Pesantren merupaan
lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Nama pesantren tidak bisa dilepaskan
dari nama Syekh Nawawi al-Bantani. Dengan karya-karyanya, Syekh Nawawi
membentuk ‘wajah’ pesantren saat ini, karyanya
hampir tersebar diseluruh pesantren-pesantren tradisional. Syekh Nawawi
sebagai salah satu peletak dasar nilai-nilai etis tradisi keilmuan dilembaga
pendidikan pesantren, buah intelektualnya sangat berjasa dalam mengarahkan ideologi
pesantren yang berada dibawah naungan Nahdlatul Ulama (NU). Dikalangan
pesantren, Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai penulis berbagai
kitab-kitab dari berbagai disiplin ilmu, beliau juga dijuluki sebagai mahaguru sejati (The Great Scholar). Kearifan dalam memilih murid dari berbagai
latarbelakng membuahkan tokoh-tokoh intelektual yang berperan dalam perjuangan
bangsa.
Pemilihan
murid dari berbagai latar belakang inilah yang kita sebut sebagai
multikulturalisme. Nilai-nilai multikultural yang dipondasikan oleh Syekh
Nawawi hingga saat ini masih relevan digunakan, hal ini dikarenakan negara
Indonesia yang ber-bhineka sangat
membutuhkan kesadaran multikulturalisme ditengah gempuran zaman globalisme.
Perbedaan yang terjadi bukannya menjadi alasan bagi adanya permusuhan, namun
kita jadikan sebagai modal untuk membangun bangsa dengan spirit Bhinneka Tunggal Ika. Persatuan ini
menjadi kebutuhan yang mendesak untuk menjawab tantangan zaman, mengingat realita
bangsa ini yang terus dilanda cobaan desintegrasi. Persatuan inilah yang harus kita
jadikan identitas bangsa kita.
Menurut
Samuel Hotington (1996), identitas sebuah bangsa bisa menjadi hal yang bisa
menyatukan atau bisa memisahkan. Identitas bangsa yang plural ini, apabila
tidak disikapi dengan arif, bisa menjadi penyulut api permusuhan dan kobaran konflik.
Oleh karena itu, kita patut belajar dari ulama sekaliber Syekh Nawawi
al-Bantani dalam memahami sebuah persatuan dengan menguatkan identitas bangsa
kita, salah satunya dengan melihat praktek multikulturalisme didunia pesantren.
Tulisan ini mengangkat tentang kehidupan singkat Syekh Nawawi, sumbangan
karya-karyanya dalam membentuk wajah pesantren Indonesia, dan peran pesantren dalam
persatuan Indonesia.
KH Nawawi: dari Banten Ke
Mekkah
Generasi muda saat ini
harus tahu dan bangga, bahwa Indonesia pernah mempunyai ulama yang diakui
dunia. Namanya Muhammad Nawawi al-Syaikh al-Jawi al-Bantani atau Syekh Nawawi
al-Bantani. Orang Indonesia lebih familiar dengan sebutan Kiai Haji Nawawi
Putra Banten (Chaidar, 1978: 5). KH
Nawawi (akan digunakan kemudian, karena lebih ke “Indonesiaan”) lahir pada
tahun 1230 Hijriah atau 1813 Masehi di Kampung Tanara, Serang, Banten. Ayahnya
bernama KH ‘Umar bin Arabi dan Ibunya Zubaydah, ayahnya seorang penghulu dan
ulama di Tanara. Bila ditelusuri silsilah ayahnya, KH Nawawi masih keturunan
Sunan Gunung Jati (Adurahman, 1996: 86). Lingkungan keluarga yang kental dengan
nilai-nilai agama membuatnya memiliki pemahaman agama yang komperhensif dimasa
mudanya.
