arifsae.com-Kontroversi Sejarah. Majapahit,
siapa orang di Indonesia yang tak pernah mendengar nama besar kerajaan ini? Sejak
sekolah dasar hingga perguruan tinggi, kita diajarkan tentang kemaharajaan Majapahit
yang wilayahnya melebihi wilayah Indonesia saat ini. Namun akhir-akhir ini,
saya sering mendapatkan nama ini muncul diberbagai media sosial. Bukan untuk
diajarkan kepada generasi muda supaya membuahkan pemahaman nilai-nilai historis
yang terkandung didalamnya? Tapi tulisan-tulisan yang saya jumpai lebih menggatuk-gatukan [mencocok-cocokan] nama
mahapatih Majapahit ini, dari Gajah Mada menjadi Gaj Ahmada.
Viralnya
nama Gajah Mada ini justru timbul karena arus zaman yang semakin
mengkawatirkan. Nama Gajah Mada ini jadi viral dan berubah menjadi Gaj Ahmada,
yang diklaim seoang muslim, dan lebih beraninya lagi mengklaim Kerajaan Majapahit
merupakan sebuah Kasultanan Islam. Dari mana asal mulanya penyrobotan sejarah
ini?
Gajah Mada (Sumber Gambar) |
Awalnya,
judul dalam tulisan ini adalah “Kasultanan Majapahit: Fakta Sejarah yang
Tersembunyi”. Penulisan ini diterbitkan oleh Lembaga
Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta yang
mencetak hanya 1.000 eksemplar. Sebenarnya, dalam penulisan ini ada 29 orang tim
yang dibentuk oleh Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Yogyakarta, dan berkerja
dari 2006-2009.
Setelah
diterbitkan, ternyata buku ini mendapatkan respon dari beberapa kalangan, sehingga isi buku ini disempurnakan dan
diterbitkan kembali menjadi buku yang perjudul “Fakta Mengejutkan, Majapahit
Kerajaan Islam”, dengan penerbit Noura Books pada tahun 2014 silam.
Buku Herman Sinung Janutama |
Mengapa
terbit pada 2014 dan baru viral sekarang? Itulah yang saya maksudkan zaman yang
“mengkhawatirkan” diatas. Bila melihat fenomena saat ini, radikalisme semakin
menjamur, primordialisme semakin tumbuh subur, dan belum lagi masalah agama
yang dibawa ke ranah politik akhir-akhir ini menyiratkan tentang terlukanya
kebhinekaan dan pentingnya sebuah persatuan. Namun beberapa oknum melihat kesempatan
ini untuk menjadikan momentum ini menarik sejarah kedalam sekat-sekat pemisah
kebangsaan ini.
Terlihat
berlebihan? Tidak. Alasan ini sangat masuk akal, karena oknum-oknum tadi
menemukan momentum untuk “memviralkan” status nama Gaj Ahmada dan Kasultanan Majapahit
ini, untuk kepentingan suatu golongan dan menafikan nilai kebangsaan. Hal ini
akan berimbas pada pengetahuan sejarah generasi muda. Oleh karena itu, saya
tergelitik untuk menuangkan pemikiran saya yang sederhana ini menjadi sebuah
tulisan. Mari kita mulai dengan melihat persepsi dari penulis buku ini.
Berdasarkan Keyakinan Tradisi
Sebagai
seorang pegiat budaya, Herman Sinung Janutama merupakan seorang pecinta budaya
Jawa yang memang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Jawa. Menurutnya,
kesimpulan Majapahit merupakan kasultanan Islam memang berangkat dari tradisi
Jawa. Jadi riset hanya untuk membuat pengetahuan sejarah di tradisi Jawa jadi
sistematis dan mempunyai catatan pelengkap.
Berangkat
dari penelitian Babad Menak, Serat Menak, Darmawulan dan lainnya ini
menyimpulkan tidak hanya Majapahit yang merupakan kerajaan Islam tapi Kerajaan Singasari
juga kerajaan Islam. Bahkan jauh dari masa itu, Kerajaan Tarumanegara juga
dianggap sebagai kerajaan yang sudah menganut agama Ibrahim, karena sudah mengorbankan
1000 sapi setiap tahunnya. Sungguh mencengangkan bukan?
