SUB
JUDUL : ANTI HOAX SANG PENDIDIK
Oleh
: Susilowati S.Pd.
Guru Sejarah MAN Purbalingga
“Copas....:
..........VIRALKAN........
Bagus Ini
Tulisan... (Emoticon Jempol)
Baca Sampai
Tuntas...
5000 Pucuk
Senjata dan Kilas Balik Genocida Muslim Maluku
Untuk
Kewaspadaan Ummat Islam NKRI....
Semakin Nyatanya Kebangkitan PKI
Disusul Berita Import 5000 Pucuk Senjata Ilegal Sebagaimana Disampaikan
Panglima TNI Bapak Gatot N, Membuat Kami Terkenang Kembali Genocide Muslim
Maluku Yang Dimulai Awal Tahun 2000 Lalu.
Sebelum Meletusnya Pembantaian Yang
Dilakukan Kelompok Minoritas (Salibis) Terhadap Kelompok Mayoritas (Muslim)....
(Dan seterusnya.....)”
Kutipan
Broadcast di atas saya peroleh dari salah satu grup Whatsapp yang saya
ikuti. Informasi tersebut memberikan kesan bahwa sedang ada upaya masif dari
kelompok tertentu untuk membangkitkan PKI, bahkan gerakan ini semakin nyata
karena sudah ada pemesanan senjata yang (kesannya) akan digunakan untuk
membantai umat muslim seperti yang terjadi di Maluku. Padahal faktanya tidak
demikian, menurut Menkopolhulkam Wiranto, setelah dikonfirmasi kepada panglima
TNI, KAPOLRI, Kepala BIN dan instansi terkait, terdapat 500 pucuk senjata laras
pendek buatan PINDAD (bukan 5000 pucuk dan bukan standar TNI) oleh BIN untuk keperluan
pendidikan Intelejen. Fakta ini kemudian saya share ke grup, dengan
tujuan agar berita bohong (hoax) ini tidak lagi disebarluaskan.
Hoax dengan bumbu sentimen SARA dan ujaran kebencian semacam ini hampir
setiap saat muncul di Smarthphone saya. Tersaji dalam berbagai bentuk,
dan tersebar melalui berbagai media sosial (medsos) yang saya miliki, seperti
Facebook, Instagram, dan Twitter. Selain dalam bentuk broadcast yang disebarkan
melalui grup-grup WA, seperti yang saya contohkan di atas, di Facebook juga tidak
sedikit yang menulis status atau
mengunggah link-link senada, yang
memicu debat kusir di kolom komentar, kemudian berujung pada pertengkaran, bahkan
saling unfriend dan saling blokir. Bukan hanya itu, di Instagram juga bertebaran
meme-meme yang melecehkan seseorang, golongan, ataupun kelompok tertentu. Belum
lagi di Twitter, setiap saat muncul cuitan berupa sindirian atau ujaran bernada
provokatif yang bertujuan untuk menggiring opini publik. Begitulah situasi di medsos
saat ini, begitu gaduh, simpang siur, kadang menyesatkan. Lantas sebagai pendidik,
apakah kita hanya akan tinggal diam manakala keluarga, siswa, serta masyarakat
di lingkungan sekitar kita ikut terseret dalam lingkaran (siklus) kegaduhan
tersebut? Tentu saja tidak, karena hal yang terlihat sepele ini, jika kita biarkan
dapat menjadi “predator” berbahaya bagi kebinekaan bangsa Indonesia. Oleh sebab
itu, kita perlu memberikan edukasi, agar mereka mampu mendeteksi darimana dan bagaimana
siklus ini dimulai, untuk kemudian memotong rantai peredarannya, sehingga “predator”
kebhinekaan yang bernama hoax ini bisa kita musnahkan bersama-sama, atau
setidaknya bisa kita hambat pertumbuhannya.
