Anak Anjung, Dok Pribadi |
arifsae.com, cerpen - Di kesunyian dan dinginya fajar, musik alarm mengalun merdu,
terdengar bersemangat berjudul Sang Pemimpi. Mataku yang tadinya terpejam kini
sedikit terbuka, pertanda mimpi indah malam ini telah usai. Jam menunjukkan
pukul 05.10. Aku masih tetap terbaring, bukan berarti malas. Kuhayati setiap
lirik dan irama musik yang kudengarkan, penuh dengan makna. Aku masih
terbaring, kukumpulkan semangatku saat itu. Musik reff terdengar, semangatku
semakin berkumpul. Ku terbangun dan
langsung kubuka jendela kamarku. Angin pagi berhembus dingin menyegarkan
seperti menusuk tulang, walaupun memang masih gelap. Bibir ini berbisik, ucapan
do’a tanda syukurku atas dibangunkannya jasad ini dari alam yang tak kukenal.
Aku siap melewati hari ini. Setelah melewati malam penuh kesunyian
di bilik kayu, sendiri, sepi, hanya lolongan anjing yang saling bersahutan dan
suara burung hantu menambah kecamnya malam. Di rumah yang sudah tua ini aku
tinggal sendiri, rumah yang sudah lama ditinggalkan oleh pemilik sebelumnya,
hanya kasur sisa yang aku gunakan, tanpa lentera atau cahaya lain, karena
memang lampu mati semalam. Aku kumpulkan semangat dan aku siap menjalani hari
ini, kumulai dengan masak untuk sarapan pagi serta bersiap mandi, tak biasanya
aku masak dirumah, tapi disini semua kemudahan itu hilang, semua harus mandiri.
Semua harus dikerjakan sendiri.
Seperti biasa hari ini aku berangkat lebih pagi, perjalanan
1,5 KM ke sekolah yang harus kutempuh untuk memulai hari, bekerja demi mimpi,
demi anak-anak Negeri. Perjalanan melewati hutan sawit dengan kabut yang
menutupi, seakan berjalan di tengah-tengah awan, kondisi jalan yang rusak dan
berbukit harus naik dan turun sampai keringat berpeluh. Orang-orang sudah
berlalu lalang dengan membawa seperangkat alat kerjanya, Tombak, Sabit dan lain
sebagainya. Mereka ramah, selalu tersenyum dan menegur sapa denganku, aku
merasa dihormati dan aku merasa berharga, dari senyuman mereka seakan
memberikan kekuatan tersendiri sehingga aku semakin bersemangat, sesekali aku
melihat kanan dan kiri dalam perjalanan menuju tempat sekolah, deretan rumah
warga yang tersusun rapi, tidak ada perbedaan bangunan, semua sama berderet
menjadi satu.
Para ibu yang sudah didepan rumah juga bersiap untuk
bekerja. Mereka selalu mengucap salam ketika aku lewat,
“Selamat Pagi Cikgu.” Sapa mereka.
“Selamat pagi juga, mau berangkat kerja, Macik?” Dengan
senyuman aku menjawab.
Hampir setiap hari aku bertutur sapa dengan warga. Mereka
sangat baik, sangat menerimaku disini. Serasa dirumah sendiri, padahal ini
Pulau Borneo, ini Sabah, bukan Indonesia. Aku bertugas mengajar anak-anak
Indonesia yang berada di Sabah. Sudah tujuh bulan aku disini, mecoba merajut
mimpi bersama anak-anak Indonesia yang ada disini, mereka adalah anak-anak
pekerja sawit, mereka butuh pendidikan, mereka butuh sekolah demi masa depan.
Jangan pernah membayangkan lengkapnya fasilitas disini,
ruang guru yang bercampur menjadi satu dengan ruang kelas siswa. Ruang kelas
tanpa sekat mulai dari Tadika (setingkat TK), Darjah satu sampai Darjah enam
(Setingkat Sekolah Dasar). Kadang saat pembelajaran suara kami saling
bersahutan antar kami para guru. Tempatku bertugas bernama Humana Andum, ada 3
Cikgu disni. Cikgu Lorni dan Cikgu Umi adalah guru asli dari Malaysia yang
sama-sama mengajar di satu sekolah ini. Satu guru merangkap beberapa kelas,
kelas kami dibagi menjadi tiga.