Tapi
pembahasan kali ini tak sampai melebar ketema-tema lain. Kita akan membahas
tentang klaim dalam buku ini. Dalam ringkasan buku “Fakta Mengejutkan,
Majapahit Kerajaan Islam”, disebutkan berbagai bukti bahwa Majapahit sebenarnya
merupakan kerajaan Islam dan bukan kerajaan Hindu yang selama ini dipahami
berbagai banyak kalangan. Bukti-bukti yang Herman Sinung Janutama beberkan
sebagai berikut:
Pertama, telah ditemukannya koin-koin emas Majapahit
yang bertuliskan “La Ilaha Illallah Muhammad
Rasulullah”. Maka penemuan koin ini berarti bahwa Majapahit menggunakan mata
uang emas ini untuk bertransaksi dalam wilayahnya. Alasanya, sebuah
pemerintahan memerlukan alat pembayaran yang “resmi” dalam wilayahnya.
Kedua, pada
makam Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik ditemukannya tulisan bahwa
beliau merupakan Qadhi (hakim dalam agama) dalam Kerajaan Majapahit. Ini menurut
penulis buku merupakan salah satau bukti bahwa agama Islam merupakan agama
resmi dari Kerajaan Majapahit.
Ketiga,
lambang kerajaan Majapahit yang berupa
sinar matahari dengan berbagai tulisan Arab berupa “Shifat, Asma, Ma’rifat, Adam, Muhammad,
Allah, Tauhid dan Dzat”.
Menurut penulis, bukti ini juga merupakan bukti kuat yang tidak mungkin
dimiliki oleh kerajaan Hindu.
Keempat,
pendiri kerajaan Majapahit yaitu Raden
Wijaya merupakan keturunan seorang muslim. Beliau adalah cucu dari Prabu Guru
Dharmasiksa, seorang Raja Sunda sekaligus ulama Islam Pasundan yang hidup selayaknya
seorang sufi. Sedangkan neneknya merupakan seorang muslimah keturunan penguasa
Kerajaan Sriwijaya. Penggunaan gelar Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana)
tidak serta merta menjadi seorang Hindu, penulis menyamakan antara gelar
Kertarajasa Jayawardana dengan raja-raja muslim yang menggunakan gelar
sansekerta juga, semisal Hamengkubuwono, Pakubuwono, Mangkubumi yang ternyata
Islam.
Kelima, terjadi
eskodus besar-besaran dari Bagdad ke Timur karena penyerangan yang dilakukan
oleh tentara Mongol pada tahun 1253 M. Karena merasa terancam, maka para kaum
muslimin melakukan eksodus kewilayah yang lebih aman. Sehingga mereka menetap
dan mendirikan kerajaan di nusantara, termasuk mendirikan Majapahit.
Keenam,
inilah yang menjadi viral saat ini, yaitu penamaan Gajah Mada menjadi Gaj
Ahmada. Maha Patih ini merupakan sosok yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya. Karena
lidah orang Jawa, akhirnya Gaj Ahmada lebih familiar menjadi Gajah Mada.
Setelah dia tidak menjabat sebagai Maha Patih, maka Gaj Ahmada lebih dikenal
dengan Syaikh Mada oleh masyarakat. Pernyataan ini diperkuat dengan bukti fisik
yaitu pada nisan makam Gaj Ahmada di Mojokerto terdapat tulisan ‘La Ilaha
Illallah Muhammad Rasulullah’.
Inilah alasan yang digambarkan oleh isi buku, dan mengklaim dengan
ditemukannya berbagai bukti itu, maka runtuh sudah pegangan sejarah yang sudah
bertahan ratusan tahun ini. Apakah semudah itu? Jelas jawabannya tidak!
Bantahan-Bantahan
Tulisan ini tidak bermaksud menggurui, namun lebih bermaksud untuk
menyalurkan pemikiran, karena secara akademis, saya merupakan alumnus
pendidikan sejarah yang diajarkan tentang metodologi penelitian sejarah. Bantahan
ini sebagian besar terinspirasi tulisan dari Adang Setiawan, mari kita bahas
satu persatu.
