Oleh:
Prof. Dr. Sugeng Priyadi,
M.Hum.
Guru Besar Sejarah Universitas
Muhammadiyah Purwokerto
Penulisan biografi sudah marak dilakukan di
Indonesia sejak dekade 1950-an sebagai booming untuk mengenalkan tokoh-tokoh
pahlawan (Priyadi, 2015: 97). Biografi sebagai sumber sejarah berada pada
posisi kedua atau sumber sekunder karena tidak ditulis sendiri oleh pelaku atau
penyaksi sejarah. Namun, jika hasil wawancara langsung dengan pelaku atau
penyaksi itu dituliskan oleh tim editor, maka karya itu disebut autobiografi
sebagaimana pada contoh autobigrafi Soekarno dan Soeharto dengan masing-masing
berjudul Bung Karno Penyambung Lidah
Rakjat Indonesia (Adams, 1966 & 2014) dan Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (Dwipayana &
Ramadhan KH., 1989). Mereka sebagai presiden tidak mempunyai waktu untuk
menulis sendiri kesaksiannya. Autobiografi berada pada tataran sumber primer
dalam bahan-bahan dokumenter.
Dalam historiografi modern, biografi adalah karya
sejarah karena di dalamnya selain ada fakta sejarah dan interpretasi dari penulisnya,
baik sejarawan peneliti maupun sejarawan penulis. Biografi pada masa lampau
biasanya ditulis oleh para wartawan dari media massa, sedangkan pada masa kini
sejarawan muda mulai tertarik untuk menulis biografi. Ada kecenderungan bahwa
penulisan biografi sering menggiring para penulisnya untuk menuliskan
karya-karya yang mirip dengan pujasastra terhadap para pelaku sejarah. Sebagai
perhatian utama, para pelaku dan penyaksi lebih banyak ditulis sisi-sisi
positifnya daripada sisi-sisi negatif. Kecenderungan ini telah mendudukkan
biografi sebagai karya yang tidak kritis dan kurang mendapat perhatian para
sejarawan untuk menulisnya, bahkan menghindarkan diri untuk terlibat. Justru
kurangnya keterlibatan sejararawan, maka biografi sering dianggap bukan sebagai
karya sejarah, tetapi karya jurnalistik yang dipandang sebagai karya sejarah
populer atau sejarah naratif sehingga masyarakat awam sulit untuk membedakan
antara karya sejarah dan karya sastra.
Unsur pujasastra dalam biografi adalah keniscayaan
sehingga banyak tokoh pelaku dan penyaksi tidak mau dibuatkan biografi.
Pujasastra sebagai fenomena narasi masa lampau sudah dicontohkan oleh Prapanca
dalam karyanya Negarakrtagama atau Kakawin Deçawarnnana. Narasi pujasastra
tampaknya tidak disukai oleh para sejarawan karena malu dinilai sebagai orang
yang mencari muka kepada para
penguasa. Keengganan para sejarawan sebagai penulis dan tokoh yang merasa belum
pantas dituliskan riwayat hidupnya menjadikan karya biografi tidak pernah
diperhitungkan.
Biografi yang akan diterbitkan ini menyangkut tokoh
yang diangkat sebagai pahlawan nasional yang digantung pada usia muda, yaitu 25
tahun (1943-1968). Jelas namanya di dalam penulisan sejarah, baik sejarah
nasional maupun sejarah lokal agak kurang bergaung. Usman Janatin atau Janatin
adalah produk pejuang dari masa-masa akhir kekuasaan Presiden Soekarno dengan
kebijakan Ganyang Malaysia-nya. Peristiwa penggantungan Usman dan Harun memang
kalah pamor dengan peristiwa yang di satu sisi disebut G 30 S/PKI atau di sisi
lain disebut Gestok. Peristiwa 1965 telah menyedot perhatian dan energi para
sejarawan Indonesia hingga sekarang.
Kalah pamor atau menang pamor dalam penulisan
sejarah, khususnya biografi tidaklah penting karena sejarah memang sering hanya
dilihat dari sudut tertentu sehingga ada yang menyatakan sebuah peristiwa itu
biasa-biasa saja, penting, sangat penting, dan amat sangat penting, atau bahkan
sangat tidak penting. Penulisan biografi Usman Janati yang ditulis oleh
sejarawan lokal, terlebih-lebih sejarawan pengajar perlu diapresiasi sebagai
salah satu karya sejarah lokal di satu sisi dan akan memberikan sumbangan bagi
penulisan sejarah nasional di kemudian hari. Usman sebagai pemuda lokal mungkin
juga agak sedikit terlupakan oleh orang-orang lokal. Orang-orang lokal hanya
mengenal secara samar-samar karena dokumen yang terbatas sehingga sebenarnya
sumber sejarah lisan menjadi penting karena peristiwa yang menyangkut Usman
adalah sejarah kontemporer.
Artinya, para saksi mata masih banyak yang hidup,
baik keluarga maupun teman-teman sepermainan dan sekolah bisa diwawancarai
secara individual maupun simultan. Anak peserta didik bisa diterjunkan ke
lapangan untuk melakukan riset kecil-kecilan dengan pelatihan sebagai calon
sejarawan yang memanfaatkan sumber sejarah lisan. Di masa kini, ketika
dokumen-dokumen belum dibuat, maka sumber sejarah lisan menempati posisi
penting dengan wawancara yang menghasilkan produk audio (suara) dan audiovisual
(suara dan gambar video) yang tersimpan dalam bentuk digital. Selanjutnya, bagi
anak peserta didik, biografi pahlawan nasional bisa dimanfaatkan sebagai materi
pembelajaran sejarah lokal yang mengintegrasi ke pembelajaran sejarah nasional.
Penulisan biografi Usman Janati bagi masyarakat
Purbalingga akan memacu dan menginspirasi masyarakat masa kini untuk mengangkat
tokoh-tokoh lokal Purbalingga agar lebih dikenal oleh masyarakatnya sendiri
karena fenomena masyarakat lebih mengenal sejarah bangsa lain sering tampak,
misalnya, peserta didik kadang lebih tahu dan paham sejarah Cina, Mesopotamia,
Mesir, Yunani, atau Romawi daripada sejarah lokal sendiri. Contohnya, dapat
dipastikan peserta didik tidak tahu sama sekali sejarah desa di mana ia
bertempat tinggal karena sejarah desa belum dirintis penulisannya di Indonesia.
Sejarah desa adalah ladang bagi peserta didik, guru sejarah, dan sejarawan
lokal untuk menyambangi, mengakrabi, menggauli, dan selanjutnya menulis sejarah
desanya masing-masing sehingga penduduk Purbalingga tidak buta terhadap
sejarahnya sendiri, termasuk mengangkat tokoh-tokoh lokal atau desa yang telah
berperan pada masa lampau.
Daftar Pustaka
Adams, Cindy.
1966. Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat
Indonesia. Alih bahasa Major Abdul Bar Salim. Djakarta: Gunung Agung.
Adams, Cindy. 2014. Bung
Karno Penyambung
Lidah Rakyat
Indonesia. Alih bahasa Syamsu
Hadi. Jakarta: Yayasan Bung Karno
& Media Pressindo.
Dwipayana,
G. & Ramadhan K.H. 1989. Soeharto:
Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada.