1. PENGANTAR
Persaingan antar
negara tak terelakan lagi pada era globalisasi saat ini. Globalisasi merupakan
kecenderungan umum terintegrasinya kehidupan masyarakat domestik/lokal kedalam
komunitas global di berbagai bidang kehidupan.[2] Hal ini menyebabkan
menipisnya sekat-sekat batas antarnegara, sehingga pengaruh dari berbagai
negara akan dengan mudah masuk kedalam Indonesia, termasuk didalamnya pengaruh
negatif. Pengaruh yang signifikan ini menuntut bagi setiap warga negara untuk
meningkatkan potensi diri yang dimilikinya. Ketertinggalan dengan negara-negara
tetangga harus segera kita kejar, meskipun harus belajar dari negara Barat tapi
harus di Timur-kan, seperti ucapan Tan Malaka, “belajarlah dari Barat, tetapi jangan peniru
Barat. Melainkan jadilah murid dari Timur yang cerdas”.
Tantangan ini
membutuhkan peran generasi muda yang tangguh dalam intelektual dan kuat dalam
karakter. Pasalnya, posisi generasi muda sangat strategis sebagai penentu
bangsa, semangat yang menggebu-gebu dan potensi yang ada harus dimaksimalkan.
Indonesia sendiri mempunyai “bonus demografi” yang tidak dimiliki oleh negara
lain, bonus demografi ini baru dimulai antara tahun 2015-2035 dengan dependency ratio berkisar 0,4-0,5.
Artinya, setiap 100 orang usia produktif menanggung 40-50 orang usia tidak
produktif.[3] Jadi, bangsa ini punya
kesempatan besar menjadi “raksasa dunia” dengan modal bonus demografi ini, tapi
dengan catatan, kita bisa memaksimalkan modal ini bersama-sama.
Modal ini tentunya
sangat berkaitan dengan potensi anak-anak muda, terutama mereka yang sedang
membangun “pondasi” karakternya disekolah-sekolah. Pembangunan pondasi itu
tentunya harus diarahkan, tidak bisa kita lepas begitu saja. Salah satu budaya karakter
yang harus mereka miliki adalah kemauan untuk mau membaca dan berkeinginan
untuk menuliskannya, atau sering kita sebut sebagai BUDAYA LITERER. Budaya
literer ini harus mengharmoniskan antara dua faktor tadi, yaitu membaca dan
menulis. Karena budaya menulis dan membaca ini merupakan cerminan bangsa yang
maju.
Cerminan bangsa
berbudaya literer ini yang membedakan antara masyarakat primitif dan masyarakat
beradab. Mustahil rasanya bangsa ini akan berpengaruh terhadap peradaban dunia
tanpa meningkatkan daya baca dan tulisnya. Menurut Besnier “communication
though visually decoded inscriptions, rather than though auditory and
gestured channels”, budaya
literasi merupakan komunikasi melalui inskripsi yang terbaca secara visual,
bukan melalui pendengaran dan isyarat.[4]
Penggambaran visual disini jelas menggambarkan sebuah untaian alfabet dalam
rangkaian aksara.
Apabila menilik jenjang pendidikan, peserta didik yang mengenyam
pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) sudah bisa diajak untuk “bermain kata
dengan pena”. Menurut Prof. Sartono Kartodirdjo, kemampuan anak-anak jenjang
sekolah menengah sudah bisa diajak mengasah pemikiran secara logis, analitis
dan kritis.[5]
Artinya, mereka sudah bisa diajak untuk dipaksa
membaca buku, yang kemudian terpaksa
membaca buku, dan akhirnya terbiasa “bersentuhan”
dengan buku. Harapannya mereka bisa menuangkan ide dari pembiasaan membaca
dengan sebuah tulisan, yang akhirnya membuat kebiasaan itu menjadi sebuah budaya literer bangsa kita. Tapi, untuk
menumbuhkan budaya literer dikalangan anak muda saat ini tidak lah mudah.