Pertama, penemuan koin-koin emas Majapahit yang bertuliskan “La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah”
Majapahit merupakan kerajaan yang besar dengan wilayah yang sangat
luas. Untuk menjaga wilayahnya, kadang Majapahit juga bekerjasama dengan
kerajaan-kerajaan lainnya. Hubungan dagang dengan kerajaan lainnya berlangsung
dengan menggunakan alat pembayaran berupa uang koin sebagai alat untuk
pembayaran.
Koin Berlafalkan Arab (Sumber Gambar) |
Hubungan dagang antara Majapahit dan Tiongkok, Majapahiit dan
pedagang Gujarat (Arab) memang sering terjadi. Jadi penemuan mata uang yang
berasal dari Arab dan bertuliskan Arab sangat memungkinkan terjadi. Tapi apakah
penemuan mata uang Arab menjadikan Majapahit sebagai kerajaan Islam? Tentu saja
tidak.
Sebagai catatan, pada tahun 2009, Tim Evaluasi Neo Pusat Infromasi
(Neo PIM) juga menemukan peninggalan di Situs Trowulan berupa ribuan keping
mata uang kuno yang berasal dari Tiongkok. Mata uang ini bertuliskan huruf
Tiongkok, yang berjumlah 60 ribuan keping koin.
Mata Uang Tiongkok yang Ditemukan di Majapahit |
Apakah dengan penemuan koin ini menjadikan kerajaan Majapahit
sebagai penganut Konghucu? Atau Majapahit sebagai penganut Taoisme? Bahkan
lebih jauh lagi, apakah Majapahit menjadi bawahan Kekaisaran Tiongkok? Tentu
jawabanya TIDAK!
Pembawaan mata uang bagi para pedagang tentu merupakan hal yang
biasa. Mereka kadang membawa mata uang berupa emas, perak atau perunggu yang
memang lazim digunakan sebagai alat pembayaran waktu itu. Kerajaan Majapahit sendiri
mempunyai koin mata uang sendiri yang disebut Gobog.
Begitu juga dengan para pedagang dari Arab. Koin-koin yang
bertuliskan “La Ilaha
Illallah Muhammad Rasulullah” tidak langsung membuat Majapahit sebagai kerajaan
Islam. Kemungkinan beberapa penduduk Majapahit memeluk Islam mungkin saja, tapi
menjadikan Majapahit sebagai kasultanan Islam sepertinya terlalu jauh.
Kedua, ditemukannya kata Qadhi (hakim dalam agama) di makam Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
Tulisan yang menganggap Sunan Gresik ini sebagai Qadhi tidak ada
secara spesifik ditulis dalam makam, yang ada, dalam makam itu terdapat tulisan
ayat Al-Quran seprti surat Al-Baqarah ayat 225, Ali-Imran ayat 185, ar-rahman
aya 26-27 dan al-taubah ayat 21-22, serta tulisan dalam bahasa Arab yang
artinya:
Ini adalah
makam almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan
yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran
dan sebagai tongkat sekalian para Sultan dan Menteri, siraman bagi kaum fakir dan
miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim
yang terkenal dengan kebaikannya (dalam terjemahan lain disebut: terkenal
dengan Kakek Bantal-red). Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan
semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal 822
Hijriah.
Menurut Tjandrasasmita, dugaan bahwa nisan ini meruakan kiriman dari luar. Karena berduka atas meninggalnya Sunan Gresik, maka sultan yang berasal dari Samudra
Pasai, yang mengirim jirat atau nisan beserta tulisannya tersebut sebagai tanda
hormat kepadanya. Jadi nisan itu berasal dari Pasai karena memiliki
kemiripan-kemiripan dengan makam para sultan-sultan di Pasai.
Bukankan di Kerajaan Majapahit
mempersilahkan berbagai penganutnya untuk memeluk agama? Ada yang beragama
Hindhu juga ada beberapa penganut agama Budha. Andaikata memang benar Sunan
Gresik menjadi Qodhi dan mengislamkan penduduk atau bahkan bangsawan Majapahit,
lalu apa dengan otomatis menjadikan Majapahit sebagai Kerajaan Islam?
