Mereka di Jalanan, Dok Pribadi |
arifsae.com, cerpen - Tiba di rumah sepulang sekolah jam 12.00, aku langsung mengambil
air wudu untuk melaksanakan shalat duhur. Kukenakan sarung warna abu dan kopiah
bercorak ungu bergaris silang serta hamparan sejadah mengahap kiblat yang
menjadi hiasan beribadah menghadap Illahi untuk berusaha khusuk. Selesai
melaksanakan shalat, memanjatkan do’a kepada Allah SWT agar aku diberikan
kekuatan, kesehatan dan keberkahan dalam menjalankan tugas ini termasuk do’a
untuk keluarga yang ada di Indonesia.
Aku hanya bisa memasak yang serba instan, seperti mie
instan, sarden, dan telur. Itulah menu andalan aku setiap hari. Perut
keroncongan ini sudah siap menagih asupan gizi yang seimbang, memang rasa lapar
itu sudah menunggu sejak mengajar di sekolah. Maka segeralah aku mengambil
secangkir beras untuk dicuci dan di masak. Disini tekstur beras sedikit keras,
jadi mesti menambah banyak air dalam memasaknya, mungkin juga karena kualitas
beras yang aku beli tidak lebih bagus.
Pada saat memasak belum selesai, ada anak CLC datang, Pito
namanya. Ia datang ke rumah dan memanggil dengan nada tergesa-gesa,
“Pak guru. Pak guru….!”
“Kenapa? Tarik nafas dulu. Tenang. Ada apa?”
“Di rumah ada yang mati.”
“Apa yang mati? Kambing atau apa?”
“Itu pak guru orang yang sakit mati (meninggal dunia).”
Aku pun kaget dan sepotan, “Innalilahi wainna ilaihi
roojiuun.” Mendengar ada orang yang meninggal dunia, aku langsung duduk dan
terbaring lemas. Pisau yang sedang mengiris-iris bawang, aku simpan dan tidak
aku lanjutkan memasak menu makan. Badan langsung lemas, tangan gemeteran, wajah
bengong seperti orang kebingungan.
“Pak guru kenapa? Pak
guru takut ya?” Pito bertanya seperti keheranan, karena memang mungkin melihat
raut mukaku yang tidak seperti biasanya.
“Pak guru tidak takut, hanya pak guru kaget saja.” Padahal
jujur saja aku ini parnoan. Tapi aku berusaha menyembunyikan rasa parno ini di
depan Pito. Kenapa aku sampai lemas begitu. Bahkan tangan hingga gemeteran.
Aku jadi teringat dengan kata-kata Bu Rustina di Jakarta,
bahwa guru adalah yang dianggap serba bisa. Aku sudah mencium bau kalau ada
yang meninggal dunia pasti aku yang bertanggung jawab mengurus jenazahnya.
Disatu sisi, aku belum pernah ada pangalaman sama sekali terkait pengurusan
jenazah dan sedikit parnoan. Sempat bingung dan syok harus bagaimana dalam
bertindak,
“Pak guru ayo kita kesana ke rumah orang mati.”
“Tunggu sebentar ya, pak guru mau tarik nafas dulu. Kapan
orang itu meninggalnya Pito?”
“Tadi jam 11.00. Di rumahnya hanya ada anaknya, sedangkan
bininya bekerja pak.”
“Massa Allah, kenapa orang sakit ditinggal?”
“Tidak tau Pak Guru, yang jelas sekarang hanya ada anaknya.”
“Ya sudah kita sekarang ke rumah duka ya.” Aku langsung
mengganti pakaian dan segera ke rumah duka. Perjalanan ke rumah duka sekitar 10
menit berjalan kaki.
Tiba di rumah duka, terdengar suara tangisan begitu haru dan
membuat orang yang mendengarnya ikut merasakan kesedihan. Ketika masuk rumah,
terlihat sesosok jiwa yang terkujur kaku, terbaring tapi bukan tidur, mata
tertutup tapi bukan untuk tidur, tubuhnya dingin dan puncat dan aliran darah serta detak jantung sosok
tersebut sudah terhenti. Inilah sosok orang yang ditangisi keluarga.
Dirumah duka hanya ada anak dan tetangganya yang menemani,
sementara isterinya belum pulang bekerja juga. Anak paling besar mengadu,
“Pak guru aku bingung harus bagaimana, bapak sudah tiada.”
“Yang tabah dan sabar ya, semua orang hidup akan mengalami
kematian, hanya kita tidak tahu dimana dan kapan itu terjadi. Kita berasal dari
Allah dan akan kembali juga ke Allah. Jadi berusahalah untuk selalu bersabar
dan bertawakal ya atas kepergian bapakmu. Do’akan bapakmu agar mendapatkan
tempat yang terbaik disisi-Nya.”