Pondasi pendidikan yang
diberikan oleh KH ‘Umar mencakup pengetahuan keislaman, seperti nahwu dan sharaf, Fiqih, Tauhid dan Tafsir. Setelah mencukupi umur, KH Nawawi
melanjutkan ilmunya dengan berguru kepada Kiai Sahal, sorang ulama Banten, dan
Kiai Yusuf dari Purwakarta. Umur 13 tahun, ayahnya meninggal dunia, 2 tahun
kemudian KH Nawawi dan saudarannya pergi ke Mekkah untuk menunaikan haji. Di
Mekkah, KH Nawawi tinggal selama 3 tahun dan belajar kepada ulama-ulama disana,
beliau berguru kepada Sayid Ahmad Nahrawi, Sayid Ahmad Dimyati, dan Ahmad Zayni
Dahlan. Sedangkan di Madinah KH Nawawi berguru kepada Muhammad Khatib
al-Hanbali. Selain di Mekkah dan Madinah, beliau juga belajar kepada
ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Ensiklpedia Islam Indonesia, 1994: 24).
KH Nawawi pernah kembali ke
Nusantara pada tahun 1831 Masehi, sempat mengajar diberbagai tempat, namun
karena kondisi politik waktu itu, akhirnya 3 tahun kemudian beliau pergi lagi
ke Mekkah dan menetap disana hingga wafatnya. Ketika kembali ke Mekkah, beliau
belajar lagi kepada guru-gurunya yang berasal dari Nusantara juga, seperti Syaikh
Muhammad Khatib Sambas, Syaikh ‘Abdul Gani Bima, Syaikh Yusuf Sumulaweni, dan
Syaikh ‘Abdul Hamid Dagastani, dan masih banyak yang lainnya (Saghir, 2000:
36-37). Kita harus mengakui, bahwa KH Nawawi merupakan “pemburu” ilmu. Dengan
keputusannya menetap di Hijaz ini, akhirnya beliau menelorkan ilmu dengan
berbagai hasil karya yang fenomenal bagi kehidupan Islam di Nusantara bahkan
dunia Islam umumnya.
Dari pengalamannya selama
melakukan rihlah selama 30 tahun,
akhirnya KH Nawawi melakukan halaqa di
Masjid al-Haram. Dengan berbekal ilmu dan kecerdasannya, KH Nawawi mendapatkan
simpati dari murid-muridnya dan dari pembaca karya-karyanya. Murid-muridnya
berasal dari berbagai penjuru negeri, terutama dari Nusantara, seperti Jawa,
Sunda, Madura, Minang, dan lainnya. Dari pengajaranya di Mekkah ini, dikemudian
hari murid-muridnya meneruskan perjuangan Islam di Nusantara dengan mendirikan
pesantren, seperti KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dari Jombang, KH Kholil dari
Bangkalan Madura, KH Tubagus Ahmad Bakri dari Purwakarta, KH Ilyas dari Serang
Banten, dan masih banyak murid-muridnya yang dikemudian hari mendedikasikan
hidupnya untuk umat Islam di Nusantara.
Dalam melakukan pengajaranya,
KH Nawawi dikenal sebagai seorang yang menjunjung nilai-nilai “demokratis”, hal
ini karena beliau mau menerima semua ide dan pandangan dari murid-muridnya agar
melatih mereka untuk berani mengemukakan ide dan gagasan yang membangun untuk
umat (Ensiklpedia Islam Indonesia, 1994: 841-842). Beliau sangat menghormati
segala bentuk perbedaan, inilah pelajaran yang sangat penting. Sebuah modal
multikultural yang saat itupun tidak dimiliki oleh para pejuang di Nusantara.
Disamping melakukan
pengajaran, KH Nawawi juga menghasilkan karya-karya yang sangat banyak, hasil
karyanya tidak hanya diakui oleh ulama Nusantara, namun dunia Arab pun menaruh
hormat, terutama yang berkaitan dengan Mazhab Syafi’i. Memang tidak bisa dipastikan
berapa karya KH Nawawi, karena terlalu baanyak dan tidak terlacak. Namun yang
pasti, karya-karyanya ditulis dari berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti
Tafsir, Fiqih, Usul al-Din, Ilmu Tauhid, Akhlak dan Tasawuf, Sirah Nabawiyah,
Tata Bahasa Arab, Hadist dan Akhlak (Bruinesen, 1995: 143).