Kalau jawabanya iya. Kenapa kerajaan
Tiongkok bukan kerajaan Islam. Padahal ada Laksamana Cheng Ho yang seorang
muslim asli Tiongkok memimpin armada ekspedisi pelayaran Tiongkok dan merupakan
petinggi di negara itu?
Ketiga, ditemukan lambang kerajaan Majapahit yang bertulisan Arab berupa "Shifat, Asma, Ma'rifat, Adam, Muhammad, Allah, Tauhid dan Dzat"
Coba bandingkan antara gambar pertama dengan gambar
kedua? Gambar pertama dikalim yang bertuliskan arab diatas, dan gambar kedua
merupakan lambang Majapahit yang sudah sering kita jumpai.
Gambar pertama seolah-olah merupakan huruf arab
yang bernar-benar tercetak pada artefak yang dipercayai sebagai Surya Majapahit.
Tulisan-tulisan pada gambar pertama seolah-olah sangat dipaksakan untuk
membentuk tulisan arab.
Sedangkan gambar yang kedua sangat jelas terlihat
bahwa tidak ada tulisan-tulisan arab seprti gambar pertama. Sama seperti meme-meme di media sosial,
ekspektasi dan realita. Para pendukung meng-ekspektasi-kan lambang Majapahit
penuh dengan tulisan Arab, namun realitanya sangat jauh berbeda.
Keempat, Raden Wijaya merupakan cucu dari Prabu Guru Dharmasiksa, seorang Raja Sunda sekaligus ulama Islam Pasundan yang hidup selayaknya seorang sufi
Memang asal usul keturunan Raden Wijaya sendiri masih menjadi
kotroversi. Menurut Pararaton, Reden Wijaya merupakan putra Mahesa Cempaka,
seorang pangeran dari Kerajaan Singasari.
Namun menurut Pustaka Rajya
Rajya i Bhumi Nusantara, Raden Wijaya merupakan putra dari Rakyan Jayadarma
(putra Prabu Guru Darmasiksa, raja Kerajaan Sunda Galuh) dan Dyah Lembu Tal
(putri Mahesa Cempaka dari Kerajaan Singasari). Dengan demikian, menurut kitab
ini, Raden Wijaya merupakan perpaduan antara raja Jawa dan Sunda.
Namun cerita diatas berbeda dengan Negarakertagama yang menyebut
Dyah Lembu Tal merupakan laki-laki, putra Narasinghamurti. Namun Raden Wijaya
dalam prasasti Balawi tahun 1305, yang dikeluarkan oleh dirinya sendiri
menyebut dirinya sebagai Wangsa Rajasa.
Jadi keterangan Raden Wijaya cucu dari Dharmasisksa masih harus
diteliti lebih lanjut, karena dari berbagai sumber kitab dan babad sendiri
masih berbeda. Sedangkan Prabu Guru Dharmasiksa sendiri terkenal dengan
amanatnya yaitu Amanat Galunggung yang intinya berisi tentang pegangan hidup. Ajaran
ini dipercaya sebagai kepercayaan lokal budaya Sunda yang berasal dari agama
Sunda Wiwitan.
Adapun mengenai gelar perbandingan antara gelar Sansekerta antara Kertarajasa
Jayawardana dengan Sultan Hamangkubuwono itu jelas sangat berbeda. Mungkin bisa
saja raja menggunakan gelar dari bahasa Sansekerta, tapi tidak mungkin
menggunakan gelar Sultan untuk raja non muslim. Sultan adalah gelar identitas
kekuasaan sekaligus keagamaan, sama seperti Paus di Vatikan bagi agama Katholik.
Sepertinya sangat aneh kalau misalkan (mohon maaf) pemberian nama “Paus
Hamengkubuwono” atau “Sultan Fransiskus”. Karena nama Kasultanan merupakan khas
untuk agama Islam.
Kelima, terjadi eskodus besar-besaran dari Bagdad ke Timur karena penyerangan yang dilakukan oleh tentara Mongol pada tahun 1253 M
Mengenai masalah ini, memang ada beberapa kerajaan Isam yang
didirikan dari keturunan Arab Islam seperti Kasultanan Perlak di Aceh (840-1292). Dan Keturunan-keturunannya yang
mendirikan Kasultanan di Aceh dan Malaka.
