Taman di Sabah, Dok. Pribadi |
arifsae.com, cerpen - Aku senang bisa bergabung dilingkungan sekolah CLC Kuari 3
Gum Gum, Sandakan, Sabah. Aku bergabung dengan CLC ini dari awal bulan agustus
2017. Sekolah ini baru didirikan tahun 2016 dan diresmikan menjadi CLC pada
bulan Mei tahun 2017 oleh Konjen Kota Kinabalu. Kata Pengelola, bangunan CLC
itu merupakan bangunan bekas kandang bebek. Karena usahanyalah, akhrnya kandang
Bebek ini disulap menjadi sekolah.
Banyak pengalaman baru di minggu pertama saat bergabung
dengan sekolah ini. Diantaranya adalah kegiatan mempromosikan CLC di
ladang-ladang sawit terdekat. Meski sudah satu tahun beroperasi, tapi masih
banyak warga migran asal Indonesia tidak tahu ada sekolah berkurikulum
Indonesia di Sabah terutama di distrik Sandakan. Migran asal Indonesia yang
tinggal di kawasan dekat sekolah umumnya bekerja sebagai penjaga ladang sawit
persendirian (perorangan). Satu keluarga biasanya menjaga kebun sawit yang
luasnya rata-rata 20-50 ekar. Cukup luas untuk dikerjakan hanya oleh satu
pasang suami istri.
Melihat satu rumah yang ada di tengah luasnya ladang sawit
itu tidak mudah. Jadi untuk mengefektifkan pencarian, kami pun mengumpulkan
informasi dari beberapa wali murid yang mengenal dan tahu jalan menuju rumah
migran Indonesia yang tinggal di daerah sekitar CLC. Kami menemukan beberapa
keluarga yang memiliki anak usia sekolah dan layaknya seorang “sales” kami pun
mempromosikan CLC. Saat mempromosikan CLC, Ibu pengelola selalu bercerita kalau
bebeknya sekarang berubah menjadi manusia. Aku tahu itu hanya candaan untuk
mencairkan suasana.
Disaat perkenalan kerumah-rumah, aku selalu mendengar ibu
pengelola memperkenalkanku dengan sebutan, “Guru yang sengaja dikirim Pak
Jokowi untuk mengajar anak-anak Indonesia disini”.
Saya hanya tersenyum mendengarnya. Ada juga yang tertawa ketika
mendengarnya. Suasana yang cair, dengan penyampaian yang sopan cukup membuka
hati dari bapak-ibu pemilik rumah. Alhasil, dari perjalanan hari itu kami
berhasil memperoleh 11 orang murid baru. Selain itu, aku pribadi jadi banyak
tahu informasi mengenai migran. Mulai dari banyaknya warga migran Indonesia di
Sabah yang tidak memiliki dokumen, bagaimana mereka bisa masuk negara lain
tanpa paspor, pengetahuan mereka tentang perwakilan Indonesia diluar negeri
(KJRI), hubungan dengan majikan, dan
kesadaran pendidikan untuk masa depan anak-anaknya.
Dari semua itu, yang membuatku merasa lega adalah, semangat
mereka untuk menyekolahkan anak-anaknya. Aku pikir sedikit demi sedikit akan
terkikis permasalahan migran seiring pengetahuan mereka bertambah, tentunya melalui
adanya CLC ini. Dalam perjalanan-perjalanan promosi selanjutnya aku mulai
belajar bahasa Sabah dan sedikit demi sedikit ikut bicara. Dari beberapa kosa
kata yang aku pelajari dan sering ku pakai saat belajar Matematika adalah kata
“ngam’ yang berarti pas atau cocok, ada juga “jom” yang berarti ayo, dan kata
khas dari orang Sabah, yaitu “bah”, artinya kurang lebih oke.
Bahasa Sabah memang sedikit berbeda, tapi memang hampir sama
dengan bahasa Indonesia, bagaimanapun mereka menggunakan bahasa Melayu. Bahasa
yang hampir mirip dengan bahasa Indonesia. Tidak jarang juga bahasanya aneh,
bahkan terdengar menggelikan. Salah satu bahasa baru yang aku peroleh adalah
“Om”. Menurut anak-anak, sebagian besar murid-murid di CLC Kuari 3 Gum Gum
merupakan bangsa Om.
Di Sabah bangsa Om adalah bangsa keturunan orang Timur. Aku
baru tahu ketika suatu hari guru lain memanggil anak keturunan Timur “Om”. Aneh
juga, karena sepengetahuanku Om adalah adik laki-laki dari Ayah atau Ibu kita.
