A. Latar
Belakang
Konstelasi
politik dunia yang terjadi pada pada era tahun 1960-an memang tidak bisa
dilepaskan dengan persaingan antara dua
blok adidaya. Blok Barat representasi Amerika Serikat (AS) dengan Liberal Kapitalis-nya dan Blok Timur
dengan Uni Soviet Rusia (USSR) sebagai komandan Sosialis Komunis. Perang
Dingin atau Cold War, istilah yang sering kita dengar ini untuk
menggambarkan rivalitas dua negara adidaya yang “menjual” ideologinya ke
wilayah-wilayah negara lain didunia (Sukardi, 2011: 2-3). Kondisi ini,
membuat negara didunia dirundung kekhawatiran kalau Perang Dingin ini pecah
menjadi “Perang Panas”. Perebutan supremasi antar dua negara adidaya ini terasa
hingga beberapa kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Di
Indonesia sendiri, kondisi tahun 1960-an merupakan puncak perjuangan dalam
usaha merebut Irian Barat dari Belanda. Tepatnya pada tanggal 1 Oktober 1962,
pihak Belanda sepakat untuk menyerahkan Irian kepada pemerintahan sementara PBB
yang akan diserahkan kepada pihak Indonesia pada 1 Mei 1963. Penyelesaian
masalah Irian ini tidak bisa dilepaskan dari peran AS. AS sangat khawatir jika
Indonesia akan benar-benar jatuh kedalam pengaruh USSR (komunis-red).
Kecenderungan ini memang sudah terlihat dari berbagai slogan ideologi dan langkah
politik Presiden Sukarno dengan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) serta
disempurnakan menjadi Manipol-USDEK (Manifesto Politik atas UUD 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin). Untuk menekan
meluasnya pengaruh komunisme, AS memberikan bantuan-bantuan ekonomi dalam
mengatasi berbagai krisis di Indonesia dengan mengucurkan Dana Moneter
Internasional (Ricklefs, 2001: 411-412).
Ketika
masalah Irian Barat mendapatkan titik terang, disisi lain, masalah kebijakan
luar negeri yang lain mengintai. Berbagai kesamaan masalah dari negara Malaya,
Singapura dan Inggris membuat ngara-negara itu mencari solusi. Malaya cemas
akan jumlah penduduk Tionghoa yang besar dan implikasinya terhadap rasial dari
penggabungan dengan Singapura, pihak Singapura menginginkan sebuah kemerdekaan
yang penuh, serta pihak Inggris menginginkan penetapan terhadap masa depan wilayah-wilayah
jajahannya di Kalimantan, seperti Sabah, Brunei dan Sarawak (Shuib, 2009: 93-96).
Untuk mengatasi masalah itu, dirancang sebuah “Federasi Malaysia” yang baru.
Persepsi
Presiden Sukarno terhadap pembentukan Federasi Malaysia ini lain, menurutnya, pembentukan ini merupakan rekayasa dari Blok
Barat untuk menancapkan kekuasaannya dikawasan Asia, khusunya Asia Tenggara. Pembentukan
Federasi Malaysia ini akan mengepung Indonesia dari kekuatan neo-kolonialisme
dan neo-imperialis (Daras, 2013: 153). Hubungan Indonesia sendiri dengan
Malaysia sejak diberikan hadiah merdeka (tahun 1957-red) oleh Inggris tidak
berjalan harmonis. Kehadiran dan campur tangan Inggris menjadi pemicunya.
Menurut Sukarno, Malaysia tidak sepunuhnya sudah merdeka atau hanya pura-pura
merdeka karena tidak pernah merasakan namanya pahit-getir sebuah revolusi fisik
yang pernah dialami Indonesia. Meminjam istilahnya Daniel Dhakidae (2009: 50),
bahwa Malaysia dalam memperoleh kemerdekaanya diberikan hadiah, “Merdeka
Hadiah”, berbeda dengan Indonesia yang merdeka karena revolusi fisik, atau “Merdeka
Darah”.
