Opini Satelitpos 25/4/18 |
arifsae.com - Kemajuan
suatu bangsa bisa diukur dari kuatnya budaya membaca dan menulis. Mustahil
menjadi bangsa maju tanpa meningkatkan kedua aspek itu. Apalagi, kini
persaingan global menuntut segala elemen masyarakat bertarung meningkatkan
eksistensinya. Dan Indonesia punya modal untuk bertarung dalam era globalisasi
saat ini.
Negara
dengan penduduk 260 juta ini memiliki modal bonus demografi yang tidak dimiliki
kebanyakan negara lain. Bonus ini dimulai sejak 2015 hingga puncaknya pada 2045
nanti. Dependency ratio berkisar 0,4-0,5 yang artinya setap 100 orang usia
produktif akan menanggung 40-50 orang usia tidak produktif.
Modal
yang sudah dimiliki ini bisa kita maksimalkan untuk menjadi negara maju, dengan
catatan, semua elemen warga negara memaksimalkan modal ini. Salah satu syarat
yang harus dimiliki untuk menjadi negara maju adalah kemauan menggebu membaca
buku dan keinginan kuat menuliskannya. Inilah yang dimaksud dengan budaya
literer.
Realitanya,
masih jauh panggang dari api. Nampaknya akar sejarah yang menjadi pemicunya.
Sejak zaman kerajaan, otoritas tertinggi dipegang oleh para mpu-mpu untuk
menuliskan kisah rajanya. Rakyat jelata tak punya hak menulis, sehingga
babad-babad hasil karya mereka sangat kental nilai subjektifitasnya.
Memasuki
zaman kolonial, dunia literer di Indonesia hilang dari peredaran. Sebagian
besar sejarah ditulis oleh orang Belanda (neerlandosentris), bahkan menurut
Prof. Bambang Purwanto, Indonesia sudah gagal menuliskan sejarahnya. Bagaimana
dengan saat ini?
Menurut
data dari Programme Internationale for Student Assesmen (PISA), posisi
Indonesia masih diperingkat 48 dari 56 negara dalam hal minat baca. Seolah
fakta ini membuktikan sebagian besar masyarakat Indonesia lebih suka menonton
daripada menulis. Inilah yang menurut Rohinah M Noor sebagai “Loncatan Budaya”.
Masyarakat
langsung meloncati budaya pra-literer ke budaya pasca-literer, tanpa melewatii
fase literer terlebih dulu. Lebih miris, menurut data dari United Nations
Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), hanya 1 dari 1000
orang Indonesia yang punya minat baca. Orang Indonesia hanya menghabiskan 0-1
buku dalam setahun. Berbeda, misalkan Jepang, yang membaca sekitar 10-15 dalam
jangka satu tahun.
Inilah
yang menurut Taufik Ismail disebut sebagai “Generasi Nol Buku”, yaitu generasi
yang rabun membaca dan pincang menulis. Parahnya, tragedi nol buku ini sudah
terjadi sejak 1950, yang berarti sudah 68 tahun tragedi ini terjadi.
Kurang
perdulinya kita akan pentingnya meretas karakter dengan budaya literer ini menjadi
bom waktu. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan jangka pendek bahkan jangka
panjang. Rendahnya budaya literer inilah yang menyebabkan hoax tumbuh subur
menyasar orang dari segala kalangan.
Menguatkan dan Memajukan
Literasi
atau literer dapat diartikan sebagai sebuah ketrampilan yang memadukan
kemampuan membaca dan ketrampilan menulis. Kemampuan literer ini tidak bisa
diperoleh secara instan sehingga harus dibentuk sejak usia dini.
Pemerintah
sudah merintis budaya literer ini dengan Permendikbud No. 23 tahun 2015 tentang
Penumbuhan Budi Pekerti. Aturan ini mengharuskan warga sekolah membaca buku non
mata pelajaran 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Tidak cukup memang. Aturan
ini seharusnya mengakomodasi tidak hanya membaca, tapi juga disisipi dengan
menulis.
Meskipun begitu, semua pihak harus terlibat menjadi agen of
change, seperti lingkungan keluarga sebagai awal pembentukan, lingkungan
sekolah sebagai penambuh nilai dan ilmu, serta lingkungan sosial dan media
massa sebagai pupuknya.
Salah
satu lingkungan yang sangat berpengaruh adalah lingkungan sekolah. Menurut
Masgayanti (2012) lingkungan sekolah sangat mempengaruhi konsep diri,
ketrampilan sosial, nilai, kematangan penalaran moral, dan pengetahuan tentang
moralitas. Disinilah tempat yang tepat untuk menyemai budaya literer.
Dimulai
dari membaca buku-buku fiksi, misalnya, membaca novel. Novelis Indonesia banyak
yang diakui dunia, seperti novel tertralogi Buru karya Pramudya Ananta Toer.
Novel ini menggambarkan mengenai mentalitas baru insani pribumi yang sedang
mengalami perubahan dan menanti sebuah momentum kebangkinan nasional.
Atau
novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, yang berbicara tentang sebuah
perjuangan hidup mengejar kesuksesan ditengah kehidupan yang serba terbatas.
Novel ini memberikan inspirasi kepada penikmatnya tentang nilai perjuangan
untuk meraih mimpi meski dalam keterbatasan. Itulah salah satu karakter yang
terkandung dalam budaya literer.
Tentunya banyak novel-novel lain yang mampu menumbuhkan
inspirasi dari segala sisi. Budaya literer yang berkarakter tidak hanya
berkenan dengan kemampuan teknis membaca tulisan dan menulis huruf. Seorang
yang terbebas dari tunaaksara tidak dengan sendirinya dianggap sebagai bagian
dari masyarakat yang memiliki budaya literer.
Hanya mereka yang memiliki kemampuan baca-tulis dan
menjadikan aktifitas ini sebagai kebutuhan sehari-hari baru bisa disebut
masyarakat yang berbudaya literer. Budaya literer secara otomatis bisa
membentuk karakter siswa, karena kedua hal ini ibarat dua sisi mata uang yang
tidak bisa dipisahkan. Maka dibutuhkan formula untuk mengatasinya.
Sasisabu
Akhir-akhir
ini banyak gerakan yang diinisiasi oleh para guru dalam menumbuhkan budaya
literer, seperti gerakan ‘Satu Guru Satu Buku (sagusabu). Gerakan ini cukup
berhasil, dorongan ini yang akhirnya memunculkan karya ratusan buku dari
kalangan guru.
Dunia
literasi kita nampak lebih hidup. Bila ide ini diterapkan kepada siswa, maka
bisa dibayangkan dampaknya. Akan lahir jutaan karya yang siap membangun pondasi
masyarakat budaya literer ini. Tidak mudah memang. Banyak faktor yang harus
dilewati dulu sebelum memulai gerakan ‘Satu Siswa Satu Buku’ (sasisabu) ini.
Pertama,
menumbuhkan motivasi. Menurut Sardiman AM (2012) motivasi akan mendorong
manusia untuk berbuat dan menjadi motor penggerak dari setiap kegiatan yang
akan dikerjakan. Dorangan motivasi ini adalah tugas kita semua, terutama selaku
guru yang seharusnya digugu lan ditiru. Memberikan motivasi kepada siswa,
artinya kita harus sudah berkarya. Dengan karya kita, motivasi itu akan tumbuh
subur dalam setiap dada para siswa.
Kedua,
aturan yang mengikat. Disinilah peran pemerintah. Harus ada aturan khusus,
misalnya, yang mengatur tentang budaya literer ini. Aturan mengikat ini memang
diperlukan, karena kita kadang memerlukan paksaan, baru kemudian pembiasaan
yang akhirnya lahir sebuah budaya. Seharusnya norma yuridis saat ini tidak
hanya dorongan membaca saja, tapi harus mengakomodasi semangat menulis.
Ketiga,
hasilkan karya dan baca. Dorong kecintaan menulis, maka akan otomatis
membiasakan mereka cinta membaca. Karena orang yang menulis, akan terdorong
untuk berburu referensi untuk dibaca. Inilah makna dua sisi mata uang tadi.
Verba
Volant, Scripta Manent, yang diucapkan akan hilang bersama angin, tapi yang
tertulis akan abadi. Itulah pepatah Yunani yang mendorong kita untuk melahirkan
masyarakat berbudaya literer. Gerakan ini dimulai dari diri sendiri, dari
tulisan dan bacaan yang sederhana, kemudian baru ditularkan kepada lingkungan
kita. Semoga kita sebagai sebuah bangsa mampu menjadi negara maju yang
berperadaban tinggi.[]
Tulisa ini dimuat di Satelitpos tanggal 25 April 2018, lihat DISINI.