Melihat anak-anak yang masih sekecil itu ditinggal oleh
orang tua, hati ini begitu haru. Memang berat melihat anak masih kecil sudah
ditinggalkan oleh sosok seorang ayah. Bahkan aku tidak mampu menahan air mata
keluar ketika melihat anak-anaknya yang masih membutuhkan bimbingan dan kasih
akung dari sosok ayahnya.
Disela percakapan aku dengan anaknya, datanglah isterinya
sepulang bekerja. Dia langsung memeluk dengan penuh kasih akung yang tak
terbendung kepada suaminya yang sudah meninggal, hingga menangis pecah, ketiga
anaknya juga ikut menangis, bahkan si kecil yang masih usia setahunan juga ikut
menangis, kekuatan jiwa dan nurani anak terhadap ayahnya sudah melekat walaupun
masih bayi. Suasana haru pecah pada saat itu, keluarga terdekat, tetangga ikut
menguatkan keluarga almarhum agar diberikan kesabaran dan kekuatan.
Aku menganjurkan agar banyak berdo’a untuk almarhum dengan
membaca Al-Qur’an. Namun aku kaget, karena diantara mereka tidak ada yang bisa
membaca Al-qur’an. Maka aku berinisiatif untuk membaca Al-qur’an surat Yasin,
dan mendo’akan untuk almarhum. Memang banyak tantangan baru yang aku dapatkan
di tempat tugas ini, banyak diantara mereka yang buta huruf, buta agama, bahkan
pendidikan sekolah mereka abaikan.
Tidak sedikit dari mereka yang tidak bisa baca, menulis,
berhitung sungguh terbelakang dari segi kepedulian terhadap pendidikan baik
formal maupun non formal. Hikmah dari semua ini mudah-mudahan diantara mereka
ada yang terketuk hati nuraninya untuk mementingkan pentingnnya pendidikan,
baik formal maupun non formal.
Selesai membaca Al-Qur’an aku melanjutkan perbincangan
dengan keluarga almarhum terkait pengurusan jenazah karena waktu sudah pukul
15.00 waktu setempat.
“Bu almarhum harus segera dimandikan, dikafani, dishalatkan,
dan dikuburkan, sebab ini sudah sore dan harus segera dikebumikan.”
“Ia pak guru, kami disini tidak bisa menguburkan begitu
saja, pasal ini tanah bukan milik kita, jadi harus menunggu persetujuan dari
pengurus office, dimana-mananya di kuburkan. Sepertinya ini sudah petang juga,
kemungkinan tidak bisa ini hari, paling besok pak guru”.
“Sudah konfirmasi belum ke manager/ assisten manager
office?”
“Sudah pak guru, kita tinggal menunggu konfirmasinya.”
Sambil menunggu konfirmasi dari pihak office, maka aku menyarankan untuk
dimandikan terlebih dahulu.
Antara tegang dan gugup yang mengebu ketika ucapan aku
melontarkan untuk menyarankan memandikan, sebab aku belum ada pengalaman
memandikan jenazah, bahkan memegangpun aku tidak berani. Ada diantaranya dari
sesepuh dari suku bugis yang menyarankan,
“Pak guru kita mandikan salah dulu.”
“Mandi salah? Apa itu mandi salah? Menurut adat kami
memandikan jenazah itu dua kali, pertama mandi salah dan yang kedua mandi
jenazah.”
“Aku heran, setahu aku memandikan jenazah cuman sekali, ini
kok dua kali?”
“Ya itu memang adat kami pak seperti itu.”
“Ya sudah silahkan kalo mau mengikuti adat disini, aku
mengikutinya saja ya.”
Semua sepakat untuk memandikan jenazah, aku meminta keluarga
untuk mempersiapkan tempat pemandian jenazah, dan alat mandi jenazah yang
diperlukan. Keluarga menyediakan tempat pemandiannya di dapur, yang sudah
diatur sedemikian rupa. Setelah semuanya sudah sedia, aku meminta bantuan
kepada empat orang warga yang bertakjiah untuk mengangkat jenazah dan
memandikannya.
Pada saat meminta bantuan pada orang-orang, mereka saling
lempar tanggung jawab seperti yang enggan untuk memandikan jenazah. Aku marah,
karena tidak ada yang tergerak memandikan. Heningpun langsung seketika, karena
mungkin mera baru melihat ekspresiku marah. Maka dengan terpaksa mereka
akhirnya mau mengangkat jenazah dan siap memandikannya. Alasannya mereka enggan
yaitu parno, padahal sama juga denganku. Tapi aku berusaha menyembunyikan rasa
parno itu di depan umum.
