujung pertikaian.
Kekerasan tidak mendapat ruang dalam tradisi dialogis ini. Setiap anak akan memiliki cara pandang yang inklufitas dan menghindari sikap eksklusif. Sehingga ini akan membiasakan anak untuk melihat dengan kaca mata dua kutub yang bertolak belakang. Mereka tidak hanya diajarkan “saya yang benar” dan “kamu yang salah”, namun juga menanamkan sikap “kami bertukar pikiran”.
Menghargai anak sebagai manusia “seutuhnya” akan menjadikan anak berkembang sesuai dengan potensinya. Anak selalu diberi kesempatan untuk mengutarakan kehendaknya dan melibatkan dalam mencari solusi pengambilan keputusan. Tentuya dengan batas koridor yang disepakati.
Ketiga, mengenalkan kekayaan multikulutral. Mengajarkan anak tentang keanekaragaman kultur akan menjadi instrument strategis dalam mengembangkan kesadaran anak terhadap kekayaan bangsaanya. Cara ini bisa dilakukan secara fleksibel dengan tetap mengenalkan prinsip multikultural.
Menurut James Banks, pendidikan multikultural ini sebagai wahayan mengenalkan people of color. Artinya mengeksplorasi perbedaan sebagai sebuah keniscayaan dan anugerah Tuhan, sehingga terbentuk manusia budaya.
Dengan mengajarkan anak pendidikan multikultural akan menjadi pondasi bagi negara demokrasi dalam masyarakat yang plural. Pengetahuan sejak dini inilah yang mengantarkan kepada spirit kebhinekaan untuk menghadapi segala tantangan.
Keempat, menanam budaya toleransi. Spirit kebhinekaan mustahil terajadi kalau anak tidak diperkenalkan toleransi sejak dini. Ajarkan kepada semua anggota keluarga untuk menghargai segala macam perbedaan dengan mengajarkan ilmu agama.
Ajarkan ilmu agama sejak dini untuk jadi bekal yang kuat mengenal Tuhan. Karena orang yang mengenal Tuhan nya dan memahami agamanya tidak mungkin bersikap sentimen dan anarkis terhadap sebuah perbedaan. Dengan budaya toleransi maka akan menjadi vitamin dalam menyikapi kemajemukan ini.
Mulltikulturalisme tanpa toleransi nonsene. Jadi orang tua memiliki peran sentral dan kewajiban berdiri digaris terdepan untuk melawan intoleransi dalam segala bentuknya.
Kelima, ajak anak terjun ke dunia nyata. Mengajak langsung pada realita akan membuat anak merasakan bahwa perbedaan itu indah dan tidak perlu dicemooh atau menentangnya.
Jika anak kita terbiasa hidup mewah, ajaklah sesekali mengunjungi atau bertemu dengan mereka yang kurang mampu untuk belajar berbagi. Atau ketika anak terbiasa dengan lingkungan kesamaan dengannya –suku, ras, fisik, agama-, maka ajaklah mereka berkomunikasi langsung dengan orang-orang yang memiliki perbedaan dengannya.
Keenam, mengawal perkembanga anak. Dalam proses tumbuh kembangnya, orang tua harus selalu sensitif dan responsif. Artinya orang tua harus tahu, kapan waktunya hadir dan kapan waktunya memberikan tanggung jawab kepada anak.
Misalnya, saat usia anak 10 tahun, perkembangan moral yang masih labil harus diawasi. Karena usia sekolah akan banyak konflik dengan temannya. Artinya sebagai orang tua harus mengajarkan bagaimana menyelesaikan konflik dengan tepat. Mereka wajib menyelesaikan dengan cara yang baik tanpa pertengkaran.
Oleh karenanya, memilih sekolah yang tepat menjadi hal krusial. Karena sekolah akan menjadi rumah keduanya. Terutama yang mendukung semangat pemerintah dalam mendidik karakter dan menanam nilai kebhinekaan. Disekolah inilah, peran guru dan lingkungan sekolah menjadi penentu keberhasilan internalisasi kebhinekaan sejak anak memasuki masa sekolah.
Dengan perubahan dunia politik yang tak menentu, dan tantangan global yang terus berkembang, pasti menuntut peran keluarga untuk selalu berkomitmen menjaga dan merawat kebhinekaan dalam setiap elemen keluarga. Dengan enam aspek diatas, minimal, akan mencegah primordialisme sempit, tentunya dengan peran dari semua pihak.
Kita harus belajar untuk saling belajar, dibandingkan anarki saling menghajar. Pelangi indah bukan karena satu warna, tapi karena banyak warna yang berjejer bersama. Oleh karena itu, menanamkan nilai kebhinekaan di dalam keluarga menjadi sebuah kewajiban ditengah kemajemukan bangsa.[]
Tulisan ini dimuat di RMOL.CO bisa dilihat DISINI.