Jagung |
Rasanya
ketahanan pangan yang dicanangkan oleh pemerintah sangat tepat, terlebih
pemerintah menganjurkan untuk kembali menemukan makanan “kedua” disetiap
daerahnya dan setiap wilayahnya sesuai dengan kondis geografis masing-masing.
Pangan berbasis kearifan lokal mempunyai perlakuan khas yang sudah diturunkan
oleh leluhur turun temurun. Artinya, pangan tradisional ini bisa menjadi
alternatif dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Terutama didaerah Jawa
Tengah, Jagung merupakan hasil pertanian yang sangat familiar dan menyebar
hampir keseluruh wilayah Jawa Tengah. Jagung mempunyai potensi untuk dioleh
menjadi pengganti nasi dan makanan tardiosnal lainnya.
Bila
kita lihat dekade terakhir, pangan nasional sudah berlebel beras, ada istilah
“tidak makan namanya kalau tidak pakai nasi”. Istilah itu sudah mendarah daging
dibenak kita, sehingga peningkatan konsumsi terhadap beras dan pola makan
masyarakat berdampak kepada kebutuhan beras nasional. Untuk mengantisipasi
masalah tersebut, maka saya mengajak untuk meningkatkan hasil pertanian Jagung,
untuk menguatkan ketahanan pagnan nasional. Ketahanan pangan nasional ini
penting, karena hak memperoleh makanan yang layak melekat pada setiap individu
sepanjang hayatnya. Oleh karena itu, penggunaan pangan berbasis kearifan lokal
ini sangat perlu dipertimbangan.
Diservikasi
pangan ini merupakan momentum untuk kita bahwa gizi yang kita makan tidak hanya
berasal dari satu makanan. Konsumsi pangan yang beragam akan saling melengkapi
kekurangan zat gizi dari satu jenis makanan dengan maknan yang lain. Sentuhan
teknologi juga sangat berpengaruh dalam pemasok pangan nasional, perpaduan
antara teknologi dan promosi dalam menyebarkan makanan kearifan lokal ini.
Dalam esai ini, penulis menawarkan gagasan tentang makanan berbasis kearifan
lokal, yaitu Jagung. Melingkupi olahan pangan untuk Jagung dan pengembangan
tekhnologi pengolahannya.
Jagung
Untuk Pangan
Jagung yang digunakan untuk
pengolahan makanan secara umum merupakan variates lokal, selama ini jagung
pulut lokal dan nonpulut masih mendominasi kebutuhan pangan tradisional. Hal
tersebut dapat menjadi rujukan bagi pemula dalam menghasilkan varietas unggul
jagung untuk pangan yang dapat diterima konsumen. Menurut Suarni (2013), Jagung
pulut mengandung amilosa rendah (3,15-3,98%), sedangkan jagung lokal nonpulut
mengandung amilosa tinggi (22-25%). Rasio amilosa/amilopektin
sangat mempengaruhi sifat fisikokimia dan organoleptik produk akhir olahan.
Pemanfaatan jagung sosoh dalam pembuatan bassang mengombinasikan jagung pulut
dan nonpulut, ada yang hanya menggunakan jagung pulut atau nonpulut.
Proses
pembuatan jagung sosoh masih tradisional, biji dibasahi sedikit air untuk
melepaskan kulit ari biji jagung. Pada proses pelepasan kulit ari, sebagian
lembaga ikut terlepas sehingga kandungan lemak dan protein relatif rendah
dibanding biji utuh. Dedak hasil sampingan pengolahan jagung sosoh masih
mengandung nutrisi tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak
seperti ayam dan itik.
Sifat
fisik jagung berpengaruh terhadap produk olahan. Biji jagung pulut berwarna
putih dengan ukuran biji berkisar antara 6,55x7,26–8,41x 8,19 mm dengan bobot
188,53–256,00 g/1.000 biji. Bentuk biji jagung pulut agak bulat dengan tekstur
keras. Hal ini menguntungkan dalam pelepasan kulit luar dan sifat fisik biji
jagung. Kandungan nutrisi biji jagung pulut tidak kalah dari jagung lainnya,
kecuali amilosa. Kadar protein, serat kasar, lemak dan karbohidrat biji jagung
pulut cukup memadai untuk dikembangkan sebagai bahan pangan (Suarni, 2013).
Macam
Olahan Jagung
Pangan tradisional
diolah dari resep turun-temurun. Bahan-bahannya diperoleh dari sumber lokal,
memiliki rasa spesifik dan relatif sesuai dengan selera masyarakat setempat,
bahkan disukai oleh masyarakat di daerah lain karena berdomisili di daerah
tersebut. Pusat Kajian Makanan Tradisonal (PKMT) di beberapa perguruan tinggi
mengelompokkan pangan tradisional menjadi tiga kategori, yaitu makanan pokok,
kudapan, dan minuman tradisional. Berdasarkan prosesnya, pangan tradisional
diolah melalui proses fermentasi dan nonfermentasi (Suarni, 2013).
