Bersama Mbah Siti Rodiyah, kakak Usman Janatin |
***
A. Latar Belakang
Konstelasi
politik dunia yang terjadi pada pada era tahun 1960-an memang tidak bisa
dilepaskan dengan persaingan antara dua
blok adidaya. Blok Barat representasi Amerika Serikat (AS) dengan Liberal Kapitalis-nya dan Blok Timur
dengan Uni Soviet Rusia (USSR) sebagai komandan Sosialis Komunis. Perang
Dingin atau Cold War, istilah yang sering kita dengar ini menggambarkan
rivalitas dua negara adidaya yang “menjual” ideologinya ke wilayah-wilayah
negara lain didunia (Sukardi, 2011: 2-3). Kondisi ini, membuat negara
didunia dirundung kekhawatiran kalau Perang Dingin ini pecah menjadi “Perang
Panas”. Perebutan supremasi antar dua negara adidaya ini terasa hingga beberapa
kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Sejalan
dengan hal tersebut, kondisi di Indonesia pada tahun itu menunjukan adanya
perjuangan dalam usaha merebut Irian Barat dari Belanda. Pada tanggal 1 Oktober
1962, pihak Belanda menyerahkan Irian kepada pemerintahan sementara PBB, yang kemudian
akan menyerahkanya kepada pihak Indonesia pada 1 Mei 1963. Penyelesaian masalah
Irian ini tidak bisa dilepaskan dari peran AS. AS sangat khawatir jika
Indonesia akan benar-benar jatuh kedalam pengaruh USSR (komunis-red).
Kecenderungan ini memang sudah terlihat dari berbagai slogan ideologi dan langkah
politik Presiden Sukarno dengan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) serta
disempurnakan menjadi Manipol-USDEK (Manifesto Politik atas UUD 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin). Untuk menekan
meluasnya pengaruh komunisme, AS memberikan bantuan-bantuan ekonomi dalam
mengatasi berbagai krisis di Indonesia dengan mengucurkan Dana Moneter
Internasional (Ricklefs, 2001: 411-412).
Ketika
masalah Irian Barat mendapatkan titik terang, disisi lain, masalah luar negeri
yang lain muncul. Permasalahan ini bermula dari rencana pembentukan “Federasi
Malaysia”. Pembentukan Federasi Malaysia ini didasari dari persamaan masalah
yang dialami dari negara Malaya, Singapura dan Inggris. Malaya cemas dengan
penduduk Tionghoa dan implikasinya terhadap rasial dari penggabungan dengan Singapura,
pihak Singapura menginginkan sebuah kemerdekaan yang penuh, serta pihak Inggris
menginginkan solusi terhadap masa depan wilayah-wilayah jajahannya di Pulau Kalimantan,
seperti Sabah, Brunei dan Sarawak (Shuib, 2009: 93-96).
Persepsi
Presiden Sukarno terhadap pembentukan Federasi Malaysia ini lain, menurutnya, pembentukan ini merupakan rekayasa dari Blok
Barat untuk menancapkan kekuasaannya dikawasan Asia, khusunya Asia Tenggara. Pembentukan
Federasi Malaysia ini akan mengepung Indonesia dari kekuatan neo-kolonialisme
dan neo-imperialis (Daras, 2013: 153). Hubungan Indonesia dengan Malaysia yang
kemerdekaanya diberikan sebagai hadiah tahun 1957 oleh Inggris tidak berjalan
harmonis. Hal ini antara lain disebabkan oleh kehadiran dan campur tangan
Inggris. Presiden Sukarno menganggap Malaysia tidak sepunuhnya sudah merdeka
atau hanya pura-pura merdeka karena tidak pernah merasakan namanya pahit-getir sebuah
revolusi fisik yang pernah dialami Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, Daniel
Dhakidae (2009: 50), menyatakan Malaysia dalam memperoleh kemerdekaanya
diberikan “Merdeka Hadiah”, berbeda dengan Indonesia yang merdeka karena “Merdeka
Darah”.
