arifsae.com - Masih seputar Konfrontasi dengan Malaysia, tulisan ini masih mengangkat sosok Usman Janatin dan Harun Tohir. Tulisan ini melanjutkan tulisan pertama yang bisa di baca DISINI. Selamat membaca...
KRI Usman-Harun |
Terbentuknya
Federasi Malaysia
Pasca perang dunia Kerajaan Inggris
sebagai pihak yang turut menandatangani Piagam Atlantik tanggal 14 Agustus 1941
berencana melakukan dekolonisasi atas daerah-daerah jajahannya. Salah satu poin
penting dalam Piagam Atlantik adalah semua bangsa memiliki hak menentukan
nasibnya sendiri, itulah yang mendasari keluarnya kebijakan dekolonisasi.
Meskipun demikian, pada praktiknya tak dipungkiri bahwa Inggris tak menghendaki
hilangnya sumber-sumber devisa mereka begitu saja. Walaupun beberapa wilayah
jajahannya telah diberi kemerdekaan namun Inggris tetap mengikat mereka dalam
simpul Persemakmuran (Commonwealth).
Daerah bekas kolonial Inggris di Asia Tenggara
yang akan dilakukan proses dekolonisasi adalah Federasi Malaya serta daerah
yang terkenal sebagai Federasi 3 S yaitu Singapura, Serawak, dan Sabah. Inggris
berencana menyatukan Semenanjung Malaya dengan Borneo bagian utara dan
Singapura dalam sebuah negara federasi. Gagasan menyatukan koloninya di Asia
Tenggara tersebut pernah dikemukakan oleh Malcolm Mac Donald, Komisaris Tinggi
Kerajaan Inggris di Asia Tenggara, tahun 1949, namun saat itu kurang mendapat
perhatian dari pemerintah kerajaan. Pada tanggal 31 Agustus 1957 Inggris
memberikan kemerdekaan kepada Federasi Malaya, sementara Singapura, Sabah dan
Serawak tetap berstatus koloni Inggris.
Perkembangan politik yang signifikan
berlangsung di Singapura saat Partai Aksi Rakyat atau Peoples Action Party
(PAP) memenangkan pemilihan umum. Singapura berhasil memiliki pemerintahan
sendiri dalam Persemakmuran dengan Lee Kuan Yew sebagai perdana menteri pertamanya
pada tanggal 3 Juni 1959. Selain itu, Singapura aktif memperjuangkan agar
Federasi 3 S memperoleh kemerdekaan dari Inggris.
Sikap Singapura tersebut dipandang
merugikan Federasi Malaya, terutama dari aspek ekonomi dan pertahanan. Oleh
sebab itu Federasi Malaya berupaya keras “menjegal” terbentuknya Federasi 3 S
dengan mendesak Inggris agar segera merealisasi penggabungan koloni-koloninya
di Singapura dan Borneo Utara dengan Federasi Malaya sehingga menjadi Federasi
Malaya. Tuntutan tersebut tersirat dalam pernyataan Yang Dipertuan Agung Malaya
Tunku Abdul Rahman di hadapan wartawan di Singapura tanggal 27 Mei 1996, yakni:
“Malaya today as nation realize that she cannot stand alone. Malaya must have
an understanding with Britain and the peoples of the territories of Singapore,
North Borneo, and Serawak.” (Douglas Hyde: 30)
Pemerintah Inggris dan negara-negara
Blok Barat lainnya yang merasa khawatir dengan perkembangan kekuatan komunisme
di Indonesia, menyetujui gagasan tersebut yang dipandangnya sebagai strategi
pembendungan. Keputusan pembentukan Federasi Malaysia mendapat protes keras
dari pemerintah Filipina dan sebagian masyarakat di Serawak serta Borneo Utara.
Filipina memprotes karena berpandangan bahwa wilayah Sabah merupakan bagian
dari Kesultanan Sulu, di Mindanao.