Makanan tradisional yang termasuk dalam kategori makanan
pokok umumnya melalui proses nonfermentasi, misalnya nasi jagung, nasi empok,
dan nasi kemunak. Proses fermentasi banyak diterapkan pada pengolahan kudapan
tradisional, misalnya tape dari pembuatan tepung jagung fermentasi spontan
dalam perendaman. Makanan olahan seperti kue apem dan roti lokal juga melalui
fermentasi dengan ragi lokal.
Diversifikasi pangan merupakan usaha penyediaan berbagai
produk pangan, baik jenis maupun bentuk, agar tersedia pilihan bagi konsumen
untuk memenuhi target Pola Pangan Harapan (PPH) yang pada tahun 2010
ditargetkan 93%. Nasi empok dan lontong jagung sebagai pangan pokok dari
olahan jagung pipilan kering dapat ditemukan di desa-desa Jawa Timur dan Jawa
Tengah. Demikian juga nasi jagung, masih bertahan di desa-desa penghasil
jagung. Kondisi ini ditemui hampir di semua daerah yang penduduknya pengonsumsi
nasi jagung di Indonesia (Suarni, 2013).
Diluar
Jawa, sangat banyak ditemukan makanan berbahan dasar jagung, seperti bassang.
Bassang adalah produk olahan tradisional untuk sarapan pagi bagi etnis Bugis.
Produk olahan ini masih bertahan dan bahkan mudah ditemukan di Kota Makassar.
Terlihat masyarakat kota setelah melakukan olah raga jalan pagi menikmati
hidangan bassang di warung-warung setempat.
Pengembangan
Pengolahan
IPTEK
berperan penting sebagai penghela industrialisasi pangan tradisional.
Industrialisasi disini mengandung pengertian bahwa pengembangan pangan
tradisional dilaksanakan secara berkelanjutan dengan roadmap yang jelas dan tegas. Semua upaya ini harus bermuara pada
produksi pangan tradisional yang berdaya saing dan memenuhi syarat keamanan
pangan demi ketahanan pangan (Sutarni, 2013).
Dalam dua dasawarsa terakhir telah terjadi perubahan gaya
hidup dan pola makan masyarakat, terutama di perkotaan. Saat ini, konsumen
lebih menyukai produk pangan yang praktis, instan atau cepat saji, dan memiliki
nilai fungsional bagi kesehatan. Adopsi teknologi pangan jagung masih terbatas
karena jagung dinilai sebagai komoditas inferior, palatabilitas rendah yang
merupakan dampak dari pangan pokok beras dan olahan pangan kudapan berbahan
baku terigu. Untuk mengubah citra jagung menjadi pangan tradisional bergengsi
perlu dikembangkan produk yang mengikuti tren pasar. Produk pangan instan
fungsional dapat berupa beras jagung instan dan bassang instan dengan
mengedepankan sifat fungsionalnya, termasuk kandungan serat pangan,
antioksidan, lemak esensial, dan mineral.
Jagung panen muda dapat diolah menjadi berbagai bentuk
makanan tradisional, selanjutnya dimodifikasi dengan mengikuti selera konsumen.
Misalnya dodol jagung menjadi puding, jalaure
menjadi perkedel jagung, barongko berbasis
pisang menjadi barongko jagung. Jagung
masak susu dapat diolah menjadi susu jagung, jus jagung, es krim jagung, dan
lainnya. Pengolahan jagung manis panen muda menjadi sari jagung manis dan
pemanfaatannya sebagai minuman kesehatan mulai populer di berbagai daerah. Untuk memperbaiki penampilan, kemudahan dalam konsumsi, dan memperpanjang masa simpan, jagung dapat diolah menjadi bubuk sari jagung manis. Sifat fisik dan
kimia bubuk sari jagung manis dipengaruhi oleh
jenis dan jumlah bahan pengikat (binder), seperti dektstrin, dan gum arab yang ditambahkan (Sutardi et al. 2010).
Pemanfaatan
tepung berbasis komoditas lokal termasuk
tepung beras, tepung ubi kayu, dan tepung jagung
sebagai tepung penyalut dalam produk olahan gorengan
telah dilakukan secara tradisional. Untuk meningkatkan
mutunya dibuat tepung penyalut (batter) dari 60% tepung jagung, 12,5% tepung beras, 12,5% tapioka, dan 15% tepung ketan. Tepung penyalut
tersebut dapat digunakan antara lain untuk
pisang goreng, tempe goreng, dan ayam goreng. Dewasa ini tepung penyalut umumnya dibuat dari bahan utama terigu. Dengan adanya tepung penyalut berbasis
jagung dapat mengurangi pemakaian terigu. Menurut
data Assosiasi Produsen Terigu Indonesia, pada
tahun 2003 penggunaan terigu untuk bahan baku
gorengan 5% dari konsumsi terigu nasional (Sugiyono
et al. 2010).
