Pemakaman Usman dan Harun |
arifsae.com - Setelah
berjuang dan mempersiapkan diri, Usman dan Harun akhirnya menyusup ke
Singapura. Tulisan ini merupakan tulisan terakhir dari ringkasan kisah mereka.
Tulisan pertama bisa dilihat DISINI.
Selamat membaca...
***
Menyusup ke Singapura
Saat
memperoleh perintah untuk melaksanakan infiltrasi dan kegiatan intelijen ke
wilayah Singapura, Djanatin ditunjuk sebagai Komandan Tim, karena dinilai lebih
senior dan memiliki pengalaman kemiliteran. Namun kelemahannya, Djanatin “buta”
dengan situasi Singapura. Tohir, justru sebaliknya, sangat paham dengan situasi
Singapura, bahkan hafal gang-gang kecilnya. Oleh sebab itu, Djanatin banyak
memperoleh informasi mengenai Singapura dari Tohir.
Bukan
perkara mudah menyusup ke wilayah Singapura, yang dijaga demikian ketat baik
darat maupun laut. Guna mengelabui agen-agen rahasia atau informan Inggris dan
Malaysia, Djanatin mengganti namanya menjadi Usman bin Haji Muhammad Ali dan
Tohir menjadi Harun bin Said. Bersama dengan Gani bin Arup, Usman dan Harun
menyamar sebagai pedagang yang kerap hilir mudik dengan menggunakan perahu
kecil.
Dengan berkedok pedagang keliling, ketiganya banyak mendapatkan
keterangan serta leluasa melakukan pengintaian di beberapa objek vital.
Ketiganya berhasil masuk ke Singapura dan kembali ke basis dengan selamat
sebanyak dua kali. Di basis Sambu inilah, didiskusikan bebrapa titik sasaran
beserta kemungkinan dampaknya.
Pada
tengah malam 8 Maret 1965, mereka mendapat perintah untuk kembali menyusup dan
melakukan aksi sabotase terhadap instalasi militer atau kepentingan-kepenntingan
Inggris di Singapura. Oleh sebab itu, mereka dibekali bahan peledak. Ketiganya
menyusuri perairan Selat Malaka menggunakan perahu karet dengan berlindung
dibalik pekatnya malam.
Mereka berhasil mengelabui kapal-kapal patroli Singapura
yang secara rutin berpatroli di perairan perbatasan dengan P. Sambu. Tidak
jarang mereka harus menghimpitkan diri ke dasar perahu karet, bahkan terkadang
harus turun ke dalam air dan bergantung di dasar perahu. Sepintas, perahu karet
yang dikamuflase tersebut mirip seperti onggokan kayu terapung. Sesampainya di
pantai, mereka segera menyembunyikan perahu karet di semak-semak di sekitar
lokasi pendaratan.
Saat
fajar menyingsing tanggal 9 Maret, ketiga prajurit komando ALRI terebut
berhasil masuk ke tengah kota Singapura. Selama berada di kota, ketiganya
kembali melakukan orientasi untuk menentukan sasaran yang dianggap paling tepat
dari sekian titik yang telah ditetapkan sebagai target.
Untuk menghindari
kecurigaan, mereka bergerak secara terpencar sejak pagi hingga tengah hari.
Selesai berkeliling kota, ketiganya kemudian berkumpul kembali sekaligus
merundingkan penyelidikan masing-masing. Ketiganya lalu sepakat bahwa sasaran
utama mereka adalah gedung megah yang terletak di Orchard Road dan tidak jauh dari
Istana Kepresidenan Singapura, yaitu MacDonald House.
Jasamu Tetap dikenang |
Mac'Donald House, Sasaran Utama
MacDonald
House (MDH) merupakan bangunan tinggi pertama berlantai 10 di Singapura
yang dibangun tahun 1949 oleh Reginald Eyre dari Firma Palmer and Turner. Saat
itu, MDH menjadi gedung perkantoran dari perusahaan besar Inggris, Amerika,
dan Australia, serta Komisaris Tinggi Australia dan Konsulat Jepang.
Pertimbangan Usman, Harun, dan Gani untuk menjadikan sasaran utamanya karena
gedung tersebut juga merupakan salah satu lokasi tempat berkumpulnya banyak
perwira Inggris. Jika mereka berhasil meledakkan gedung tersebut, efeknya akan
menggetarkan hingga ke London, ibukota Kerajaan Inggris.