Sementara itu rakyat Borneo Utara
yang menolak bergabung dengan Federasi Malaysia melancarkan serangkaian aksi
demonstrasi dan pemberontakan bersenjata. Pemberontakan tersebut dimotori
Partai Rakyat Brunei pimpinan Sheikh Azahari bin Sheikh Mahmud yang menghendaki
kemerdekaan penuh Borneo Utara, lepas dari koloni Inggris, dan membentuk Negara
Kesatuan Kalimantan Utara (NKKU). Pada tanggal 8 Desember 1962, sayap militer
Partai Rakyat Brunei, yaitu Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU),
melancarkan serangan ke ibukota Brunei dan berusaha menangkap Sultan Brunei,
Omar Ali Saifuddien III. Namun serangan tersebut digagalkan militer Inggris
yang mengerahkan kesatuan Gurkhanya. Sebagian pendukung TNKU termasuk Azahari
melarikan diri ke wilayah Indonesia. Walaupun mendapat tentangan keras dari
sebagian besar rakyat Serawak dan Borneo Utara serta Singapura, namun
pembentukan Federasi Malaysia tetap dilaksanakan dan diproklamasikan pada
tanggal 16 September 1963.
Komando Dwikora
Awalnya, Indonesia memandang gagasan
pembentukan Federasi Malaysia sebagai persoalan internal Malaysia, Singapura
dan Borneo Utara. Indonesia sama sekali tidak memiliki ambisi menjadikan Sabah
dan Serawak sebagai provinsinya. Namun setelah melihat peran Inggris yang
demikian dominan yang disertai pengerahan kekuatan militer secara
besar-besaran, Indonesia berbalik menentang pembentukan federasi. Kekuatan
militer Inggris yang dikerahkan Komando Inggris Timur Jauh (British Far East
Command) ke Borneo merupakan yang terbesar setelah Perang Dunia Kedua. Presiden
Soekarno dalam pidato 17 Agustus 1962 menyebutnya sebagai proyek
neokolonialisme Inggris di Asia Tenggara. Berakhirnya konfrontasi Trikora,
memungkinkan Indonesia mengalihkan kekuatan militernya ke wilayah Kalimantan
dan Sumatera yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Tanggal 20 Januari 1963,
Menteri Luar Negeri RI Subandrio menyatakan bahwa Indonesia dalam keadaan
bermusuhan dengan Malaysia.
Kemudian guna menyelesaikan masalah
sengketa wilayah, Presiden Filipina Diosdado Macapagal berinisiatif
menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi di Manila antara tanggal 7-11 Juni
1963. KTT tersebut dihadiri Presiden Sukarno (Indonesia), Tunku Abdul Rahman
(Malaysia), dan Macapagal (Filipina). Meskipun Presiden Sukarno menempuh jalur
diplomatik untuk menyelesaikan permasalahan di bagian utara wilayah NKRI
tersebut, namun tudingan dari Malaysia, Brunei, dan Inggris akan keterlibatan
sukarelawan Indonesia dalam konflik di Borneo Utara membuatnya marah besar.
Tanggal 27 Juli 1963, Presiden Sukarno mengumumkan akan “mengganyang Malaysia”
jika federasi terbentuk. KTT Manila menghasilkan Persetujuan Manila atau Manila
Accord yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno, Tunku Abdul Rahman, dan
Presiden Macapagal tanggal 31 Juli 1963. Salah satu pasal dalam Manila Accord
menyebutkan hak penentuan nasib sendiri atau referendum di wilayah-wilayah yang
diklaim sebagai bagian dari Federasi Malaysia. Adapun pelaksanaan dan hasilnya
diserahkan kepada PBB. Namun belum lagi tim bentukan PBB bekerja, secara
sepihak Malaysia dan Inggris mengumumkan deklarasi Federasi Malaysia pada
tanggal 16 September 1963.
Tindakan
sepihak tersebut, dipandang Indonesia sebagai pengingkaran terhadap kesepakatan
damai di Manila Accord. Selain itu, Brunei juga langsung menyatakan
penolakannya bergabung dalam federasi, disusul sikap serupa dari Singapura.
Akhirnya, terjadilah pergeseran pasukan secara masif di perbatasan
Indonesia-Malaysia baik di sekitar Selat Malaka maupun Kalimantan. Indonesia
juga menyatakan akan memberikan bantuan militer kepada gerilyawan TNKU.
Sementara itu, masyarakat dari dua belah pihak pun turut “memanaskan” suhu”
konfrontasi. Demonstrasi kerap terjadi di sekitar kedutaan besar masing-masing.