Berbagai usaha diplomasi dilakukan
untuk menyelesaikan ketegangan antara dua negara tetangga ini. Salah satunya, pertemuan
antara Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Malaya, Tengku Abdul Rachman
dilakukan di Tokyo pada tanggal 1 Juni 1963 (Sutrisno dan Nasution, 2013:
628-629). Hasil dari pertemuan ini sedikit meredakan ketegangan dua negara. Namun,
selama proses perundingan yang hampir berhasil, Perdana Menteri Tengku Abdul
Rachman ternyata menandatangai dokumen persetujuan dengan Inggris di London
mengenai Negara Federasi Malaysia yang akan dilaksanakan pada tanggal 31
Agustus 1963. Menurut Sukarno, penandatanganan ini merupakan sebuah penghinaan
besar bagi kedaulatan Indonesia.
Sejak saat itu, Presiden Sukano
kembali menghidupkan semangat revolusi “Indonesia Raya”, dengan menyatakan negara
baru itu merupakan boneka nekolim, (neo-kolonialimse dan
neo-imperialisme). Langkah beriukutnya adalah membangkitkan semangat
“Konfrontasi”. Istilah ini pertama kali diungkapkan oleh Soebandrio pada
Januari 1963 setelah pasukan Malaya dan Inggris menghancurkan pemrontakan di
Kasultanan Brunei di Kalimantan Utara (Cribb dan Kahin, 2004: 248). Kemudian
setelah itu muncul sebuah slogan baru untuk memanaskan semangan konfrontasi
itu, yaitu Ganyang Malaysia.
Demonstrasi
setiap minggu dilakukan untuk memanaskan semangat Anti-Inggris dengan slogan
Ganyang Malaysia ini. Bisnis-bisnis Inggris dan bisnis ekonomi Persmakmuran
lainnya diambil alih selama tahun 1964-1965 (Vickers, 2005: 228-229). Taktik
yang sama dilakukan ketika Presiden Sukarno sukses mengambil Irian Barat, yaitu
Politik Konfrontasi yang dikombinasikan dengan Diplomasi. Menurut Frederick P.
Bunnel (dalam Yahya A. Muhaimin, 2005: 156) kebijakan politik ini dilukiskan
sebagai “confrontation diplomacy”, suatu campuran manuver yang bersifat
berani, cerdik-licik dan tidak dapat diduga.
Untuk mendukung kebijakan Ganyang
Malaysia ini, dilancarkan berbagai konfrontasi oleh ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia) dan sukarelawan dan sebagian dari masyarakat luas
berdasarkan seruan Dwi Komando Rakyat (Dwokora), yang berisi tentang mempertinggi
ketahanan Revolusi Indonesia dan membantu perjuangan rakyat (Farram, 2014: 8).
Salah satu sukarelawan dari kalangan ABRI yang ikut dalam operasi itu adalah Usman
bin Haji Muhammad Ali alias Usman Janatin. Siapa Usman Janatin? Kesan pertama mungkin terasa
asing. Atau bahkan belum pernah mendengarnya? Memang nama Usman Janatin baru
muncul kembali awal tahun 2014, itupun karena protes Singapura kepada penamaan
Kapal perang Usman-Harun.
Usman Janatin merupakan patriot
bangsa yang lahir dari kota perwira (julukan untuk Kabupaten Purbalingga), sama
dengan Jenderal Besar Soedirman, yang membedakan nama Jenderal Besar Soedirman
sudah sangat familiar ditelinga kita, bahkan tidak jarang dijadikan nama-nama
tempat atau jalan-jalan dihampir seluruh Indonesia. Keterasingan itu termasuk dalam
penulisan sejarah, meski sama-sama lahir dari kota Purbalingga dan sudah
sama-sama menjadi Pahlawan Nasioal, namun dalam Historiografi Indonesia, Usman
Janatin tidak terlalu menarik bagi sejawan lokal maupun nasional. Tentu jasanya
tidak bisa dibandingkan secara apple to apple, karena mereka berdua
hidup pada masa yang berbeda dan peran yang berbeda pula. Tapi satu kesamaanya
adalah, mereka berdua rela mengorbankan seluruh jiwa raganya untuk satu nama,
Indonesia Raya.
Sangat
minimnya sumber sejarah mengenai Usman Janatin menjadikan generasi muda saat
ini, terutama wilayah Purbalingga, masih asing dengan nama tersebut. Ironis.
