Makam Syekh Nawawi al-Bantani (Sumber Gambar: http://www.muslimoderat.net) |
Genap 3 tahun sudah makam-makam yang ada disekitar pinggiran Kota Ma’la,
Mekkah, harus di ‘normalisasi’ dengan cara dibongkar. Tidak perduli makam siapa
itu, apakah makam pejabat tinggi atau rakyat jelata, semua sama. Dalam hal ini,
Pemerintah Arab Saudi mempunyai kebijakan bahwa jenazah yang telah dikubur
dalam kurun waktu beberapa tahun harus dibongkar dan tulang-tulang ini akan
dikuburkan bersama ditempat yang lain. Hal ini dilakukan supaya pemakaman bisa
tertata dengan efisien. Makam-makam yang tadi sudah dibongkar, akan diisi
dengan jenazah yang baru, begitu seterusnya.
Para petugas telah siap untuk membongkar beberapa makam. Awalnya, semua
berjalan biasa, namun berbeda ketika terjadi pembongkaran dalam salah satu
makam. Terjadi kegegeran yang tak biasa, semua petugas kaget tak percaya. Para
petugas penggalian kuburan tidak menjumpai jenazah seperti jenazah pada
umumnya. Bukan tulang-belulang, atau kain kafan yang kusut yang ditemukan, justru
para petugas menyaksikan satu jenazah yang masih utuh, terlihat baru, dan tak
kurang satu apapun. Disamping itu, tidak ada lecet apapun pada mayat tersebut,
bahkan kain kafan yang menutupi jenazah tadi tak sobek sedikitpun.
Wajar saja, kejadian itu mengejutkan para petugas yang membongkat makamnya.
Sontak, mereka menemui atasan dan melaporkan kejadian yang baru saja disaksikan
oleh banyak orang itu. Setelah menerima laporan dari petugas penggali kubur,
sang atasan kemudian mencari tahu, siapa orang dibalik makam itu. Setelah
menyelediki, dan mencari tahu dari berbagai informasi, ternyata orang yang ada
dalam makam itu bukan orang biasa, beliau adalah seorang ulama asal Indonesia yang
pernah menjadi Imam Besar Masjidil Haram, beliau adalah Syekh Nawawi
Al-Bantani.
Nama besar Syekh Nawawi Al-Bantani sudah tak diragukan lagi. Beliau adalah
pembentuk ‘wajah’ pesantren saat ini. Lembaga pendidikan tertua di Indonesia
ini tak bisa terlepas dari nama besarnya. Karyanya hampir tersebar diseluruh pesantren-pesantren tradisional di Indonesia. Syekh Nawawi Al-Bantani merupakan salah satu peletak dasar
nilai-nilai etis tradisi keilmuan pesantren, buah intelektualnya sangat berjasa
dalam mengarahkan ideologi pesantren yang berada dibawah naungan Nahdlatul
Ulama (NU) hingga kini. Dikalangan pesantren, Syekh Nawawi
Al-Bantani tidak hanya dikenal sebagai penulis
berbagai kitab-kitab dari berbagai disiplin ilmu, beliau juga dijuluki sebagai mahaguru sejati (The Great Scholar), karena dengan kearifan memilih murid tanpa melihat latar belakang suku, akan membuahkan tokoh-tokoh intelektual yang berperan tidak hanya dalam agamanya, namun dalam memperjuangkan bangsa dan negara.
Pemilihan murid dari
berbagai latar belakang inilah yang kita sebut sebagai multikulturalisme.
Nilai-nilai multikultural yang dipondasikan oleh Syekh Nawawi Al-Bantani hingga saat ini masih
relevan digunakan, hal ini dikarenakan negara Indonesia yang ber-bhineka sangat membutuhkan kesadaran
multikulturalisme ditengah gempuran zaman globalisme. Perbedaan yang terjadi
bukannya menjadi alasan bagi adanya permusuhan, namun kita jadikan sebagai
modal untuk membangun bangsa dengan spirit Bhinneka
Tunggal Ika. Persatuan ini menjadi kebutuhan yang mendesak untuk menjawab
tantangan zaman, mengingat realita bangsa ini yang terus dilanda cobaan des-integrasi. Persatuan
inilah yang harus kita jadikan identitas bangsa kita saat ini.
Menurut Samuel Hotington
(1996), identitas sebuah bangsa bisa menjadi hal yang bisa menyatukan atau bisa
memisahkan. Identitas bangsa yang plural
ini, apabila tidak disikapi dengan arif, bisa menjadi penyulut api permusuhan
dan kobaran konflik. Oleh karena itu, kita patut belajar dari ulama sekaliber
Syekh Nawawi al-Bantani dalam memahami sebuah persatuan dengan menguatkan
identitas bangsa kita, salah satunya dengan melihat praktek multikulturalisme
didunia pesantren. Tulisan ini mengangkat tentang kehidupan singkat Syekh Nawawi Al-Bantani, sumbangan karya-karyanya dalam membentuk wajah pesantren Indonesia, dan
peran pesantren dalam persatuan Indonesia.
KH Nawawi: dari Banten Ke Mekkah
Generasi muda saat ini
harus tahu dan bangga, bahwa Indonesia pernah mempunyai ulama yang diakui
dunia. Namanya lengkapnya adalah Muhammad Nawawi al-Syaikh al-Jawi al-Bantani atau Syekh Nawawi al-Bantani.
Orang Indonesia lebih familiar dengan sebutan Kiai Haji Nawawi Putra Banten
(Chaidar, 1978: 5). KH Nawawi (akan
digunakan kemudian, karena lebih ke “Indonesiaan”) lahir pada tahun 1230
Hijriah atau 1813 Masehi di Kampung Tanara, Serang, Banten. Ayahnya bernama KH
‘Umar bin Arabi dan Ibunya Zubaydah, ayahnya seorang penghulu dan ulama di
Tanara. Bila ditelusuri silsilah ayahnya, KH Nawawi masih keturunan Sunan
Gunung Jati (Adurahman, 1996: 86). Lingkungan keluarga yang kental dengan
nilai-nilai agama membuatnya memiliki pemahaman agama yang komperhensif dimasa
mudanya.
Pondasi pendidikan yang
diberikan oleh KH ‘Umar mencakup pengetahuan keislaman, seperti nahwu dan
sharaf, Fiqih, Tauhid dan Tafsir. Setelah mencukupi umur, KH Nawawi melanjutkan
ilmunya dengan berguru kepada Kiai Sahal, sorang ulama Banten, dan Kiai Yusuf
dari Purwakarta. Umur 13 tahun, ayahnya meninggal dunia, 2 tahun kemudian KH
Nawawi dan saudarannya pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji. Di Mekkah, KH
Nawawi tinggal selama 3 tahun dan belajar kepada ulama-ulama besar, beliau berguru kepada
Sayid Ahmad Nahrawi, Sayid Ahmad Dimyati, dan Ahmad Zayni Dahlan. Sedangkan di
Madinah KH Nawawi berguru kepada Muhammad Khatib al-Hanbali. Selain di Mekkah
dan Madinah, beliau juga belajar kepada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam
(Ensiklpedia Islam Indonesia, 1994: 24).
KH Nawawi pernah kembali
ke Nusantara pada tahun 1831 Masehi, dan sempat mengajar diberbagai tempat. Namun, karena kondisi politik Nusantara waktu itu, akhirnya 3
tahun kemudian beliau pergi lagi ke Mekkah dan menetap disana hingga wafatnya.
Ketika kembali ke Mekkah, beliau melanjutkan pemenuhan ‘dahaga’ ilmunya kepada guru-gurunya yang berasal dari Nusantara, seperti Syaikh Muhammad Khatib
Sambas, Syaikh ‘Abdul Gani Bima, Syaikh Yusuf Sumulaweni, dan Syaikh ‘Abdul
Hamid Dagastani, dan masih banyak yang lainnya (Saghir, 2000: 36-37). Dengan
keputusannya menetap di Hijaz ini, akhirnya beliau menuangkan ilmunya dengan berbagai hasil kitab-kitab yang sangat berguna bagi kehidupan Islam di Nusantara bahkan dunia Islam pada umumnya.
Dari pengalamannya
selama melakukan rihlah selama 30
tahun, akhirnya KH Nawawi melakukan halaqa
di Masjid al-Haram. Dengan berbekal ilmu dan kecerdasannya, KH Nawawi
mendapatkan simpati dari murid-muridnya dan dari pembaca karya-karyanya.
Murid-muridnya berasal dari berbagai suku dipenjuru negeri, terutama dari Nusantara,
seperti Suku Jawa, Sunda, Madura, Minang, dan lainnya. Dari pengajaranya di Mekkah ini,
dikemudian hari murid-muridnya meneruskan perjuangan Islam di Nusantara dengan
mendirikan pesantren, seperti KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dari Jombang, KH
Kholil dari Bangkalan Madura, KH Tubagus Ahmad Bakri dari Purwakarta, KH Ilyas
dari Serang Banten, dan masih banyak murid-muridnya yang dikemudian hari
mendedikasikan hidupnya untuk umat Islam di Nusantara.
Dalam melakukan
pengajaranya, KH Nawawi dikenal sebagai seorang yang menjunjung nilai-nilai
“demokratis”, hal ini karena beliau mau menerima semua ide dan pandangan dari
murid-muridnya agar melatih mereka untuk berani mengemukakan ide dan gagasan
yang membangun untuk umat (Ensiklpedia Islam Indonesia, 1994: 841-842). Beliau
sangat menghormati segala bentuk perbedaan, inilah pelajaran yang sangat
penting. Sebuah modal multikultural yang berbalut nilai demokratis yang saat itupun tidak
dimiliki oleh para pejuang di Nusantara.
Disamping melakukan
pengajaran, KH Nawawi juga menghasilkan karya-karya yang sangat banyak, hasil
karyanya tidak hanya diakui oleh ulama Nusantara, namun dihormati pula di dunia Islam, terutama yang berkaitan dengan Mazhab Syafi’i. Memang tidak bisa
dipastikan berapa karya KH Nawawi, karena terlalu baanyak dan bahkan ada yang tidak terlacak. Namun
yang pasti, karya-karyanya ditulis dari berbagai bidang ilmu pengetahuan,
seperti Tafsir, Fiqih, Usul al-Din,
Ilmu Tauhid, Akhlak dan Tasawuf, Sirah Nabawiyah, Tata Bahasa Arab, Hadist dan
Akhlak (Bruinesen, 1995: 143).
Menurut Martin Van
Bruinessen (1995: 236), pada era 90-an, karya KH Nawawi masih mendominasi kurikulum
dilebih dari 40 pesantren besar di Indonesia. Bukan hanya di Indonesia, karyanya
juga digunakan diberbagai wilayah Islam di Asia Tenggara, seperti Filipina,
Thailand, dan Malaysia. Banyaknya karya yang digunakan diberbagai negara
dikarenakan kemampuan KH Nawawi menyederhanakan pengajaran yang mengandung
hikmah sehingga bisa dijiwai oleh setiap pembaca. Keluasan ilmu yang dimiliki KH
Nawawi membuat karya-karyanya diajarkan para Kiai dan disukai oleh kalangan
santri sehingga masih menjadi rujukan utama hingga saat ini. Banyak kalangan yang
menganggap KH Nawawi sebagai Imam Nawawi ‘kedua’, Imam Nawawi pertama
adalah ulama besar yang membuat Syarah Shahih Muslim dan Riyadlush Shalihin.
Syekh Nawawi, Sumber Gambar: parawali-allah.blogspot.my |
Pondasi Membangun Negeri
Tidak bisa dipungkiri,
pesantren merupakan tempat “kawah candradimuka” dalam pendidikan Islam dan
tempat perkembangannya embrio bangsa Indonesia dalam menemukan jati dirinya.
Pemahamaan ini dipertegas dengan kuantitas penduduk Indonesia yang 85 %
merupakan muslim, dan Indonesia merupakan pemeluk muslim terbesar didunia.
Tentu peran ini tidak bisa dilepaskan dari pesantren. Menurut Zamakhsyari
Dhofier (2011: 100), mengkaji tentang Islam di Indonesia tidak akan lengakap
apabila tidak menelusuri lembaga pesantren dan mengkaji karya-karya
pengasuhnya.
KH Nawawi merupakan
tokoh dari Indoensia yang berkaliber dunia, sehingga beliau dipercaya mengajar
di Mekkah al-Mukarramah dan menjadi Imam al-Haramayn (Imam ‘Ulama Dua Kota
Suci, Mekkah dan Madinah). Setelah karya-karya KH Nawawi masuk ke Indonesia,
wacana keislaman didunia pesantren mulai berkembang pesat. Menurut Van
Brunessen (1995: 153), sejak tahun 1888 Masehi, pola intelektual pesantren
berubah dengan drastis. Artinya, kesinambungan dan dakwah dalam tradisi
pesantren sangat penting. Sumbangan besar KH Nawawi berada pada bidang ilmu
tafsir, bahkah karyanya sudah dijadikan rujukan diberbagai wilayah Asia
Tenggara. Di Indonesia sendiri, sejak tahun 1990 diperkirakan ada sekiar 22
tulisan karya KH Nawawi yang masih dipelajari.
Murid-muridnya terseber
sebagai faounding father dalam
menjaga pondasi Islam dan turut membidani kelahiran negara Indonesia. Seperti
KH Hasyim Asy’ari yang mendirikan organisasi massa terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. KH Hasyim Asy’ari
termasuk murid yang memiliki semangat tersendiri untuk mengajarkan karya-karya
gurunya di Nusantara, karena setelah belajar dengan K.H Nawawi di Mekkah, beliau mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng, yaitu pondok pesantren paling
berpengaruh di Indonesia pada abad-20. Ketika masa pendudukan Jepang, KH Hasyim Asy’ari tidak mau
melakukan upacara Seikeri (membungkuk
kebendera Jepang), sehingga beliau sempat ditahan oleh Jepang. Setelah merdeka,
beliau diangkat sebagai Ro’is ‘Am (ketua umum) Masyumi pertama periode 1945-1947.
Masa revolusi senjata, beliau sebagai jenderal yang membawahi laskar-laskar
perjuangan, seperti GPII, Hizbullah, Sabillilah dan lainnya.
Kemudian, murid lainnya
adalah KH Kholil dari Bangkalan Madura, yang terkenal dengan karomahnya. Sama
seperti KH Hasyim As’ari, KH Kholil juga berperan penting dalam dunia
pendidikan dan perlawanan terhadap penjajah. Dalam bidang pendidikan, beliau
mencetak murid-murid yang memiliki integritas, berwawasan, dan tangguh. Selain
itu, perlawanan terhadap penjajah dilakukan dibelakang layar, beliau selalu
memberi suwuk (tenaga dalam) dan
mempersilahkan pondoknya sebagai tempat persembunyian para pejuang.
Selanjutnya, KH Tubagus Ahmad Bakri dari
Purwakarta. Seorang ulama dari tanah pasundan yang mendirikan pesantren As-Salafiyyah.
Banyak karya yang juga dilahirkan oleh pemikirannya, masa hidupnya
didedikasikan untuk mengaji dan membuat karya. Ada juga murid dari KH Nawawi
yang berjuang secara fisik melawan kekejaman senjara, beliau adalah KH Wasit.
KH Wasit memimpin pembrontakan di Cilegon pada tahun 1888 Masehi.
Murid-muridnya tersebar hampir disejumlah pesantren diseluruh Indonesia.
Dengan kata lain,
pesantren di Indonesia memiliki geneologi yang hampir sama meskipun berbeda
daerah dan budaya. Pada waktu itu, polarisasi pemikiran modernitas yang sedang
dikembangkan oleh Jammaludin al-Afgani dan Muhammad Abduh di Mekkah menjadi
pemersatu ulama tradisional di Indonesia yang sebagian besar alumnus dari
Mekkah dan Madinah. Dengan keterkaitan para ulama Nusantara ini, maka secara
tidak langsung mempercepat penyebaran karya-karya KH Nawawi, sehingga banyak
dijadikan referensi para Ulama Nusantara (Dhofier, 2011: 57). Besarnya pengaruh
pemikiran KH Nawawi terhadap tokoh ulama di Indonesia membuat beliau dikatakan
sebagai ‘poros’ dari akar keilmuan pesantren dan NU.
Dari Pesantren untuk Indonesia
Sumbangan KH Nawawi yang
paling dibutuhkan oleh Indonesia saat ini adalah nilai-nilai multikulturalisme
ditengah maraknya paham disintegrasi bangsa. Nilai multikultural dari KH Nawawi
bisa dilihat dari proses pengajarannya di Mekkah. Ketika beliau menerima murid,
beliau tidak melihat dari mana asal suku, ras atau golongan, namun oleh beliau diterima dengan
tangan terbuka. Pendapat yang berbeda dari murid-muridnya diterima sebagai
kekayaan intelektual. Murid yang diterima juga dari berbagai tingkat
intelektual, ada yang dari dasar pemulaan tata bahasa Arab, atau murid yang
cukup pintar dan yang sudah mengajar ditempat mereka sendiri (Stennbrik, 1984:
117).
Hal ini menjadi pijakan
dalam mengembangkan jatidiri pesantren khususnya dan jatidiri bangsa pada
umumnya. Pesanten, sebuah lembaga pendidikan tertua di Indonesia, memiliki
keunikan tersendiri. Salah satunya adalah, kesadaran multikulturalisme disaat
wacana itu masih diperdebatkan dilevel politik nasional, seperti Budi Utomo
pada tahun 1908, organisasi pertama yang anggotanya berasal dari Prijaji Jawa saja.
Oleh karena itu, kesadaran berbangsa yang saat ini mulai surut harus kita
kuatkan lagi, dengan belajar dari kehidupan pesantren disekeliling kita. Memang
ada sebagian kecil pesantren yang sudah terjebak dengan paham-paham ‘egoistis ‘mereka sendiri. Namun
itu hanya sebagian kecil, karena sebagian besar kehidupan di pesanteren sangat kental dengan nilai-nilai
multikulturalisme.
Setidaknya ada tiga hal
mendasar yang bisa kita lihat dan rasakan dari sumbangsih pesantren dalam
usahanya membentuk jatidiri bangsa Indonesia, yaitu (1) secara geneologi; (2)
secara paradigma; dan (3) secara sosiologis. Pertama, secara geneologi, pesantrean sudah mengalami kontak secara
langsung dengan penganut agama lain ketika masa Hindu-Budha di Jawa. Pesantren
sudah memberikan contoh dengan baik, bagaimana berdialog dengan kelompok yang
memiliki kepercayaan berbeda. Para founding
father penyebaran Islam, Wali Sanga,
mengajarkan kepada kita, bahwa mereka tidak menghapus kebudayaan agama
Hindu-Budha, namun justru mencari titik temu persamaan budaya Hindu-Budha
dengan ajaran agama Islam.
Kedua, secara paradigmatis.
Dalam dunia pesantren, jelas terlihat nilai dan prinsip toleransi dan
keterbukaan. Ajaran pesantren mengajarkan tentang toleransi terhadap perbedaan.
Misalnya dalam pengajaranya, pesantern mengajarkan semua madzab ilmu fiqih pada
para santri. KH Nawawi dalam melakukan pengajarannya juga selalu menerima
pendapat yang berbeda. Dalam menghargai perbedaan ini, pesantren menampakan
toleransi terhadap perbedaan yang terjadi antar pesantren dalam memahami teks
hadits maupun Al-Qur’an yang disesuakan dengan nilai-nilai kearifan lokal.
Pada bagian ini, pesantren
menampakan wajah yang universal, atau Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Wajah universal ini ditransformasikan kedalam
nilai-nilai lokal yang plural. Misalnya, pesanteren yang tumbuh didaerah
Madura, akan menampakan wajah keislamannya dengan nilai-nilai kebudayaan
Madura. Pesantren menyadari, tidak akan memutlakan suatu tafsiran, namun
membiarkan berbagai tafsiran tentang keagamaan itu berkembang sesuai dengan
kebutuhan zaman.
Kemudian yang ketiga, secara sosiologis. Pesantren
sebagai sebuah komunitas sosial yang teridiri dari Kiai dan santri berasal dari
berbagai latar belakang yang beragam. Hal ini memperlihatkan bahwa, realitas
sosial pesantren juga sangat plural. Misalkan, pondok pesantren Tebuireng,
Jombang. Disana santrinya berjumlah ribuan, berasal dari berbagai daerah, ada yang berasal dari Jawa, Madura, Kalimantan, Papua, dan dari seluruh daerah di Indonesia. Namun, dalam bingkai
kehidupan dilingkungan pesantren tidak pernah terdengar ‘tawuran’ bahkan
terkesan sangat harmonis sehingga praktis tidak pernah ada
pertikaian besar terjadi disini.
Ada pertanyaan, kalau
pesantren memberikan sumbangsih nilai multikulturalsime di Indonesia, tapi
kenapa Indonesia saat ini justru banyak konflik dan permusuhan? Memang inilah ironi yang
menyentuh hati nurani. Jawabanya, kita kurang belajar dari ulama dan sejarah
bangsa kita sendiri. Paling penting yang perlu diingat, kita masih mempunyai
mozaik dipesantren apabila kita memerlukan sebuah contoh arti sebuah persatuan
ditengah perbedaan. Pesantren telah memberikan sedikit gambaran tentang
bagaimana menjalani kehidupan yang harmonis dalam atap perbedaan. Inilah esensi
dari ajaran KH Nawawi dengan membentuk pondasi jatidiri bangsa lewat
karya-karyanya yang diteruskan
oleh para muridnya didunia pesantren.
Dengan semua teladan
dari KH Nawawi, kita harus siap menerima keberadaan orang atau kelompok lain
yang berbeda dengan kita. Dengan cara membiasakan diri seperti itu, hati kita
akan terbiasa menerima perbedaan. Nafsu untuk mengejar kekuasaan akan
terkalahkan dengan semangat persatuan. Tidak akan ada lagi ego untuk
menonjolkan identitas kelompok sendiri, tapi semuanya akan saling menghormati.
Bangsa ini harus belajar terhadap kesuksesan pesantren dalam
mengimplementasikan nilai-nilai multikulturalisme. Kita harus belajar untuk
saling belajar, bukan saling menghajar, pelangi terdiri dari banyak warna yang
berjejer menjadi satu, jadi bukankan pelangi indah karena berbeda?