Menurut Martin Van
Bruinessen (1995: 236), pada era 90-an, karya KH Nawawi masih mendominasi
kurikulum dilebih dari 40 pesantren besar di Indonesia. Bukan hanya di Indonesia,
karya nya juga digunakan diberbagai wilayah Islam di Asia Tenggara, seperti
Filipina, Thailand, dan Malaysia. Banyaknya karya yang digunakan diberbagai
negara dikarenakan kemampuan KH Nawawi menyederhanakan pengajaran yang
mengandung hikmah sehingga bisa dijiwai oleh pembaca. Keluasan ilmu yang dimiliki
KH Nawawi membuat karya-karyanya disukai oleh kalangan santri dan masih menjadi
rujukan utama hingga saat ini. Banyak kalangan yang menganggap KH Nawawi
sebagai Imam Nawawi kedua, Imam Nawawi pertama adalah ulama besar yang membuat Syarah Shahih Muslim dan Riyadlush Shalihin.
Bagi seorang ulama besar,
karomah menjadi hal yang wajar, hal ini dikarenakan kedekatannya dengan Allah Subhanahu Wata’ala. Hal ini juga terjadi
pada KH Nawawi, salah satu cerita yang beredar tentang karomah KH Nawawi
mengenai pemindahan makamnya, ketika selang beberapa tahun meninggal, makam KH
Nawawi akan dibongkar oleh pemerintah setempat dan kuburannya akan ditumpuk
dengan jenazah yang lainnya (hal ini wajar di Ma’la, tempat pemakaman KH Nawawi).
Setelah dibongkar, petugas melihat bahwa jenazah milik KH Nawawi masih utuh beserta
kafannnya, padahal sudah bertahun-tahun dikubur. Subhanallah.
Pondasi
Membangun Negeri
Tidak bisa dipungkiri, pesantren merupakan tempat “kawah candradimuka” dalam pendidikan Islam dan tempat perkembangannya embrio bangsa Indonesia dalam menemukan jati dirinya. Pemahamaan ini dipertegas dengan kuantitas penduduk Indonesia yang 85 % merupakan muslim, dan Indonesia merupakan pemeluk muslim terbesar didunia. Tentu peran ini tidak bisa dilepaskan dari pesantren. Menurut Zamakhsyari Dhofier (2011: 100), mengkaji tentang Islam di Indonesia tidak akan lengakap apabila tidak menelusuri lembaga pesantren dan mengkaji karya-karya pengasuhnya.
Tidak bisa dipungkiri, pesantren merupakan tempat “kawah candradimuka” dalam pendidikan Islam dan tempat perkembangannya embrio bangsa Indonesia dalam menemukan jati dirinya. Pemahamaan ini dipertegas dengan kuantitas penduduk Indonesia yang 85 % merupakan muslim, dan Indonesia merupakan pemeluk muslim terbesar didunia. Tentu peran ini tidak bisa dilepaskan dari pesantren. Menurut Zamakhsyari Dhofier (2011: 100), mengkaji tentang Islam di Indonesia tidak akan lengakap apabila tidak menelusuri lembaga pesantren dan mengkaji karya-karya pengasuhnya.
KH
Nawawi merupakan tokoh dari Indoensia yang berkaliber dunia, sehingga beliau
dipercaya mengajar di Mekkah al-Mukarramah dan menjadi Imam al-Haramayn (Imam ‘Ulama Dua Kota Suci, Mekkah dan Madinah). Setelah
karya-karya KH Nawawi masuk ke Indonesia, wacana keislaman didunia pesantren
mulai berkembang pesat. Menurut Van Brunessen (1995: 153), sejak tahun 1888
Masehi, pola intelektual pesantren berubah dengan drastis. Artinya,
kesinambungan dan dakwah dalam tradisi pesantren sangat penting. Sumbangan
besar KH Nawawi berada pada bidang ilmu tafsir, bahkah karyanya sudah dijadikan
rujukan diberbagai wilayah Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri, sejak tahun
1990 diperkirakan ada sekiar 22 tulisan karya KH Nawawi yang masih dipelajari.
Murid-muridnya
terseber sebagai faounding father
dalam menjaga pondasi Islam dan turut membidani kelahiran negara Indonesia. Seperti
KH Hasyim Asy’ari yang mendirikan organisasi massa terbesar di Indonesia,
Nahdlatul Ulama. KH Hasyim Asy’ari termasuk murid yang memiliki semangat
tersendiri untuk mengajarkan karya-karya gurunya di Nusantara, karena setelah
beliau kembali dari Mekkah, bahkan mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng, yang
menjadi pondok pesantren paling berpengaruh abad-20. Ketika masa pendudukan
Jepang, KH Hasyim Asy’ari tidak mau melakukan upacara Seikeri (membungkuk
kebendera Jepang), sehingga beliau sempat ditahan oleh Jepang. Setelah merdeka,
beliau diangkat sebagai Ro’is ‘Am (ketua umum) Masyumi perama periode
1945-1947. Masa revolusi senjata, beliau sebagai jenderal yang membawahi
laskar-laskar perjuangan, seperti GPII, Hizbullah, Sabillilah dan lainnya.