Setelah jenazah itu dibawa ketempat pemandian, terpaksa aku
harus memimpin memandikan jenazah. Sebenarnya aku tidak kuat dan tak berani
melihat apalagi sampai menyentuh jenazah. Rasa gugup, deg-degan waktu itu luar
biasa, karena ini pengalaman pertama langsung memandikan jenazah. Aku meminta
ijin kepada yang lainnya untuk menyiram saja, adapun menggosok, hingga bersih
itu urusan yang empat orang tadi. Benar-benar belum berani melakukan hal ini,
entah kenapa rasa parno itu selalu menghantui pikiranku. Selesai memandikan,
jenazah langsung dipindahkan ke tempat semula. Tidak langsung pake kain kafan,
melainkan memakai kain biasa dan selimut untuk menutupi jenazah karena
alasannya baru Mandi Salah.
Hampir dua jam setelah konfirmasi ke office belum ada
jawaban juga. Rasa heran mulai geleng-geleng kepala, kenapa office ini tidak
tanggap ketika ada oarng yang meningal, padahal yang meninggal ini kan salah
satu dari pekerja mereka, dan tambah heran lagi diantara mereka tidak ada yang
datang untuk bertakjiah, atau menyampaikan belasungkawa kapada keluarga
almarhum. Rasa aneh dan heran setelah berjam-jam menunggu konfirmasi tetapi
belum ada tindak lanjut sama sekali.
Aku menghampiri kepada sesepuh disini terkait masalah ini.
Menurutnya, keterlambatan sebab pekerja yang memberitahu ke office,
“Mereka seperti yang tidak peduli dengan keadaan kami,
apapun keadaannya. Apalagi ini almarhum dari Fhilipina, sebab hubungan
bilateral antara Fhilipina dan Malaysia kurang begitu baik shingga konsulat
Fhilipina tidak ada di Sabah, Malaysia. Apalagi almarhum tidak memiliki
passport, disini disebut Pendatang Haram. Jadi ibarat kata orang sini, dia Mati
Katak. Pengurus office tidak peduli, dia mau hidup atau mati itu bukan urusan
mereka. Mereka peduli kepada pekerja tanpa passport hanya tenaganya saja, yang
lain-lainnya bukan tanggung jawab office.”
“Alangkah lebih baiknya jika pak guru mengkonfirmasi ulang
ke manager/assiten manager tentang pengurusan penguburan jenazah ini, pasal
jika pak guru yang mengkonfirmsi mereka pasti segan pak, karena pak guru
perwakilan Konsulat Jenderal RI disini.” Mendengar ucapan sesepuh itu, aku
semakin heran lagi, dan baru memahami keadaan tempat tugas aku ini. Begitu
banyak tantangan baru aku temukan dan perlu pemecahan masalahnya secara adil.
Rasa percaya diripun begitu memuncak ketika menyebutku
sebagai perwakilan konsul RI dan salah saeorang yang disegani oleh orang-orang
office. Tidak bembuang-buang waktu aku langsung segera menuju office untuk
mengkonfirmasi. Diperjalanan menuju office, aku kebingungan bagaimana
memandikan jenazah, kemudian mengkafani, dan menguburkan. Sebab tidak ada
pengalaman mengurus itu semua, sedangkan aku disini dituntut serba bisa dan
serba tahu.
Bingung dan panik yang tak karuan, dan rasa laparpun
semenjak dari pagi belum sarapan tidak aku rasa. Rasa lapar hilang seketika
dengan kejadian hari ini. Pada saat perjalanan menuju office, aku gunakan
waktu-waktu itu untuk mencari informasi terkait pengurusan jenazah dengan cara
browsing internet, kebetulan kekuatan signal di luar rumah lumayan cukup kuat
jika di bandingkan di dalam rumah. Selain itu juga aku bertanya-tanya kepada
teman dekat kerja disini yaitu Pak Bima melaui WA. Pak Bima adalah guru dari
Indonesia tahap 6 yang ditempat tugaskan di Jebawang, kurang lebih 1 jam perjalanan
dari Sekar menuju Jebawang menggunakan sepeda motor.
Aku sampaikan keadaan sebenarnya, melalui pesan singkat. Pak
bima menyarankan aku untuk mengikuti pesan WA yang disampaikannya bagaimana
cara memandikan, mengkafani menguburkan dan lain-lain. Dan ternyata pesan yang
disampaikan pak Bima sama persis dengan data browsing yang aku dapat dari
internet. Sedikit geli dan ketawa dalam hati, tapi ku terima sarannya dan
menyarankan alangkah lebih baiknya jika Pak Bima bersedia ke Sekar Imej untuk
membantu pengurusan jenazah. Karena tidak puas dengan pesan singkat aku telpon
langsung walau sedikit tersendat-sendat karena jaringan. Pak Bima merespon dan
belum pasti bisa ke Sekar, sebab sepeda motor sedang dipake Pak Rahmat yang
mengajar CLC di IC-2, lumayan jauh sekitar 1 jam 30 menit menuju IC-2. Pak
Rahmat guru tahap 8 seangkatan denganku, dia adalah guru yang mendapat tempat
tugas yang sama dengan Pak Bima yaitu di Jebawang.
