CLC Andamy, Dok Pribadi |
arifsae.com, cerpen - Setelah hampir lima bulan di Ladang Andamy, alhamdulilah,
Allah masih memberiku kesempatan untuk selalu mendapatkan hadiah spesial setiap
paginya. Hadiah spesial yang bisa menambah semangatku dari hari ke hari, dari
pagi hingga bertemu pagi lagi.
“Tempat pensil siap, dokumen-dokumen yang harus di kerjakan
siap, dan yang paling utama soal ujian siap.” Aku cek satu-persatu
barang-barang yang harus ku bawa untuk di kerjakan di sekolah. Sekolah yang
menjadi tempat tugasku adalah CLC SD Ladang Andamy. Tidak mewah seperti sekolah
pada umumnya, apalagi dibandingkan dengan sekolah yang ada di Indonesia, jauh
berbeda. Disini CLC nya berasal rumah warga yang disulap menjadi tempat
sekolah.
Setelah semua masuk ke tas gendong andalan, dan yakin tidak
ada yang tertinggal, aku pun siap berangkat. “Tidak terasa hari ini anak-anak
sudah memasuki Ujian Akhir Semester (UAS) ganjil. Waktu terasa berjalan begitu cepat.”
“Selamat pagi Max.”
Ku sapa anjing tetangga yang sudah menunggu di bawah tangga rumah. Max
adalah anjing yang sangat galak dan agresif, dia selalu menggonggong dan
mengejar orang tak di kenal yang datang ke rumah. Kalau si Max gonggong tiada
henti itu artinya ada orang yang datang.
Dulu, ketika awal datang, saya pun diperlakukan sama. Ada
seminggu sampai 2 minggu Max selalu menggonggongku, entah saat aku datang
maupun pergi. Sekarang, mungkin karena sudah kenal, Max sudah bisa
dikendalikan. Namun kebiasaanya tetap saja sama, menggongong orang yang datang,
entah itu teman-teman, anak-anak, atau warga yang akan ke rumah naik motor.
Bahkan terkadang, aku pun akhirnya menjadi korban gonggongan dan kejarannya
juga. Selain si Max, ada juga si Sexy
induknya si Max, namun ia tidak seagresif si Max, anaknya.
Setelah menyapa si Max dan si Sexy, aku pun berjalan
menuruni turunan panjang, menuju sekolah. Kabut pagi masih menyelimuti ladang
kelapa Sawit Andamy, terkadang aku
berhenti hanya sekedar untuk mengambil gambar bunga kembang sepatu yang masih
di peluk embun pagi. Jika matahari pagi masih bersembunyi, bunga Kembang sepatu
pun selalu ikut bersembunyi, masih mengatup malu.
Sepanjang jalan masih sunyi dan sepi, membuat suara langkah
kakiku terdengar, apalagi aku yang memang selalu berjalan cepat membuat
suaranya semakin terdengar terburu. Suara itulah yang selalu menjadi musik
pengiring keberangkatanku menuju sekolah. Sesekali terdengar suara motor dari
kejauhan atau suara ayam yang entah siapa pemiliknya. Sepanjang perjalanan
hanya berjalan seorang diri, tanpa teman, dan tidak bertemu sesosok manusia
juga, memang jalan ini tidak dilalui warga-warga atau pekerja, hanya orang yang
berjalan kaki, dan itu aku.
Kalau berangkat, jalanan masih sangat bersahabat, karena
hanya melewati turunan. Berbeda lagi dengan perjalanan saat pulang dari
sekolah, tanjakan panjang harus ku lalui ketika matahari sedang panas-panasnya.
Terkadang merasa saat itu juga seluruh tubuh akan terbakar habis, keringat
bercucuran dan nafasku terengah-engah. Dan nafas yang terengah-engah itulah
menjadi musik pengiringku saat pulang menuju Istana tercinta, Andamy. Jika saat
berangkat sesekali berhenti untuk memandangi bunga kembang sepatu, saat pulang
sekolah sesekali berhenti untuk beristirahat sejenak.
