Saat ini,
banyak yang mencatut nama cinta demi membungkus bungkusan yang lain. Sungguh tergesa-gesanya anak muda saat ini
yang menyebabkan cinta terasa hambar dan kehilangan kesuciannya. Biasanya
istilah untuk menggambarkan cinta versi mereka adalah untuk meluapkan rasa
sementara yang entah itu apa namanya. Mereka dengan bangga dan tanpa rasa
bersalah mengungkapkan perasaan mereka dengan tujuan untuk mengikat sebuah
ikatan yang belum saatnya mereka lakukan. Ikatan itu adalah pacaran. Pacaran
merupakan kata yang sangat familiar dikalanagan masyarakat Indonesia. Dari
masyarakat pedesaan hingga perkotaan sudah sangat kenal dengan istilah ini.
Dari
Mana Asal Pacaran?
Orang
Indonesia memang sudah familiar dengan istilah pacaran. Lalu darimana istilah
pacaran berasal? Dalam beberapa sumber, ada beberapa versi menyangkut asal usul
pacaran. Tidak bisa dipastikan juga versi mana yang benar, namun bisa dijadikan
gambaran buat kita. Pacaran menurut Habib Segaf bin Mahdi, berasal dari zaman
Nabi Nuh AS. Kita ketahui, bahwa Nabi Nuh AS, diperintahkan oleh Allah SWT.,
untuk membuat sebuah bahtera yang akan digunakan untuk mengarungi banjir besar yang
melumat seluruh isi bumu. Semua yang taat menaiki bahtera itu, namun kebanyakan
justru yang ikar. Sebagian besar dari penumpangnya justru berasal dari pasangan
hewan. Hal ini memang dimaskudkan untuk memulai kehidupan yang baru pasca
banjir besar.
Nabi
Nuh AS memberikan pesan bahwa jangan dulu ada yang melakukan hubungan badan,
dikarenakan bahtera yang dibangun sudah penuh sesak dengan sepasang binatang.
Mereka diperbolehkan berhubungan badan setelah bahtera terhenti dan memulai
kehidupan yang baru. Namun, ada saja penumpang yang melanggar perintah itu,
pelanggar itu adalah sepasang Anjing. Sepasang Anjing ini mencuri-curi
kesempatan untuk kawin, tapi ada seekor Kucing yang melihat kejadian itu,
sehingga dilaporlan kepada Nabi Nuh AS, setelah diketahu oleh Nabi Nuh AS, sepasang
anjing itu diperingatkan untuk tidak mengulanginya lagi. Namun, sepasang Anjing
itu tetap melakukan perbuatan yang sama dalam bahtera itu.Wallahu A’lam bi
Showab.
Memang
sumber ini perlu dipertanyakan, namun kita bisa mengambil sisi pelajarannya
dari kisah tadi, yaitu jangan sampai perbuatan pacaran itu menjurus kepada
perbuatan hina, seperti perbuatan dilakukan oleh sepasang hewan diatas.
Dari
versi lain asal mula pacaran dari tanah Melayu, yaitu berasal dari tradisi
masyarakat Melayu pada zaman dulu. Pacaran berasal dari tradisi pacar air,
yaitu semacam tanaman pacar yang diberikan pada kuku dan tangan perempuan,
warnanya merah bata. Jadi, tradisi Melayu ini berawal dari dua orang yang
sedang jatuh cinta dan diketahui oleh keluarganya. Tradisi pantun pada
masyarakat Melayu sangat kental, dalam tatadisi ini, sang laki-laki mengirimkan
utusan kerumah perempuan dan membacakan sebuah pantun didepan rumahnya. Apabila
sang pemilik rumah membalas pantun, maka dengan kata lain, cinta si laki-laki
ini diterima.
Nah,
ketika sang perempuan menerima cinta laki-lakinya, maka akan dilanjutkan dengan
pemberian pacar air ditangan keduanya. Tanda itu menandakan sebuah ikatan
antara dua keluarga. Pacar air itu, biasanya bertahan di tangan sang perempuan
selama 3 bulan. Inilah sebetulnya nilai dari tradisi itu. Meski sudah memiliki
ikatan, tapi ketika 3 bulan laki-laki tersebut tidak kunjung meminang sang
gadis, maka dengan kata lain ikatan itu akan hilang, dan sang perempuan boleh
menerima pinangan dari laki-laki lain. Inilah asal muasal dari istilah pacaran.
Jangan
pernah dibayangkan masa 3 bulan itu seperti masa pacaran zaman modern ini,
masyarakat Melayu terkenal dengan menjaga kehormatan keluarganya. Jadi selama 3
bulan itu, para laki-laki dan gadis tidak bisa berhubungan dengan bebes. Saat
ini, pacaran sudah sangat bergeser maknanya, pacaran diibaratkan sebagai
ekspresi perasaan suka antara laki-laki dan perempuan, diawali dengan kata
“nembak” dan dilanjutkan dengan ikrar “jadian”, setelah itu mereka “resmi”
menjadi sepasang kekasih. Anehnya, masyarakt sekitar sangat familiar dengna
kejadian ini. Justru kalau tidak pacaran akan membuat harga diri turun,
dianggap tidak laku, dan sisi negatif lainnya.