Mendengar ucapan Pak Bima, aku pun semakin lemas, selintas
berfikir apakah aku bisa melakukan ini besok sendirian?? Tak terasa pintu
office sudah didepan muka, aku langsung mengetuk dan mengucapkan salam meminta
ijin ke kerani untuk menemui assistern manager/ manager ladang. Dan aku
dipersilahkan langsung menemui Tuan Assiten Manager, bersalaman dan
dipersilahkan duduk,
“Maaf tuan menggangu sekejap pekerjaanya.”
“Oh tidak apa cikgu, ada apa cikgu?”
“Begini tuan, salah seorang pekerja yang meninggal dunia.”
“Haaaahhhhh,…” Dia bengong dan keheranan seperti yang baru
mengetahui berita duka ini dan pembicaraanpun terhenti sejenak seperti yang
kaget dan syok.
“Kapan meninggalnya cikgu?”
“Memang tuan belum tahu?”
“Ada sih yang bagi tau, tapi hanya melalui pesan singkat WA,
aku abaikan sahaja, pasal dia tidak jumpa aku”. Makin heran saja pikirannku,
kenapa melalui pesan singkat WA saja tidak direspon, ini kabar duka dianggap
permainan. Lagian para pekerja tidak akan
ada yang berani main-main memberikan kabar duka ini ke assiten manager.
Mungkin benar kata sesepuh Suku Bugis disini, orang yang meninggal tidak punya
passport dianggapnya Mati Katak. Pengurus office tidak mau ambil pusing dan
ambil resiko.
“Jadi begini tuan aku mengkonfirmasi ulang meminta kebenaran
terkait pengurusan penguburan jenazah”.
“Oke cikgu, pasal ini hari sudah petang, macam besok baru
bisa ditanam. So tanam itu jenazah disini tidak bisa sembarang tempat, ada
undang-undang yang mengatur itu semua. Disini sedia tempat itu di Hibumas satu,
yang cakap orang sini Sabang, dan itu jauh kira 4 jam perjalanan. Jadi besok
hari peralatan kenderaan dan darebanya (sopir) office kami sedia. Kita tunggu
besok sahaja, nanti aku atur untuk kenderaan kesananya kita guna pen atau
single cup besok berangkatkan jam 07.00 pagi. Kendaraan kita guna dua, yang
satu untuk mengantar pekerja yang akan buat itu lubang kubur, dan satu lagi
untuk bawa itu orang mati, oke gitu cikgu ya.”
“Oke tuan terima kasih atas bantuannya. Kalo begitu aku
pamit dan akan ke keluarga almarhum.”
Selesai konfirmasi, aku langsung menuju keluarga almarhum
untuk menyampaikan hasil negosiasi tadi. Aku sampaikan hasil percakapan dengan
Tuan assiten manager kepada keluarga, alhasil mereka antusias karena sudah ada
keputusannya.
“Tuh kan, kalau sama pak guru langsung ditindak lanjut tidak
seperti kami pak, terimaksih pak guru ya, sahut orang-orang disitu.”
***
Waktu sudah menunjukan jam 17.30 aku bermapit pulang ke
rumah, sebab besok akan melanjutkan pengurusan jenazah hingga menguburkannya.
“Pak guru nanti malam disini kan?” Kata keluarga almarhum.
“Insya Allah, bu.” Rasa letih, capek, lemas pun begitu
terasa dari pagi belum makan. Sampai di rumah langsung mandi dan mencuci
pakaian yang dipake tadi, aku ingat kata orang tua dulu jika sudah bertakjiah
pakaian yang kita pake sebelumnya sebaiknya langsung dicuci agar rasa takut
sedikit hilang. Tapi entah kenapa pada saat mandi tebayang-bayang itu wajah
almarhum tadi, mungkin karena baru pertama kalinya aku menyaksikan bahkan
menjadi imam untuk memandikan jenazah.
Selepas mandi, aku bergegas melaksanakan Shalat Magrib di
rumah. Perut ini sudah menagih untuk di isi sejak pagi. Aku langsung
melanjutkan masak yang sempat tertunda tadi siang. Setelah selesai, aku
langsung makan dengan lahap, sambil berfikir apa yang harus aku perbuat besok,
bagaimana caranya, bagaimana kalau salah. Sehingga disaat makanpun tidak begitu
menikmati karena memikirkan besok hari.
