Jurnal Arefak |
Konstelasi politik dunia yang terjadi pada pada era
tahun 1960-an memang tidak bisa dilepaskan dengan persaingan antara dua
blok adidaya. Blok Barat representasi Amerika Serikat (AS) dengan Liberal Kapitalis-nya dan Blok Timur
dengan Uni Soviet (US) sebagai komandan Sosialis
Komunis. Perang Dingin atau Cold War, istilah yang sering kita dengar ini menggambarkan rivalitas dua negara
adidaya yang getol “menjual”
ideologinya ke wilayah-wilayah negara lain didunia.[1]
Kondisi ini,
membuat negara-negara diseluruh dunia dirundung kekhawatiran jika Perang Dingin ini pecah
menjadi Perang Panas. Perebutan
supremasi antar dua negara adidaya ini terasa hingga beberapa kawasan Asia
Tenggara, termasuk Indonesia.
Sejalan dengan hal tersebut, kondisi di Indonesia pada
tahun itu menunjukan adanya perjuangan dalam usaha merebut Irian Barat dari
Belanda. Puncaknya pada tanggal 1 Oktober 1962 pihak Belanda menyerahkan Irian Barat kepada
pemerintahan sementara PBB, yang kemudian akan menyerahkannya kepada pihak
Indonesia pada 1 Mei 1963. Penyelesaian masalah Irian Barat ini tidak bisa
dilepaskan dari peran AS. AS sangat khawatir jika Indonesia akan benar-benar
jatuh ke dalam pengaruh US
(komunis-red). Kecenderungan pengaruh Komunis ini memang sudah terlihat dari berbagai
slogan ideologi dan langkah politik Presiden Soekarno, seperti slogan Nasakom
(Nasionalis, Agama dan Komunis) serta disempurnakan menjadi Manipol-USDEK (Manifesto
Politik atas UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi
Terpimpin).[2]
Ketika masalah Irian Barat mendapatkan titik terang,
di sisi lain, masalah luar negeri yang lain muncul. Permasalahan ini bermula
dari rencana pembentukan Federasi Malaysia. Pembentukan Federasi Malaysia ini
didasari dari persamaan masalah yang dialami dari negara Malaya, Singapura, dan
Inggris. Malaya cemas dengan penduduk Tionghoa dan implikasinya terhadap rasial
dari penggabungan dengan Singapura, pihak Singapura menginginkan sebuah
kemerdekaan yang penuh, serta pihak Inggris menginginkan solusi terhadap masa
depan wilayah-wilayah jajahannya di Pulau Kalimantan, seperti Sabah, Brunei dan
Sarawak.[3]
Persepsi Presiden Soekarno terhadap pembentukan
Federasi Malaysia ini lain, menurutnya, pembentukan
ini merupakan rekayasa dari Blok Barat untuk menancapkan kekuasaannya di kawasan
Asia, khusunya Asia Tenggara. Pembentukan Federasi Malaysia ini akan mengepung
Indonesia dengan
kekuatan neo-kolonialisme dan neo-imperialis.[4] Hubungan
Indonesia dengan Malaysia selanjutnya berjalan panas. Presiden Soekarno menganggap
Malaysia tidak sepunuhnya sudah merdeka atau hanya pura-pura merdeka karena
tidak pernah merasakan namanya pahit-getir sebuah revolusi fisik yang pernah
dialami Indonesia. Daniel Dhakidae, bahkan
menyebut bahwa Malaysia dalam
memperoleh kemerdekaannya diberikan karena merdeka
hadiah, berbeda dengan Indonesia yang merdeka
darah.[5]
Berbagai usaha diplomasi dilakukan
untuk menyelesaikan ketegangan antara dua negara tetangga ini. Salah satunya, pertemuan
antara Presiden Soekarno dan PM Malaya, Tengku Abdul Rachman yang dilakukan di
Tokyo pada tanggal 1 Juni 1963. Hasil dari pertemuan ini sedikit meredakan ketegangan
dua negara. Namun, ketika proses perundingan yang hampir mencapai titik temu,
PM Tengku Abdul Rachman menandatangai dokumen persetujuan dengan Inggris di
London mengenai deklarasi Negara Federasi Malaysia yang akan dilaksanakan pada
tanggal 31 Agustus 1963. Realitas yang ada menunjukkan bahwa penandatanganan
ini merupakan sebuah penghinaan besar bagi kedaulatan Indonesia, seperti yang
dikatakan Presiden Soekarno.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Soekano
kembali menghidupkan semangat revolusi Indonesia
Raya, dengan menyatakan negara baru itu merupakan boneka nekolim, (neo-kolonialimse
dan neo-imperialisme). Langkah berikutnya adalah membangkitkan semangat konfrontasi. Istilah ini pertama kali
diungkapkan oleh Soebandrio pada Januari 1963 setelah pasukan Malaya dan
Inggris menghancurkan pembrontakan di Kasultanan Brunei, Kalimantan Utara.[6]
Kemudian setelah itu, muncul sebuah slogan baru untuk memanaskan semangat konfrontasi itu, yaitu Ganyang Malaysia.