Berbagai usaha diplomasi dilakukan
untuk menyelesaikan ketegangan antara dua negara tetangga ini. Salah satunya, pertemuan
antara Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Malaya, Tengku Abdul Rachman yang dilakukan
di Tokyo pada tanggal 1 Juni 1963 (Sutrisno dan Nasution, 2013: 628-629). Hasil
dari pertemuan ini sedikit meredakan ketegangan dua negara. Namun, ketika proses
perundingan yang hampir mencapai titik temu, Perdana Menteri Tengku Abdul
Rachman menandatangai dokumen persetujuan dengan Inggris di London mengenai
Negara Federasi Malaysia yang akan dilaksanakan pada tanggal 31 Agustus 1963. Realitas
yang ada menunjukan bahwa penandatanganan ini merupakan sebuah penghinaan besar
bagi kedaulatan Indonesia, seperti yang dikatakan Sukarno.
Menanggapi hal tersebut, Presiden
Sukano kembali menghidupkan semangat revolusi “Indonesia Raya”, dengan
menyatakan negara baru itu merupakan boneka nekolim, (neo-kolonialimse
dan neo-imperialisme). Langkah berikutnya adalah membangkitkan semangat
“Konfrontasi”. Istilah ini pertama kali diungkapkan oleh Soebandrio pada
Januari 1963 setelah pasukan Malaya dan Inggris menghancurkan pembrontakan di
Kasultanan Brunei di Kalimantan Utara (Cribb dan Kahin, 2004: 248). Kemudian
setelah itu, muncul sebuah slogan baru untuk memanaskan semangan konfrontasi
itu, yaitu Ganyang Malaysia.
Realisasi dari fenomena
tersebut ditunjukkan dalam bentuk demonstrasi
yang dilakukan setiap minggu untuk membangkitkan
semangat
Anti-Inggris dengan slogan Ganyang Malaysia. Langkah
selanjutnya, bisnis-bisnis
Inggris dan bisnis ekonomi Persmakmuran lainnya diambil alih selama tahun
1964-1965 (Vickers, 2005: 228-229). Pemerintah Indonesia juga
menggabungkan strategi
politik konfrontasi dengan diplomasi. Taktik yang sama dilakukan ketika
Presiden Sukarno mengambil alih Irian Barat. Menurut Frederick P. Bunnel (dalam
Yahya A. Muhaimin, 2005: 156) kebijakan politik ini dilukiskan sebagai “confrontation
diplomacy”, suatu campuran manuver yang bersifat berani, cerdik-licik dan
tidak dapat diduga.
Untuk
mendukung kebijakan Ganyang Malaysia ini, dilancarkan berbagai konfrontasi oleh
ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan sukarelawan serta sebagian
dari masyarakat luas berdasarkan seruan Dwi Komando Rakyat (Dwokora), yang
berisi tentang mempertinggi ketahanan Revolusi Indonesia dan membantu
perjuangan rakyat (Farram, 2014: 8). Salah satu sukarelawan dari kalangan ABRI
yang ikut dalam operasi itu adalah Usman bin Haji
Muhammad Ali alias Usman Janatin.
Usman Janatin lahir di Purbalingga, sebuah Kabupaten yang ada di
Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten yang memiliki luas 77.764
hektare ini memiliki pahlawan-pahlawan terbaik bangsa dari kalangan militer,
salah satunya Panglima Besar Jenderal Soedirman, tokoh yang pernah menjadi
“sentral” militer pada awal kemerdekaan. Maka tidak heran, kabupaten ini
mendapat julukan “Kota Perwira”. Sebuah julukan untuk menghormati
perwira-perwira yang sudah membela martabat bangsa.
Selain
Soedirman, Purbalingga juga mempunyai putera terbaik dari kalangan “perwira”
lainnya, yaitu Usman Janatin. Berdasarkan semangat Dwikora, Usman Janatin dan
rekan-rekannya mendapatkan tugas untuk melakukan penyusupan ke Singapura. Dalam
tugas ini, Usman Janatin sebagai pimpinan atas rekan-rekannya, Harun bin Haji
Mahdar dan Gani bin Gani Aroef. Surat tugas yang bernomor SP. KKO No.
05/Sp/KKO/64 dan Spd KOTI No. 288/KOTI/8/64, tertanggal
27 Agustus 1964 ini sebagai dasar mereka untuk melakukan pemboman terhadap
berbagai tempat di Singapura (Mujirun, 1974, 1).