Awalnya aku terkejut dengan kata-kata kawan guru, “Laki-laki
ataupun perempuan yang lahir dari bapak atau mamak orang Timur, maka dia
seorang Om”. Aku yang masih baru, belum percaya dengan perkataan kawan guru
itu. Sampai ada satu cerita mengenai seorang perempuan yang benar-benar mengaku
sebagai Om.
Suatu hari muridku
yang bernama Windi sedang bertugas menyapu kantor guru, kemudian aku meminta
tolong padanya untuk menggeser lemari kecil, “Windi, bisa tidak bantu ibu geser
lemari ini?”.
Windi menjawab dengan yakin, “Bisa, Bu”.
“Kuat?” Aku tanya lagi.
“Kuat Bu, aku kan Om”, Jawabnya dengan senyum.
Aku pun tersenyum melihat semangatnya, terlebih dengan
jawabanya yang menggunakan kata Om. Kemudian aku jelaskan bahwa menurut bahasa
Indonesia Om berarti adik laki-laki dari Ayah atau Ibu. Dia nampaknya tidak
paham, hanya garuk-garuk kepalanya sambil tersenyum kecil.
Bukan hanya disitu, kata Om muncul lagi saat aku akan
melakukan Jum’at bersih. Aku merencanakan untuk membuat parit ditepi kelas,
karena setiap hujan selalu banjir, tidak ada saluran air. Saat di kelas aku
mengajak anak laki-laki untuk keluar mengambil peralatan semacam cangkul dan
sekop. Saat akan memulai kerja, tiba-tiba salah seorang guru menyuruh semua
anak laki-laki kelas 5 membantunya membuat dinding kelas 3 dan 4.
Dengan suara layaknya seorang komandan ketua kelas langsung
menyuruh anak perempuan menggantikan mereka, “Hey, Om-Om. Bantu Ibu buat parit
dulu”. Perempuan-perempuan yang sedang menanam bunga itu langsung berdiri dan
mengambil alih pekerjaan anak laki-laki.
Aku hanya termangu
melihat mereka. Sekali lagi aku bertanya memastikan, “Kenapa kalian dipanggil
Om? kalian kan perempuan?”.
Mereka jawab, “Iya lah Ibu, kami memang Om”.
“Kenapa bisa begitu?” Aku pura-pura tidak tahu.
“Iya bu, ibu liat kami syak (saja) rambut keriting, kulit
hitam, kan? Itu lah itu, dorang (mereka) sebut kami Om”. Aku terangguk-angguk
sambil tersenyum mendengar alasan mereka.
Suatu kali teman guru bercerita tentang Om yang melahirkan
sendiri. Aku pun terperanjat saat mendengar ada Om yang bisa melahirkan. Saat
itu aku masih benar-benar belum bisa menerima perempuan bangsa Timur juga
disebut Om. Jadi sering aku lupa kalau sebutan Om juga berlaku untuk perempuan.
Pikiranku sudah yang melayang-layang, transgender lah, berubah kelamin, apa
lah, lain-lain. Ujung cerita guru tersebut menyebut Om tersebut makcik (bibi),
barulah teringat kalau Om versi Sabah itu berbeda dengan Om dalam bahasa
Indonesia.
Di Sabah, bangsa Om terkenal kuat kerja dan tahu kerja
(telaten dalam bekerja). Tidak heran para Tokek (majikan) senang memiliki
pekerja bangsa Om walaupun mereka tidak punya dokumen atau paspor. Bahkan
sampai ada yang dibuatkan paspor supaya tidak pindah kerja.
***
Selain pengalaman diladang, pengalaman lainnya juga aku
dapatkan ketika terjadi kompetisi antara siswa CLC setingkat SD se-Sabah.
Setiap tahun, Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) mengadakan
kompetisi-kompetisi antar CLC se Sabah. Salah satunya kompetisi yang diadakan
di bulan Agustus yaitu KS2O (Kompetisi Sains, Seni dan Olahraga). Diadakan
sebagai ajang unjuk kemampuan anak-anak CLC SD. Bidang yang dilombakan, Sains
yaitu IPA dan Matematika, Seni yang mencakup seni lukis dan menyanyi, dan
pidato.
Agustus 2017 untuk pertama kalinya CLC Kuari 3 Gum Gum ikut
andil dalam kompetisi tersebut. Baru seminggu bertugas di CLC Kuari 3 Gum Gum
aku langsung mendapatkan kesempatan untuk mendampingi anak-anak mengikuti lomba
KS2O di SIKK. Perjalanan ini juga merupakan perjalanan pertama anak-anak keluar
dari distrik Sandakan. Pengalaman pertama juga buatku ke SIKK, sekolah induk
CLC-CLC yang ada di Sabah ini.