Bahkan museum Usman Janatin yang didirikan pada tahun 2010-an juga tidak
terawat dan jarang pengunjungnya. Karena berbagai faktor diatas, penulis ingin
mengangkat sosok Usman Janatin menjadi sebuah buku dalam bentuk biografi untuk
mencatat tokoh yang pernah menjadi patriot bangsa dalam membela harkat dan
martabat bangsa Indonesia didunia internasional ini.Sehingga nantinya, sosok
Usman Janatin menjadi contoh keteladanan dan menjadi pelengkap pembelajaran
sejarah lokal bagi mereka yang mengenyam pendidikan disekolah, khusunya sekolah
menengah atas.
B. Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang yang sudah diuraikan diatas, peneliti ingin menguraikan berbagai
permasalahan yang sudah dibatasi untuk dijadikan topik penelitian sebagai
berikut:
1. bagaimana
kehidupan Usman Janatin masa kecil hingga menjadi anggota militer?
2. bagaimana
aksi Usman Janatin dalam Konfrontasi dua negara?
3. bagaimana
usaha terakhir pemerintah untuk menyelamatkan Usman Janatin?
4. bagaimana
proses Usman Janatin menjadi Pahlawan Nasional?
C. Tujuan
Penelitian
Dari
rumuasan masalah yang sudah diuraikan diatas, peneliti ingin menguraikan
berbagai tujuan yang akan difokuskan dalam penelitian sebagai berikut:
1. mengetahui
kehidupan Usman Janatin masa kecil hingga menjadi anggota militer;
2. mengetahui
aksi Usman Janatin dalam Konfrontasi dua negara;
3. mengetahui
usaha terakhir pemerintah untuk menyelamatkan Usman Janatin;
4.
mengetahui
proses Usman Janatin menjadi Pahlawan Nasional.
D. Manfaat
Penelitian
Setelah
merumuskan masalah dan menentukan tujuan, maka manfaat yang diharapkan dalam penelitian
ini adalah:
1.
Manfaat
Teoritis
Manfaat
teoritis dalam penulisan ini terutama untuk melengkapi kekosongan dalam
historiografi Indonesia, khususnya tentang penulisan sejarah lokal yang
mengangkat sosok Usman Janatin;
2.
Manfaat
Praktis
Manfaat
praktis merupakan manfaat yang dapat terasa secara langsung setelah selesainya
penulisan ini, manfaat-manfaatnya adalah:
a. membuat
peserta didik mengetahui dan meneladani sosok Usman Janatin dalam membela
harkat dan martabar bangsa;
b. memberikan
motivasi kepada para guru untuk menuliskan peristiwa sejarah yang ada di
sekitarnya yang belum digarap;
c. membuat
pemerintah Kabupaten lebih memperhatikan potensi sejarah lokal yang belum maksimal
tersentuh untuk dituliskan.
E. Tinjauan
Pustaka
Sebagai
sebuah karya ilmiah, maka diperlukan sebuah tinjauan pustaka, yang merupakan
landasan dari pemikiran-pemikiran dengan tujuan untuk memperoleh data-data dan
informasi yang menujang dalam penelitian ini (Priyadi, 2013: 139). Saat ini,
sumber referensi yang mengangkat sosok Usman Janatin masih tergolong sangat
jarang. Tulisan-tulisan yang penulis temui juga hanya tulisan ringkas yang
masih menggunakan ejaan yang belum disempurnakan dan juga belum menggunakan
metode ilmiah.
Tulisan-tulisan
yang penulis temui adalah, Pertama, tulisan ringkas yang dibuat oleh
Muchtaruddin Ibrahim pada tahun 1993, yang penulis temukan di Museum Usman
Janatin. Judul ringkasan ini adalah “Usman Bin Haji Muhammad Ali alias Janatin”.
Ditulis di Jakarta dalam rangka proyek inventarisasi dan dokumentasi Sejarah
Nasional. Tulisan ringkas ini membahas tentang latar belakang keluarga Usman
Janatin, kehidupan keluarga, kehidupan masa kecil dan pendidikan formal yang
ditempuh oleh Usman Janatin, termasuk pendidikan militernya.