Selesai makan aku segera mencari informasi, tentunya dari
Google. Ini satu-satunya cara untuk mencari informasi. Itu juga kalau jaringan
sedang bagus, disini sinyal tidak stabil karena aku bisa mendapat jaringan
internet hanya dikamar saja, itu juga tidak boleh bergeser sedikitpun dari
titik tersebut, sebab jika bergeser signal langsung hilang. Lumayan terbantu
ketika browsing dan berkomunikasi baik chat atau VC.
Disela-sela browsing mencari informasi pengurusan jenazah,
ada pesan singkat dari Pak Bima.
“Pak bagaimana jenazah sudah dikuburkan belum?”
“Belum pak, menunggu besok, sebab sudah sore dan jauh tempat penguburannya di Sabang.”
“Bagaimana almarhum sudah dikafani?”
“Belum pak, tapi sudah dimandikan sekali, disebutnya Mandi
Salah menurut adat Bugis”. Pak Bima juga keheranan.
“Kok ada mandi salah
segala ya.” Kami sama-sama kebingungan dengan adat mereka, tapi bagaimanapun
kami menghormati adat mereka.
“Perlu bantuan tidak pak?” Membaca pesan itu aku sedikit
lega.
“Alangkah lebih baiknya Pak Bima dan Pak Rahmat kesini
bantu.”
“Baiklah, kalo begitu aku dan Pak Rahmat meluncur ke Sekar
Imej setelah shalat Isya”.
“Siap pak aku tunggu.” Ahamdulillah, Pak Bima dan Pak Rahmat
bersedia membantu besok. Rasa senang dan beban pikiran sedikit berkurang waktu
itu.
Sekitar jam 21.00, Pak Bima dan Pak Rahmat tiba di Sekar
dengan basah kuyup, sebab waktu itu hujannya lumayan begitu deras. Sedikit
merasa bersalah karena mereka dilibatkan membantu disini. Tapi bagaimana lagi,
kesiapa lagi aku mencari bantuan kalau tidak dengan rekan kerja yang paling
dekat. Kopi panas, dan hisapan rokok Pak Bima ikut menemani obrolan kami pada
suasana hujan yang deras malam ini.
Panjang lebar aku ceritakan kejadian tadi siang di Sekar.
Disela-sela obrolan itu kami juga membahas untuk tindak lanjut besok, mulai
dari memandikan, mengkafani dan menguburkan menjadi topik utama untuk persiapan
besok. Pak Rahmat rupannya mengawali pembahasan ini, karena memang sebelumnya
dia mempunyai pengalaman pemulasaraan jenazah embahnya di kampung. Benar aku
tidak meragukan lagi kemampuan pak Rahmat dalam hal ini, dari pengalamanya
mengantarkan kami banyak tau proses pemulasaraan jenazah. Cukup menarik
obrolan-obrolan pengalaman Pak Bima selama tugas, baik suka maupun duka, dan
itu menjadi motivasi buatku agar mampu mempersiapkan diri dengan baik dalam
menjalankan tugas disini.
Ketika jam menunjukan pukul 23.00 aku meminta ijin tidur
lebih awal. Rasa kantuk itu memang berat dimata, tapi entah kenapa
bayang-bayang jasad jenazah itu selalu menghantui pikiranku. Sehingga sulit
untuk memejamkan mata yang sudah berat menahan rasa kantuk ini. Apalagi ketika
pukul 01.00 mati listrik, suasana rumah pun menjadi gelap gulita dan rasa parno
itu makin memuncak dengan bayang-bayang jenazah tadi. Padahal di rumah ada Pak
Bima dan Pak Rahmat, aku tidak terbayang lagi jika mereka tidak menginap
disini, mungkin saja aku dengan rasa berat hati menahan rasa takut yang super
akut ini hingga pagi.
Waktu sudah menunjukan pulul 02.00, suasana sunyi menghiasi
suasana gemerlapnya malam yang gelap gulita, dari kejauhan terdengar suara
anjing yang menusuk ke telingaku, hingga terngiang-ngiang rasanya, serta
diiringi dengan gemerciknya hujan yang belum berhenti sejak tadi sore, bulu
kunduk mulai berdiri apalagi ketika mendengar di luar rumah ada suara orang
desas-deseus seperti yang ngobrol, sepertiga malam mana ada orang yang masih
mengobrol dalam pikiranku.
Mataku langsung melotot dan semua bulu kunduk semakin
berdiri, akhirnya aku terbangun dari baringanku dan kuputuskan untuk keluar
kamar dan tidur bersama dengan Pak Bima dan Pak Rahmat. Semakin keluar
desas-desus obrolan itu semakin jelas dan suaranya semakin dekat, aku kaget dan
pura-pura batuk dengan keras agar sedikit menghilangkan rasa takut yang
menggebu dalam pikiranku.
“Kenapa Pak Radin belum tidur?” Tanya Pak Rahmat.
“Loh, Pak Rahmat belum tidur juga?”