Karena banyak faktor yang menyerang budaya literer ini, faktor makro dan mikro
sangat jelas terpampang didepan mata kita. Apa saja masalah budaya literer
kita? Mengapa budaya literer ini menjadi sesuatu yang urgent untuk
disebarkan?
2. MASALAH
Realita Budaya Literasi Kita
Apabila kita melihat
sejarah literasi di Indonsia dari masa lalu, maka kita harus mengakui, bahwa
kalau kita sangat kurang dalam berbudaya literer ini. Sejarawan sangat mengerti
tentang kelangkaan sumber sejarah itu, maka meminjam istilah Charles-Victor Langlois dan Charles Seignobos “the historian
works with documents, no documents, no history”, sejarawan bekerja dengan dokumen, tidak ada
dokumen tidak akan ada sejarah.[6] Sejarawan tidak akan bisa
berbuat apa-apa andaikan tidak punya senjata bernama dokumen atau
sumber-sumber.
Kesadaran akan
berbudaya literer ini yang tidak kita miliki saat masa kerajaan Hindu-Budha.
Sumber-sumber tertulis waktu itu, seperti prasasti hanya menggambarkan kekuatan
legitimasi penguasa. Termasuk babad-babad
yang ditulis oleh “mpu-mpu” atau “Mensesneg” dalam sebuah kerajaan yang masih
sangat tinggi nilai subjektifitasnya. Kaum bangsawan waktu itu mensakralkan
dunia menulis hanya untuk kalangan kerajaan saja, kaum kawula alit berpeluang sangat kecil untuk ikut dalam dunia
keaksaraan. Sehingga dalam waktu berabad-abad wong cilik tidak pantas bersentuhan dengan dunia menulis. Para
masyarakat alit lebih suka tradisi tutur, mungkin itulah sebabnya kita
lebih suka menuangkan pemikiran dengan cara ngrumpi
atau nggosip berjam-jam, dibandingkan
untuk menuliskan diatas kertas.
Ketika penjajahan
Belanda, praktis dunia tulis menulis hilang dari peredaran. Sebagian besar data
sejarah Indonesia justru ditulis oleh orang Belanda, atau dalam bahasa
sejarahnya Neerlandosentris,
dibandingkan sejarah dari sudut pandang Indonesiasentris,
makanya menurut Prof. Bambang Purwanto, Indonesia sudah gagal dalam menuliskan
sejarahnya sendiri.[7]
Hal ini dimaklumi ketika awal penulisan sejarah Indonesia, karena memang
lemahnya literasi kita saat itu, sehingga kita memakai dokumen-dokumen Belanda
untuk dijadikan referensi utama. Lalu bagaimana dengan masyarakat Indonesia
sekarang? Setelah 71 tahun merdeka apakah budaya literer sudah merasuk kedalam
sendi-sendi kehidupan kita? Mari kita refleksikan diri.
Menurut data dari Programme for International Student
Assesment (PISA) pada tahun 2009 lalu, bahwa kemampuan anak Indonesia pada
masa 15 tahun dalam hal membaca masih sangat rendah. Hal ini dibuktikan dengan
posisi Indonesia yang masih ada diperingkat ke-48 dari 56 negara yang menjadi
partisipan dalam tes tersebut. Fakta ini diperkuat dengan data dari United Nations Development Programme
(UNDP) pada Maret 2013, bahwa Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada
diurutan ke-121 dari 185 negara didunia.[8] Bagaimana perasaan kita melihat data diatas?
Mungkin kita akan biasa saja, berbeda ketika kita melihat sidang Jasicca yang
[dipidana] meracuni Mirna, mungkin kita akan MARAH, atau jengkel kepada Jesicca
karena “hanya” secangkir kopi.
Begitulah kita
melihat realita disekitar, ketika disuruh untuk menonton berita “drama” atau
sinetron yang menguras air mata, pasti akan dilihat sampai tamat, belum lagi
tontonan anak-anak yang terlalu kelewat. Hal ini menurut istilah Rohinah M Noor
sebagai “Loncatan Budaya” [9],
karena kita meloncati satu fase budaya, dari fase budaya pra-literer langsung
kefase budaya pasca-literer, tanpa melewati fase budaya literer terlebih dulu.