Penutup
KH Nawawi wafat ketika
menginjak usiannya yang ke 84 tahun, tepatnya pada 24 Syawal 1314 Hijriyah/1897
Masehi. Beliau meninggal ketika sedang menterjemahkan kitab Minhaj al-alibin karya Imam Nawawi
al-Dimshaqi. KH Nawawi dimakamkan ditempat tinggalnya disekitar Shi’ib ‘Ali
Mekkah, tepatnya dipekuburan Ma’la, yang berdekatan dengan kuburan Ibn Hajar
dan Asma’ binti Abu Bakar. Lewat kemasyuran namanya, KH Nawawi mendapat banyak
gelar, diantaranya Sayyid ‘Ulama al-Hijaz
(Pemimpin ‘Ulama Hijaz), AI-Imam
al-Muhaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq (Imam yang Mumpuni Ilmunya), A’yan ‘Ulama al-Qarn aI-Ram ‘Asyar Li
al-Hijrah (Tokoh Ulama Abad 14 H), dan Imam Ulama Al-Haramayin (Imam Ulama
Dua Kota Suci).
Semasa hidupnya, banyak
karya-karya yang lahir dari ketinggian keintelektualannya. Tulisannya melintasi
berbagai disiplin ilmu, beliau juga meneruskan tradisi ulama Nusantara dalam
mentransformasikan gagasan keilmuannya melalui pengajaran kepada
murid-muridnya. Perannya dalam menyebarkan Islam di Nusantara sangat berguna
bagi arah pembentukan identitas bangsa kedepannya. Dengan pengajarannya di
Mekkah al-Mukarramah, beliau berhasil menghasilkan murid-murid yang menjadi
tokoh nasional dalam memperjuangkan Indonesia. Salah satu muridnya adalah
Hadratul Syekh KH Hasyim Asy’ari, ulama pendiri Nahdlatul Ulama, sebuah
organisasi Islam terbesar hingga saat ini.
KH Nawawi merupakan
ulama Rijal al-Dakwah yang jasa-jasanya sangat terasa untuk dunia Islam di
Indonesia maupun dunia Islam pada umumnya. Dampak aktifitas dakwah yang
dilakukan oleh KH Nawawi masih terasa sampai sekarang. Bahkan hampir semua Kiai
Pesantren masih menggunakan karya-karyanya sebagai rujukan utama. Hal ini bisa
ditelusuri dari geanologi keilmuan KH Nawawi terhadap wajah pesantren dewasa
ini. Salah satunya adalah nilai-nilai multikulturalisme yang dipraktekan
pesantren hingga saat ini.
Nilai-nilai inilah yang
sangat dibutuhkan bangsa Indonesia pada era globalisasi ini. Tantangan primordialisme
dan cauvinisme saat ini mulai menjamur diberbagai daerah Indonesia. Oleh karena
itu, kita harus menengok kebelakang sejenak untuk belajar tentang arti
multikulturalsime dari seorang ulama besar yang pernah dimiliki oleh Indonesia,
Syekh Nawawi al-Bantani.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman Nawawi al-Bantani. 1996. An
Intelectual Master of the Pesantren Tradition, Dalam Studi Islamika, no. 3,
vol. 3, Jakarta: INIS.
Bruinesen, Martin Van. 1995. Kitab
Kuning (Pesantren dan Tarekat). Bandung: Mizan.
Chaidar. 1978. Sejarah Pujangga Islam
Shaykh Nawawi Banteni. Jakarta: Sarana Utama.
Ensiklopedia Islam. 1994. Ensklopedia
Islam Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Huntington, Samuel P., 1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of
World Order. New York: Simon & Schuster.
Wan Moh. Saghir. 2000. Wawasan
Pemikiran Islam Ulama Asia Tenggara. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah.
Karel A. Steenbrik. 1984. Beberapa
Aspek Tentang Islam di indonesia Abad 19. Jakarta: Bulan bintang.
Wan Mohd, Saghir. 2000. Wawasan
Pemikiran Islam Ulama Asia Tenggara. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah.
Zamakhsyari Dhofier. 2011. Tradisi
Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia,
Jakarta: LP3ES.