Kemudian, murid lainnya
adalah KH Kholil dari Bangkalan Madura, yang terkenal dengan karomahnya. Sama
seperti KH Hasyim As’ari, KH Kholil juga berperan penting dalam dunia
pendidikan dan perlawanan terhadap penjajah. Dalam bidang pendidikan, beliau
mencetak murid-murid yang memiliki integritas, berwawasan, dan tangguh. Selain
itu, perlawanan terhadap penjajah dilakukan dibelakang layar, beliau selalu
memberi suwuk (tenaga dalam) dan
mempersilahkan pondoknya sebagai tempat persembunyian para pejuang.
Selanjutnya, KH Tubagus Ahmad
Bakri dari Purwakarta. Seorang ulama dari tanah pasundan yang mendirikan
pesantren As-Salafiyyah. Banyak karya
yang juga dilahirkan oleh pemikirannya, masa hidupnya didedikasikan untuk
mengaji dan membuat karya. Ada juga murid dari KH Nawawi yang berjuang secara
fisik melawan kekejaman senjara, beliau adalah KH Wasit. KH Wasit memimpin
pembrontakan di Cilegon pada tahun 1888 Masehi. Murid-muridnya tersebar hampir disejumlah
pesantren diseluruh Indonesia.
Dengan kata lain, pesantren
di Indonesia memiliki geneologi yang hampir sama meskipun berbeda daerah dan
budaya. Pada waktu itu, polarisasi pemikiran modernitas yang sedang
dikembangkan oleh Jammaludin al-Afgani dan Muhammad Abduh di Mekkah menjadi
pemersatu ulama tradisional di Indonesia yang sebagian besar alumnus dari
Mekkah dan Madinah. Dengan keterkaitan para ulama Nusantara ini, maka secara
tidak langsung mempercepat penyebaran karya-karya KH Nawawi, sehingga banyak
dijadikan referensi para Ulama Nusantara (Dhofier, 2011: 57). Besarnya pengaruh
pemikiran KH Nawawi terhadap tokoh ulama di Indonesia membuat beliau dikatakan
sebagai poros dari akar keilmuan pesantren dan NU.
Dari Pesantren untuk
Indonesia
Sumbangan
KH Nawawi yang paling dibutuhkan oleh Indonesia saat ini adalah nilai-nilai
multikulturalisme ditengah maraknya paham disintegrasi bangsa. Nilai
multikultural dari KH Nawawi bisa dilihat dari proses pengajarannya di Mekkah.
Ketika beliau menerima murid, beliau tidak melihat dari mana asal suku, ras
atau golongan, namun oleh beliau diterima dengan tangan terbuka. Pendapat yang
berbeda dari murid-muridnya diterima sebagai kekayaan intelektual. Murid yang
diterima juga dari berbagai tingkat intelektual, ada yang dari dasar pemulaan
tata bahasa Arab, atau murid yang cukup pintar dan yang sudah mengajar ditempat
mereka sendiri (Stennbrik, 1984: 117).
Hal
ini menjadi pijakan dalam mengembangkan jatidiri pesantren khususnya dan
jatidiri bangsa pada umumnya. Pesanten, sebuah lembaga pendidikan tertua di
Indonesia, memiliki keunikan tersendiri. Salah satunya adalah, kesadaran
multikulturalisme disaat wacana itu masih diperdebatkan dilevel politik
nasional, seperti Budi Utomo pada tahun 1908, organisasi pertama yang
anggotanya berasal dari Prijaji Jawa saja. Oleh karena itu, kesadaran berbangsa
yang saat ini mulai surut harus kita kuatkan lagi, dengan belajar dari
kehidupan pesantren disekeliling kita. Memang ada sebagian kecil pesantren yang
sudah terjebak dengan paham-paham mereka sendiri. Namun itu hanya sebagian
kecil, karena sebagian besar kehidupan di pesanteren sangat mencerminkan
nilai-nilai multikulturalisme.