Artinya, masyarakat dari yang dulunya buta huruf langsung menjadi masyarakat
yang suka menonton TV, tanpa gemar membaca terlebih dulu.
Selain tontonan ditelevisi,
gila selfi juga melanda negeri. Lihat
saja disekitar kita, apabila kita datang kesuatu tempat, atau mengalami
kejadian tertentu, maka hal pertama yang kita lakukan adalah mengabadikan moment itu dengan cara selfi atau membuat video. Sikap ini
seolah menjadi “wajib” hukumnya bagi kita apabila ada moment spesial yang
dialami. Istilah “no document, no history”
saat ini dimaknai dengan slogan baru, “no
pic = hoax”. Artinya tanpa ada foto, informasi yang diberikan akan dianggap
bohong belaka.
Seperti itulah minat
baca kita. Fakta ini diperkuat dengan data yang diberikan oleh Most Littered Natioan in The World yang
dilakukan oleh Central Connecticut State
University pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat
ke-60 dari 61 negara soal minat baca. Padahal apabila melihat insfrakstruktur,
Indonesia ada diurutaan ke-34 bahkan lebih baik dibandingkan dengan Jerman,
Portugal bahkan Korea Selatan. Permasalannya, kita tidak bisa memanfaatkan
insfraktruktur yang telah ada dengan baik. Bahkan menurut Data UNESCO, hanya
ada 1 orang dalam 1.000 orang Indonesia yang punya minat baca, orang Indonesia
hanya menghabiskan 0-1 buku dalam setahun, bandingkan dengan Jepang, mereka
membaca buku sekitar 10-15 dalam setahun.[10]
Hal ini menurut istilahnya Taufik
Ismail sebagai “Generasi Nol Buku”, bukan tanpa alasan istilah Taufik Islamil
tersebut. Karena Taufik Ismail melakukan penelitian terhadap pelajar lulusan 13
negara, termasuk didalamnya Indonesia, bahwa pelajar kita tidak diwajibkan
membaca buku apalagi mewajibkan untuk menulis. Generasi inilah yang disebut
Taufik Ismail sebagai “Generasi yang Rabun Membaca, dan Pincang Menulis”,
parahnya tragedi nol buku ini sudah sejak 1950, yang artinya sudah 66 tahun
tragedi itu berlangsung.[11] Fenomena ini sepertinya sama sekali tidak tersentuh oleh
media nasional. Sebagian besar media lebih mementingkan rating dibandingkan
dengan tontonan yang membangun budaya literer ini. Mereka lebih memilih
menampilkan LIVE setiap detik demi detik sidang Jesicca yang hampir 20-an kali
sidang, sedangkan berita tentang budaya literer mungkin hanya 3 detik tulisan
berjalan dipaling bawah, itupun kalau ada.
Kurang pedulinya kita
akan pentingnya budaya literer ini menjadi bom waktu. Disinilah awal keterpanggilan
penulis untuk menyalakan “lilin yang hampir padam dikelas-kelas kecil”. Budaya
literer merupakan budaya yang sangat penting untuk kemajuan suatu bangsa. Oleh
karena itu, merupakan kesalahan fatal apabila kita masih meminggirkan isu-isu
tentang literasi dari diskusi dan aksi kita. Penulis berusaha mengajak diri
penulis sendiri untuk menghidupkan dan memperjuangkan budaya literer ini, yang
kemudian penulis tularkan kepada anak-anak dikelas, harapanya akan meningkatkan
kualitas rakyat Indonesia yang berintelektual cerdas dan berkarakter kuat.
3. PEMBAHASAN DAN SOLUSI
Budaya Literer untuk Pendidikan Karakter
Literasi dapat
diartikan sebagai sebuah ketrampilan yang memadukan kemampuan membaca dan
ketrampilan menulis, atau kadang diberi istilah “melek aksara”.[12] Menurut Kirsch dan
Jungeblut, literasi merupakan kemampuan seseorang dalam memanfaatkan informasi
tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan
manfaat bagi masyarakat luas.[13] Kemampuan literer ini
harus dibentuk dari sejak dini, medianya juga bervariasi. Kekhawatiran Taufik
Ismail sudah dirasakan juga oleh pemerintah, sehingga mengeluarkan berbagai
kebijakan.