Setelah beberapa meter berjalan, dan hanya tinggal sedikit
lagi menuju bibir sungai, sudah terlihat
keceriaan anak-anak yang sedang beraktivitas di luar kelas, ada yang main bola,
duduk-duduk, ada yang berlarian juga. Aku pun tersenyum,
“Mmmm,, hari ini akan seperti apa ya?” Ku percepat langkah
kakiku.
Langkahku menuju jalan pintas untuk menyeberang sungai. Jika
terus mengikuti jalanan ladang, mungkin jaraknya bisa sampai 1-1,5 km dari
rumah ke sekolah, tapi untuk menghemat energi dan waktu aku putuskan untuk
menyeberang sungai.
“Bu Aji datang.” Teriak salah satu anak. Dan inilah awal
hadiahku, hadiah spesialku yang selalu aku dapatkan setiap pagi.
“Bu Aji datang, Bu Aji datang.” Sambut anak yang lain.
“Ibu…Ibu.” Dan mereka berlarian menuju bibir sungai.
Menghentikan aktivitasnya.
Aku yang masih tinggal beberapa langkah lagi menuju bibir
sungai pun semakin tersenyum lebar. Sebagian anak menunggu di bibir sungai,
sebagian anak lagi menyeberang sungai, menghampiriku dan berebut menggapai
tanganku,
“Ibu Salam.” Mereka menjulurkan tangan dan aku menyambutnya.
Tidak berhenti disana, setelah satu persatu salam, mereka
berebut untuk memegang tangannku dan bersama-sama menyeberang sungai, saling
bergantian melontarkan rayuan-rayuan, pujian, dan bahkan perhatian. Dan hal
tersebut membuat aku berpikir, kata-kata yang keluar dari mulut mereka apa
hanya gombalan semata atau memang kepolosan mereka, yang aku tau, aku semakin
dibuat jatuh hati dengan mereka.
Aktivitas menyambut Bu Aji setiap pagi di seberang sungai
adalah aktiftas rutin anak-anak dan sambutan itulah yang ku sebut hadiah. Ya,
hadiah spesial di pagi hari untuk Bu Aji.
Meskipun sudah berulang kali aku menyuruh mereka untuk
menunggu di seberang sungai saja, tidak perlu menyeberang sungai, tapi selalu
saja mereka semangat menjemputku. Apalagi kalau sudah beberapa hari libur atau
tidak sekolah karena harus pergi ke Kota Kinabalu, mereka selalu menyambutku
dan mengekspresikan kerinduannya dengan memeluk, dengan menggenggam tangan
erat, atau mengatakan langsung rasa rindunya.
“Ibu, rindunya aku sama ibu.”
“Ibu sayang, cantik, comel, kemana saja, aku rindu.”
Sahut-sahut suara anak-anak itu jelas terdengar, meski tidak beraturan.
Mungkin anak-anak menganggap hal ini bukan sesuatu yang
spesial apalagi luar biasa, namun bagiku ini adalah hadiah spesial dari mereka untukku
setiap pagi. Sambutan mereka saat aku datang, cara mereka memperlakukannku saat
air sungai deras, saat mereka marah kalau aku datang terlambat, dan saat mereka
bilang rindu lama tak bertemu. Padahal kami tidak bertemu hanya 2 hari, tapi
bagi mereka waktu terasa lama sekali. Mungkin perasaanku juga sama dengan
mereka.
Aku yang di tempatkan seorang diri, di rumah tinggal seorang
diri, mengurus apa-apa sendiri, dan tetangga pun hanya 1 saja, Allah berikan aku pengisi daya
yang sederhana tapi luar biasa setiap paginya. Dengan cara mereka inilah aku
bersyukur karena setiap pagiku terasa special dan indah.