Setidaknya ada tiga hal
mendasar yang bisa kita lihat dan rasakan dari sumbangsih pesantren dalam usahanya
membentuk jatidiri bangsa Indonesia, yaitu (1) secara geneologi; (2) secara
paradigma; dan (3) secara sosiologis. Pertama,
secara geneologi, pesantrean sudah mengalami kontak secara langsung dengan
penganut agama lain ketika masa Hindu-Budha di Jawa. Pesantren sudah memberikan
contoh dengan baik, bagaimana berdialog dengan kelompok yang memiliki
kepercayaan berbeda. Para founding father
penyebaran Islam, Wali Sanga,
mengajarkan kepada kita, bahwa mereka tidak menghapus kebudayaan agama
Hindu-Budha, namun justru mencari titik temu persamaan budaya Hindu-Budha
dengan ajaran agama Islam.
Kedua,
secara paradigmatis. Dalam dunia pesantren, jelas terlihat nilai dan prinsip
toleransi dan keterbukaan. Ajaran pesantren mengajarkan tentang toleransi terhadap
perbedaan. Misalnya dalam pengajaranya, pesantern mengajarkan semua madzab ilmu
fiqih pada para santri. KH Nawawi dalam melakukan pengajarannya juga selalu
menerima pendapat yang berbeda. Dalam menghargai perbedaan ini, pesantren
menampakan toleransi terhadap perbedaan yang terjadi antar pesantren dalam
memahami teks hadits maupun Al-Qur’an yang disesuakan dengan nilai-nilai
kearifan lokal.
Pada bagian ini, pesantren
menampakan wajah yang universal, atau Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Wajah universal ini ditransformasikan kedalam
nilai-nilai lokal yang plural. Misalnya, pesanteren yang tumbuh didaerah
Madura, akan menampakan wajah keislamannya dengan nilai-nilai kebudayaan
Madura. Pesantren menyadari, tidak akan memutlakan suatu tafsiran, namun
membiarkan berbagai tafsiran tentang keagamaan itu berkembang sesuai dengan
kebutuhan zaman.
Kemudian yang ketiga, secara sosiologis. Pesantren
sebagai sebuah komunitas sosial yang teridiri dari Kiai dan santri berasal dari
berbagai latar belakang yang beragam. Hal ini memperlihatkan bahwa, realitas sosial
pesantren juga sangat plural. Misalkan, pondok pesantren Tebuireng, Jombang.
Disana santrinya berjumlah ribuan, berasal dari berbagai daerah, ada Jawa,
Madura, Kalimantan, Papua, dan lainnya, namun sangat harmonis dan tidak pernah
ada pertikaian besar.
Ada pertanyaan, kalau
pesantren memberikan sumbangsih nilai multikulturalsime di Indonesia, tapi
kenapa Indoensia saat ini justru banyak konflik dan permusuhan? Memang inilah
ironi yang menyentuh hati nurani. Jawabanya, kita kurang belajar dari ulama dan
sejarah bangsa kita sendiri. Yang perlu diingat, kita masih mempunyai mozaik dipesantren
apabila kita memerlukan sebuah contoh arti sebuah persatuan ditengah perbedaan.
Pesantren telah memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana menjalani
kehidupan yang harmonis ditengah perbedaan. Inilah esensi dari ajaran KH Nawawi
dengan membentuk pondasi jatidiri bangsa lewat karya-karyanya didunia
pesantren.
Dengan semua teladan dari
KH Nawawi, kita harus siap menerima keberadaan orang atau kelompok lain yang
berbeda dengan kita. Dengan cara membiasakan diri seperti itu, hati kita akan terbiasa
menerima perbedaan. Nafsu untuk mengejar kekuasaan akan terkalahkan dengan
semangat persatuan. Tidak akan ada lagi ego untuk menonjolkan identitas
kelompok sendiri, tapi semuanya akan saling menghormati. Bangsa ini harus
belajar terhadap kesuksesan pesantren dalam mengimplementasikan nilai-nilai
multikulturalisme. Kita harus belajar untuk saling belajar, bukan saling
menghajar, pelangi terdiri dari banyak warna yang berjejer menjadi satu, jadi
bukankan pelangi indah karena berbeda?