Kendala terbesar menjadi guru disini adalah bahasa yang
berbeda. Bahasa pengantar itulah yang kadang-kadang membuatku kesulitan dalam
menyampaikan materi, ditambah kurikulum yang berbeda. Aku diberikan tugas
mengajar Pendidikan Agama Islam, Matematik dan Bahasa Inggris untuk tahap 2
(Kelas 4 sampai Kelas 6), tidak ada materi bahasa Indonesia, PKn, IPS atau
materi lain yang berasal dari Indonesia. Padahal mereka ini sebagian besar
berasal dari Indonesia, bagaimana mereka bangga pada negaranya, kalau dengan
negaranya sendiri mereka tidak kenal. Itulah mengapa aku disini, karena tugasku
adalah untuk membuat mereka mengenal dan cinta dengan negaranya, tentunya
dengan menyisipkan materi PKn, IPS dan yang lain dalam pembelajaran.
Kondisi sebelum ada sekolah ini sungguh miris. Banyak dari
mereka yang terpaksa bekerja di blok-blok ladang sawit dengan membantu memetik
biji sawit, kondisi mereka sangat memprihatinkan karena tidak mempunyai dokumen
resmi seperti paspor dan akta kelahiran. Mereka seperti imigran gelap, mereka
selalu bersembunyi dari kejaran polis yang siap menangkap mereka. Tidak hanya
anak-anak, bahkan orang tua mereka pun tidak punya dokumen resmi. Untuk menikah
saja, mereka hanya “di bawah tangan” tanpa surat resmi, hanya dinikahkan oleh
seseorang yang mereka sebut imam kampong. Mereka seperti terjebak dan
terperangkap oleh keadaan yang memaksa mereka untuk tetap disana dan tidak bisa
kemana mana.
Kondisi inilah yang terjadi di lapangan, menjadi guru disini
harus mampu multi tasking dan multi talented, tidak hanya mengajar saja tapi
harus bisa melayani masyarakat Indonesia yang berada disini dan mengembalikan
mereka ke negara Indonesia, melalui pendidikan. Formula ini dinilai sangat
tepat karena akses pendidikanlah yang dapat mengantarkan mereka menggapai
cita-citanya dan bisa memutus rantai anak-anak yang tetap tinggal ladang sawit
ini.
Humana bukan satu-satunya sekolah yang berada di Ladang ini,
disini juga ada CLC (Comunity Learning Center) atau setingkat SMP. Aku sangat
bersyukur ada CLC disini, karena CLC sepenuhnya menggunakan kurikulum
Indonesia. Semua muridnya juga berasal dari Indonesia, waktu pembelajaran
dilaksanakan setelah pembelajaran di Humana berakhir, dari pukul 14.00 sampai dengan
17.30. Jangan heran kalau banyak dari mereka sudah berusia lebih dari 15 tahun,
itu karena terlambat masuk dan akhirnya berhenti bersekolah.
Awalnya mereka tidak mau sekolah lagi, karena bagi mereka
sekolah hanya membuang waktu, dan tidak akan mengubah nasib. Mereka lebih
memilih untuk bekerja karena bisa mendapatkan uang yang lebih cepat. Namun aku
tak mau menyerah, dengan susah payah semua anak aku data, meski harus singgah
dari satu rumah ke rumah lainnya. Aku mengajak mereka kembali sekolah, sering
kali penolakan yang aku dapat. Penolakan itu tidak hanya dari orang tua mereka,
tapi dari mereka sendiri. Aku tidak menyerah, kalau aku menyerah disini
bagaimana dengan nasib mereka kedepanya. Aku mencoba meyakinkan mereka dan
orang tua tentang bagaimana pentingnya pendidikan demi masa depan mereka,
sedikit demi sedikit usahaku membuahkan hasil.
Diluar dugaan banyak dari mereka yang usianya sudah lewat
juga menjadi tertarik untuk ikut sekolah lagi, tapi sayang karena usia yang
membatasi untuk sekolah reguler di CLC. Namun aku arahkan mereka untuk menempuh
program Paket A, Paket B maupun Paket C. Banyak dari mereka yang belum bisa
membaca dan menulis. Tidak hanya membaca dan menulis beribadah kewajiban
seperti solat saja tidak bisa. Kondisi masyarakat ladang yang tidak religius
menyebabkan semua ini terjadi, orang tua mereka bekerja dari jam lima pagi
sampai jam tiga sore, yang menyebabkan mereka jauh dari kasih sayang orang tua.
Mereka terbiasa bicara kasar karena orang tuanya juga melakukan hal sama, ini menyebabkan
kurangnya rasa hormat kepada orang tua.