Tokoh
yang patut mendapat julukan patriot bangsa ini mau menjadi sukarlawan meski
nyawa taruhanya. Sikap patriot ini merupakan semangat cinta tanah air atau
sikap seseorang yang rela mengorbankan jiwa maupun raganya untuk negara. Sikap
rela berkorban ini dimaksudkan untuk membela bangsa dan negara dari berbagai
gangguan, baik itu dari dalam negeri maupun luar negeri. Sikap patriotisme ini
juga melekat pada sikap nasionalisme. Artinya, ketika seseorang sudah memiliki
sikap nasionalisme maka secara otomatis akan memiliki sikap patriotisme. Itulah
definisi patriot bangsa yang dimiliki oleh Usman Janatin dalam penelitian ini.
B. Permasalahan
Penelitin
ini mengkaji tentang biografi[1]
Usman Janatin dalam mempertahankan martabat
negara dan bangsa dari gangguan negara lain. Untuk menjawab permasalahan
tersebut, maka
selanjutnya diajukan beberapa pertanyaan penelitian antara lain:
1.
bagaimana
kehidupan Usman Janatin masa kecil hingga menjadi anggota militer?
2.
bagaimana
proses keterlibatan Usman Janatin dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia?
3.
bagaimana
reaksi dan upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap
perjuangan Usman Janatin?
C. Tujuan
Penelitian
ini bertujuan untuk, pertama,
mendeskripsikan kehidupan Usman Janatin masa kecil hingga menjadi anggota
militer, kedua, mengetahui perjuangan Usman
Janatin dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia; dan ketiga,
mengetahui upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap
perjuangan Usman Janatin.
D. Manfaat
Penelitian
Manfaat
yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1.
Manfaat
Teoritis
Manfaat
teoritis dalam penulisan ini terutama untuk melengkapi kekosongan dalam
historiografi Indonesia, khususnya tentang penulisan sejarah lokal yang
mengangkat sosok Usman Janatin;
2.
Manfaat
Praktis
Manfaat
praktis merupakan manfaat yang dapat terasa secara langsung setelah selesainya
penulisan ini, manfaat-manfaatnya adalah:
a.
membuat
peserta didik mengetahui dan meneladani sosok Usman Janatin dalam membela
harkat dan martabak bangsa;
b.
memberikan
motivasi kepada para guru untuk menuliskan peristiwa sejarah yang ada di
sekitarnya yang belum digarap;
c.
sebagai
bahan pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten agar lebih memperhatikan potensi
sejarah lokal yang belum maksimal tersentuh untuk dituliskan.
E. Tinjauan
Pustaka
Sebagai
sebuah karya ilmiah, maka diperlukan sebuah tinjauan pustaka, yang merupakan
landasan dari pemikiran-pemikiran dengan tujuan untuk memperoleh data-data dan
informasi yang menujang dalam penelitian ini (Priyadi, 2013: 139). Saat ini,
sumber referensi yang mengangkat sosok Usman Janatin dalam bentuk buku masih
tergolong sangat jarang. Tulisan-tulisan yang penulis temui juga hanya tulisan
ringkas yang masih menggunakan ejaan yang belum disempurnakan dan juga belum menggunakan
metode ilmiah. Beberapa karya terdahulu yang memuat kisah Usman
Janatin antara lain:
Pertama, tulisan ringkas yang dibuat
oleh Muchtaruddin Ibrahim pada tahun 1993, yang penulis temukan di Museum Usman
Janatin. Judul ringkasan ini adalah “Usman Bin Haji Muhammad Ali alias
Janatin”. Ditulis di Jakarta dalam rangka proyek inventarisasi dan
dokumentasi Sejarah Nasional. Tulisan ringkas ini membahas tentang latar
belakang keluarga Usman Janatin, kehidupan keluarga, kehidupan masa kecil dan
pendidikan formal yang ditempuh oleh Usman Janatin, termasuk pendidikan
militernya.
Karya
Murgiyanto yang ditulis tahun 1989, dengan judul “Usman dan Harun Prajurit
Setia”, ditulis di Jakarta dan diterbitkan oleh Direktorat Perawatan
Personil TNI-AL Subdit Sejarah. Tulisan ini membahas tentang peran Usman dan
Harun dalam konfrontasi Indonesia dan Malaysia. Disini juga dibahas mengenai
peran sosok lain, yaitu Gani pada saat melakukan penyusupan ke Singapura. Saat
mengadakan penyusupan itu, Usman menjadi pemimpin dari kedua rekannya itu.