Sore
harinya, mereka bertiga sekali lagi melakukan pengamatan atas lokasi seputar
MDH. Karena situasi di Orchard Road masih ramai hingga malam, Usman selaku
Komandan Tim memutuskan untuk tidak melakukan aksi apapun, menunggu situasi
aman.
Setelah situasi aman, ketiganya segera bergerak menyusup ke dalam gedung
dan meletakkan bom seberat 12,5 kg di samping pintu lift di lantai mezzanine (lantai
perantara di antara lantai utama dan biasanya tidak dihitung dalam struktur
keseluruhan bangunan). Bom meledak pada pukul 03.07 malam tanggal 10 Maret
1965.
Ledakan
tersebut merobek pintu lift, menjebol dinding, dan melemparkan puing-puing
beton ke jalan sehingga merusak 24 mobil yang parkir atau tengah melintas.
Selain itu, dalam radius 100 meter sekitar 20 toko mengalami kerusakan berat
dan jatuh beberapa korban meninggal (versi sejarah Indonesia disebutkan 6 orang
meninggal dan 35 terluka, sementara Singapura mengklaim meninggal 3 orang dan
33 terluka). Usman, Harun, dan Gani berhasil menyelinap keluar di antara
kepanikan penghuni MDH yang berhamburan ke luar gedung.
Esok
harinya, tanggal 11 Maret 1965, Usman, Harun, dan Gani bertemu sekaligus merundingkan
kemungkinan cara kembali ke basis secepatnya. Namun pada saat yang sama petugas
keamanan dan kepolisian Singapura menggelar serangkaian operasi pencarian
besar-besaran. Berbeda dengan saat mereka masuk, kali ini penjagaan sangat
ketat dan aturan keras diberlakukan.
Gagalnya
kembali ke Pangkalan.
Guna
menghindari kecurigaan, Usman memutuskan bergerak secara terpisah dan bertemu
kembali di Pulau Sambu. Gani memisahkan diri, sementara Usman berjalan bersama
Harun. Keputusan Usman bersama Harun, karena pemahaman nya atas liku-liku
Singapura. Karena bergerak dari arah pantai, tidak memungkinakan akhirnya
diputuskan meloloskan diri melalui pelabuhan. Namun inipun tidak mudah. Polisi
Singapura melaukukan pemeriksaan yang sangat ketat.
Harun
yang banyak mengenal Singapura berhasil mengelabui petugas kepolisian dan
bersama Usman menyamar sebagai pelayan dapur di Kapal dagang Begama yang hendak
berlayar menuju Bangkok, Thailand. Namun, tanggal 12 Maret malam, pemilik kapal
yang bernama Kie Hok, mengetahui jati diri keduanya dan mengusirnya dari atas
kapal dengan alsan takut ditangkap petugas Singapura. Usman dan Hrun lalu
meninggalkan kapal Begama pagi harinya mencari kapal lain.
Saat
itu, mereka mendapati sebuah sebuah morot boat yang dikemudikan seorang Cina.
Keduanya lalu nekad merampas morot boat tersbut dan membawanya berlayar menuju
Pulau Sambu. Malang ditengah perjalanan mesin kapal tiba-tiba macet sehingga
terombang-ambing di laut. Akhirnya pukul 09.00 pagi tanggal 13 Maret 1965
keduanya ditangkap patroli polisi perairan Singapura.
Dijatuhi Hukuman Mati
Setelah
melalui proses identifikasi dan diketahui sebagai anggota KKO AL, Usman dan
Harun kemudian diajukan ke pengadilan tanggal 4 Oktober 1965. Hakim J. Chua
menolak mengategorikan mereka sebagai tawanan perang, dengan alasan tidak
mengenakan seragam tentara.
Pada tanggal 20 Oktober, pengadilan berdasarkan
Pasal 302 Penal Code 119 menjatuhkan hukuman gantung sampai mati dan dipenjara
di Changi. Upaya banding dari dua prajurit KKO AL menemui jalan buntu, bahkan
ketika diajukan Privy Council di London tidak membuahkan hasil. Pada tanggal 12
Mei 1968, Privy Council secara resmi menolak banding, tanpa proses
persidangan sama sekali.
Sementara
itu, situasi politik Indonesia menjelang akhir tahun 1965 juga terjadi
perubahan signifikan. Era kepemimpinan Sukarno beralih ke Suharto sejak tahun
1967. Dengan demikian upaya pembebasan Usman dan Harun kini beralih Presiden
Suharto. Peralihan kekuasaan itu membuka babakan baru dalam hubungan diplomatik
antara Indonesia dengan Singapura dan Malaysia.