Kondisi ini harus dirubah, pelan-pelan. Caranya dengan
mengajak mereka ke mushola untuk praktik solat, sedikit demi sedikit usahaku
membuahkan hasil, mereka sekarang banyak yang sudah pandai solat walaupun
bacaan masih banyak yang salah. Mushola panggung yang diberi nama Nurul Iman
ini menjadi saksi bisu langkah perubahan hidup mereka, mushola yang sudah
sangat tua ini jarang sekali di kunjungi masyarakat, bahkan tak jarang saat
waktu sholat tiba mushola ini kosong tidak ada jamaah yang pergi ke mushola,
perubahan harus dimulai sedikit demi sedikit. Dari siswa yang aku ajak setiap
hari ke mushola membuat sedikit warga melihat dan ikut serta sholat berjamaah,
bahkan sekarang mushola sudah di renovasi dan di cat ulang sehingga terlihat
lebih baik dan menarik, sekarang sudah banyak yang ke mushola pada saat jam
solat walaupun kebanyakan di penuhi oleh anak-anak CLC.
***
Waktu berlalu begitu cepat. Malam itu kami ditugaskan untuk
mengikuti pelatihan Kurikulum 2013 di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK),
pelatihan ini terbuka untuk masing-masing guru CLC di wilayah Sabah, aku
bersama Pengeleola CLC, namanya Pak Susmin Ito. Beliau adalah guru tahap 6 yang
ditugaskan di CLC, beliau sering membantuku saat pertama kali datang di negeri
Sabah ini. Kami janjian bertemu di Batu 32 Check Point sebuah lokasi
persimpangan yang menghubungkan tiga kota besar di Sabah (Tawau, Kota Kinabalu
dan Sandakan).
Tujuan kami menunggu di batu 32 Check Point adalah agar
memudahkan kami dalam mendapatkan bas, karena selain bas yang dari Tawau, lewat
juga bas dari Sandakan. Dari gate Andum menunggu Lori (Truk Besar pengangkut
Biji Sawit), berharap ada Lori yang lewat batu 32 Check Poin, karena sudah
tidak mungkin ada kendaraan yang bisa mengantar ku pergi ke Check Poin, setelah
lama aku menunggu akhirnya ada lori yang lewat, aku menghadang lori tersebut
dengan melambaikan tangan tepat berada didepan lori,
“Pak Cik, mau ke Tawau kah?” Tanyaku ke Driver Lori itu.
“Iya Cikgu, ini mau ke Tawau.”
“Boleh ka saya ikut?” Tanyaku menegaskan lagi.
“Boleh Cikgu, naiklah.” Jawabnya
Ukuran lori yang sangat besar membuatku agak kesusahan naik
ke atas, di tambah barang bawaanku yang lumayan banyak. Melihatku yang
kesusahan naik Lori, ada Pak Cik penjaga gate yang menwarkan bantuan,
“Bole kah Cikgu naik tu lori?” Tanya nya.
“Susah Pak Cik, apalgi barang bawaan saya banyak.” Jawabku.
“Mari saya bantu Cikgu.” Pakcik penjaga gate menawarkan
bantuannya. Dengan senang hati aku mempersilahkan.
“Terimakasih Pak Cik.” Sahutku.
Badanku didorong naik keatas, kemudian barang bawaanku
terangkat dan di masukkan kedalam Lori,
“Terimakasih, Pak Cik.” Jawabku kepada Pak Cik yang sudah
menolongku.
Lori itu melaju pelan. Karena jalan yang dilewati menurun,
badanku ikut terbawa. Pak Cik sopir memuka percakapan,
“Mau kemana, Cikgu?” Pakcik Driver lori Tanya.
“Saya mau ke Batu 32 Check Poin, Pak Cik.” Jawabku.
“Mau ada acara apa, Cikgu?” Tanyanya lagi.
“Ini ada pelatihan di KK, Pak Cik.”
“Oh, ke KK.” Sahutnya lagi.
Jarak ladang Andum ke Batu 32 cukup dekat, hanya memakan
waktu sekitar 15 menit saja. Tidak lama kemudian, aku sampai Batu 32, Pak Ito
sudah menunggu disana. Aku langsung datang menghampiri, kami berdua menunggu
bas cukup lama dan kami memutuskan untuk makan di Restoran Sri Sentosa yang ada
di Batu 32,
Suasana pada malam itu sungguh sangat dingin, sehingga kalau
minum yang panas akan terasa sedap dan nikmat, Tea Tarik (Teh Susu Panas) menjadi
pilihanku. Jam sudah menunjukkan jam 22.14 dan belum nampak juga bas yang
lewat, padahal kami di restoran sudah cukup lama dari jam 21.05, kami sudah
masuk restoran, karena minuman kami sudah habis dan bas belum juga nampak
akhirnya kami memtuskan untuk memesan kembali makanan ringan, sepotong kue
hangat. Lama kami menunggu dan belum ada juga, padahal jam sudah menunjukkan
jam 23.00, akhirnya Pak Ito memutuskan untuk menunggu bas di jalan raya, di
sebuah Bas Stop (Halte) yang sudah gelap, karena penerangan tidak ada di
kawasan ini.
