Sukarano, Sumber dari Kinara Vidya |
Tahun
1946, hanya berselang satu tahun setelah Indonesia merdeka, ditengah kondisi politik
yang tak menentu, Bung Karno berencana merayakan hari kemerdekaan yang pertama
dengan pameran seni lukis. Untuk merealisasikan rencana pameran lukisan itu,
Bung Karno meminta kepada salah satu pelukis asal Yogyakarta, Hendra Gunawan
untuk mengadakan pameran seni lukis tunggal. Hendra Gunawan menyanggupinya.
Pagelaran seni lukis itu dilakukan di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Bung Karno
akan menghadiri acara itu dengan protokoler resmi. Namun ditengah persiapan
pameran, Hendra menemukan ide “gila”. Ia mengumpulkan berbagai gelandangan yang
bersiap dengan kostum asli kere para gelandangan. Para gelandangan ini
menjadi tuan rumah pameran lukisan, tapi protokoler presiden menolaknya.
Meskipun mendapat penolakan, Hendra Gunawan tetap kukuh untuk merealisasikan
konsepnya.
Akhirnya
pameran itu terjadi juga. Ketika pameran benar-benar dibuka, tersaji sebuah
pemandangan drama. Bung Karno terperanjat keget luar biasa melihat pemandangan
yang tak biasa didepan matanya. Namun, bukanya marah kepada Hendra, melainkan
Bung Karno manggut-manggut seraya memeluk Hendra. Kejadian ini akhinrya membuat
Bung Karno menitikan air mata. "Setiap orang berhak melihat lukisan
saya. Dan saya berhak memperkenalkan karya-karya saya kepada siapa saja"
kata Hendra. Bung Karno amat menghargai gagasan "gila" itu. Menurut
Bung Karno, setiap ide dan gagasan dari para seniman, apapun bentuknya,
dianggap mempunyai nilai-nilai kemanusiaan. Baginya, “Gagasan seniman juga
merupakan obsesi dibenaknya sendiri, karena setiap ide-ide kesenian sesorang
harus dihormati”.
Melihat
sosok Presiden Pertama Republik Indonesia ini tak bisa terlepas dari dunia
seni. Pada era akhir 1950-an, Bung Karno dianggap sebagai presiden yang paling
banyak mengkoleksi karya seni, terutama lukisan. Seni lukis bagi Bung Karno
merupakan kumpulan gairah-gairah dalam hidupnya, yang membuat sesorang terus
mendapatkan suntikan energi jiwa muda dalam aliran darahnya. Itulah mengapa
Bung Karno selalu terlihat kobaran semangat muda. Dalam kalimat pembukaan
otobiografinya, tulisan Cindy Adam, “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia”, untuk menggambarkan dirinya, cukup menyebutnya “mahapencinta”.
Bung
Karno memberikan kata simple untuk menggambarkan seluruh dirinya hanya
dengan satu kata “mahapencinta”. Itulah Bung Karno. Ia sangat mencintai
negaranya, mencintai rakyatnya, mencintai seni, bahkan mencintai banyak wanita.
“Aku bersukur kepada Yang Maha Kuasa, karena aku dilahirkan dengan perasaan
halus dan darah seni”, begitu ucap Bung Karno. Saat ini, sebagian orang
lupa melihat sisi lain diri Bung Karno tentang seni dan seni mencintai, timbul
pertanyaan, dari mana asal kedekatan Bung Karno dengan seni lukis? Bagaimana
sumber bakat Bung Karno tentang karya seni lukis ini, sehingga ia sanggup
selain menjadi kolektor juga menjadi kreator. Selain itu, apa hubunganya karya
seni dengan jiwa muda Bung Karno dalam sisi mencintai wanita? Mari kita bahas
disini.
Kesenian dan Sarinah
Bung
Karno pernah berbicara kepada salah satu pelukis istana, Dullah, tentang asal
bakat dan kecintaanya kepada seni berasal. “Ingat, aku adalah anak Ida Ayu
Nyoman Rai, keponakan Raja Singaraja, wanita dari pulau Bali”. Dengan
mantap Bung Karno menyebut bahwa ia masih ada hubungannya dengan Pulau Dewata
ini. Kita tahu, Bali merupakan suatu ruang yang meproduksi sosial budaya
original, yang memadukan antara masyarakat “tradisional” Indonesia bagian Timur
dengan kebudayaan Jawa. Bali adalah “Pulau Seni”. Di Bali, kesenian memang
tercipta dalam bingkai kerangka filosofis yang berhubungan dengan religiusitas
dan ritual keagamaan. Bahkan, orang Bali bisa dikatakan pertama melihat seni
ketika matanya membuka untuk pertama kalinya didunia.