Tinjauan
pustaka yang lain adalah tulisan dari Murgiyanto tahun 1989, dengan judul “Usman
dan Harun Prajurit Setia”, ditulis di Jakarta dan diterbitkan oleh
Direktorat Perawatan Personil TNI-AL Subdit Sejarah. Tulisan ini membahas
tentang peran Usman dan Harun dalam konfrontasi Indonesia dan Malaysia. Disini
juga dibahas mengenai peran sosok lain, yaitu Gani pada saat melakukan
penyusupan ke Singapura. Saat mengadakan penyusupan itu, Usman menjadi pemimpin
dari kedua rekannya itu.
Kemudian
tnjauan yang ketiga adalah tulisan dari Herman Mujirun, yang berjudul “Sekilas
Kenangan 2 (dua) Pahlawan Serda KKO Bin H. Ali dan Kopral KKO Harun Bin Said”
dan diterbitkan oleh Yayasan Sosial Usman-Harun tahun 1974. Tulisan ini
membahas secara singkat tentang perjalanan Janatin dalam penugasan didunia
militer hingga dia dihukum mati oleh pemerintah Singapura karena telah dianggap
melakukan tindakan terorisme.
Persamaan
dari tulisan diatas dengan penelitian yang akan dibahas dengan penelitian yang
akan ditulis, yaitu sama-sama membahas tokoh Usman Janatin. Meskipun
tulisan-tulisan ini hanya berupa ringkasan dan masih menggunakan ejaan yang
belum disempurnakan. Perbedaan tulisan yang sudah dipaparkan diatas dengan
penelitian yang akan ditulis adalah pada kajian yang dibahas didalamnya. Pada penelitian ini akan dibahas secara
komperhensif dan menggunakan pengumpulan data yang beragam. Penulisan ini juga
akan membahas Usman Janatin dari kecil hingga dianugrahi Pahlawan Nasional. Dalam
tulisan terdahulu, hanya membahas sekilas dan ringkas tentang masalah ini dan
belum menggunakan metodologi penelitian sejarah yang diakui secara ilmiah.
Sehingga dengan dilakukannya penelitian ini, maka akan semakin melengkapi
tulisan-tulisan yang pernah dibuat terdahulu.
F. Metode
Penelitian
Metode berbeda dengan metodologi. Menurut Sartono Kartodirdjo (1992: 1-4),
metode berhubungan dengan persoalan ‘bagaimana orang memperoleh pengetahuan’
(how to know), sedangkan metodologi menyangkut ‘mengetahui bagaimana
harus mengetahui’ (to know how to know). Dengan
demikian, dalam penelitian ini lebih tepat menggunakan ‘how to know’,
yaitu metode sejarah. Metode sejarah juga diartikan sebagai salah satu
penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif berisikan metode peneltian
historis-hermeunitis.
Menurut Kuntowijoyo (1999: 88-89), peneltian yang dilakukan ketika
menggunakan metode sejarah ada 5 tahap, yaitu (1) pemilihan topik; (2) heuristik
atau pengumpulan sumber; (3) verifikasi atau kritik sejarah, keabsahan sumber;
(4) interpretasi: analisis dan sintetis; dan (5) historiografi atau penulisan.
Pertama, pemilihan topik. Pemilihan topik harus dilandasi dengan kedekatan
emosional dan intelektual (Kuntowijoyo, 1999: 90). Kedekatan emosional dalam
penentuan topik kisah hidup Usman Janatin berasal dari kesamaan wilayah tempat
tinggal, dari Museum dan rumah saudara kandung Usman Janatin ketempat mengajar
di SMA Negeri 2 Purbalingga sangat dekat, yang hanya butuh waktu 5 menit
perjalanan dengan kendaraan bermotor. Sedangkan kedekatan intelektual masih ada
kaitannya dengan kualifikasi akademik dari penelti, yaitu lulusan pendidikan
sejarah.
Selain kedekatan intelektual dan emosional, menurut Sugeng Priyadi (2011:
5) lebih mantap lagi dilakukan penelitian dasar atau penelitian pendahuluan.
Penelitian dasar atau pendahuluan pernah dilakukan pada tahun 2015 silam dengan
peserta didik, waktu itu ada lomba Lawatan Sejarah tingkat provinsi. Penulis
membimbing anak didik untuk membuat kaya tulis tentang Usman Janatin, dan
mendapatkan Juara 1 pada event itu.