“Ia aku sedang telepon dengan isteri.”
“Oh, rupanya yang terdengar desas-desus obrolan itu Pak
Rahmat sedang telepon dengan isteri?”
“Iya pak, hehe..”
“Aku pikir siapa dari tadi mendengar ada yang ngobrol tapi
tidak begitu jelas. Aku tidurnya disini saja ya bertiga .”
“Kenapa pak, takut ya?”
“Iya pak aku parnoan.”
“Ada-ada saja Pak Radin ini, sahut Pak Rahmat.” Rasa parno pun sedikit berkurang. Setelah
rasa parno ini sedikit mengilang akhirnya pikiran aku menjadi tenang, dan bisa
tidur dengan nyenyak hingga subuh. Tetapi sebelum aku tidur aku lihat Pak
Rahmat masih telepon dengan isterinya, entah sampai jam berapa mereka telepon.
Dia memang dimana-mana bertelepon dengan istrinya, sampai ada istilah “istri
CCTV”.
***
Pagi ini kami awali dengan kopi. Obrolan dan pembahasan
persiapan pemulasaraan jenazah menjadi topik utama tema pagi ini.
“Pak Radin, Pak Rahmat sudah siap?” Tanya Pak Bima.
“Pak Rahmat bagaimana sudah siap jadi imamnya? Tanya aku.”
“Loh kok aku pak, kan Pak Radin tuan rumah disini”.
“Aku sudah jelaskan sebelumnya, aku belum ada pengalaman
tentang ini, jadi mohon Pak Rahmat lah yang menjadi imamnya, oke?”
“Haduh baiklah kalau begitu”
“Pak Rahmat semalam tidur jam berapa?”
“Jam 3.30 pak.”
“Wah kuat betul teleponnya nih.” Ia menawab hanya dengan
senyuman saja.
Tidak seperti biasa, pagi hari jam 05.30 biasanya warga
berkumpul ditempat titik kumpul tepatnya di depan rumah aku untuk melakukan
breefing dari Tuan Assiten Manager, kepada para pekerja sebelum bekerja ke
ladang. Namun tidak seperti biasana di pagi itu tidak ada orang yang berkumpul
di tempati itu, padahal bukan hari cuti/libur.
Sekitar jam 06.30 kami bertiga mengunjungi rumah duka,
setibanya disana rupanya warga sekitar sudah mulai berdatangan untuk
bertakjiah, dan ikut membantu mempersiapkan kelengkapan pemulasaraan jenazah.
Ada yang membuat keranda, padung dan lain-lain, rupanya semua para pekerja
sengaja meliburkan diri jika ada diantara mereka yang meninggal dunia.
Karena jenazah pada waktu kemarin sore baru Mandi Salah,
maka sekarang harus dimandikan lagi yaitu mandi jenazah menurut Adat Bugis.
Maka aku meminta keluarga untuk dimandikan ulang mandi jenazah, sebelum
dimandikan aku harus memastikan terlebih dahulu kelengkapannya seperti kain
kafan, kapas, kapur barus, sarung tangan, dan minyak wangi tanpa alkohol. Dan
rupanya kelengkapan itu semua belum ada, kami bertiga sungguh kaget. “Kenapa
keluarga dan warga sekitar tidak memikirkan hal itu.” Pikir aku.
Benar saja keluarga dan warga disini menunggu komando
dariku. Karena kelengkapannya belum ada, aku menyarankan keluarga untuk membeli
kelengkapan itu segera di tempat yang dekat, sebab ini jenazah akan segera
dimandikan. Ada diantara tetangga dekatnya yang bersedia membelikan kelengkapan
itu yaitu tempatnya di Sungai-Sungai, lumayan jauh dari tempat rumah duka
sekitar 2 jam pulang pergi. Mereka menunduk dan merasa bersalah, tapi aku juga
tidak sepenuhnya menyalahkan mereka, mungkin karena tidak tahu harus bagaimana
dalam bertindak.
Sambil menunggu jenazah untuk dimandikan aku mengajak
keluarga dan warga yang bertakjiah untuk berdo’a bersama dengan cara membaca
Al-Qur’an surat Yasin, tahlil, dan tahmid atau do’a dengan bahasa masing-masing
jika tidak bisa membaca Al-qur’an. Selesai membaca Yasin, warga yang membeli
kelengkapan kain kafan dan lain-lain sudah datang. Jadi siapa saja yang
memandikan jenazah pastinya tidak menggunakan sarung tangan. Aku menyarankan
kepada keluarga agar segera dimandikan, dan meminta kepada keluarga menunjuk
siapa saja yang bersedia untuk memandikan ini jenazah. Tempat pemandian jenazah
yaitu di dapur tempat yang sama ketika Mandi Salah.