Siklus Hoax
Di
era kegaduhan informasi ini, tidak perlu cara yang rumit untuk mempengaruhi
pikiran publik. Cukup dengan informasi bohong yang dikemas ala kadarnya,
asalkan sudah diunggah pada pangsa pasar yang sesuai dan dibaca oleh kelompok
yang merasa satu pandangan maka berita tersebut akan sangat mudah untuk “diamini”
dan “diimani” sebagai fakta, untuk kemudian disebarkan kemana-mana. Hal ini
terjadi karena saat ini masyarakat kita banyak yang terjebak dalam Post-Truth.
Menurut Oxford Dictionaries Post-Truth diartikan sebagai istilah yang
berhubungan dengan atau mewakili situasi-situasi dimana keyakinan dan perasaan
pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta
yang objektif.
Post-truth
menggambarkan bagaiman fakta tidak
lagi dominan dalam mempengaruhi pemikiran orang, karena unsur perasaanlah yang
lebih dikedepankan. Seolah hoax bukan tentang fact or fake, namun
tentang like or dislike. Jika demikian, tentunya akan sangat mudah bagi
penebar hoax untuk menginfluence pikiran publik, terutama terhadap kelompok yang
merasa satu pandangan. Dengan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, saat
ini penggiringan opini menjadi pekerjaan yang mudah dan murah, hanya dengan situs
anonim, Facebook, Twitter, serta Instagram fake, informasi sesat yang
mereka publish dalam sekejap mata dapat diviralkan di berbagai penjuru jagad
maya. Seperti yang dilakukan oleh Saracen, sindikat pebisnis berita hoax,
konten tulisan berbau SARA, dan ujaran kebencian. Dari hasil penyelidikan
forensik digital, terungkap bahwa sindikat Saracen beraktivitas dengan
menggunakan grup Facebook. Diantaranya, melalui Saracen News, Saracen Cyber
Team, dan Saracen News.com yang telah beroperasi untuk menggalang lebih dari
800.000 akun. Selanjutnya pelaku mengunggah konten provokatif bernuansa SARA
dengan mengikuti perkembangan trend di media sosial. Unggahan tersebut biasanya
berupa kata-kata, narasi ataupun meme yang dapat menggiring opini negatif
terhadap kelompok tertentu.
Selain
Saracen, dari data yang telah dirilis oleh kementerian Komunikasi dan
Informatika, di Indonesia setidaknya terdapat sekitar 800 ribu situs penyebar konten
hoax. Itu adalah angka yang sangat fantastis, bayangkan saja, jika konten
hoax tersebut di-share di semua akun yang mereka miliki, maka
dalam sekejap mata akan dibaca oleh jutaan followers-nya, belum lagi
jika kemudian di-repost dan di-broadcast kembali melalui
berbagai medsos. Betapa banyak kerusakan yang telah mereka ciptakan hanya dalam
hitungan detik. Ini adalah kejahatan luar biasa, jutaan orang menangkap
informasi sesat hanya dalam sekali “klik”. Apalagi setengah lebih penduduk
Indonesia telah menggunakan internet, sehingga produk informasi sesat tersebut akan
sangat mudah untuk diviralkan. Banyaknya pengguna internet di Indonesia dapat
diketahui dari hasil survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia) yang menyatakan bahwa jumlah pengguna Internet di Indonesia tahun
2016 adalah 132,7 juta user atau sekitar 51,5 % dari total jumlah penduduk
Indonesia sebesar 256,2 juta. Sedangkan
konten media sosial yang paling banyak dikunjungi adalah Facebook sebesar 71,6
juta pengguna atau 54 % dan urutan kedua adalah Instagram sebesar 19,9 juta
user atau 15 %, selanjutnya jumlah pengguna Twitter sebanyak 7,9 juta
pengguna atau 5,5 %.