Langkah Kedua, pengumpulan sumber atau heuristik.
Setelah menemukan topik, peneliti harus mengumpulkan sumber-sumber mengenai
topik penelitian. Sejarawan bekerja berdasarkan berbagai dokumen, karena
dokumen merupakan jejak pikiran dan perbuatan yang telah ditinggalkan oleh
orang-orang zaman dahulu (Langlois dan Seignobos, 2015: 25). Begitu pentingnya
dokumen dalam sejarah, maka sampai ada istilah no documen no history, tidak ada dokumen tidak akan ada sejarah.
Selain maha penting, tahap pengumpulan data atau heuristik ini merupakan
tahap yang paling menyita banyak waktu. Pengumpulan pertama mencari
“saksi-mata” yang diketahui tentang periode sejarah tersebut. Menurut Helius
Sjamsudin (2007: 96) sumber-sumber sejarah dapat diklasifikasikan atas
“peninggalan-peninggalan” dan “catatan-catatan”. Sumber sejarah, menurut Sidi
Gazalba (1981: 105) juga bisa berbentuk warisan lisan, tulisan dan visual.
Warisan ini bisa dikatakan sebagai komunikasi masa kini dengan masa lalu.
Dalam penelitian ini, peninggalan dan sekaligus catatan yaitu berupa surat,
piagam, serta rekaman wawancara, dokumentasi dan lainnya. Sumber
catatan-catatan dan dokumentasi bisa ditemui didalam museum Usman Janatin, berupa
surat-surat, piagam, tanda jasa, dan catatan-catatan yang lain. Selain itu,
wawancara dilakukan kepada saudara-saudara Usman Janatin yang sebagain besar
masih hidup. Ada teman-teman kecilnya juga yang sebagian besar masih tinggal di
Purbalingga. Untuk menambah wawasan, dikumpulkan juga berbagai referensi dari
buku-buku, majalah, surat kabar yang menunjang tentang penulisan sekitar tahun 1960-an.
Menurut Kuntowijoyo (2003: 203) biografi merupakan catatan tentang hidup
seseorang, yang menjadi bagian mozaik sejarah yang lebih besar. Ada pendapat
yang mengatakan bahwa sejarah adalah penjumlahan dari biografi-biografi dari
berbagai daerah. Untuk menuliskan biografi, menurut Leirissa (dalam Arifin
Suryo Nugroho, 2009: 9) ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi, yaitu (1) harus
mampu menghidupkan kembali seorang tokoh dengan cara menceritakan
kepribadiannya, kehidupannya, dll (tidak hanya what man is, tetapi why
juga); (2) biografi harus mampu menghidupkan tindakan-tindakan dan pengalaman
dan pengalaman-pengalaman orang yang dibiografikan, dan (3) harus mampu
menempatkan tokohnya dalam kerangkan sejarah.
Lalu apa beda biografi dengan sejarah? Dalam biografi kita ingin mengetahui
seutuh mungkin perjalanan hidup seseorang, sebagai manusia biasa, tidak sebagai
mana dicitrakan. Dalam sejarah, kita ingin mengerti pengalaman dan dinamika
manusia, sebgai sebuah kelompok, dihari lalu. Tokoh sejarah, tidak hanya diukur
dari perbuatannya ketika dia dalam lingkaran hanya dirinya (Frederick dan
Soeroto, 2005: 457). Artinya, sebagai sejarawan, sebisa mungkin ingin
menampilkan apa adanya sosok dari sang tokoh, ketika sang tokoh pernah
mengalami momen-momen sebagai manusia biasa, meski untuk melakukan hal ini
merupakan sesuatu yang tidak mudah.
Tahapan Ketiga, verifikasi. Setelah mengetahui secara persis
topik dan sumber yang terkumpul, tahap berikutnya merupakan merupakan
verifikasi atau kritik sumber atau keabsahan sumber. Verifikasi ada dua macam,
otensitas atau keaslian sumber (kritik ekstern) dan kredibilitas atau kebisaan
dipercayai (kritik intern) (Kuntowijoyo, 1999: 98). Tujuan dari kritik sumber
menurut Helus Sjamsuddin (2007: 131) adalah untuk mencari kebenaran (truth), sejarawan dihadapkan dengan
kebutuhan untuk membedakan apa yang benar, apa yang tidak benar (palsu), apa
yang mungkin dan apa yang meragukan atau mustahil.