Seperti yang sudah di ceritakan sebelumnya bahwa di Sabah
banyak juga migran asal Indonesia yang tidak memiliki dokumen, sehingga
berimbas kepada anak-anak mereka. Ada juga yang memiliki dokumen/pasport tetapi
anak-anak mereka belum bisa memilikinya karena aturan pembuatan paspor seperti
masalah penjaminan ataupun tidak adanya dokumen kelahiran.
Jadi kelima anak yang mewakili CLC Kuari 3 Gum Gum adalah
anak-anak yang tidak memiliki paspor. Oleh karena itu mereka hampir tidak
pernah keluar ladang. Keluar pun hanya untuk ke Gereja, membeli perlengkapan
sekolah, atau sekedar ikut ibunya ke pasar terdekat. Tentunya dengan hati yang
selalu waspada, takut ketahuan polisi Diraja Malaysia yang kerap kali melakukan
checking di area dekat Bandar/Kota.
Lain cerita saat mereka pergi ke Kota Kinabalu, mereka tidak
harus sembunyi saat bertemu dengan polisi di perjalanan. Ada surat jalan yang
dikeluarkan oleh Sekolah Indonesia Kota Kinabalu yang bercap KJRI KK. Dalam
surat tersebut diterangkan bahwa lima orang itu adalah seorang murid CLC yang
akan mengikuti lomba di SIKK. Tembusan surat tersebut juga sangat banyak,
termasuk polisi Diraja Malaysia. Jadi semua aman selama perjalanan menuju ke
SIKK.
Dalam perjalan tersebut anak-anak tidak bisa diam, saking
senangnya. Ada yang membaca tulisan rambu-rambu, ada yang sibuk melihat jendela
kanan kiri mobil. Walaupun sebetulnya sepanjang perjalanan yang tampak di kanan
dan kiri jalan juga sama di ladang persawitan. Menurutku sedikit membosankan,
tapi entahlah anak-anak selalu punya fantasi berbeda-beda. Satu ketika ada anak
yang melihat gunung, kemudian dia bertanya,
“Ibu, ini gunung apa?”
“Gunung Kinabalu, nak.”
“Besarnya Gunung Kinabalu. Bu, Kenapa aku nampak di buku
kecil?” Seketika semua yang ada di dalam mobil tertawa.
“Iya lah, itu kan gambar dalam buku, coba kau gambar dengan
kau punya henset (HP).” Kata anak yang lain.
Aku hanya senyum melihat tingkah laku mereka. Saat di kota
Ranau, kami menyempatkan mampir ke obyek wisata air panas yaitu Poring,
letaknya di kaki gunung Kinabalu. Dari kota Ranau, Poring ditempuh dalam waktu
sekitar 20 menit. Ini juga pertama kalinya anak-anak melihat air terjun dan air
panas alami.
Saat melihat kolam air panas, anak-anak langsung membuka
sepatu mereka dan langsung mecelupkan kakinya dikolam tersebut. Ditengah
takjubnya mereka merasakan air panas, tiba-tiba ada yang bertanya,
“Bu, siapa yang masak air panas ni? Pasti penat.”
“Hmmm, air ini ndak di masak, nak.”
“Macam mana boleh panas begini, bu?”
“Tuhan yang ciptakan, kan bu?”, Sela anak yang lain.
Beruntung guru yang lain menjawab pertanyaan itu dengan
sabar. Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Perjalanan di Poring kami lanjutkan
menuju air terjun. Lagi-lagi anak yang sama bertanya,
“Ibu, siapa yang kasih turun ni air? Dari mana air ni, Bu?
Banyaknya air.”
Mereka takjub dengan keindahan dan kesegaran airnya. Untuk
pertama kalinya mereka menyentuh air terjun dari gunung Kinabalu.
“Wah, sejuknya.” Seorang bereaksi setelah merendamkan
kakinya di aliran air. Baru saat itu mereka merasakan kesegaran air dari
gunung. Di ladang sawit sekitar Sandakan, air bersih sulit didapatkan. Mereka
yang tinggal diladang kebanyakan menampung air hujan untuk kebutuhan
sehari-hari, mandi, cuci, masak dan minum.
Teringat dengan pertanyaan yang belum sempat ku jawab, aku
menghampiri anak yang bertanya. Kemudian aku jelaskan mengapa ada banyak air di
gunung, sampai menjadi air terjun. Entah jawabanku memuaskan rasa ingin tahunya
atau tidak. Saat itu aku merasa ada banyak hal yang harus aku pelajari, karena
anak-anak seringkali menanyakan hal yang tidak terduga. Perjalanan kala itu
berujung dengan bahagia hingga sampai ke SIKK dengan selamat.