Sesampainya di kelas, anak-anak langsung mengerumuni mejaku,
menyetorkan PR untuk di periksa, menyetorkan hafalan-hafalan, dan untuk membaca
pagi. Aktivitas yang rutin disetiap 30 menit sebelum masuk kelas. Meskipun
sebenarnya hari ini UAS, tapi rutinitas pagi tetap berjalan.
“Masuk kelas, Masuk kelas.” Teriak anak-anak.
Dan tanpa disuruh, mereka langsung mengambil posisi
berbaris, anak laki-laki sebelah kanan, anak perempuan di sebelah kiri. Satu persatu anak memasuki ruangan, dan duduk
di kursinya masing-masing.
Inilah CLC Ladang Andamy, tempat aku dan anak-anak menjemput
ilmu setiap harinya. Tempat yang hanya terdiri dari 2 kamar tidur, 1 ruang
tamu, 1 dapur, dan 1 kamar mandi, dan semua dijadikan tempat belajar. 2 bilik
kamar ditempati kelas 3 (6 anak), dan satu lagi oleh anak-anak SMP kelas 7
& 8 (8 anak), ruang tamu dipakai kelas 1 & 2 (15 anak), dan dapur di
pakai oleh kelas 4 (10 anak) ada sekitar hampir 40 anak di dalam kelas dan aku
harus menghandle semuanya.
Ya, aku adalah salah satu dari beberapa guru yang ditugaskan
di CLC seorang diri, memiliki tugas yang berangkap-rangkap. Menjadi pengelola,
bendahara, operator dapodik, menjadi guru kelas 1 – 4 SD, belum ada kelas 5
& 6 nya. Dan juga menjadi guru SMP kelas 7 & 8, guru semua jenjang dan
semua mata pelajaran. Meskipun terkadang aku dibantu, meski hanya satu hari
oleh kawan guru.
“Masuk
kelas, masuk kelas.” Teriakan anak-anak ini selalu menjadi pertanda bahwa aku
harus siap-siap menguasai kelas, tanpa ada anak yang terabaikan. Berusaha
semaksimal mungkin untuk memberikan apa-apa sebaik mungkin, dan memanfaatkan
waktu semaksimal mungkin. Lari dari satu kelas ke kelas lain, beres dari kelas
1 ke kelas 2, lalu masuk ke kelas 3, lanjut ke kelas 4, terus ke ruang SMP,
berputar-putar, memberi tugas ini itu, menjelaskan ini itu, praktek ini itu,
Efektifkah? tentu tidak.
Dari sekian puluh anak, mungkin hanya satu dua yang
mengerti, atau mungkin bahkan semua anak hanya masuk, mencatat, mengerjakan
tugas lalu pulang. Begitu pun aku, masuk kelas, bicara A- Z, membagi tugas,
memeriksa tugas, lalu pulang. Dan hal inilah salah satu hal yang mengganggu
pikiranku. Awal-awal aku dibuat stress karena mereka belum bisa perkalian,
pembagian, penjumlahan, pengurangan. Hanya satu dua anak yang sudah bisa,
apalagi anak-anak kelas 1 dan 2, mereka belum bisa membaca semua, jangankan
membaca huruf pun mereka tidak tahu.
Aku
yang datang pagi, terus harus memeriksa kerjaan mereka, mendengarkan setoran
hafalan-hafalan mereka, dan juga membaca, tidak bisa efektif juga, karena
banyak anak tapi dengan waktu sedikit, pulang sekolah pun aku tidak memberikan
jam tambahan untuk sebagian anak-anak, karena aku harus mengajar ke ladang
lain. Hal tersebut membuat aku dag dig dug, membuat aku stress karena tidak
bisa menyentuh kecerdasan mereka.
Ya, meskipun aku tidak menuntut agar mereka pintar, tahu
semua rumus, atau tahu semua ilmu pengetahuan umum, tapi aku tetap dibuat
stress karena dasarnya saja mereka tidak tahu. Sikap mereka yang kadang
membuatku geleng-geleng kepala, dan yang membuatku sedih adalah saat aku tahu,
kalau mereka tidak bisa sholat (hanya ada 2 anak yang bisa bacaan sholat dan
melaksanakan sholat meskipun tidak 5 waktu), ada yang hafal bacaannya tapi
tidak melaksanakan sholat, dan kebanyakan dari mereka tidak hafal dan tidak
melaksanakan.