Setelah mendapatkan sumber, langkah pertama harus mengadakan kritik
eksternal. Kritik eksternal merupakan usaha untuk mendapat otensitas sumber
dengan melakukan penelitian fisik terhadap suatu sumber. Kritik eksternal
mengarah kepada pengujian terhadap aspek luar dari sumber (Suhartono, 2010:
36). Dalam penelitian ini, kritik sumber yang dilihat dari berbagai koleksi
museum Usman Janatin, apakah materi itu merupakan materi yang memang sezaman,
disamping itu bisa dilihat berbagai kertas dengan jenis dan ukuran, bahan,
kualitas dan lainnya. Jadi, bisa diartikan bahwa kritik eksternal merupakan
kritik secara fisik dan menyesuaikan dengan anak zaman.
Selain kritik eskternal, yang harus dilakukan peneliti adalah kritik
internal. Menurut Suhartono (2010: 37) kritik internal mengacu pada
kridibilitas sumber, artinya apakah isi dokumen ini terpercaya, tidak
dimanipulasi, mengandung bias, dikecohkan, dan lain-lain. Kritik internal
ditujukan untuk memahami isi teks. Jadi peneliti harus bisa menafsirkan apa
yang menjadi multiinterpretable, yang
bermakna ganda dan sering dimaksudkan dari sudut pandang penulisnya. Misalkan, menurut
Alwi Shahab (2014: 9) pada era 1960-an situasi panas karena Usman dan Harun
akan di makamkan di TMP Kalibata, diperkirakan 1,5 Juta atau sepertiga penduduk
Jakarta kala itu turun kejalan memenuhi jalan-jalan yang dilewati jenazah. Apakah
ada dokumntasi mengenai banyaknya iring-iringan jenasah ketika kembali dari
Singapura? Kalau memang sambutan itu ada, maka bisa diakui kalau foto itu
adalah kredible.
Tahap berikutnya, tahap Keempat, interpretasi. Untuk
menghasilkan cerita sejarah, maka diperlukan interpretasi. Interpretasi ini
sebenarnya merupakan kemampuan setiap orang menerjemahkan dara yang didapatnya
(Suhartono, 2010: 55). Seperti ketika kita disajikan sayur Kangkung dan bumbu
yang sama, maka masakan yang dihasilkan akan berbeda rasa satu sama lainnya. Begitupun
dalam intepretasi ini, karena bagian penelitian ini sering disebut sebagai
biang subjektivitas. Namun itu merupakan hak setiap sejarawan, meski hak setiap
sejarawan, tapi tetap harus berpegang kepada metodologi sejarah.
Interpretasi itu ada dua macam, operasi analistis dan operasi sintetis. Analisis
merupakan penguraian. Menguraikan dokumen yang telah didapatkan. Sedangkan
sintesis, berarti menyatukan. Data-data yang didapatkan bisa disatukan (Langlois dan Seignobos, 2015: 64-90). Jadi,
dalam interpretasi ini merupakan kemampuan sejarawan untuk menguraikan dan
menyatukan setiap data yang didapatkan. Sehingga akan menghasilkan perbedaan
antar sejarawan satu dengan sejarawan lainnya meski berasal dari sumber yang sama.
Dalam kasus Usman Janatin, konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia memang
melimpah ruah, banyak sumber yang mengatakan itu. Sehingga semakin banyak data
yang didapat maka akan semakin baik.
Langkah terakhir yaitu, Lima, historiografi. Dalam
penulisan sejarah aspek kronoligis sangat penting. Itulah mengapa dulu, sebelum
Sartono Kartodirdjo merombak paradigma penulisan sejarah, sebagian karya
sejarah masih berupa narasi. Artinya, sejarah yang ditulis masih sangat kental
dengan kisah-kisah, sehingga karnyanya sering juga disebut sebagai sejarah
sebagaimana dikisahkan. Menulis sejarah merupakan suatu kegiatan intelektual
dan ini suatu cara utama untuk memahami sejarah (Paul Veyne dalam Sjamsuddin,
2007: 156).