Sembari menunggu bas kita menghabiskan waktu dengan ngobrol
panjang lebar, tentang pengalaman Pak Ito selama berada di Sabah. Setelah lama
menunggu, terdengar suara kendaraan lewat dan memberi sinyal lampu, akhirnya
basnya datang juga, kami bergegas untuk ikut bas itu, tapi karena terlalu gelap
disitu sepertinya driver bas tidak melihat kami sedang menunggu, Pak Ito lari
mengejar bas itu dan aku menyiapkan barang yang akan kami bawa, terdengar suara
jatuh “Broak.”
“Kenapa, Pak Ito?” Tanyaku.
“Saya jatuh pak, hati-hati pak disitu ada parit.” Sambil
menunjuk parit itu, Pak Ito sambil berlalu dan terus mengejar bas itu.
Aku pun hati-hati dan mencari dimana letak paritnya,
alih-alih menghindari parit itu, “Gubrak” saya pun jatuh di parit yang sama
dengan Pak Ito. Sakit sekali.
Pak Ito yang terus mengejar bas itu, bas itupun berhenti,
dan menurunkan penumpang dan langsung berlalu tanpa menunggu kami, ternyata
benar bas itu tidak melihat kami sedang menunggu, sayapun menceritakan sama Pak
Ito kalau terjatuh juga di parit yang sama, kami berdua tertawa terbahak-bahak,
bodohnya diriku yang tak belajar dari pengalaman.
***
Siang itu Jam 12.15 selepas aku mengajar Humana, aku pulang
dengan diantar Cikgu Lorni, seperti biasa kami pulang bersama, setiap hari aku
selalu menumpang kereta Cikgu Lorni. Walaupun perempuan Cikgu Lorni pandai
membawa mobil, beliau adalah wanita kekinian yang hebat, yang bisa mengendarai
dengan kondisi jalan yang naik turun seperti bukit, belum lagi ditambah dengan
jalan yang rusak. Kalau hujan tiba bisa dibayangkan jalan yang berlumpur licin
itu menyusahkan kendaraan untuk melalui jalan itu, dengan lincahnya Cikgu
mengendarai mobil, kadang-kadang aku sampai pegangan sangat kuat untuk melewati
jalan yang licin itu, Cikgu Lorni layaknya driver off road professional.
“Okey Cikgu, ready?” Tanyanya.
“Siap Cikgu Lorni, siap.” Jawabku.
Sambil memegang tuas rem tangan, cikgu Lorni bersiap-siap
untuk melewati jalan licin yang menanjak itu,
“Brum brum brum.” Suara knalpot mesin mobil Cikgu Lorni yang
meraung-raung siap menghdapai jalan itu, dengan sedikit ancang-ancang, gas
mulai di injak, tuas rem tangan dilepaskan, badanku terhentak dengan sedikit
goyangan, mobil Cikgu Lorni sedikit selip, dan bau ban yang sudah tercium karena
tidak bisa jalan kerana selip, kaki Cikgu melepas rem dan mobil mulai mundur
lagi, kali ini dengan kecepatan yang tinggi Cikgu Lorni mulai injak pedal gas,
sekali lagi dengan sedikit goyangan akhirnya mobil Cikgu Lorni dapat melewati
jalan yang licin berlumpur dan menanjak itu,
“Akhirnya berhasil juga, Cikgu.” Sahutku.
“Iya, Cikgu.” Dengan senyuman beliau menjawab,
Tidak lama kemudian kita sampai dirumah, aku buka pintu
mobil Cikgu Lorni sambil mengucapkan terimakasih,
Sesampainya
dirumah tugas sehari-hari sudah menunggu, mulai cuci piring, masak dan
membersihkan rumah. Siang itu cuaca panas, aku istirahat di kamar tidur. Belum
lama terlelap ada suara motor dan memanggil namaku,
“Pak Majid.” Teriaknya dari luar rumah.
“Pak Majid..Pak Majid.” Dia mengulangi.
Aku keluar kamar dan melihat ternyata ada si Raizwan, murid
CLC yang menjemputku, belum sempat istirahat sudah dijemput lagi, keluhku dalam
hati,
“Iya Raizwan, sudah jam 2 kah?” Jawabku.