“Mana aku pandai, mamah dan bapak ku saja tidak sholat.”
Itulah alasan yang mereka lontarkan kepadaku.
Ketidakefektifan
saat belajar, ketidakmampuan anak baca, tulis, hitung, sikap-sikap mereka yang
kurang bagus, dan kemampuan mereka untuk melaksanakan ibadah sebagai muslim
(mengaji dan sholat) belum pandai dan tidak dibiasakan, itu yang membuat list
doaku kepada Allah semakin banyak dan diperkuat
Ketika bertugas disini seorang diri, dengan tugas yang
bermacam-macam, dan harus menghandle semua mata pelajaran dan semua tingkatan,
akhirnya aku putuskan untuk fokus membuat mereka setidaknya bisa baca, tulis,
hitung, bisa mengaji, bisa sholat 5 waktu, dan tentunya lebih
meng-Indonesia-kan mereka. Selain curhat kepada teman-teman terdekat, aku pun
tidak luput curhat kepada Allah, dan meminta jalan keluar agar aku bisa
mewujudkan itu semua.
Semua berjalan baik, hingga petang itu tiba.
“Jadi kapan saya
harus tinggal di sekolah, Tuan?” Jawabku dengan perasaan campur aduk. “Maaf
Cikgu, besok lusa sudah harus berkemas, tidak lama Cikgu, hanya 2 bulan saja
sampai rumah baru siap.” Ucap Tuan Hiu, asisten manager ladang Andamy itu.
Petang itu, setelah hampir 3 hari aku tidak berjumpa dengan
tuan dan keluarganya karena mereka pulang kampung, sekalinya bertemu mereka
memberi kabar yang mendadak sekali. Terlihat wajah tidak tega dari Tuan Hiu dan
istri untuk menyuruhku berkemas, mereka pun meyakinkan kalau aku hanya
sementara saja tinggal di sekolah.
Ya, asisten manager ladang, sekaligus tetanggaku dengan
berat hati menyuruhku untuk mengemas barang dan mengosongkan rumah. Karena
rumah yang hampir 5 bulan ini ku tempati akhirnya harus di isi oleh 2 orang
staff. Karena rumah staff yang akan menempati rumahku akan dipakai oleh manager
baru. Saat ini, pihak ladang pun sedang membuat rumah staff baru, meski belum
selesai.
Tidak menunggu lama, saat petang aku mendapat kabar itu,
malam hari nya pun aku langsung kemas semua barang-barangku. Perasaanku
bercampur aduk antara senang dan sedih. Senang karena dekat dengan anak-anak,
tidak perlu berjalan di bawah terik matahari sambil menaiki bukit saat pulang
sekolah, bisa mendengar adzan, bisa sholat dan mengaji di surau bersama
anak-anak. Sedihnya adalah karena tidak ada sinyal di sekolah, jadi akan sulit
berkomunikasi dan akan ketinggalan informasi, yang paling membuat sedih adalah
ketika tersadar bahwa hadiah spesial yang selalu ku terima setiap pagiku pun
tidak akan aku dapatkan lagi.
Malam itu, perasaanku masih berada di kegalauan, tidak tau
apa ini kabar senang, atau kabar sedih, tapi hal peristiwa ini tidak
menghentikan tanganku untuk tetap mengemasi barang-barang.
Dan besok paginya, aku akan mengabarkan kepada anak-anak
bahwa aku harus tinggal di sekolah.
“Ibu, kenapa muka ibu macam bersedih?” Tanya Liyana.
“Tidak, ibu tidak bersedih, tapi ada kabar tidak baik saja.”
“Apa bu? Apa bu?” Tanya anak-anak.
