Politik dalam kacamata masyarakat
Indonesia lebih condong dipersepsikan negatif dan hanya bertujuan untuk mereguk
kekuasaan pragmatisme belaka. Sentimen negatif terlanjur tumbuh subur, terlebih
seringnya kita disuguhi pertarungan politik yang menampilkan “kekejaman” antar
lawan, bahkan tidak sedikit pertentangan antar kawan. Hingar bingar
perpolitiakan ini lah, yang membuat posisi perempuan menjadi semakinterpinggirkan.
Mereka dianggap sebagai makhluk“the second class”dalam dunia politik.
Hal ini menimbulkan ekses budaya apolitis dimasyarakat Indonesia.
Saat ini, masih banyak brand yang
dilebelkan kedalam wajah perempun yang hanya sebatas konco wingking. Seperti
dalam masyarakat Jawa kuno, posisi perempuan hanya layak menempati pos-pos “dapur,
sumur, lan kasur”, dan akan menjaditabu andai perannya lebih dari itu.
Bahkan dalam dunia politik, perempuan tidak layak berdiri dipuncak, banyak
slogan dengan lantang mendiskiminasikan peran perempuan, seperti “perempuan
tidak boleh memimpin kaum laki-laki dalam segala bidang” atau mereka yang
membawa nama agama dengan jargon “haram hukumnya memilih perempuan sebagai
pemimpin”.
Sungguh, peran perempuan jauh menembusbatasitu.
Partisipasi politik perempuan dalam ruang dakwah Islam adalah sebuah bagian
dari proyek amar ma’ruf nahi munkar. Tentunya semua dakwah Islam tadi
akan bernilai politis.Menjadi seorang perempuan, sungguh punyatanggung jawab
yang tak ringan. Apalagi, kalau mereka ingin berkontribusi diluar
rumah,tentunya tanggungjawab yang melebar tidak bisa terelakan. Dari ruang
keluarga yang harus siap siaga hingga lingkup publik yang menuntuk untuk
bersikap cerdik. Bagaimana harmoni harus dibangun diantara berbagai kepentingan
yang kadang-kadang tak saling membuka ruang toleransi, ini merupakan tantangan
tersendiri yang menuntut untuk dicari solusi.
Rasanya, kita semua sepakat akan
signifikansi peran perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Namun yang masih menjadi
pertanyaan dibenak kita, bagaimana agama Islam memandang dari sudut pandangnya?
dimana posisi kebangsaan perempuan dalam memberikan sumbangan dalam dunia
politik?Rasanya kita masih perlu untuk merefleksikan diri. Mari.
Perempuan Berpolitik: Perpsektif Islam
Islam hadir dengan kesempurnaan yang
menyeluruh dalam segala sendi-sendi kehidupan. Termasuk terintegrasinya antara
agama, kekuasaan dan politik, tidak ada pemisahan diantaranya, itulah pendapat
dari Syaikh Hasan al-Banna. Politik dan Islam, dua sisi yang mencakup
kepentingan orang (umat) banyak, kedua hal ini merupakan sesuatu yang inhern,
dan tidak bisa dipisahkan. Dr. V. Fitzgerald, mengatakan “Islam bukan hanya
semata agama, namun juga sebuah sistem politik”. Dunia politik dalam Islam, diwujudkan
sebagai sarana untuk menuju kemakmuran rakyat banyak (al-mashlahah al-ammah).
Bahkan saat ini, timbul terminologi baru,
yaitu politik dakwah. Politik dakwah memberikan pencerahan bagi umatnya untuk
menciptakan kehidupan bernegara yang terarah berpegangan pada moral (agama).
Apalagi di Indonesia menganut sistem demokrasi yang memberian kebebesan untuk
menampung semua aspirasi. Keterkaitan ini harusnya dimaknai sebagai langkah
untuk melandasi moral dan akal dalam berpolitik, yaitu konsisten dalam sikap
politik untuk memberikan kebaikan dan hikmah bagi sesama (prinsip bi al
hikmah wa al mawizah hasanah). Sebaliknya, apabila dalam penyampaian
kebaikan itu ada perbedaan, maka yang digunakan adalah prinsipsikap santun yang
bermartabat (prisnip billati hiya ahsan).
Dalam kontestasi politik, sosok perempuan
menjadi terlihat menarik. Tentunya perempuan hadir untuk melengkapi sisi yang
belum terisi, meski kehadirannya tak luput dari berbagai kritik. Konstelasikehidupan
bernegara yang terjadi juga mendorong peran perempuan dalam memperjuangkan
kebijakan lewat parlemen. Namun, bagaimana Islam memandang permasalahan ini?