Karya
selanjutnya adalah tulisan dari Herman Mujirun, yang berjudul “Sekilas
Kenangan 2 (dua) Pahlawan Serda KKO Bin H. Ali dan Kopral KKO Harun Bin Said”
dan diterbitkan oleh Yayasan Sosial Usman-Harun tahun 1974. Tulisan ini
membahas secara singkat tentang perjalanan Janatin dalam penugasan didunia
militer hingga dia dihukum mati oleh pemerintah Singapura karena telah dianggap
melakukan tindakan terorisme.
Persamaan
dari tulisan diatas dengan penelitian yang akan dibahas, yaitu sama-sama
membahas tokoh Usman Janatin. Meskipun tulisan-tulisan ini hanya berupa
ringkasan dan masih menggunakan ejaan yang belum disempurnakan. Perbedaan
tulisan yang sudah dipaparkan diatas dengan penelitian yang akan ditulis adalah
pada kajian yang dibahas didalamnya. Dalam ketiga tulisan itu, Usman Janatin
dibahas secara sepotong-potong. Penulisan terdahulu ada yang tidak membahas
masa kecilnya atau tidak dibahas juga mengenai keterlibatan Usman Janatin dalam
perebutan Irian Barat.
Penelitian
ini juga akan membahas secara komperhensif dan menggunakan pengumpulan data
yang beragam, dari wawancara dan studi kepustakaan. Penulisan ini juga akan membahas
Usman Janatin dari kecil hingga dianugrahi Pahlawan Nasional. Dalam tulisan
terdahulu, hanya membahas sekilas dan ringkas tentang masalah ini dan belum
menggunakan metode penelitian sejarah yang diakui secara ilmiah. Oleh karena
itu, dengan dilakukannya penelitian ini, maka akan semakin melengkapi
tulisan-tulisan yang pernah dibuat terdahulu.
F. Metode
Penelitian
Menurut Kuntowijoyo (1999: 88-89), peneltian yang dilakukan ketika
menggunakan metode sejarah ada 5 tahap, yaitu (1) pemilihan topik; (2) heuristik
atau pengumpulan sumber; (3) verifikasi atau kritik sejarah, keabsahan sumber;
(4) interpretasi; dan (5) historiografi atau penulisan.
Topik dalam penulisan ini mengacu pada sosok Usman Janatin dan perannya
dalam konfrontasi antara Indonesia-Malaysia. Setelah memilih topik, peneliti harus
mengumpulkan sumber-sumber atau dokumen-dokumen mengenai topik penelitian.
Sejarawan bekerja berdasarkan berbagai dokumen, karena dokumen merupakan jejak
pikiran dan perbuatan yang telah ditinggalkan oleh orang-orang zaman dahulu
(Langlois dan Seignobos, 2015: 25). Begitu pentingnya dokumen dalam sejarah,
maka sampai ada istilah no documen no
history, tidak ada dokumen tidak akan ada sejarah.
Selain maha penting, tahap pengumpulan data atau heuristik ini merupakan tahap yang paling menyita banyak waktu.
Pengumpulan pertama yang dilakukan untuk mencari
dokumen yang berkaitan dengan tema/topik yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, dokumen dan sekaligus peninggalan catatan
yaitu berupa surat, piagam, serta rekaman wawancara, dokumentasi dan lainnya.
Sumber catatan-catatan dan dokumentasi bisa ditemui didalam museum Usman
Janatin, berupa surat-surat, piagam, tanda jasa, dan catatan-catatan yang lain.
Selain itu, wawancara dilakukan kepada saudara-saudara Usman Janatin yang
sebagain besar masih hidup. Ada teman-teman kecilnya juga yang sebagian besar
masih tinggal di Purbalingga. Untuk menambah sumber data, dikumpulkan juga berbagai
referensi dari buku-buku, jurnal, majalah, surat kabar yang menunjang tentang
penulisan sekitar tahun 1960-an.