Hari berikutnya mereka berlomba menunjukkan kemampuan yang
selama ini tidak ditunjukkan kepada siapapun. Untuk pertama kalinya mereka
menunjukkan bakat yang mereka miliki didepan dewan juri perlombaan. CLC Kuari 3
Gum Gum yang baru pertama kali mengikuti perlombaan tidak menargetkan juara,
Sekolah hanya mau menunjukkan bakat anak-anak didikannya. Hal ini juga
menjadikan anak-anak merasa tidak terbebani. Alhasil, ada seorang anak yang
berhasil menempati juara ke-3 Matematika.
Hari itu, mereka pertama kali memegang piala. Penuh haru,
Pengelola dan Guru memberikan selamat kepada semua anak-anak yang dengan berani
menampilkan bakat terbaiknya. Sungguh tidak terduga, anak-anak CLC Kuari 3 Gum
Gum mampu mendapatkan juara 3. Aku bangga sekaligus haru dengan mereka, ini
akan menjadi penyemangat mereka untuk kedepannya.
***
Meskipun banyak bakat yang tersembunyi di Gum-Gum. Banyak anak-anak
yang tidak tersentuh pendidikan, akhirnya pergaulan mereka tidak bisa
terkontrol, banyak hal negatif yang aku dengar dari kisah disini. Salah satunya
adalah isap batu. Apa yang ada di benak saat pertama kali mendengar kata isap
batu?
Aku sendiri membayangkan kegiatan menghisap batu itu semacam
cara menyembuhkan penyakit. Tapi 180 derajat terbalik. Ungkapan isap batu di
Sabah berarti menggunakan narkoba atau dadah dalam bahasa Sabah.
Pertama kali aku mendengar ungkapan ini dari anak murid.
Pada suatu siang yang panas, di jam istirahat sengaja aku duduk di bawah Pohon
Sukun yang tumbuh di depan kantor guru. Disamping pohon ada segerombolan
anak-anak kelas 3 dan 4 yang sedang asik mengobrol. Obrolan itu nampak serius
dan mencekam, menimbulkan rasa inign tahuku.
Seorang anak mengatakan, “Semalam ada yang isap batu.”
Aku pun mendekat sambil bertanya, “Apa itu isap batu?”
Sherlin menjelaskan, “Itu Bu, yang suka di isap
bujang-bujang.”
Fakhrul yang paling kecil ikut menyahut, “Itu Bu, kalo isap
batu ditangkap polis.”
“Begitu kah?”
Jawabku.
Burhan yang sedang main bola mendengarkan percakapanku, dia
pun datang dan menjelaskan, “Yang putih macam tepung, Bu. Terus dihisap dengan
astro (sedotan). Dorang suka tuh hisap-hisap”.
Dari penjelasannya nampak banyak mengetahui tentang batu
yang diisap itu, “Barangkali di lingkungan tempat tinggalnya, banyak yang
menghisap batu.” Pikirku.
Benar saja dugaanku, saat aku tanya memang dia sering nampak
(melihat) orang menghisap batu di lingkungan rumahnya. Bukan keluarganya,
melainkan para bujang tetangganya. Tetapi yang masih aku pikirkan, “Batu jenis
apa yang dihisap-hisap?”
Tidak puas dengan penjelasan murid, saat di kantor aku
langsung menanyakannya kepada kawan guru. Barulah aku tahu bahwa batu yang
dimaksud adalah narkoba sejenis sabu-sabu. Merinding mengingat banyak anak-anak
yang sudah tahu batu (narkoba).
Penasaran sejauh mana pengetahuan anak-anak tentang batu,
hampir di setiap kelas aku banyak bertanya pada anak-anak. Mulai dari mana
barang itu didapatkan, hargnya, gunanya, efeknya pada tubuh dan akibat dari
penggunaan batu. Sedikit melegakan karena anak-anak sudah banyak yang tahu batu
adalah barang yang dilarang, baik oleh pemerintah maupun dari segi agama. Namun
tetap saja ada perasaan khawatir. Apalagi banyak sekali aku mendengar bahwa di
area Sandakan merupakan sarang pengedar batu.
Pengalaman mengajar sekolah setingkat CLC SD menurutku
pengalaman yang luar biasa. Aku benar-benar baru merasakan sosok guru dimata
anak-anak adalah selalu benar, apa yang dikatakan guru, yang dilakukan guru
akan diikuti oleh anak-anak. Dari pembelajaran ini aku jadi semakin hati-hati.
Baik dalam bertutur kata, juga berkelakuan dalam kehidupan sehari-hari.
Mudah-mudahan apa yang aku lakukan akan terkenang di hati anak-anak, setidaknya
mereka akan ingat diriku ini yang baik-baik saja.
Oleh: Febriana Dwi Margi Lestari, CLC Gum Gum