Realisasi dari fenomena tersebut ditunjukkan dalam bentuk
demonstrasi yang
dilakukan
setiap
minggu untuk membangkitkan semangat anti-Inggris dengan slogan Ganyang Malaysia. Langkah selanjutnya, bisnis-bisnis Inggris dan
bisnis ekonomi Persemakmuran lainnya diambil alih selama tahun 1964-1965.[7] Pemerintah
Indonesia juga
menggabungkan strategi politik konfrontasi dengan diplomasi. Taktik yang sama dilakukan ketika
Presiden Soekarno mengambil alih Irian Barat. Menurut Frederick P. Bunnel
kebijakan politik ini dilukiskan sebagai confrontation diplomacy, suatu
campuran manuver yang bersifat berani, cerdik dan tidak dapat diduga.[8]
Untuk mendukung kebijakan Ganyang Malaysia ini, dilancarkan berbagai konfrontasi oleh ABRI
(Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan sukarelawan serta sebagian dari
masyarakat luas berdasarkan seruan Dwi
Komando Rakyat (Dwikora). Dwikora
menyeru untuk
meningkatkan dan
mempertinggi ketahanan Revolusi Indonesia serta
membantu perjuangan rakyat Kalimantan Utara.[9]
Salah satu sukarelawan dari kalangan Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL) yang berkontribusi dalam Operasi Dwikora itu adalah Janatin
alias Usman bin Haji Muhammad Ali, atau lebih familiar dengan nama Usman
Janatin.
Usman Janatin terlahir di Kabupaten Purbalingga, sebuah
Kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten
yang memiliki luas 77.764 hektare ini memiliki pahlawan-pahlawan terbaik bangsa
dari kalangan militer, salah satunya Panglima Besar Jenderal Soedirman, tokoh
yang pernah menjadi sentral militer pada awal kemerdekaan. Maka tidak heran,
kabupaten ini mendapat julukan Kota
Perwira. Sebuah julukan untuk menghormati perwira-perwira yang sudah membela
martabat bangsa.
Selain Panglima Besar Jenderal Soedirman, Purbalingga
juga mempunyai putera terbaik dari kalangan “perwira” lainnya, yaitu tokoh
yang menjadi topik dalam penulisan ini, Usman Janatin. Berdasarkan semangat Dwikora, Usman
Janatin dan rekan-rekannya mendapatkan tugas untuk melakukan penyusupan ke
Singapura. Dalam tugas ini, Usman Janatin sebagai pimpinan atas rekan-rekannya,
Harun bin Haji Mahdar dan Gani bin Aroep. Surat tugas yang bernomor SP. KKO No.
05/Sp/KKO/64 dan Spd KOTI No. 288/KOTI/8/64, tertanggal 27 Agustus 1964 ini
sebagai dasar mereka untuk melakukan sabotase dibeberapa tempat di Singapura.[10]
Tokoh yang patut mendapat julukan patriot bangsa ini
mau menjadi sukarelawan meski nyawa taruhannya. Sikap patriot ini merupakan
semangat cinta tanah air atau sikap seseorang yang rela, baik mengorbankan jiwa
maupun raganya untuk negara. Sikap rela berkorban ini dimaksudkan untuk membela
bangsa dan negara dari berbagai gangguan, baik itu dari dalam negeri maupun
luar negeri. Sikap patriotisme ini juga melekat pada sikap nasionalisme.[11]
Artinya, ketika seseorang sudah memiliki sikap nasionalisme maka secara
otomatis akan memiliki sikap patriotisme. Itulah definisi patriot bangsa yang
dimiliki oleh Usman Janatin dalam penelitian ini.
Untuk melihat dan mendownload Jurnal Ilmiahnya, silahkan kunjungi DISINI.
[1] Tanto
Sukardi, Perang
Dingin: Episode Sejarah Barat dalam Perspektif Konflik Ideologi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 2-3.
[2]M.C Ricklefs, A History of
Modern Indonesia Since c.1200 Third Edition (London:
Palgrave Macmillian, 2001), hlm. 411-412.
[3]Shukri
Shuib, et al. “The Implications of
Cold War on Malaysia State Building Process”. Jurnal Asian Culture and History, Vol 1, No. 2, July 2009, hlm.
89-98.
[4]Roso
Daras. Total Bung Karno, Serpihan Sejarah
yang Tercecer (cetakan ke-empat). (Depok:
Penerbit Imania, 2013), hlm. 153.
[5]Daniel
Dhakidae. “Hubungan Cinta-Benci antara Indonesia
dan Malaysia”. Majalah Prisma Vol. 28,
No. 2, September 2009, hlm. 50-53.
[6]Robert
Cribb dan Audrey Kahin, Historical
Dictionary of Indonesia. (Toronto:
The Scarecrow Press, Inc. 2004), hlm.
248.
[7]Adrian
Vickers,A History of Modern Indonesia.
(New York. Cambridge
University Press, 2005), hlm.
228-229.
[8]
Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di
Indonesia 1945-1966 (certakan ke-tiga). Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2005), hlm. 156.
[9]Steven
Farram, “Ganyang! Indonesian Populer Songs from the Confrontation Era,
1963-1966”. Jurnal Bijdragen Tot De
Tall-, land- En Volkenkunde 170 (2014) 1-24. hlm 8.
[10]
Herman Mujirun,Sekilas
Kenangan 2 (dua) Pahlawan Serda KKO Usman Bin H. Ali dan Kopral KKO Harun Bin
Said. (Jakarta:
Yayasan Sosial Usman-Harun, 1974),
hlm. 1.
[11]Ibid,.