Memang terjadi banyak ikhtilaf atau perbedaan pendapat mensikapinya, dan
bukan kapasitas penulis untuk membahasnya disini, karena keterbatasan ilmu yang
dimiliki, tapi mari kita lihat dari sisi yang penulis kuasai.
Mengambil pendapat dari Syaikh Yusuf Al-Qardhawi
dalam Fiqih Daulah, yaitu tentang diperbolehkannya perempuan untuk
menjadi legislator, tapi dengan beberapa pertimbangan kondisi, diantanya (1)
perempuan yang tidak dikarunai anak, sedang dia memiliki kelebihan, kemampuan,
waktu dan kecerdasan; (2) perempuan yang sudah mencapai kematangan usia, dimana
sudah tidak diganggu dengan berbagai hambatan alami; dan (3) perempuan yang
anak-anaknya sudah besar dan berkeluarga, sehingga punyai banyak waktu luang
yang bisa dimanfaatkan untuk menjadi anggota legislatif.
Begitulah beliau memandang masalah ini.
Banyak kisah mengesankan dari peran perempuan. Apabila kita melihat sejarah
Islam, Jejak-jejak peran politik kaum perempuan telah terekam dengan manis.
Sebagaimana politik telah terpatri dalam kehidupan umat sejak dua kalimat
syahadat diyakini. Politik bukanlah hal baru, juga bukan halyang tabu bagi para
perempuan muslimah dan masyarakat Islam pada umumnya yang memahami makna syahadatain
dengan benar.
Contoh nyata adalah perjuanganUmmulmukminin,
Khadijah al-Kubra. Berbagai pemboikotan ekonomi dialami, pencekalan sosial
dilalui, namun beliau tetap meyakini. Keteguhan hati Khadijah inilah yang
membuat beliau senantiasa menjadi peneguh hati Rasullulah SAW. Contoh lainnya
adalah peran dari Asma binti Abu Bakar yang memainkan peran politiknya dalam
misi menyelamatkan dakwah Islam melalui hijrah dengan jalan menyuplai akomodasi
dan logisitik bagi perjalanan Rasullulah SAW dan sahabatnya.
Dalam konteks saat ini, ada sosok Almarhumah
Ustadzah Yoyoh Yusroh. Perjuangan beliau meng-goal-kan UU Pornografi
menjadi salah satu contoh nyatanya. Meskipun pertentangan dari pihak-pihak
dibelakangnya sangat besar. Namun dengan kesabaran dan kegigihannya, beliau berhasil
melindungi hak-hak kaum perempuan yang dieksploitasi. Begitu juga dengan suara
lantangnya didunia internasional untuk memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina
yang direnggut Israel. Semua itu merupakan contoh kontibusi nyata kaum
perempuan yang diperjuangkan dalam politik untuk kepentingan umat.
Memisahkan perempuan dari dunia politik,
sama saja memisahkan masyarakat dari lingkungannya, begitulah pendapat dari politisi
perempuan yang mendapat predikat Mubaligh Nasional pada 2001 ini.Pemisahan
inilah yang justru menjadi senjata doktrin pemerintah rezim Orde Baru yang memberikan
jurang antara politik dan perempuan, dan antara politik dengan agama. Bahkan
pada masa Orde Baru, ada ungkapan yang sangat terkenal, “Islam Yes, Partai
Islam No”. Sebuah belenggu dan tantangan bagi kaum perempuan.
Perempuan
dalam Arus Politik “Bapakisme”
Perempuan
dalam panggung politik dewasa ini masih mencari formula yang tepat bagi
perjuangganya, yang pasti mereka mencoba mengambil posisi dalam mengisi satu sisi
dalam kehidupan kebangsaan saat ini. Hal ini sangat terlihat setelah kran
ferormasi dikucurkan, aliran deras suara-suara tak bisa terelakan. Ibarat kuda
yang dikurung bertahun-tauhun, kebebasan akan membuatnya menuntaskan dahaga
keterkungkungan. Momen ini juga dialami oleh para perempuan, lihat saja hiruk
pikuk pesta lima tahunan yang telah digelar, tampak kalangan perempuan lebih
lantang meneriakan pemenuhan kuota 30 % sebagai
representasi keterwakilan diparlemen.
Pemenuhan
kuota ini tentunya bukan hal yang mustahil, terlebih sejak proses “liberalisasi
politik” pasca reformasi digaungkan. Rasanya suara perjuangan kaum perempuan
semakin jelas menuju kesatu fokus utama, yaitu menjadikan representasi
berpolitik yang adil, proporsional, dan merata dalam aspek kehidupan kebangsaan.