Tanggal 17 September 1963, Kedubes Indonesia di Kuala Lumpur didemo dan
dirusak. Sebagai balasannya, pada tanggal 18 September 1963, Kedubes Inggris di
Jakarta didemo dan dibakar pengunjuk rasa. Nasib serupa juga menimpa Kedubes
Singapura dan Malaysia. Selanjutnya tanggal 21 September 1963, Indonesia
memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Penyerangan
dan penghinaan terhadap lambang negara RI (Garuda Pancasila) di Kedubes RI di
Kuala Lumpur membangkitkan kemarahan Presiden Sukarno. Melihat kian meredupnya
peluang penyelesaian secara diplomatik, akhirnya tanggal 3 Mei 1964 Presiden
Sukarno dalam rapat raksasa di Jakarta mengumandangkan Komando Dwikora, yang
berbunyi:
- Perhebat ketahanan revolusi Indonesia
- Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah untuk membubarkan Negara Boneka Malaysia.
Komando Dwikora menjadi puncak
dari konfrontasi Indonesia-Malaysia dan slogan serta jargon “Ganyang Malaysia”
menjadi kalimat populer saat itu. Di bawah naungan Internal Security Act (ISA)
sebagai payung hukum, Malaysia juga tak kalah garangnya dalam menghadapi
anacaman Indonesia. Sejumlah warga keturunan Indonesia yang dicurigai sebagai
agen rahasia dan infiltran ditangkap. Kemudian ketika eskalasi konflik kian
meruncing, Inggris menggelar Operasi Claret antara tahun 1964 hingga 1966 dan
melibatkan kesatuan-kesatuan elit seperti Gurkha, Special Air Service (SAS),
Special Boat Service (SBS), serta Royal Marine Commandos. Militer Inggris yang
dikerahkan ke Semenanjung Melayu, Singapura, hingga Borneo juga berasal dari negara-negara
Persemakmuran, terutama Australia.
Guna mengkoordinasi
kesatuan-kesatuan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam
pelaksanaan operasi-operasi militer, Komando Tertinggi (Koti) membentuk Komando
Siaga (Koga) pada bulan Mei 1964. Koga merupakan komando gabungan ABRI dan
sebagai Panglima Siaga dijabat oleh Laksamana Madya Udara Omar Dhani. Sejalan
dengan keputusan tersebut, Angkatan Laut RI (ALRI) membentuk Komando Armada
Siaga (Koarga), Komando Operasi Khusus Armada (Koka), dan Komando Strategis
Laut Siaga (Komstralaga). Kemudian untuk menghadapi kondisi medan di sekitar daerah
perbatasan laut, seperti
Selat Malaka dan Kepulauan Riau,Koti membentuk Kesatuan
Operasi A/Koti yang berada di bawah Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad).
Kesatuan Ops A/Koti menjadikan wilayah Kepulauan Riau sebagai basisnya sejak
akhir tahun 1963. Pada tanggal 28 Februari 1965, Koga diganti menjadi Komando
Mandala Siaga.
Persiapan Infiltrasi ke Singapura
Sebagai salah satu pasukan
berkualifikasi khusus, KKO AL secara simultan melaksanakan seranngkaian latihan
operasi yang bersifat khusus pula seperti infiltrasi, demolisi, sabotase,
gerilya dan antigerilya, serta operasi intilijen dan perang hutan. Latihan
infiltrasi, gerilya dan perang hutan menjadi fokus utama mengingat kondisi
medan Kalimantan sebagian besar
berupa bukit-bukit berlembah yang diselimuti hutan rimba lebat. Sementara
untuk menghadapi medan operasi di sekitar Selat Malaka, KKO AL menambahkan
serial latihannya dengan materi renang tempur, infiltrasi dan sabotase melalui
laut.
Guna menjaring prajurit-prajurit
yang memenuhi standar tersebut, KKO AL melaksanakan serangkaian seleksi
personel. Djnatin, yang pangkatnya telah dinaikkan menjadi Prajurit II KKO,
berhasil lulus seleksi dan mengikuti latihan khusus di Cisarua, Bogor, selama
satu bulan pada bulan April 1964. Adapun materi pendidikan meliputi intelijen
dan kontraintelijen, sabotase, demolisi, gerilya, dan sebagainya. Pelatihan
khusus ini dikomandani Mayor KKO Budi Prayitno dan Letnan KKO Harahap sebagai
wakilnya. Selama mengikuti pendidikan khusus ini, para siswa dibagi dalam 13
tim. Setelah lulus dari pendidikan khusus di Cisarua, Prako II Djanatin
kemudian ditempatkan di Ops.A/Koti, di Pulau Sambu. Bersama rekan-rekannya, Prako
II Djanatin berangkat ke basis menggunakan kapal perang jenis motor torpedo
boat (MTB).