Dan mereka mengambil posisi seperti biasa, berdiri
mengelilingi mejaku, kalau biasanya mereka berdiri mengelilingi mejaku setiap
pagi untuk setor hafalan-hafalan surat pendek atau perkalian atau untuk
membaca, pagi ini mereka berdiri untuk mendengarkan cerita yang aku bilang
tidak baik.
“Kemarin petang, Tuan Hiu bilang ke ibu, kalau ibu harus
tinggal di sekolah.”
“Ibu tinggal di sekolah? Tidur di sekolah? Tidak di atas
lagi?” Tanya Asni.
“Iya.”
“Yeeee…Yeeeeeee.” Teriak anak-anak kegirangan.
“Best bah.” Kata Iswandi berkomentar.
“Best lah itu ibu, tapi nanti kita tidak bisa main ke atas
lagi.” Ucap Sabil.
“Ya nda lah, ibu kan disini, jadi kita bisa setiap hari main
sama ibu.” Jawab Aswandi.
“Iya, kita bisa main pagi, petang, malam.” tambah Ila.
“Yeeee…..” Anak-anak yang lain mendukung.
Dan aku terkejut melihat respon mereka segembira itu. Entah
apa yang aku rasakan. Mereka seolah sangat gembira, tapi perasaanku rasanya
campur aduk,
“Jangan-jangan, tidak hanya 3 bulan tinggal disekolah, itu hanya
alasan Tuan saja.” Pikiran negatif pun bersliweran dalam angan.
“Tapi di sini tidak ada jaringan.” Keluhku menghentikan
kegirangan mereka.
“Tidak apa-apa bu, nanti kita cari jaringanlah ke bukit.”
“Ibu sudah kemas barang ibu? Kita bawa hari ini, tak payah
(tak usah) belajarlah, kita semua naik ke atas ambil barang-barang ibu.” Kata
Aswandi yang sangat bersemangat.
“Sudah, nanti petang Tuan suruh orang untuk bawakan
barang-barang ibu.”
“Tak payahlah ibu, ayo kita semua naik atas saja.” Aswandi
terusa mendesak.
“Anak-anak kelas 1 dan 2 jangan ikut, kalian tunggu di sini,
Liyana, Rika jaga kelas 1 dan 2, Jom bu kita naik ke atas.” Aswandi mengatur.
Dan akhirnya merekalah yang membantuku membawa
barang-barangku, mengemas barang2 dan menjadikan salah satu ruangan kelas
(ruang yang bias dipakai anak SMP) untuk menjadi tempat istirahatku setiap
harinya. Barang-barang yang besar di bawa tuan petang harinya ke sekolah.
***
Hari-hari berlalu, tidak terasa sudah hampir 1 bulan aku
tinggal di sekolah. Aktivitas rutinku pun kini sudah berubah. Dari bangun tidur
sampai tidur lagi. Berbeda 360 derajat dengan aktivitas saat aku di Istana
Andamy tercinta. Tidak ada lagi langkah kaki menuruni dan menaiki turunan dan
tanjakan panjang dengan tas gendong berat di punggung, tidak ada lagi aktivitas
menyapa si Max dan si Sexy, tidak lagi ku lalui jalanan sepi itu. Tidak ada
lagi aktivitas sepuasnya menyelami dunia maya dengan sinyal 4G, tidak ada
kegiatan sendiri menyepi di kamar, dan yang paling penting tidak bisa update
status setiap 1 jam sekali. Kebiasaanku ini terhenti tanpa harus susah payah
menahan diri untuk tidak update status, karena di sekolah tidak ada sinyal.