Namun, dalam kasus Majapahit, siapa pendirinya? Penulis buku pun
sepakat, kalau yang mendirikan Majapahit adalah Raden Wijaya. Jadi tidak ada
hubungan secara langsung dengan eksodus besar-besaran dari Baghdad kan? Dari pemaparan
empat diatas, Raden Wijaya berasal dari Sunda atau kalau tidak ya dari Jawa,
tidak ada hubungannya dengan eksodus itu.
Keenam, inilah yang menjadi viral saat ini, yaitu penamaan Gajah Mada menjadi Gaj Ahmada
Mengenai nama Gajah Mada sendiri dari berbagai sumber bukan
merupakan nama orang, namun geler. Seperti nama Firaun di Mesir, yang merupakan
geler. Di masa itu, memeng banyak gelar-gelar yang menggunakan nama hewan seperti Gajah Kulon, Kebo
Anabarang, Gajag Agung, Lembu Agung, Lembu Tal dan lain-lainnya.
Memang sampai saat ini, tidak diketahui siapa nama asli dari Gajah
Mada. Tapi yang jelas, pada masa itu memang banyak penggunaan nama-nama Hewan,
sebagai lambang dari agama yang dipeluknya. Seperti nama “Gajah” sendiri
merupakan kendaraan Dewa Indra. Gajah Dewa Indra diberi nama Airavata. Sementara
“Mada” dalam bahasa Jawa Kuno berarti mabuk. Maka sesuai artinya, bagaimana apabila ada seekor Gajah Mabuk? Semua halangan pasti dilibas, semua rintangan pasti ditebas.
Hanya saja, ada kesimpulan bahwa Gajah Mada adalah Gaj Ahmada
sungguh sangat tak masuk akal. Kalau hanya asal penggal-penggal, jangan-jangan
Raja terbesar Majapahit juga Islam yang sudah berhaji, yaitu H. Ayam Wuruk. Kalau di gatuk-gatukan, terlihat masuk akal juga
kan? Haha.. Bahkan lebih sesuai dengan nama-nama yang mencerminkan nama-nama
hewan pada masanya.
***
***
Demikian penjelasan dari tulisan sederhana saya diatas, inti dari
tulisan ini adalah pendapat Islam telah berkembang pada masa Kerajaan Majapahit
mungkin ada benarnya juga, tapi kesimpulan bahwa Kerajaan Majapahit merupakan
Kasultanan Islam merupakan kesimpulan yang sangat tergesa-gesa dan perlu diteliti dengan
penelitian yang lebih mendalam lagi.
Saya termasuk orang yang suka dengan sejarah kontroversial, karena
semakin sejarah itu banyak versi semakin bagus, kita tak mau sejarah tunggal
seperti masa Orde Baru yang menyatakan kebenaran sejarah dalam satu versi. Namun, disatu sisi, saya juga tak suka sejarah yang berbeda namun hanya
berdasarkan ilmu “gathuk-gathukan”. Termasuk
nama yang sedang viral ini, karena lebih enak gethuk dibandingkan dengan ilmu gathuk.
Untuk menutup tulisan ini, saya kutip klarifikasi penulis buku dalam penyebutan nama
Gaj Ahmada ini,
“Sepanjang bacaan kami status viral tersebut beberapa hal tidak terdapat
pada buku kami. Misalnya penjelasan tentang GAJ-AHMADA. Dalam buku tertulis
GAJAH-AHMADA. Leburan suku kata AH dalam bentukan kata GAJAHMADA adalah hukum
GARBA dalam gabungan 2 kata atau lebih dalam kawi atau sansekerta. Dalam
kasanah Jawa, tidak mungkin diizinkan kata GAJ, yang mematikan konsonan JA.
Sebagaimana suku kata WA juga tidak diizinkan dimatikan, hanya W saja.
Tapi dalam viral tidak begitu membabarkannya....”
jadi penulisnya saja menolak nama Gaj
Ahmada? Lalu kamu? Mending menerima nama aku dihati kamu? []
Sumber:
adangsetiawan.wordpress.com
gemarakyat.id
kumparan.com
news.detik.com