Dengan perjuangan 30 % ini, kaum perempuan setidaknya bisa merealisaikan
pikiran-pikiran berbasis emansipasi gender,
yang kemudian bisa mempengaruhi kebijakan-kebijakan negara dari berbagai
persepsi kesetaraan gender.
Meskipun
ingatan kita masih sangat segar, dengan berbagai adegan-adegan mengerutkan hati
nurani. Hal ini bisa kita rasakan dengan respon politik rezim Orde Baru yang
otoritarian membentuk wajah “Politik Bapakisme”, yang lebih menonjolkan sifat
laki-laki dalam berbagai wajah politiknya. Meskipada masa Orde Baru, kaum
perempuan tetap diperkenankan melakukan kegiatan sosial-politik, namun sejatinya
ruang lingkupnya tetap dikurung dalam sebuah bingkairetorika formalitas belaka.
Aktivitasi
perempuan pada masa rezim Orde Baru lebih kearah rikuh pekewuh untuk
tampil keatas panggung politik, bahkan gerakan perempuan ini tenggelam kedalam arus
patrimonial, yaitu sebuah struktur sosial yang menempatkan laki-laki sebagai
pihak superior dan perempuan dibagian inferior. Laki-laki lebih tinggi dan
berkuasa, dan perempuan berposisi rendah dan tak berdaya. Isu posisi
perempuansemakin tenggelam tertelan isu-isu lain yang lebih seksi,seperti seputar
stabilitas politik dan pembangunan lima tahunan (repelita).
Organisasi
perempuan waktu itu, seperti Dharma Wanita, PKK atau Kowani hanya menjadi
“alat” untuk menunjang program pemerintah dan kepentingan pragmatisme Orde Baru.
Misalnya saja, upaya “penyeragaman” ideologi keluarga untuk mendukung Golkar
dalam setiap pemilu. Dan hasilnya, aspek keluarga ini menjadi salah satu kekuatan
terbesar dan senjata pamungkas Golkar dalam memenangi setiap momentelektoral lima
tahunan ini.
Kita
sepakat, gerakan perempuan waktu itu tidak bisa lepas dari kontrol cengkraman Orde
Baru.Sebuah keniscayaan, setelah lengsernya Orde Baru, terrealisasi
keterwakilan kuota 30 %perempuan diparlemen, namun lagi-lagi keleluasaan
bergerak saat inipun tidak luput dari permasalahan yang mengitarinya. Ketika
kuota itu tersaji dan siap dinikmati, benturan permasalahan baru menghinggapi
kehidupan demokrasi musiman ini, yaitu (salah satunya) politik kekerabatan dan dinasti.
Data
dari Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL) UI, pada pemilu legislatif tahun 2014
kemarin, jaringan kekerabatan keterpilihan calon untuk menduduki kursi legislatif
masih tinggi. Di DPR-RI saja, terdapat 77 dari 560 orang yang teridentifikasi
memiliki jaringan kekerabatan dengan elite politk, salah satunya dengan jumlah
perempuan mencapai 47 % dari 77 orang itu.[4]
Calon legislatif perempuan ini sebagai bagian dari politik kekerabatan tidak
jauh dari elit politik dan elit ekonomi. Sebagian dari mereka adalah istri,
saudara, kakak, atau adik dari pejabat atau pengusaha elite negeri.
Fenomena
gunung es ini, setidaknya menandakan masih minimnya integritas partai politik
dalam merekrut calon legislatif. Rekruitment calon legislatif perempuan belum
diukur dengan kompetensi yang dimilki, tidak juga kepiawaiaannya mengelola
aspirasi. Namun,yang terlihat justru lebih karena kedekatan dan kekerabatan
dengan elite politik dan elite ekonomi. Akibatnya, perjuangan emansipasigender
melalui keterwakilan politik perempuan dalam panggung politik justru
terperangkap kedalam politik dinasti.
Dominasi
kekerabatan ini, lebih menampakan kesan bahwa ketergantungan perempuan pada
basis kekuasaan laki-laki ini tetap lestari dan memperlebar jurang kesenjangan
posisi. Ketakutannya, justru kehadiran perempuan dipanggung politik hanya
sebatas alat “yang penting ada”, atau semata-mata hanya untuk memenuhi kuota.
Tidak salah memang. Selama sang calon memenuhi kridebilitas dan integritas
terhadap bangsa, bukan hanya bagain dari drama elit politik belaka.
Sungguh
hal ini yang paling kita takutkan bersama. Ditengah realitamengkhawatirkan ini,
kita masih mengharapkan muncul sosok perempuan yang selalu berjuang dalam
dekapan dakwah dan ukhuwah untuk kepentingan ummah. Kita harus dan selalu
optimis akan hal ini. Kita sepakat, peran perempuan tidak hanya dalam dunia
perpolitikan semata, jauh lebih luas dari itu, perempuan menempati posisi
sebagai pembentuk “wajah” suatu bangsa.Seperti sebuah kata hikmah, “perempuan
adalah tiang negara, apabila perempuanya baik maka negaranya akan baik, dan
apabila perempuanya rusak maka negara pun akan ikut rusak”.
Membidik
Persoalan dan Mencari Penyelesaian
Kita pernah mengalami dikotomi-dikotomi
masa Orde Baru yang menyebut tidak ada hubungannya agama dengan politik.
Rasanya problem itu saat ini semakin terkikis habis. Banyak contoh dari zaman
Rasulluloh SAW, hingga saat ini, yang membuktikan betapa pentingnya
keterlibatan peran perempuan dalam perjuangan politik Islam. Dari Khadijah
hingga Yoyoh Yusroh pernah berkontribusi untuk kepentingan ummah. Tentutnya
tidak bisa dibandingkan peran antarkeduannya, namun kita bisa mengambil benang
merah dari keteguhannya dalam memperjuangkan eskistensi agama diranah politik.
Saat
ini, muncul problematika baru, dalam perjuangan kaum pempuan, yaitu perekrutan
pola kekerabatan. Kekerabatan dalam menentukan calon legislatif memberikan
imbas ketergantungan perempuan dalam pusaran politik “laki-laki”. Dalam sisi
yang berbeda, fenomena ini juga bermuara pada sempitnya ruang rekruitmen yang
dilakukan oleh partai politik. Stagnanisasi merupakan kata yang tepat untuk
menggambarkan menyempitnya pola kaderisasi untuk mencari calon legislatif yang
menjunjung nilai kebangsaan dan islami.
Tentunya
hal ini juga bersumber kepada kukuasaan eksklusif pada segelintir elite politik
dalam tubuh partai politik. Tidak bisa lepasnya partai dalam mencetak kader
juga berimbas kepada kelangkaan stok calon pemimpin yang masih“mensakralkan”
pada satu elite. Dengan adanya satu elite yang sangat ekslusif ini, justru akan
menghambat pencalonan pejabat publik menjadi tidak ideal karena segala sesuatu
hanya ditentukan oleh orang satu.
Dengan
kata lain, rekruitmen calon legislator partai-partai politik belum mengutamakan
arus kapabilitas dan gelombang integritas. Namun lebih terasa sebagai bagian
dari situasi patron-kilen dalam politik, dimana rekruitmen dalam partai politik
hanya pertarungan antara jaringan patrionase politik. Sehingga klien-klien yang
terbatas dalam sinyal konektivitas dengan orang-orang “dalam” akan tidak
dianggap oleh sang patron, hal ini berimbas pada ketidak mungkinan untuk ikut
bertarung diarena politik.
Alternativ
solusi tentunya dengan sebuh perubahan dari dalam partai politik itu sendiri. Terutama
dalam menyelenggarakan reformasi demokrasi dalam tubuh internalnya, ini
dimaksudkan untuk memutus koneksivitas kekuasaan ditangan segelintir orang yang
tidak mau tergeser dari pucuk kekuasaan. Dengan kata lain, partai politik yang
melambangkan kehidupan demokrasi suatu negara, juga harus mau untuk
mendemokrasikan keterbukaan dalam tubuh internal partainya.
Berlaku
juga untuk reformasi dalam internal partai yang menjurus kepada rekruitmen
perempuan yang berladaskan pada wajah politik yang sebenarnya. Sehingga partai
politik dapat menghadirkan kepentingan perempuan dalam menentukan kebijakan-kebijakan.
Hal ini menjadi sesuatu yang penting untuk mengembalikan politik kepada makna
harfiahnya sebagai upaya untuk memajukan bangsa dan negera tercinta, sehingga
dengan hadirnya sosok perempuan didalamnya, kehidupan kebangsaan Indonesia
menjadi semakin bermakna. Semoga...
[1] Amatullah Shafiyah dan Haryati Soeripno. 2003.
Kiprah Politik Muslimah: Konsep dan Implementasinya. Jakarta: Gema
Insani Press. Hlmn 3-4.
[2]Undang-Undang No. 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik
[3]Gender berbeda dengan jenis kelamin
(sex),
karena sex bersifat natural, sementara gender itu nurture (bentukan).
[4]http://www.puskapol.ui.ac.id/publikasi_puskapol/profil-anggota-legislatif-2014-2019-potensi-dominasi-fraksi-makin-kuat-2.html., diaskes tanggal 31 Dsember 2016.