“Ini hampir jam 2 Pak Majid, temen-temen sudah menunggu
dibawah.” Jawabnya.
“Tunggu bentar ya, Raizwan.” Sambil bersiap-siap berangkat
sekolah lagi.
“Ayo berangkat.” Sahutku.
“Ayo, Pak.” Jawabnya.
Kami berangkat menggunakan sepeda motor untuk memulai kelas
sore dari CLC. Aku selalu dijemput anak-anak, mungkin karena kasihan, jarak
sekolah dengan rumah saya agak jauh dengan jalan kaki, itulah alasan mereka
selalu menjemputku untuk pergi ke sekolah.
Siang itu mata pelajaran Matematika, pelajaran yang agak
tidak disukai oleh mereka, terlihat dari gestur mereka, dan ekspresi mereka,
seperti malas-malasan kalau sedang pelajaran Matematika,
“Baik anak-anak, hari ini kita belajar Matematika ya?”
“Yaaaaah.” Jawab mereka kompak menjawab dengan nada kecewa.
“Ayo semangat.” Aku beri motivasi mereka, sambil mencari ide
agar mereka tetap semangat belajar, muncul ide untuk memberi mereka permainan
tebak-tebakan, dari muka mereka langsung bersemangat.
“Kalau kami menang nanti pulang lebih awal ya Pak.” Si Ardi
menyahut, salah satu muridku yang paling kecil.
“Oke.” Dengan berat hati aku menjawabnya.
“Siapa yang mau tebak-tebakan dulu? Saya atau kalian?”
Tanyaku pada mereka.
“Pak guru dulu.” Jawaban mereka kompak
“Baik, pertanyaanya adalah, barang apa yang dicari dengan
susah payah, tapi setelah ketemu malah dibuang begitu saja?” Tanyaku. Mereka
semua berfikir sejenak dan ada yang mulai nyeletuk.
“Tai hidung, Pak.” Si Ardi menjawab.
“Apa itu tahi hidung?” Tanyaku
“Upil, Pak.” Jawabnya lagi. Seluruh kelas tertawa keras
karena si Ardi menjawab dengan benar.
“Baik, jawaban si Ardi benar ya.” Sahutku.
“Yeeessss.” Jawab si Ardi dengan mengepalkan tanganya dan
mengayunkanya kebawah.
“Oke, sekarang Ardi yang tanya Pak Guru.” Tawarku.
“Oke pak, hewan apa yang mirip Sapi, kakinya empat, warnanya
putih, pokoknya hewan ini sangat mirip dengan Sapi, tapi bukan Sapi, hayooo?”
“Hewan apa ya, sebentar saya pikir dulu.”
“Menyerah pak?” Tanyanya.
“Sebentar, Kerbau.”
“Salah”
“Ayo apa pak, menyerah saja pak.”
“Oke bapak menyerah, apa jawabanya?”
“Jawabanya adalah, gambar Sapi.” Jawabnya.
Seluruh kelas riuh karena jawaban dari si Ardi ini, sambil
usap kepala aku geleng-geleng, ada-ada ini anak satu,
“Hahahaha. Baik bapak kalah, ada yang mau tanya lagi”
Lagi-lagi si Ardi mengacungkan tangan.
“Oke si Ardi lagi, kali ini apalagi Ardi?” Tanyaku.
“Oke pak, sekali lagi ya, hewan apa yang mirip Sapi, kakinya
empat, pokoknya hewanya mirip Sapi, tapi bukan Sapi dan bukan gambar Sapi.”
Tanyanya.
Tanpa pikir panjang akun langsung jawab, “Saya menyerah.”
Jawabku.
“Alah Pak Majid bah, pikir dulu bah.” Tekanya.
“Kuda.” Jawabku menyerah.
“Salah bah.”
“Lalu apa?” Tanyaku lagi.
“Bapak meyerah?” Tanyanya lagi.
“Iya bah, kan memang bapak sudah menyerah dari tadi.”
“Jawabanya adalah,........”
“Apa bah.” Tanyaku lagi.
“Jawabanya adalah, Anak Sapi.”, Jawabnya.
“Gubrak.” Seluruh kelas tertawa riuh. Itulah mereka,
keceriaan tak hilang meski berhadapan dengan ganasnya hidup ditangah Ladang
Sawit ini. Dari senyum mereka, masih ada secercah harapan untuk masa depannya.
Dan semoga kontribusi kecilku terasa.
Oleh: Nur Kholis Majid, CLC Prolific TKB Andum