Dibawah kepemimpinan Suharto
dengan rezim Orde Barunya, Partai Komunis Indonesia (PKI) dinyatakan sebagai
partai terlarang dan dilakukan normalisasi hubungan dengan Malaysia dan Singapura.
Republik Singapura sendiri resmi memperoleh kemerdekaan dari Imggris tanggal 9
Agustus 1965.
Pada
tanggal 15 Oktober 1968, Presiden Suharto mengirim utusan pribadinya Brigadir
Jenderal TNI Cokropranolo ke Singapura untuk menemui Presiden Singapura Yusof
bin Ishak dan Perdana Menteri Lee Kwee Yew. Namun pemerintah Singapura tetap
menolak permintaan pembebasan atau keringanan hukuman Usman dan Harun pada hari
Rabu tanggal 16 Oktober 1968 pukul 18.00 serta mengumumkan pelaksanaan hukuman
mati tetap dilaksanakan esoknya, tanggal 17 Oktober 1968.
Bahkan permintaan
Presiden Suharto agar menunda pelaksanaan eksekusi agar kedua prajurit KKO AL
tersebut dapat kesempatan bertemu dengan orang tua dan keluarganya tetap
dihiraukan. Mendengar keputusan tersebut pada malam itu juga, Brigjen TNI
Cokropranolo beserta Kuasa Usaha RI di Singapura Kolonel Abdul Rachman Ramli
dan Atase Angkatan Laut RI Letnan Kolonel (L) Gani Djemat menuju penjara
Channgi untuk menemui Usman dan Harun. Sementara itu, Perdana Menteri Malaysia
Tunku Abdul Rahman juga meminta kepada pemerintah Singapura agar mengabulkan
permohonan Indonesia, namun ditolak.
Saat
itulah, para pejabat negara Indonesia tersebut terkagum-kagum melihat ketabahan
dan keteguhan dari dua prajurit KKO itu. Tak terlihat perasaan takut atau putus
asa sedikitpun walau hukuman gantung telah menanti mereka. Bahkan dengan sikap
sempurna layaknya prajurit sejati, keduanya menjawab: “Kami mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Presiden RI Jenderal Suharto atas
usaha-usaha yang telah dilaksanakannya. Juga kami ucapkan terimakasih kepada
Jenderal Panggabean yang telah melakukan upaya, juga kepada mahasiswa-pelajar
Indonesia yang telah melakukan upaya kepada kami, juga kepada sarjana-sarjana
hukum dan rakyat bangsa Indonesia.” (Bagian Sedjarah KKO-AL: 341-342).
Usman
dan Harun dieksekusi gantung pada tanggal 17 Oktober 1968 pukul 06.00 di
penjara Changi. Setelah pelaksanaan eksekusi, utusan pemerintah Indonesia Dr.
Ghafur dibantu empat pegawai KBRI mengurus jenazah keduanya. Meskipun hukuman
telah dilaksanakan , namun petugas Singapura tetap menunjukkan arogansinya
dengan menolak pengambilan jenazah tanpa dimasukkan ke dalam peti dan bendera
merah putih dilarang digunakan sebagai selubung peti.
Jenazah baru dapat
diterbangkan ke Indonesia pada pukul 14.00 dengan menggunakan pesawat TNI AU.
Pemakaman Usman dan Harun dilakukan dalam sebuah upacara militer pada tanggal
18 Oktobeer 1968 pukul 13.00 di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan Inspektur
Upacara Letnan Jenderal TNI Sarbini. Keduanya dimakamkan berdampingan sesuai
keinginan mereka sebelum meninggal.
Berdasarkan
Keputusan Presiden RI No. 050/TK/Tahun 1968 tanggal 17 Oktober 1968, Usman dan
Harun dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan tanda kehormatan Bintang Sakti.
Kemudian sebagai penghargaan atas jasa dan pengorbanan mereka, pangkat Djanatin
alias Usman bin Haji Muhammad Ali dinaikkan menjadi Sersan Satu KKO anumerta
dan pangkat Tohir alias Harun bin Said dinaikkan menjadi Kopral KKO anumerta.
Selesai []
Penganugrahan Gelar Pahlawan Nasional oleh Ibu Janatin |