Pak Rahmat menjadi imam. Sedangkan aku dan Pak Bima hanya
membantu mengarahkan warga dalam memandikan jenazah. Jujur saja aku tidak
sanggup melihat wajah dari jenazah itu, rasa parno jika malam
membayang-bayangi. Pada saat memandikan jenazah, semua terbuka kecuali bagian
vitalnya yang tertutup. Rasanya ingin lompat dari tempat itu, tapi aku berusaha
kuat untuk menerima pemandangan yang selama ini aku tidak harapkan. Dan tidak
kalah penting pada saat itu Pak Rahmat menyerahkan imam memandikan kepadaku,
sebab dia harus mempersiapkan kain kafan dan lain-lain untuk membungkus
jenazah.
Semakin parno saja waktu itu, aku harus memberanikan
menyentuh dan ikut memandikan jenazah. Pada saat akan menyentuh, sepertinya
tangan ini tidak rela untuk menyentuhnya, rasa dag-dig-dug dan gemetaran
terlihat pada saat sentuhan pertama ke jasad jenazah. Tubuhnya begitu terkujur
kaku, dingin, pucat dan sedikit kulit ditubuhnya sudah mengelupas ketika di
gosok, maka dengan penuh hati-hati aku membersihkan tubuhnya dengan penuh rasa
ketegangan menahan dan ingin segera selesai.
Selesai dimandikan maka jenazah di bawa ke tempat yang sudah
disediakan Pak Rahmat untuk di bungkus kain kafan. Pak Rahmat yang memimpin
semuanya,
“Sambil berbisik
ikuti aku pak ya, jangan lupa setiap yang berlubang dan sifatnya cepat busuk
dikasih kapas dan ditaburi kapur barus”.
“Siap pak”. Aku pun mengikuti apa yang disarankan oleh Pak
Rahmat. Bau busuk serta bau melati tercium menyengat menusuk dihidungku,
padahal disitu tidak ada bunga melati sama sekali, tersentak dan langsung aku
menghentikan proses mengkafani. Entah kenapa rasa parno itu muncul begitu kuat
setelah mencium aroma yang tidak biasa.
“Kenapa pak?”
“Oh tidak pak, silahkan lanjutkan saja.”
“Sepertinya Pak Rahmat saja yang melanjutkan mengkafani
hingga selesai.”
“Oke pak tenang saja.” Aku salut dengan Pak Rahmat yang
begitu tenang ketika proses mengkafani jenazah ini.
Selesai dikafani langkah berikutnya adalah dishalatkan, sementara
keranda yang dibuat belum selesai juga, entah kenapa lama sekali membuat
keranda sejak dari tadi pagi.
“Pakci, bagaimana pembuatan kerandanya sudah selesai.”
“Belum cikgu, tunggu sekejap lagi.”
Pembuatan keranda ini menggunakan kayu yang cukup keras,
sehingga potongan kayunya menggunakan mesin pemotong kayu. Suara bising dari
mesin pemotong kayu itu tedengar keras dan cukup lama di rumah keluarga
almarhum.
“Pak kita shalatkan di rumah atau di masjid?”
“Di masjid saja pak.” Sahut Pak Bima.
“Kalau begitu kita shalatkan di masjid dan langsung masuk
mobil yang akan mengangkut jenzah.” Kemudian aku tanyakan kepada keluarga
kesiapan mobil yang akan mengantar jenazah.
“Kita kesana dapat ijin dari assisten manager menggunakan
lori yang sekarang sedang mengantar orang untuk mengali kuburan di Sabang pak
guru.”
“Loh, kok pake lori bu? Kemarin macam cakap sama aku pake
pen atau single cup. Masa membawa jenazah pake lori?”
“Oh, sama pak guru
cakap itu ya pak? Tapi kepada kami hanya meminjamkan lori pak.”
“Ya sudah jangan dipermasalahkan, sekarang apapun
kendaraanya yang penting ini jenazah bisa dibawa ke penguburan. Lagian ini
sudah siang bu, pasal perjalanan kesana hingga 4 jam.”
“Ya begitulah pak guru, kami hanya ikut intruksi tuan saja.
Kalau begitu aku akan temui assisten manager, karena tidak sesuai yang
disampaikan waktu kemarin kepadaku.”
“Yah begitulah pak guru, giliran kami membutuhkan bantuannya
selalu disepelekan bahkan sampai urusan darurat sekalipun tidak mereka
hiraukan”. Melihat kondisi ini maka aku langsung mengunjungi office untuk
memastikan kendaraan yang membawa jenazah. Aku ke office ditemani Pak Bima
untuk memastikan kendaraan yang diperlukan untuk mengantar jenazah.