Sebagai persiapan menghadapi
Dwikora, KKO AL juga memekarkan kekuatannya dengan merekrut anggota masyarakat
sipil sebagai sukarelawan dan setelah lulus seleksi ditempatkan di Brigade
Tempur KKO AL. Proses rekrutmen sukarelawan juga dilaksanakan di
kesatuan-kesatuan ABRI lainnya dan diperkirakan lebih dari 21 juta warga negara
Indonesia bergabung. Salah seorang sukarelawan yang bergabung dengan KKO AL
adalah Tohir bin Mahdar.
Sebelumnya, Tohir dan
sukarelawan-sukarelawan lainnya mengikuti pendidikan dan pelatihan kemiliteran
selama 5 bulan di daerah Riau daratan. Pada tanggal 1 November 1964, Tohir
dinyatakan lulus dan mendapat pangkat Prajurit II KKO. Setelah selesai
pendidikan, Tohir dikirim ke Pulau Sambu dan bergabung kesatuan tempur Ops.
A/Koti. Selama berada di Sambu, Tohir yang menngenal baik situasi Singapura,
beberapa kali melakukan intelijen dengan menyamar sebagai pelayan dapur. Wajah
Tohir yang mirip orang Cina dan fasih berbahasa Inggris, Cina serta Belanda
sangat membantu operasi penyamarannya.
Guna memperkuat Ops. A, KKO AL
mengerahkan sekitar 300 personel mulai dari pangkat perwira hingga kopral.
Kesatuan-kesatuan yang tergabung dalam Ops. A selanjutnya dibagi menjadi
beberapa tim dengan sandi Brahma dan berada di bawah kendali dua basis. Basis
II bertugas mengkoordinasikan operasi di Semenanjung Malaya dan Basis VI
bertugas di wilayah Kalimantan Utara. Kesatuan yang berada di bawah Basis II,
adalah Tim Brahma I berkekuatan 45 personel, Tim Brahma II 50 personel, Tim
Brahma III 45 personel, dan Tim Brahma V 22 personel. Sementara itu, kesatuan
yang ditempatkan di bawah Basis VI adalah Tim Brahma IV yang disebut juga
sebagai Satuan Tugas Intelijen 104.
Basis II selanjutnya terbagi lagi ke
dalam beberapa sub-basis, yaitu Sub-basis X berpangkalan di Pulau Sambu dan
Pulau Rengat dengan sasaran operasi Singapura, Sub-basis T di P. Rupat dengan
sasaran Negeri Sembilan, Selangor, Kuala Lumpur dan sekitarnya, Sub-basis Y di
Tanjung Balai dengan sasaran Johor bagian barat, dan Sub-basis Z di P. Bintan
dengan sasaran Johor bagian timur. Pasukan KKO AL ditempatkan di Sub-basis X,
T, dan Y. Tugas utama Basis II adalah mempersiapkan kantong-kantong gerilya di
wilayah musuh, melatih gerilyawan membantu dan membantu infiltrasii ke daerah
masing-masing, melaksanakan demosili dan sabotase atas objek-objek militer,
melancarkan peperangan propaganda, perang urat syaraf, dan klandestin,
menghimpun informasi, serta melancarkan operasi kontraintelijen.
Prako II Djanatin bertemu dengan
Prako II Tohir dan Gani bin Arup di P. Sambu karena berada dalam satu kesatuan,
yaitu Tim Brahma I yang dipimpin Kapten KKO Paulus Subekti. Saat itu, Kapten
Paulus Subekti menyamar dengan pangkat Letnan Kolonel KKO dan merangkap sebagai
Komandan Sub-basis X. Djanatin, Tohir, dan Gani mendapat tugas yang sama yakni
melakukan infiltrasi sekaligus mengadakan sabotase di instalasi militer Inggris
di Singapura.
Sumber dari Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman. Bersambung..DISINI.