Jagung
pulut termasuk serealia berkadar amilopektin tinggi. Komoditas ini sangat baik
untuk difermentasikan menjadi tape, dapat dilanjutkan proses ekstraksi sari tape
menjadi brem padat. Sorgum pulut dapat dibuat brem (spesifik Madiun dan
Wonogiri), dalam bentuk cair (brem bali), atau semacam sake (Jepang). Produk tersebut
potensial untuk diekspor. Jagung pulut
pipilan kering dapat diolah menjadi emping jagung dan jagung marning. Proses
kedua produk tersebut hampir sama. Perbedaan terletak pada tahapan terakhir,
yaitu marning setelah perebusan langsung dijemur, sedangkan emping melalui
proses pemipihan.
Jagung
marning dapat memberi keuntungan 32% lebih tinggi daripada dikonsumsi langsung.
Setiap satu liter jagung pulut pipilan menghasilkan empat bungkus (100 g/bungkus)
jagung marning dengan harga Rp 800/ bungkus. Industri rumah tangga jagung
marning dapat
menciptakan lapangan kerja. Tepung
jagung nonpulut dapat dibuat pangan tradisional bolu gula merah yang
dimodifikasi kue basah (cake) dengan
bumbu kayu manis dan gula merah spesifik Sulawesi Selatan. Komponen nutrisi dan
sifat fisikokimia tepung jagung nonpulut sesuai dengan produk olahan
tradisional bolu gula merah modifikasi (Suarni, 2013).
Salah satu
kegiatan penting dalam mempromosikan produk olahan tradisional adalah
pengemasan, yang berpengaruh terhadap tampilan dan masa simpan produk. Konsumen
memerlukan informasi label masa simpan produk makanan. Jenis kemasan
berpengaruh terhadap masa simpan produk. Hal ini merupakan salah satu parameter
penting dalam mengetahui ketahanan produk selama penyimpanan dan merupakan
nilai tambah pemasaran produk.
Diproduksi
dan dikembangkannya produk olahan tradisional yang telah dimodifikasi akan
mengangkat citra makanan tradisional tersebut. Digemarinya produk-produk lokal
berbasis jagung akan mendukung program diversifikasi pangan dan mengurangi
ketergantungan masyarakat terhadap beras menuju pola pangan harapan. Dari aspek sosial ekonomi, pengembangan dan komersialisasi produk pangan tradisional berbahan jagung
akan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.
Hal ini akan menggairahkan petani jagung untuk
meningkatkan produksi, baik melalui program
intensifikasi maupun ekstensifikasi.
Aneka
pangan tradisional yang tersebar di seluruh nusantara merupakan aset nasional yang
berpeluang dikembangkan, baik dalam rangka ketahanan pangan maupun agribisnis.
Dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menggali kekayaan fungsional pangan
tradisional, pengolahan, perbaikan penampilan, dan promosi diperlukan untuk
meningkatkan citra pangan tradisional.
Simpulan
Beragamnya
produk olahan tradisional berbasis jagung merupakan kekayaan nusantara yang
perlu dilestarikan. Kelebihan jagung sebagai bahan pangan adalah dapat diolah
dari jagung panen muda hingga pipilan kering menjadi berbagai produk olahan.
Selain itu, memiliki nutrisi dasar dan pangan fungsional yang memadai sebagai bahan
pangan. Perbaikan teknologi pengolahan, keamanan pangan, dan pengemasan produk
diharapkan akan lebih diminati konsumen.
Beberapa
produk olahan tradisional yang dapat dikembangkan telah memasuki industri
mikro. Hal tersebut dapat mendukung diversifikasi pangan berbasis jagung dengan
aneka produk yang mengedepankan aspek selera, konsumen pangan fungsional, dan
keamanan pangan. Untuk mendukung penyediaan bahan baku jagung diperlukan
varietas yang berprodutivitas dan bernutrisi tinggi, memiliki sifat fisikokimia
yang sesuai dengan produk pangan tradisional yang akan dikembangkan. Kini telah
tersedia varietas unggul jagung khusus pangan hasil penelitian Badan Litbang
Pertanian.
Referensi
Sugiyono,
Fransisca, dan A. Yulianto. 2010. “Formulasi tepung penyalut berbasis tepung
jagung dan penentuan umur simpannya dengan pendekatan kadar air kritis”. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan
21(2): 95-101.
Suarni.
2013. “Pengembangan Pangan Tradisional berbasis Jagung Mendukung Diversivikasi Pangan”.
Jurnal IPTEK Tanaman pangan Vol. 8 No
1 2013 hal 39-47.
Sutardi, S. Hadiwiyoto, dan C.R.N. Murti. 2010. Pengaruh dekstrin dan gum arab terhadap sifat kimia dan fisik bubuk
sari jagung manis (Zea mayz saccharata). Jurnal Teknologi dan Industri
Pangan 21 (2):102-107.