Mengenali
“Predator” Kebhinekaan
Setiap
warganet berpotensi untuk menjadi agen hoax, oleh karena itu kita harus
menyadari bahwa tidak semua informasi yang diperoleh melalui medsos bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Jangan mudah terdistorsi oleh informasi
yang kelihatannya faktual namun menyesatkan, kenali terlebih dahulu apakah
berita tersebut memang benar ataukah hanya dusta yang berkedok kebenaran. Berdasarkan
potongan broadcast yang saya cantumkan di atas, sebenarnya berita hoax
dapat kita identifikasi, langkah yang
pertama adalah dengan melihat judulnya, yang terkesan heboh, berlebihan, dan
provokatif. Selain itu berita tersebut juga tidak mencantumkan sumber maupun
penulis, sehingga tidak ada yang dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap
kebenaran dari isi berita. Selanjutnya lihatlah gaya tulisannya yang terkesan amatir,
dimana setiap kata diawali dengan huruf besar, ini menyalahi kaidah penulisan
yang baku. Kemudian kita periksa isinya, berita tersebut memuat klaim
berlebihan mengenai jumlah senjata, yang katanya berjumlah 5000 ternyata hanya
500, selain itu isi berita tersebut juga terkesan provokatif dan dapat menimbulkan
kebencian terhadap kelompok tertentu. Jika kita menjumpai berita yang demikian,
maka sebelum di-share perlu diverifikasi terlebih dahulu, cross chek
dengan sumber lain sehingga kebenarannya dapat dipastikan.
Banyak
cara untuk memverifikasi kebenaran ataupun kepalsuan sebuah informasi di internet. Pertama adalah dengan
melakukan cross chek berita ke sumber lain yang kredibel, jika tidak ada
kesesuaian berita maka patut diduga berita tersebut hoax. Selanjutnya
dengan mengecek “disclaimer” untuk mengetahui keterangan dari situs yang
memuat berita yang terindikasi hoax. Biasanya disclaimer berada
di atas atau paling bawah halaman web, ada juga yang berada diantara artikel.
Jika situs tidak mencantumkan keterangan apapun tentang mereka, maka sudah
dipastikan bahwa itu adalah situs berita palsu. Adapaun cara yang paling mudah
adalah dengan mengunjungi situs-situs yang ahli dalam membongkar hoax,
yaitu Sekoci.org, Snopes.com, Hoax-Slayer.com, Hoax or Fact, Thats nonsense,
Hoax-net.be., Ellinikahoaxes.gr, hoaxes.org, dan Indonesia Report yang menyajikan
kategori Hoax atau Fakta. Sedangkan untuk memverifikasi keaslian gambar bisa
melalui Findexif.com, Exif Viewer Jeffrey, Foto Forensik, Google Pencarian
Gambar, TinEye.com, ImageRaider, serta JPEGsnoop.
Putuskan Rantainya,
Rawat Kebhinekaannya
Tidak
dapat dipungkiri di abad virtual dewasa ini, arus informasi dapat bertukar
dengan sangat cepat, mudah dan murah. Informasi apapun bisa dibuat oleh
siapapun, dan dapat disebarkan kemanapun dalam kecepatan cahaya, tanpa harus
mengeluarkan biaya mahal. Kini seluruh warganet adalah prosumen, produsen
sekaligus konsumen informasi. Efek langsung fenomena prosumen adalah ledakan
suplai informasi yang bahkan tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Melimpahnya suplai ini, memudahkan kita dalam menemukan informasi apapun di
internet. Bahkan terlalu mudah, karena informasi yang tersedia jauh melebihi
kebutuhan kita. Dalam semburan melimpahnya informasi itu, tantangan yang
dihadapi kemudian adalah bagaimana memilah dan memilih informasi mana yang
dibutuhkan dan dipercaya. Jika kita telah mampu mengidentifikasi informasi mana
yang bisa kita serap dan mana yang harus kita abaikan, setidaknya kita akan
mampu memutuskan rantai peredaran hoax yang telah merugikan begitu banyak
pihak.