Sejak kebijakan pemerintah pada KTSP
2006, pemerintah sudah mengeluarkan Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang
Standar Isi, disebutkan kalau setiap akhir jenjang harus ada hasil jumlah buku
yang dibaca dalam satu tahun, seperti lulusan SMA harus sudah membaca
sekurang-kurangnya 15 buku, namun selama diimplementasikan KTSP 2006 rasanya
kurang berhasil. Setelah pergantian kurikulum pada tahun 2013, dua tahun
kemudian, pemerintah mengeluarkan Permindikbud No. 23 Tahun 2015 tentang
Penumbuhan Budi Pekerti, dalam Permindikbud itu disisipkan untuk mewajibkan
warga sekolah membaca buku non mata pelajaran 15 menit sebelum pelajaran
dimulai.
Pemerintah sudah memulai mengeluarkan
aturan-aturan untuk meningkatkan minat baca. Tapi sebagus apapun dan selengkap
apapun aturan yang dibuat, kalau guru yang menjadi ujung tombak pemerintah
disekolah tidak meningkatkan kompetensi profesinya maka akan percuma.
Seperti fakta dilapangan, bahwa terkadang pendidikan kita lebih mengarah kepada sebuah tujuan untuk tidak
memanusiakan manusia secara utuh, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang
bercorak materialistik, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan moral,
kemanusiaan, dan kemuliaan budi. Akibatnya keluaran dari nilai-nilai keagungan
budi dan keluhuran pekerti jadi tidak tersentuh. Mereka jadi kehilangan
kepekaan nurani, seperti melontarkan kata-kata barbar dan bahasa tubuh yang
kasar dan vulgar. Nilai-nilai estetika dan etika ini telah terkebiri dan
terkerdilkan oleh gaya hidup yang hedonis dan konsumtif.[14]
Proses pembentukan karakter yang
berbudaya literer tidak bisa diproduksi secara instan. Butuh sebuah (r)evolusi
pena yang berkelanjutan dan melibatkan semua pihak yang menjadi agen of change dalam mengobarkan budaya
literer ini, seperti lingkungan keluarga sebagai awal pembentuknya, lingkungan
sekolah sebagai penyeimbang nilai dan ilmu, serta lingkungan sosial atau media
massa. Lingkungan sekolah sangat mempengaruhi konsep diri, keterampilan sosial,
nilai, kematangan penalaran moral, perilaku prososial, pengetahuan tentang moralitas,
dan sebagainya.[15]
Oleh karena itu, lingkungan sekolah mempunyai peran yang sangat sentral dalam
(r)evolusi pena ini.
Dari sinilah muncul kesadaran, bahwa pendidikan
karakter yang berbudaya literer menjadi sebuah keniscayaan. Tradisi literer
merupakan sarana untuk membentuk karakter suatu bangsa. Menurut Yudi Latif, bahasa
dan kata adalah tubuh dari pikiran dan gagasan manusia, imajinasi, dan proyeksi
sebuah masyarakat dan kebudayaannya.[16] Masyarakat yang berkarakter literer akan
mencintai buku seperti mencintai dirinya sendiri, dia akan selalu merasa ingin
menelanjangi isinya, apabila ditinggalkan akan timbul rasa kangen yang luar
biasa. Witing tresno jalaran soko kulono,
pepatah ini bisa diterapkan juga kepada buku. Seperti membiasakan membaca buku
sederhana dulu, semisal komik, majalah, novel kemudian baru buku-buku yang
lebih berat isinya, yang terpenting hikmah apa yang
bisa diambil setelah membaca buku tadi.