Pada tahap penulisan ini, peneliti menyajikan laporan hasil penelitian dari
awal hingga akhir, yang meliputi masalah-masalah yang harus dijawab dalam
rumusan masalah. Penulisan sejarah sebagai sebuah laporan seringkali disebut
karya historiografi yang harus memperhatikan aspek kronologis, periodisasi,
serialisasi, dan kausalitas (Priyadi, 2011: 92). Didalam penulisan sosok Usman
Janatin ini, secara garis besar tersusun dari pendahuluan, pembahasan dan
simpulan. Semua itu, bisa menyesuaikan tergantung kepada masalah yang diajukan.
Dalam menulis biografi ini, memang perlu menonjolkan berbagai kelebihan dan
keunikannya dari seorang tokoh, sehingga bisa menarik pembaca kedalam kehidupan
dari sang tokoh.
G. Sistematika
Penulisan
Penulisan
ini merupakan penulisan sejarah lokal yang bertujuan untuk melimpahkan kekayaan
sejarah nasional, karena sesungguhnya sejarah nasional mempunyai ketergantungan
yang besar terhadap sejarah lokal yang sumbangannya bersifat wajib dan secara
terus-menerus ditunggu dalam perolehan data baru (Priyadi, 2015: 193).
Maka
dari itu, dibutuhkan sistematika dalam penelitian ini. Sistematika ini
memaparkan pembagian tema bahasan penelitian kedalam berbagai bab atau sub-bab.
Sistematika ini menjadi bagian dari penyelesaian laporan penelitian.
Sistematika ini bisa berubah sesuai dengan data dan fakta yang ditemukan dalam
lapangan. Untuk rencana penelitian ini, akan dibagi kedalam lima bab, uraiannya
sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN. Bab ini
menyajikan berbagai isi yang ada dalam proposal. Isi dalam bagian ini mengenai
latar belakanga maslah, rumusan, tujuan dan manfaat. Kemduian untuk lebih
mendalam, maka akan ada tinjauan pustaka dan metode penelitian sejarah.
BAB II: KEHIDUPAN AWAL. Pada bagian ini
penulis ingin mengetahui kehidupan Usman Janatin masa kecil hingga menjadi
anggota militer. Dari sedikit penjalasan tentang Purbalingga Kota Perwira, masa
kecil, bangku sekolah, dan kepribadian pada masa remaja. Selain itu, dibahas
juga tentang latar belakang keluarga, pilihan Usman Janatin masuk kedalam
militer, dan sempat bertugas ke Irian Jaya.
BAB III: KONFRONTASI DUA NEGARA. Bab ini
membahas sedikit tentang aksi Usman Janatin dalam Konfrontasi dua negara;
sebelumnya dibahas tentang latar belakang pembentukan negara boneka, konfrensi
Malino, pembentukan Negara Federasi Malaysia, Ganyang Malaysia hinggga
pengeluaran Dwikora (Dwi Komando Rakyat) sehingga Usman Janatin mengajukan diri
untuk menjadi salah satu relawan dalam konfrontasi itu. Setelah itu, aksi
Usman, Harun dan Gani dalam menjalankan misinya menjadi bagian terpenting.
Seperti pengeboman Mc Donal, usaha kembali namun akhirnya tertangkap.
BAB IV: USAHA TERAKHIR. Bagian ini
membahas tentang penahanan dan usaha terakhir pemerintah untuk menyelamatkan
Usman Janatin. Sub bab nya meliputi 204 hari di tahan, proses pengadilan, naik
banding, eksekusi. Usaha-usaha terakhir pernah dilakukan oleh dua Presiden,
yaitu masa akhri Presiden Sukarno dan awal masa Presiden Soeharto, meski
semuanya mengalami kegagalan.
BAB V: MENJADI PAHLAWAN NASIONAL.