Sesampainya di office, aku memasuki ruang dan meminta untuk
berjumpa dengan Tuan Assiten Manager. Tapi assisten manager sedang ada meeting
di Sandakan. Makin heran saja, semua pekerja office cuek seperti tidak ada
kejadian apa-apa di warga sekitar, tidak peduli mereka dengan keadaan seperti
ini.
“Tolong hubungi tuan, aku mau bicara dengannya.”
“Tunggu sekejap cikgu.” Kerani itu menghubungi hingga
berkali-kali namun tidak bisa karena jaringan di Sekar sedang jelek. Akhirnya
aku meminta nomor telepon manager, tetapi mereka tidak berani memberikannya.
“Paling begini cikgu, cikgu harus sedia menunggu itu lori
buat angkut jenazah ke Sabang, tunggu sahaja mungkin sekejap lagi juga tiba,
sahut kerani.” Tidak ada pilihan lain, harus menunggu lori itu menjemput.
Sekitar menunggu sejam setelah percakapan kami dengan kerani, akhirnya lori itu
datang untuk mengantar jenazah. Maka aku kembali ke rumah duka yang sudah
menunggu dari tadi, keranda yang dibuat tampaknya sudah selesai dan meminta
warga untuk memasukan jenazah ke dalam keranda. Dari rumah duka kami berangkat
menuju masjid skitar jam 11.00, yang menjadi imam adalah Pak Rahmat. Selepas
itu jenazah dimasukan ke dalam lori untuk di bawa ke tempat penguburan yang terletak di Hibumas I/ Sabang.
Baru pertama kali ini mengantar jenazah menggunakan lori.
Aku dan Pak Rahmat ikut ke Sabang, sementara Pak Bima tidak ikut dan langsung
pulang ke Jebawang selesai menyalatkan jenazah. Aku menumpang lori di belakang
bersama warga lainnya dan ditengah-tengah bak lori adalah keranda jenazah yang
didampingi oleh keluarga duka. Medan perjalanan tidak begitu mulus, jalannya
tidak rata melainkan berliku-liku naik turun bukit, licin dan banyak berlubang,
sehingga jika mengenai jalan yang jelek maka lori terombang ambing, termasuk
penumpang yang ada di dalamnya. Begitupun dengan keranda jenazah bergeser ke
kiri, kekanan, hingga terangkat pun menjadi fenomena unik selama perjalanan.
Sebagian dari warga yang mengantar berusaha memegang keranda jenazah agar tidak
terombang ambing akibat jalan yang dilalui itu, suara bising akibat dari
kondisi kendaraan ini juga mengantar kami hingga sampai tujuan perjalanan.
Aku membayangkn jika nanti aku yang menurunkan mayat ke
dalam kuburan serta harus membuka tali di leher jenazah hingga membuka dan
melihat wajahnya. Sudah jelas pemandangan itu yang tidak aku harapkan. Rasa
pegal begitu terasa beriri di lori akibat waktu yang cukup lama. Kadang-kadang
duduk, jongkok sudah aku lakukan untuk menghilangkan rasa pegal di kaki. Sebab
perjalanan dari rumah duka menuju lokasi pemakaman menempuh waktu hingga empat
jam perjalanan. Rasa lapar dan haus sudah begitu kuat, sebab tadi pagi kami
tidak sempat membuat sarapan, dan ternyata Pak Rahmat juga merasakan hal yang
sama.
Kira-kira pukul 15.00 kami tiba ditempat pemakaman. Segera
meminta warga untuk mengangkat keranda jenazah dengan hati-hati dan membawanya
ke kuburan. Dan ternyata sesepuh yang memimpin proses penguburan jenazah. Rasa
lega yang tidak karuan dalam hati sebab untuk memimpin dan menurunkan jenazah
ke dalam kubur bukan menjadi tugas aku. Pengubruan berjalan lancer, hingga
selesai dilakukan.
Sekitar jam 16.00, kami selesai menguburkan dan kembali ke
rumah, perjalanan yang lama serta asupan makan belum ada diperutku,
mengakibatkan mulut rasanya pahit dan membuat sekujur tubuh lemas kepayang.
Ditengah perjalanan aku meminta dareba (supir) untuk singgah ke Jebawang
terlebih dahulu mengantarkan Pak Rahmat ke rumahnya, dan dareba menyetujuinya.
Terimaksih kepada Pak Rahmat dan Pak Bima karena bersedia membantu proses
pemulasaraan jenazah hingga selesai, karena tanpa mereka, aku kebingungan.
Disini baru dua minggu menjalankan tugas tapi sudah mendapat
tantangan dan pengalaman yang luar biasa. Begitu besar pelajaran yang
didapatkan pada hari itu, karena semua rasa bercampur begitu menegangkan,
parno, sedikit lucu dan berkesan. Ini adalah pengalaman pertama di Sekar Imej,
karena belum genap satu bulan disini.
Oleh: Radin, CLC Pamol TKB Sekar Imej