Banyak
buku-buku fiksi maupun non-fiksi yang bermuatan karakter didalamnya. Seperti buku
novel tetralogi Buru karya Pramudya Ananta Toer misalnya, menggambarkan
mengenai mentalitas baru insani pribumi yang sedang mengalami perubahan dan
menanti sebuah momentum kebangkinan kesadaran nasional. Selain itu, novel mega best seller Andrea Hirata, Laskar
Pelangi, berbicara tentang sebuah perjuangan hidup mengejar kesuksesan ditengah
kehidupan yang kekurangan dan serba terbatas. Novel ini memberikan inspirasi
kepada penikmatnya agar kesulitan bukanlah akhir, namun proses permulaan untuk
menuju sebuah kesuksesan. Itulah karakter yang terkandung dalam budaya literer.
Budaya literer yang berkarakter tidak hanya berkenan
dengan kemampuan teknis membaca dan menulis. Seorang yang terbebas dari
tunaaksara tidak dengan sendirinya dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang
memiliki budaya literer. Hanya mereka yang memiliki kemampuan baca-tulis lah
yang secara teknis, serta menjadikan aktifitas baca-tulis sebagai kebutuhan
sehari-hari yang dianggap sebagai cerminan masyarakat yang berbudaya literer.
Budaya literer tidak akan bisa berjalan kalau tidak menumbuhkan karakter
peserta didiknya, karena kedua hal ini ibarat dua sisi mata uang, tidak bisa
dipisahkan. Oleh karena itu, pembiasaan dipaksa, terpaksa, terbiasa = budaya
menjadi urgent untuk dilakukan.
Dipaksa, Terpaksa, dan Terbiasa = Budaya
Untuk menuju sebuah budaya
literer, terlebih dulu kita membiasakan diri. Ada beberapa faktor yang dianggap
mampu menggerakan kebiasaan ini. Pembiasaan diri untuk menerima sesuatu yang
baru dari luar tubuh kita memang sulit. Kadang kebiasaan yang masih asing itu
perlu adanya adaptasi dan paksaan dari dalam diri dan luar tubuh kita. Bila
melihat kondisi generasi muda yang menurut Taufik Ismail sebagai “generasi nol
buku”, sedikit “paksaan” merupakan sebuah keniscayaan. Dalam upaya
pembentukan karakter berbasisa budaya literer, penulis mempunyai strategi FANTASTIC
FOUR, strategi yang sudah penulis alami dan rasakan sendiri, strategi
itu adalah (1) Kata Motivasi, (2) Kontrak Cinta; (3) Kecintaan Membaca; dan (4)
Keberanian Berkarya, keempat poin ini akan dibahas lebih lanjut.
Pertama, Kata Motivasi, setiap awal pertemuan penulis memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk menyampaikan kata-kata motivasi. Setiap pelajaran ada jatah kepada satu
peserta didik, dan kurang lebih hanya butuh
waktu sekitar 2 menit untuk menyampaikan motivasi itu, mereka bebas mencari
kata-kata motivasi, kadang ada yang mengutip dari tokoh besar, ada juga yang mengisahkan
dari kisah pribadi, bisa bertema percintaan, persahaban, keluarga atau tentang
kehidupan, dan semuanya penulis upload di
akun Youtube: Arif Saefudin [lihat Lampiran
1].
Motivasi ini
merupakan hal penting, karena dengan motivasi, akan mendorong manusia untuk
berbuat dan
menjadi motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan. Selain itu
motivasi dapat menentukan arah perbuatan dan menyeleksinya.[17] Artinya, dengan motivasi
peserta didik akan menemukan arah tujuan yang harus dilakukan dengan berpegang
kebenaran dengan cara menyeleksi perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi
pencapaian sebuah tujuan tersebut.
Strategi Kedua, Kontrak
Cinta.