Penutup
KH Nawawi wafat ketika
menginjak usiannya yang ke 84 tahun, tepatnya pada 24 Syawal 1314 Hijriyah/1897
Masehi. Beliau meninggal ketika sedang menterjemahkan kitab Minhaj al-alibin karya Imam Nawawi
al-Dimshaqi. KH Nawawi dimakamkan ditempat tinggalnya disekitar Shi’ib ‘Ali
Mekkah, tepatnya dipekuburan Ma’la, yang berdekatan dengan kuburan Ibn Hajar
dan Asma’ binti Abu Bakar. Lewat kemasyuran namanya, KH Nawawi mendapat banyak
gelar, diantaranya Sayyid ‘Ulama al-Hijaz
(Pemimpin ‘Ulama Hijaz), AI-Imam
al-Muhaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq (Imam yang Mumpuni Ilmunya), A’yan ‘Ulama al-Qarn aI-Ram ‘Asyar Li
al-Hijrah (Tokoh Ulama Abad 14 H), dan Imam
Ulama Al-Haramayin (Imam Ulama Dua Kota Suci).
Semasa
hidupnya, banyak karya-karya yang lahir dari ketinggian keintelektualannya.
Tulisannya melintasi berbagai disiplin ilmu, beliau juga meneruskan tradisi
ulama Nusantara dalam mentransformasikan gagasan keilmuannya melalui pengajaran
kepada murid-muridnya. Perannya dalam menyebarkan Islam di Nusantara sangat
berguna bagi arah pembentukan identitas bangsa kedepannya. Dengan pengajarannya
di Mekkah al-Mukarramah, beliau berhasil menghasilkan murid-murid yang menjadi
tokoh nasional dalam memperjuangkan Indonesia. Salah satu muridnya adalah Hadratul
Syekh KH Hasyim Asy’ari, ulama pendiri Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi Islam
terbesar hingga saat ini.
KH Nawawi
merupakan ulama Rijal al-Dakwah yang
jasa-jasanya sangat terasa untuk dunia Islam di Indonesia maupun dunia Islam
pada umumnya. Dampak aktifitas dakwah yang dilakukan oleh KH Nawawi masih
terasa sampai sekarang. Bahkan hampir semua Kiai Pesantren masih menggunakan
karya-karyanya sebagai rujukan utama. Hal ini bisa ditelusuri dari geanologi
keilmuan KH Nawawi terhadap wajah pesantren dewasa ini. Salah satunya adalah nilai-nilai
multikulturalisme yang dipraktekan pesantren hingga saat ini.
Nilai-nilai
inilah yang sangat dibutuhkan bangsa Indonesia pada era globalisasi ini.
Tantangan primordialisme dan cauvinisme saat ini mulai menjamur diberbagai
daerah Indonesia. Oleh karena itu, kita harus menengok kebelakang sejenak untuk
belajar tentang arti multikulturalsime dari seorang ulama besar yang pernah
dimiliki oleh Indonesia, Syekh Nawawi al-Bantani.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurahman
Nawawi al-Bantani. 1996. An Intelectual Master of the Pesantren Tradition,
Dalam Studi Islamika, no. 3, vol. 3, Jakarta: INIS.
Bruinesen,
Martin Van. 1995. Kitab Kuning (Pesantren dan Tarekat). Bandung:
Mizan.
Chaidar.
1978. Sejarah Pujangga Islam Shaykh Nawawi Banteni. Jakarta: Sarana
Utama.
Ensiklopedia
Islam. 1994. Ensklopedia Islam Indonesia.
Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Huntington, Samuel P., 1996. The
Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Simon
& Schuster.
Wan
Moh. Saghir. 2000. Wawasan
Pemikiran Islam Ulama Asia Tenggara. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah.
Karel
A. Steenbrik. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam di indonesia Abad 19. Jakarta:
Bulan bintang.
Wan
Mohd, Saghir. 2000. Wawasan Pemikiran Islam Ulama Asia Tenggara. Kuala
Lumpur: Khazanah Fathaniyah.
Zamakhsyari
Dhofier. 2011. Tradisi
Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia,
Jakarta: LP3ES.