Setelah
data terkumpul kemudian dilakukan verifikasi. Verifikasi ada dua macam, otensitas
atau keaslian sumber (kritik ekstern) dan kredibilitas atau kebisaan dipercayai
(kritik intern) (Kuntowijoyo, 1999: 98). Dalam penelitian ini, kritik sumber eksternal
yang dilihat dari berbagai koleksi museum Usman Janatin, apakah materi itu
merupakan materi yang memang sezaman, disamping itu bisa dilihat berbagai
kertas dengan jenis dan ukuran, bahan, kualitas dan lainnya. Jadi, bisa
diartikan bahwa kritik eksternal merupakan kritik secara fisik dan menyesuaikan
dengan anak zaman.
Selain kritik eskternal, yang harus dilakukan peneliti adalah kritik
internal. Kritik internal ditujukan untuk memahami isi teks atau dokumen. Misalkan,
menurut Alwi Shahab (2014: 9) pada era 1960-an situasi panas karena Usman dan
Harun akan di makamkan di TMP Kalibata, diperkirakan 1,5 Juta atau sepertiga
penduduk Jakarta kala itu turun kejalan memenuhi jalan-jalan yang dilewati
jenazah untuk memberikan dukungan dan penghormatan terakhir. Pertanyaanya, apakah
ada dokumentasi mengenai banyaknya iring-iringan jenazah ketika kembali dari
Singapura? Kalau memang sambutan itu ada, maka bisa diakui kalau foto itu
adalah kredible.
Tahap berikutnya, interpretasi. Untuk menghasilkan
cerita sejarah, maka diperlukan interpretasi. Interpretasi
dalam penelitian ini adalah memberikan makna pada fakta atau dokumen yang telah ditemukan. Dalam kasus konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia, sumber tulisan
memang banyak ditulis, sehingga semakin banyak data yang didapat maka akan
semakin baik dan memudahkan untuk melakukan interpretasi terhadap kiprah Usman
Janatin.
Langkah terakhir yaitu historiografi atau penulisan sejarah. Pada tahap
penulisan ini, peneliti menyajikan laporan hasil penelitian yang disajikan
berdasarkan kaidah-kaidah yan berlaku dalam Ilmu Sejarah.
G. Sistematika
Penulisan
Sistematika
penulisan dalam penelitian ini dibagi kedalam 5 (lima) bab, uraianya sebagai
berikut:
BAB I : PENDAHULUAN. Bab ini
menyajikan berbagai isi yang ada dalam proposal. Isi dalam bagian ini mengenai
latar belakanga maslah, rumusan, tujuan dan manfaat. Kemuduian untuk lebih
mendalam, maka akan ada tinjauan pustaka dan metode penelitian sejarah.
BAB II: KEHIDUPAN AWAL. Pada bagian ini
penulis ingin mengetahui kehidupan Usman Janatin masa kecil hingga menjadi
anggota militer. Dari sedikit penjalasan tentang Purbalingga Kota Perwira, masa
kecil, bangku sekolah, dan kepribadian pada masa remaja. Selain itu, dibahas
juga tentang latar belakang keluarga, pilihan Usman Janatin masuk kedalam
militer, dan sempat bertugas ke Irian Jaya.
BAB III: KONTRIBUSI DALAM KONFRONTASI.
Bab ini membahas sedikit tentang aksi Usman Janatin dalam Konfrontasi dua
negara; sebelumnya dibahas tentang latar belakang pembentukan negara boneka,
konfrensi Malino, pembentukan Negara Federasi Malaysia, Ganyang Malaysia
hinggga pengeluaran Dwikora (Dwi Komando Rakyat) sehingga Usman Janatin
mengajukan diri untuk menjadi salah satu relawan dalam konfrontasi itu. Setelah
itu, aksi Usman, Harun dan Gani dalam menjalankan misinya menjadi bagian
terpenting. Seperti pengeboman Mc Donnal, usaha kembali namun akhirnya
tertangkap.