Saat
ini banyak praktik penyusunan dan penyampaian informasi yang dengan sengaja
dibuat menyesatkan dengan tujuan yang beragam, mulai dari yang hanya main-main,
agitasi yang bersifat menghasut, politik, propaganda, dan kepentingan yang
berorientasi kepada ekonomi. Entah untuk kepentingan apapun itu, mereka telah mendulang
keuntungan besar dari praktik penyebaran hoax tersebut, misal Saracen
yang bisa mendapatkan keuntungan finansial hingga 750-800 juta rupiah dari
bisnis kebencian yang mereka kelola. Politikus yang menggunakan cara keji ini
juga telah mendapatkan keuntungan berupa jatuhnya citra lawan politik mereka, hingga
mulusnya jalan menuju kursi kekuasaan yang diidamkan. Namun segala keuntungan
itu hanyalah milik mereka, sedangkan warganet yang tanpa disadari telah menjadi
agen penebar dusta, kebencian, dan isu SARA tidak mendapatkan apapun, bahkan bisa
terancam pidana. Contohnya seperti yang terjadi pada Jonru Ginting, yang kini
telah ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap telah melanggar Pasal 28
ayat 2 UU ITE, yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditunjukkan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Lebih
dari itu, hal yang paling berbahaya dari fenomena hoax, ujaran
kebencian, dan sentimen SARA yang sedang booming saat ini adalah
terancamnya kebhinekaan di negeri kita tercinta. Tidak mudah menjaga keutuhan
negara kepulauan terbesar di dunia, seperti Indonesia, yang di dalamnya
terdapat begitu banyak perbedaan. Bayangkan saja, Indonesia memiliki lebih dari 18.306 pulau,
dihuni oleh 254,9 juta manusia yang memeluk 6 Agama berbeda, terdiri dari 300
kelompok etnis dan 1.340 suku bangsa, dengan 1.211 bahasa daerah, terbentang
dari barat ke timur sepanjang 5.193.250 km melintasi tiga zona waktu, dengan
luas wilayah 3.977 mil dari Samudera Indonesia hingga Samudera Pasifik. Betapa
kayanya Indonesia, sehingga sangat pantas jika bangsa ini di sebut sebagai
sekeping surga yang diturunkan Tuhan di muka bumi. Namun surga ini bisa menjadi
neraka, jika orang-orang yang hidup di dalamnya tidak mampu merawat apa yang
ada. Dari sekian banyak hal yang dimiliki oleh bangsa ini, kebhinekaan
merupakan hal yang paling indah dan berharga, namun sekaligus juga
berbahaya. Oleh karena itu, mari tanggalkan
dan abaikan segala hal yang dapat mengoyak keping kebhinekaan kita, jangan
pernah memberikan ruang bagi mereka yang ingin merusak dan memecah belah
persatuan dan kesatuan yang sejauh ini sudah berhasil kita pelihara.
Kita
memang tidak bisa menghindar dari pesatnya kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi. Era globalisasi menyebabkan setiap masyarakat modern mustahil untuk
bisa mengisolasi diri dari pergaulan. Setiap masyarakat modern mau tidak mau
harus selalu bersentuhan dengan masyarakat modern yang lain, baik dalam
kehidupan ekonomi, maupun dalam kehidupan sosial, politik, atau pun kultural.
Jika kita berusaha untuk menolak takdir sebagai masyarakat modern, dan memilih
untuk mengasingkan diri maka kita akan menjadi masyarakat yang “kuper” dan “out
of date”. Untuk itu sebagai pendidik, kita harus mampu berperan aktif dalam
mempersiapkan generasi muda yang tetap “gaul” namun juga tangguh dalam
menghadapi tantangan jaman, terutama menghadapi gempuran hoax yang dapat
merusak sendi-sendi kebhinekaan bangsa Indonesia. Proses belajar mengajar harus
selalu memberikan penekanan pada pentingnya toleransi, kerjasama, serta melatih
anak untuk berpikir kritis dan analitis, sehingga mereka lebih peka terhadap
perubahan jaman. Selanjutnya kita tanamkan pemahaman kepada para siswa agar
tidak mudah terdistorsi oleh isu-isu berbau SARA yang dapat memicu perpecahan,
sehingga keutuhan NKRI dapat terus terpelihara, karena ke depan di tangan
merekalah bangsa ini akan kita wariskan.