Bagian ini menjadi bagian untuk mengetahui proses Usman Janatin menjadi
Pahlawan Nasional. Sub bab ini membahas tentang berbagai surat-surat terakhir
yang ditulis oleh Janatin kepada orang tuannya, hingga pengambilan jenazah dan
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Setelah itu, dibahwas tentang
penganugarahan Pahlawan Nasional oleh Presiden Soeharto.
BAB VI: PENUTUP. Bagian ini mengambil
kesimpulan dari berbagai pembahsan yang sudah ditulis diatas, serta melakukan
reflkesi untuk para generasi muda dalam meneladani keberanian dan pengorbanan
dari Usman Janatin.
H. Daftar
Pustaka
Cribb.
Robert dan Kahin, Audrey. 2004. Historical
Dictionary of Indonesia. Toronto: The Scarecrow Press, Inc.
Dhakidae,
Daniel. 2014. “Hubungan Cinta-Benci antara Indonesia dan Malaysia”. Majalah Prisma Vol. 28, No. 2, September
2009, hal 50-53.
Farram,
Steven. 2014. “Ganyang! Indonesian Populer
Songs from the Confrontation Era, 1963-1966”. Jurnal Bijdragen Tot De Tall-, land- En Volkenkunde 170 (2014)
1-24.
Frederick, William H. dan
Soeroto, Soeri. 2005. Pemahaman Sejarah
Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi (edisi ke-tiga). Jakarta: LP3ES.
Gazalba,
Sidi. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai
Ilmu. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
Ibrahim, Muchtaruddin. 1993.
Usman Bin Haji Muhammad Ali alias Janatin. Jakarta: proyek inventarisasi
dan dokumentasi Sejarah Nasional.
Kartodirdjo,
Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kuntowijoyo. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah (edisi ke-tiga).
Yogyakarta: Yayasan Banteng Budaya.
---------------. 2003. Metodologi Sejarah (edisi ke-dua).
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Loanglois, CH.V dan Seignobos,
CH. 2015. Introduction to the Study of
Hostory, Pengantar Ilmu Sejarah (terj).
Yogyakarta: Indoliterasi.
Muhaimin, Yahya A. 2005. Perkembangan Militer dalam Politik di
Indonesia 1945-1966 (certakan ke-tiga). Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Mujirun, Herman. 1974. Sekilas
Kenangan 2 (dua) Pahlawan Serda KKO Usman Bin H. Ali dan Kopral KKO Harun Bin
Said. Jakarta: Yayasan Sosial Usman-Harun.
Murgiyanto. 1989. Usman dan
Harun Prajurit Setia. Jakarta: Direktorat Perawatan Personil TNI-AL Subdit
Sejarah.
Nugroho, Arifin Suryo. 2009. Srihana-Srihani: Biografi Hartini Sukarno.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Priyadi, Sugeng. 2011. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
--------------------. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
--------------------. 2015. Historiografi Indonesia. Yogyakarta:
Ombak.
Ricklefs,
M.C. 2001. A History of Modern Indonesia
Since c.1200 Third Edition. London: Palgrave Macmillian.
Roso Daras. 2013. Total Bung Karno, Serpihan Sejarah yang
Tercecer (cetakan ke-empat). Depok: Penerbit Imania.
Shahab, Alwi. 2014. “Usman-Harun
dan Ekspresi Kemarahan Rakyat”. Koran
Republika, 13 Februari 2014, halaman
1 dan 9.
Shuib,
Shukri, Md. et al. 2009. “The
Implications of Cold War on Malaysia State Building Process”. Jurnal Asian
Culture and History, Vol 1, No. 2, July 2009, hlm 89-98.
Sjamsuddin,
Helius. 2007. Metodologi Sejarah.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Soekarno.
2012. Nasioanlisme, Islamisme dan
Marxisme. Bandung: Kreasi Wacana.
Suhartono.
2010. Teori dan Metodoligi Sejarah.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sukardi, Tanto.
2011. Perang Dingin: Episode Sejarah
Barat dalam Perspektif Konflik Ideologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sutrisno,
Heru dan Nasution. 2013. “Konfrontasi Indonesia-Malaysia dan Dampaknya Terhadap
Ekonomi Indonesia (1963-1966)”. Jurnal
Avatara, Volume 1. No. 3, Oktober 2013, hlm 627-633.
Vickers, Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia. London:
Cambridge University Press
.
.