Jika biasanya jam 7.20 baru sampai di sekolah, dan memulai
aktivitas rutin, sekarang pukul 06.25 aku harus siap segala-galanya. Karena
pukul 06.25 tempat tinggal baruku yang adalah sekolah sudah di ketuk anak-anak,
jadi pukul 06.30 atau 06.45 aku sudah bisa memulai aktivitas rutin di pagi
hari. Satu persatu anak membaca pagi dengan jatah waktu yang lumayan banyak,
bisa dipakai jalan-jalan dulu sebelum masuk kelas, main-main, lari-lari atau
main game lainnya. Sekarang ada banyak waktu di pagi hari untuk memupuk rasa
kebersamaan.
Begitu pun dengan siang hari, jika saat waktu pulang sekolah
harus segera bergegas pulang ke rumah, kali ini tidak, jika ada anak yang
memang belum selesai mengerjakan tugas, mereka bisa membereskannya dulu, atau
sisa-sisa waktu siang yang kosong bisa ku pakai untuk membimbing mereka, anggap
saja belajar tambahan. Meskipun semenjak kepindahanku ke sekolah yang memakai
ruang anak-anak SMP mengakibatkan jadwal mengajarku full sampai jam 4 sore
karena anak SMP sekolah petang, tapi setidaknya sekarang aku lebih bisa
menguasai kelas dan tidak kewalahan, bisa lebih meningkatkan keefektifan saat
belajar, meskipun memang tetap tidak efektif seutuhnya.
Sore dan malam hari pun jika dulu biasa dipakai untuk
kegiatan pribadi, menyelami dunia maya, sekarang semenjak tinggal di Sekolah,
aku bisa menikmati sore bersama anak-anak, bermain badminton, jalan-jalan sore
ke ladang, atau ke bukit sinyal dan bahkan aku bisa mengajak anak-anak untuk
membaca sore hari. Malam hari pun kini aku bisa mengaji bersama anak-anak, dari
Magrib hingga isya.
Banyak hal positif dan kegiatan yang bermanfaat yang bisa
dilakukan disini, mungkin ini adalah jawaban dari list doa-doa yang aku pinta
kepada Allah, ketika aku tak henti-hentinya meminta agar Allah menunjukkan
bagaimana caranya agar aku bisa maksimal mengajar mereka, agar mereka bisa baca
tulis hitung, mengaji dan sholat. Allah kirim aku untuk tinggal di sekolah. Dan
alhamdulilah memang benar, sedikit demi sedikit ku perbaiki semuanya, dan
perubahan semakin terlihat.
Dari
semua perubahan yang terjadi saat tinggal disini, ada yang membuat aku sedih,
dan memang dulu hal ini adalah hal yang paling membuatku sedih saat mendapat
kabar harus tinggal di sekolah. Apa itu? Aku akan kehilangan hadiah spesialku
di pagi hari. Aktivitas rutin menyambut bu Aji di seberang sungai sudah tidak
ada. Pengisi daya yang sederhana namun luarbiasa itu tidak lagi aku dapatkan,
tidak ada lagi teriakan anak-anak di seberang sungai, tidak ada lagi sambutan
tangan saat akan menyeberang sungai, tidak ada lagi perhatian-perhatian saat air
sungai deras. Dan aku kehilangan hadiah spesial itu.
Namun
ternyata Allah tidak membiarkanku sedih begitu saja. Hadiah spesial di pagi
hariku yang sudah tidak bisa ku dapatkan lagi, Allah ganti dengan hadiah
Istimewa. Hadiah Istimewa yang belum tentu setiap saat ku dapatkan, namun saat
ku dapatkan hadiah istimewa itu, rasanya sangat luar biasa, jauh berkali-kali
lipat perasaan bahagianya dibandingkan saat mendapat hadiah di seberang sungai
setiap pagi waktu itu.
Dan
hadiah istimewa itu adalah saat membuka pintu sekolah, sudah terlihat senyuman
anak-anak di Surau saat akan sholat shubuh, terkadang diiringi lambaian tangan.
Dan senyuman yang ku dapat dari mereka
di Surau adalah hadiah Istimewa yang Allah berikan sebagai pengganti hadiah ku
di seberang sungai dulu setiap paginya.
Oleh: Siti Aji Pangesti, CLC Andamy