BAB IV: REAKSI DAN AKSI. Bagian ini
membahas tentang penahanan dan usaha terakhir pemerintah untuk menyelamatkan
Usman Janatin. Sub bab nya meliputi 204 hari di tahan, proses pengadilan, naik
banding, eksekusi. Usaha-usaha terakhir pernah dilakukan oleh dua Presiden,
yaitu masa akhri Presiden Sukarno dan awal masa Presiden Soeharto, meski
semuanya mengalami kegagalan. Bagian ini juga membahas Usman Janatin menjadi
Pahlawan Nasional.
BAB V: PENUTUP. Bagian ini merupakan
simpulan jawaban
dari pertanyaan penelitian yang diajukan dalam rumusan masalah.
H. Daftar
Pustaka
Cribb.
Robert dan Kahin, Audrey. 2004. Historical
Dictionary of Indonesia. Toronto: The Scarecrow Press, Inc.
Dhakidae,
Daniel. 2014. “Hubungan Cinta-Benci antara Indonesia dan Malaysia”. Majalah Prisma Vol. 28, No. 2, September
2009, hal 50-53.
Farram,
Steven. 2014. “Ganyang! Indonesian
Populer Songs from the Confrontation Era, 1963-1966”. Jurnal Bijdragen Tot De Tall-, land- En Volkenkunde 170 (2014)
1-24.
Frederick, William H. dan
Soeroto, Soeri. 2005. Pemahaman Sejarah
Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi (edisi ke-tiga). Jakarta: LP3ES.
Ibrahim, Muchtaruddin. 1993.
Usman Bin Haji Muhammad Ali alias Janatin. Jakarta: proyek inventarisasi
dan dokumentasi Sejarah Nasional.
Kartodirdjo,
Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kuntowijoyo. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah (edisi ke-tiga).
Yogyakarta: Yayasan Banteng Budaya.
---------------. 2003. Metodologi Sejarah (edisi ke-dua).
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Loanglois, CH.V dan Seignobos,
CH. 2015. Introduction to the Study of
Hostory, Pengantar Ilmu Sejarah (terj).
Yogyakarta: Indoliterasi.
Muhaimin, Yahya A. 2005. Perkembangan Militer dalam Politik di
Indonesia 1945-1966 (certakan ke-tiga). Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Mujirun, Herman. 1974. Sekilas
Kenangan 2 (dua) Pahlawan Serda KKO Usman Bin H. Ali dan Kopral KKO Harun Bin
Said. Jakarta: Yayasan Sosial Usman-Harun.
Murgiyanto. 1989. Usman dan
Harun Prajurit Setia. Jakarta: Direktorat Perawatan Personil TNI-AL Subdit
Sejarah.
Nugroho, Arifin Suryo. 2009. Srihana-Srihani: Biografi Hartini Sukarno.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Priyadi, Sugeng. 2011. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
--------------------. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ricklefs,
M.C. 2001. A History of Modern Indonesia
Since c.1200 Third Edition. London: Palgrave Macmillian.
Roso Daras. 2013. Total Bung Karno, Serpihan Sejarah yang
Tercecer (cetakan ke-empat). Depok: Penerbit Imania.
Shahab, Alwi. 2014. “Usman-Harun
dan Ekspresi Kemarahan Rakyat”. Koran
Republika, 13 Februari 2014, halaman
1 dan 9.
Shuib,
Shukri, Md. et al. 2009. “The
Implications of Cold War on Malaysia State Building Process”. Jurnal Asian
Culture and History, Vol 1, No. 2, July 2009, hlm 89-98.
Sukardi, Tanto.
2011. Perang Dingin: Episode Sejarah
Barat dalam Perspektif Konflik Ideologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Menurut
Kuntowijoyo (2003: 203) biografi merupakan catatan tentang hidup seseorang,
yang menjadi bagian mozaik sejarah yang lebih besar. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa sejarah adalah penjumlahan dari biografi-biografi dari
berbagai daerah. Untuk menuliskan biografi, menurut Leirissa (dalam Arifin
Suryo Nugroho, 2009: 9) ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi, yaitu (1)
harus mampu menghidupkan kembali seorang tokoh dengan cara menceritakan
kepribadiannya, kehidupannya, dll (tidak hanya what man is, tetapi why
juga); (2) biografi harus mampu menghidupkan tindakan-tindakan dan pengalaman
dan pengalaman-pengalaman orang yang dibiografikan, dan (3) harus mampu
menempatkan tokohnya dalam kerangkan sejarah.