Di Pulau Dewata ini, ketika orang
pertama lahir, ia sudah bersentuhan dengan benda-benda upacara yang bersifat
artistik seperti cili, lamak, ubag-abig, canang, sarad, lukisan dan
arsitekstur bangunan. Kesan itulah yang mungkin terasa ketika Ida Ayu Noman Rai
mengandung Bung Karno. Artinya, dalam diri Bung Karno memang sudah menggeliat
sebelum dilahirkan kedunia. Ketika tumbuh kembangnya Bung Karno, semakin
terlihat jiwa seninya. Hal ini bisa dilihat dari pemilhian jurusan Arsitektur
dalam memilih pendidikan tingginya. Bahkan di Ende, misalnya, Bung Karno pernah
membuat naskah sandiwara untuk membunuh kesepiannya ditengah pembuangannya.
Setidaknya ada 12 naskah yang ia tulis selama pembuangannya ini. Makanya tak
heran, apresiasi Bung Karno atas karya seni tidak terbatas kepada karya-karya
yang tercipta belaka, namun juga terhadap kreatornya. Hal ini bisa dipahami
dari cerita Bung Karno dan Hendra Gunawan diawal pmbukaan tadi.
Bung Karno dalam beberapa kali kesempatan
pernah menegaskan, bahwa kalau ia tidak terjun kedunia politik dan menjadi
seorang presiden, mungkin ia sudah menjadi seorang pelukis. Dengan kecintaanya
dengan seni, meskipun sesibuk apapun agendanya sebagai seorang presiden, tetap
saja bakat dan kecintaanya terhadap seni lukis tak bisa dilepaskan begitu saja.
Dalam beberapa kesempatan, Bung Karno menerusukan beberapa kebiasaan mudanya
menciptakan karikatur untuk Koran Pikiran Rakyat, Bandung. Biasanya Bung
Karno hanya melukis disebuah kertas dengan cat air.
Mungkin disini Bung Karno sadar,
bahwa dunia politik akan sangat menguras pikiran dan terutama menyita banyak
waktu. Maka dari itu, Bung Karno segera menempatkan posisinya sebagai seorang “kolektor”.
Sebagai seorang kolektor, Bung Karno sering berburu karya seni maestro dunia,
baik karya seni lukis maupun patung. Perburuan koleksinya biasanya dilakukan
ketika Bung Karno berkunjung keberbagai Negara didunia. Bung Karno menyempatkan
diri “mencuri” waktu untuk shoping lukisan atau patung. Begitu juga
ketika Bung Karno berkunjung keberbagai wilayah di Indonesia, kebiasaan untuk
berburu karya seni tetap dilakukannya.
Seperti ketika Bung Karno datang ke
Yogyakarta, ia menyempatkan untuk berkunjung ke Sanggar Pelukis Rakyat, atau
ketika ia berkunjung ke Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Ketika ia
berkunjung ke Bali, ia “menyusup” ke Ubud, menemui seniman Rudolf Bonnet dan
Walter Spies sang pembentuk sejarah seni rupa Bali modern dengan mendirikan
organisasi “Pitamaha” itu. Ia juga memuji karya lukisan Anak Agung Gde Sobrat,
mengaggumi goresan Ida Bagus Made Poleng, atau menyaksikan berbagai karya Le
Mayuer de Mafres seniman asal Belgia yang menikahi Ni Pollok, seorang model
lukisannya sendiri. Bahkan ada kisah terpatri di Bali ketika Bung Karno
berkunjung ke rumah seni Le Mayuer ini.
Antara tanggal 15-17 Juni 1950
bersama tamu Negara yang juga teman dekatnya, Jawaharlal Nehru, ia mengunjungi
Le Mayuer. Pada pertemuan ini, Bung Karno membawa rombongan berjumlah 40 mobil.
Kunjungan itu dilakukan pada malam hari dengan konvoi mobil kepresidenan. Setelah
pertemuan itu, pada bulan November 1950, Bung Karno pernah berkirim surat
kepada Le Mayuer agar Dullah, pelukis istana, bisa belajar di studionya di
Sanur. Dalam surat ini, tersirat kedekatan antara Bung Kano dan Le Mayuer
begitu dekat. Dari hubungan pertemanan dengan Le Mayuer, Bung Karno mendapatkan
4 karya dari Le Mayuer, yaitu lukisan “kembar” yang berjudul Bermain dalam
Kolam (1950-an), dan Kenikmatan Hidup I dan II (1956).
Bung Karno begitu terpesona dan
terinspirasi dengan berbagai karya seni dari Bali setelah mengunjungi berbagai
galeri lukisan dari para maestro pelukis. Makanya ia terinspirasi untuk membuat
studio seni rupa. Bung Karno berusaha menghidupkan minat masyarakat umum dan
mengajak para pemilik modal sebagai pendorong bagi seniman lukis dan patung
untuk berani berkarya karena sebagian mereka tidak punya modal yang banyak. Dari
inisiatifnya ini, Bung Karno memunculkan nama Tjio Tek Djien, yang mendirikan
studio dibilangan Ciledug, Jakarta, menjelang akhir tahun 1960. Disini banyak
orang-orang yang bergabung, salah satu namanya adalah Trubus dan Lim Wasim yang
kemudian hari dikenal sebagai seniman handal. Mereka digaji dengan gaji harian
1.000,- dengan ketentuan harus menyelesaikan satu lukisan setiap harinya.
Bandingkan dengan honor Pelukis Istana yang kala itu bergaji Rp. 5.000,- per
bulan.
Untuk mendistribusikan, sosialisasi
dan merangsang market seni rupa, Bung Karno mendorong para pengusaha mendirikan
galeri. Maka di Sanur berdirilah Galeri Pandy milik James Pandy. Di Jakarta
Pusat dan Jakarta Selatan juga berdiri beberapa Galeri lukis. Sementara itu, di
Istana Kepresidenan juga dipampang berbagai koleksi lukisan Bung Karno,
layaknya sebuah galeri. Tak jarang berbagai tamu asing, pejabat tinggi hingga
para rombongan bintang film atau para diplomat asing yang ditunjukan soal
lukisan sebelum memulai diplomasi. Dimata publik, Bung Karno dianggap sebagai
sosok yang revolusioner dan penuh gairah, sehingga tak mengherankan koleksi
Bung Karno dipersepsikan menyimpan paradigma “gelora politik, perjuangan,
dan revolusi”.
Namun, dibebrapa sisi, tafsiran itu
justru keliru, karena banyak koleksi seni lukis Bung Karno justru yang
terbanyak mengenai sesuatu hal yang cantik, dan itu ditemukan dari sosok
perempuan. Selain koleksi lukisan wanita, juga terbanyak terdiri dari
pemandangan alam, bunga-bunga serta abtstak benda mati. Sementara yang
bertemakan perjuangan dan revolusioner tak lebih dari 10 % belaka. Bung Karno
lebih mementingkan “teknik” ketika menentukan lukisan yang berkualitas. Karena
dengan teknik, segala yang dikreasikan akan muncul dengan hasil keindahan. Ia
pernah berucap, “A thing of beauty is a joy forever”, atau barang indah
adalah kenikmatan yang kekal. Pepatah ini dipegang sebagai sebauh prinsip.
Termasuk penglihatannya terhadap sosok perempuan, biarlah akan dibahas
belakang.
Sosok perempuan ini pernah menjadi
fenomena ketika lukisan itu Bung Karno-lah sendiri yang meluksinya. Lukisan itu
diberikan nama oleh Bung Karno dengan “Rini”. Menurut beberapa sumber, lukisan
itu tercipta dari kunjungnya ke Bali. Ketika Bung Karno sedang beristirahat di
Bali, ia mengajak pelukis istana Dullah. Seperti biasanya, Dullah mencoba untuk
membuat lukisan. Sebelum membuat lukisan, terlebih dulu membuat sketch
(garis-garis), namun kerangka lukisan itu ditinggalkan oleh Dullah karena
kembali ke Jakarta. Beberapa bulan berikutnya, pada awal Desember 1958, Bung
Karno kembali lagi ke Bali untuk beristirahat. Dullah sendiri tidak ikut serta.
Selama 10 hari Bung Karno berada di Bali, disela-sela kegiatan, ia
menyelesaikan sketch Dullah. Tentu saja dalam penyelesaian lukisan ini,
Bung Karno menambah dan merubah sketch semula.
Setelah jadi, lukisan itu diberi
nama Rini. Beberapa sumber mengatakan bahwa Rini ini adalah Sarinah. Sosok
perempuan yang pernah menjadi pengasuh Bung Karno ketika kecil. Sarinah
merupakan salah satu perempuan yang berjasa memberikan pola asuh ketika Bung
Karno kecil. Sosoknya yang lembut dan bercirikan perempuan khas Indonesia
membuat sosoknya tak tergantikan. Tidak ada yang tahu pasti kenapa lukisan yang
dibuat Bung Karno diberikan nama Rini. Menurut Soimun HP, lukisan yang sama
dengan judul “Sarinah”, karena menurut Bung Karno, Sarinah merupakan ciri wanita
Indonesia yang sesungguhnya.
Dia menambahkan tentang versi lain
tentang proses dibuatkannya luksian itu. Konon, ceritanya ketika Bung Karno
sedang berada disebuah pantai di Bali, ketika seorang wanita lewat diboncengkan
sepeda oleh tunangannya, entah mengapa, Bung Karno merasa tertarik dengan
wanita tadi dan menawarkannya sebagai model dalam lukisannya. kemudian dua
orang tadi diminta oleh Bung Karno untuk berhenti, gadis itu menerima tawaran
Bung Karno. Gadis itu diminta menggantikan bajunya dengan kebaya yang lebih
bagus yang dipinjamkan oleh Bung Karno pada saat itu juga. Sosok wanita tadi
dipoles sedemikian rupa, dan ditata dirapikan, dan Bung Karno mulai melukis. Setelah
selesai melukis, Bung Karno bertanya apa yang diingankan wanita itu sebagai
imbalan. Wanita remaja tadi hanya meminta kemeja dan bahan celana untuk
pacarnya. Keinginan ini diluluskan oleh Bung Karno disertai dengan sedikit
uang.
Beberapa kisah terbentuknya lukisan
Rini menggambarkan sosok Bung Karno selain menjadi kolektor juga menjadi “eksekutor”
dari sebuah karya seni. Kecintaannya terhadap seni juga terlihat dari sistem
pemerintahanya. Seperti pembuatan lambang Negara Garuda Pancasila, Bung Karno
punya andil besar didalamnya. Bahkan desain pakaian-pakaiannya, terutama jas
khasnya, banyak yang ia desain sendiri. Termasuk kedalam penamaan-penamaan
jargon nama-nama dalam sistem pemerintahannya sangat diperhatikan dan
dipikirkan dengan baik-baik. Seni pemerintahannya juga terlihat dari berbagai
kisah hidupnya. Bung Karno menegaskan, bahwa barang indah merupakan kenikmatan
yang kekal. Inipun yang menjadi pegangan kehidupan pribadinya. Jiwa muda tetap
menjadi geloranya ketika menempati pucuk pimpinan. Salah satunya dengan memperistri
sosok wanita Salatiga, Hartini Sukarno.
Darah Muda dan
Kisah Cinta
Kecintaan
Bung Karno terhadap karya seni bisa dilihat dari beberapa koleksinya lukisannya,
salah satu kecintaanya juga bisa dilihat dari sosok perempuan. Bahkan lukisan
Rini yang dibuat oleh Bung Karno merupakan sosok wanita berkebaya yang sedang
duduk manis. Selain sebagai pengaggum lukisan, Bung Karno juga merupakan
“pengaggum” perempuan. Karena kegakumannya terhadap kecantikan ciptaan Tuhan
ini, ia berusaha menjadi “pemilik” dari sejumlah perempuan. Dan memang beberapa
perempuan yang diperistrikannya memang tergolong cantik secara fisik.
Dalam
sosok seorang perempuan, sering juga membawa pengaruh terhadap kepemimpinan
laki-laki. Mungkin kita masih ingat pada kisah tentang Presiden AS, Clinton
membuat skandal dengan sekertarisnya, yang mengakibatkan Clinton nyaris
kehilangan kursi kepresidennya. Atau kisah cinta yang akhirnya membuat sebuah bangunan
masjid yang demikian megah dan indah demi seorang istri yang dicintainya,
bangunan itu adalah Taj Mahal. Sukarno pernah didampingi oleh sosok perempuan
cantik pada era 1930-1940 dalam sosok Inggit Gunarsih yang mengantarkannya
kedalam pintu gerbang kemerdekaan.
Menurut
Anhar Gonggong, ada 3 wanita yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan
pribadinya. Dia adalah, Inggit Gunarsih, Fatmawati dan Hartini. Bila Inggit
merupakan sumber kekuatan dan sumber energi ketika menghadapi perjuangan
mengusir kolonial. Posisi Fatmawati, merupakan sebagai “ledy first” atau
ibu Negara ketika berposisi sebagai seorang Presiden. Sedangkan perempuan
ketiga adalah Hartini. Hartini tampil sebagai seorang perempuan dalam segala
aspek manusia perempuannya itu.
Sebagai
seorang janda, Hartini mendapatkan sambutan dan cercaan yang secara psikologi
sangat berat. Pertemuan dengan Hartini didalam rumah Walikota Salatiga sangat
berkesan oleh Bung Karno, Bung Karno lagi-lagi melihat “keindahan” hingga ia
menulis sebuah surat yang salah satu bagian isinya, “Tuhan telah mempertemukan
kita Tien, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir”. Namun, cinta antara
keduanya akhirnya membawa kedalam sebuah pernikahan resmi. Meskipun berbagai
cercaan kritik dihadapi oleh Bung Karno dan terutama kepada Hartini, tapi Bung
Karno tetap mempertahankan. Mereka menggunakan simbol kesenian dengan
menggunakan nama-nama samara dengan Srihana-Srihani. Srihana disimbolkan
sebagai Bung Karno, dan Srihani sebagai Hartini.
Setelah
mendapatkan Hartini sebagai salah satu istri resminya, hartini benar-benar
membaktikan dirinya kepada sosok Bung Karno. Maka dia berusaha untuk memenuhi
tugasnya, sebagai seorang perempuan, yang jadi istrinya dari orang besar. Dia
menempatkan Hartini sebagai sosok yang memang layak dicintai, dan Bung Karno mendapatkan
balasanya hingga akhir hayatnya. Itulah hasil “penglihatanya” untuk memilih
sebuah keindahan ciptaan Tuhan. Itulah Bung Karno, memilih pasangan hidupnya
dengan nilai-nilai seni.
Karena
menurut Bung Karno, semuanya diimbuhi dengan seni. Diplomasi harus melibatkan
seniman, mengatur rakyat harus dengan seniman, menata kota dan lingkunganpun
harus dengan seniman. Hingga tahun 1965, koleksi lukisan Bung Karno tercatat
lebih dari 2.000 buah. Koleksinya dari berbagai maestro dunia, seprti Diego
Rivera, Ito Sinshui, William Russel Flynt, dan sebagainya.
Koleksi
semua itu sudah tersusun dari sebuah buku. Pertama tahun 1956 dalam 2 jilid.
Ahun 1961 terbit 2 buku selanjutnya, yang semuanya disusun oleh Dullah. Tahun
1964 muncul 5 jilid lain yang merupakan pelengkapan, karena koleksi Bung Karno
terus bertambah. Buku ini disusun oleh Lee Man fong. Semua kitab itu
mencantumkan sekitar 500 lukisan pilihan. Tapi Bung Karno menilai masih ada
sekitar 500 karya pilihan lain yang patut dibukukan. Maka tahun 1966, untuk
merayakan ulang tahun ke-65, direncanakan terbit jilid VI sampai X, susunan Lim
Wasim. Namun, kerusuhan politik meletus. Bung Karno pun lengser.
Bung
Karno wafat pada 20 Juni 1970, setelah empat tahun dalam "pengasingan".
Kita tak tahu, Putra Sang Fajar ini redup karena sekadar sakit, atau lantaran
selama 40 bulan dipisahkan dari dunia seni lukis dan istri-istrinya yang sebelumnya
memberinya gairah hidup dan napas panjang.
Referensi:
Nugroho,
Arifin Suryo. 2009. Srihana-Srihani, Biografi Hartini Sukarno. Yogyakarta:
Ombak.
Majalah
Intisari, “Bung Karno dan Seni Rupa”. Bulan April 2001. Online, http:// www.indomedia.com/intisari/2001/Apr/BK.htm
diakses 20 September 2017.
Susanto, Mikke. 2012.
“Presiden Sukarno dan Pelukis Le Mayuer di Bali”. Urna, Jurnal Seni Rupa.
Vol 1, No. 2 (Desember 2012), Hlm. 107-213.
Ditulis oleh Osi Krismonika, untuk Mengikuti Lomba Esai tingkat Nasional, "Sukarno, Pemuda dan Seni" yang diadakan oleh Kinara Vidya Pada tanggal 25 September 2017. Tulisan ini mendapatkan Juara 1.
Osi Krismonika dan Ketua Kinara Vidya, Dr. Sri Margana |