Seluruh
elemen masyarakat harus bersatu padu untuk melawan hoax, ujaran
kebencian, dan diskriminasi SARA yang merupakan “predator” berbahaya bagi
keutuhan NKRI. Memang tidak mudah untuk memerangi keberadaan konten hoax
di jagad maya, namun setidaknya kita dapat menekan laju pertumbuhannya dengan melaporkan
situs-situs di website maupun akun-akun di media sosial yang yang terindikasi menyebarkan
konten hoax, sehingga akan diblokir oleh pihak terkait. Selain itu cara mudah namun efektif yang bisa
kita tempuh untuk memutus rantai siklus hoax yaitu dengan berhenti me-repost
dan me-broadcast informasi yang tidak bermanfaat. Ketika kita
mendapatkan informasi dan ingin mengeshare kembali, sebaiknya tabayyun
terlebih dahulu, pastikan informasi tersebut benar dan bermanfaat. Meskipun
benar jika itu tidak bermanfaat jangan disebarkan, karena menurut hadist
Bukhari Muslim “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, katakanlah
kebaikan atau diamlah.” Make sure before sharing, karena “Satu peluru
hanya bisa menembus satu kepala, tetapi satu telunjuk (tulisan) sanggup
menembus jutaan kepala.” (Sayyid Quthb)
DAFTAR PUSTAKA
Anam,
Faris Khoirul. 2009. Fikih Jurnalistik (Etika dan Kebebasan Pers Menurut
Islam). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Amir
Piliang, Yasraf. 2004. Dunia yang Dilipat (Tamasya melampaui Batas-batas
Kebudayaan). Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra
Asyrik,
Rahim, dkk. 2015. Komunikasi Media dan Masyarakat (Membedah Absurditas
Budaya Indonesia). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset
Emmerson,
Donald K. 2001. Indonesia Beyond Soeharto q: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi.
Jakarta : Gramedia.
Huda,
Khoirul, dkk. 2004. Pendidikan HAM (Modal Fundamental Bagi Anak Didik
Indonesia). Jakarta; CV. Fauzan Inti Kreasi (FIKRI)
Isparmo.
2016. Data Statistik Pengguan Internet Indonesia Tahun 2016. (Online)
(https://www.google.com/amp/isparmo.web.id/20166/11/21/data-statistik-pengguna-internet-indonesia-2016/amp/, diakses
pada Jum’at, 29 Sepetember 2017 pukul
09.00)
Jordan,
Ray. 2016. Menkominfo: Hampir 800 Ribu
Situs Sebar Hoax di Internet. Detik News (Online)
(https://news.detik.com/berita/d-3383695/menkominfo-hampir-800-ribu-situs-sebar-hoax-di-internet, diakses
pada Jum’at, 29 September 2017).
Ryandi.
Dimas. 2017. Wiranto Luruskan Info Soal 5.000 Senjata Versi Panglima TNI,
Simak Ini. (Online)
(https://www.jawapost.com/read/2017/24/159031/wiranto-luruskan-info-spal-5000-senjata-versi-panglima-tni-simak-ini, diakses pada Sabtu, 29
September 2017)
Setiawan. 2014. Kompas : Gunakan Data Resmi
(online)
(https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170404/281642485018747. Diakses pada Jum’at, 29 September 2107, pukul 17.01)
Supriansyah.
2017. Vox Hoax Vox Dei. (Online)
(https://geotimes.co.id/kolom/sosial/vox-hoax-vox-dei, diakses pada Sabtu, 30
September 2017)
Team
Indonesian Report. 2016. 6 Cara Verifikasi Kebenaran atau Kepalsuan
Informasi Online. (Online)
(http://www.indonesiareport.com./6-cara-verifikasi-kebenaran-atau-kepalsuan-informasi-online, diakses Sabtu, 30 September
2017).
Team
Indonesian Report. 2016. Cara Mendeteksi Informasi Berita Apakah Sebuah
Tipuan Hoax. (Online).
http://www.indonesiareport.com./cara-mendeteksi-informasi-berita-apakah-sebuah-tipuan-hoax,
diakses Sabtu, 30 September 2017)