Ibaratnya sebuah ikatan cinta, ada aturan-aturan yang harus disepakati oleh
kedua belah pihak, ada batasan yang tidak boleh dilanggar. Jadi ketika
melanggar akan dengan sendirinya melakukan sanksi. Mengenai masalah kategori
kontrak cinta ini, penulis bersama dengan peserta didik (diwakili oleh ketua
kelas) menandatangani kontrak diawal pertemuan pada semester pertama. Kontrak
cinta ini juga sangat simple namun
mencakup proses pembelajaran dari awal sampai akhir, isinya ada 4 poin, yaitu
(1) mengenai keterlambatan masuk ke kelas; (2) kesopanan, dalam perkataan dan
buatan; (3) seragam sekolah, dari ujung rambut sampai kaki; dan (4) ketepatan
dalam pengumpulan tugas. Ke-4 poin itu sudah mencakup semuanya.
Point pertama, mengenai keterlambatan. Kebiasaan ini yang sangat sering terjadi ketika awal masuk pada jam pertama, atau setelah istirahat. Untuk keterlambatan,
setiap kelas punya
aturan berbeda-beda, ada yang menyepakati
waktu tolerir terlambat 5 menit, ada juga yang sepakat untuk 10 menit.
Keterlambatan ini tidak hanya berlaku untuk peserta didik, namun
juga diberlakukan kepada penulis. Misalkan, penulis terlambat lebih
dari 5 menit, maka penulis akan dikenakan sanksi yang disepakati. Namun ada dispensasi
kalau ada keperluan penulis dan peserta didik yang memang urgent.
Point kedua, mengenai sopan santun, kadang ada beberapa peserta didik
yang kehilangan kontrol bertindak semaunya kepada
teman sekelas. Baik itu perlakuan maupun ucapan, hal-hal ini sangat dihindari,
termasuk didalamnya penyebutan nama asli menjadi nama-nama gaul, misalkan nama
aslinya Virhan, ternyata dipanggil Kiceng (matanya sedikit bermasalah). Ini yang sangat penulis larang keras,
karena nama adalah doa orang tua. Jadi, apabila melanggar, maka akan masuk
kekategori sopan. Selanjutnya pont ketiga mengenai seragam, seragam biasanya
kelengkapan pakaian. Seperti baju keluar, tidak memakai nama dibaju, tidak pakai
sabuk dan lain sebagainya, maka apabila melanggar akan masuk sanksi seragam.
Pont yang terakhir, mengenai tugas. Tugas-tugas yang
diberikan tidak sering, namun penulis menginginkan tugas yang bermanfaat
kedepannya. Seperti membuat film sosiodrama tentang kesejarahan, atau menuliskan
sejarah desa masing-masing dan dibukukan [Lampiran 5]. Semua itu biasanya disepakati tentang deadline
untuk mengumpulkannya, apabila melanggar maka akan masuk kategori tugas. Lalu siapa yang menentukan
sanksi tadi? Para peserta didik sendiri. Penulis hanya mengarahkan dan membimbing supaya diskusi berjalan lancar. Disini
mereka belajar untuk mengeluarkan pendapat dan belajar menerima perbedaan.
Langkahnya, awal
pertemuan penulis menyampaikan hal ini, kemudian kami bersama-sama menentukan
sanksi dari poin ke poin. Mereka yang memberikan usul sanksi, syarat dari
penulis hanya 1, sanksinya mendidik dan tidak terlalu memberatkan, toh mereka sendiri yang akan
melaksanakan sanksinya apabila melanggar. Ide-ide yang keluar dari peserta
didik sangat banyak bahkan diluar perkirakan penulis. Setiap kelas mempunyai
sanksi yang berbeda-beda, jadi penulis memberikan kesempatan seluas-luasnya
untuk mereka menentukan sendiri sanksi itu. Penulis menunjuk satu
peserta didik sebagai “sekretaris pribadi” kelas khusus untuk mencatat
anak-anak yang melanggar, jadi guru tidak perlu repot-repot mencatat setiap
pelanggaran yang terjadi. Setelah selesai, aturan itu
ditandatangani oleh penulis dan ketua kelas sebagai perwakilan kelas. Pertanyaannya, kapan
“eksekusi” sanksi dilakukan? Biasanya penulis melakukan hal itu setelah
penilaian pada setiap bab nya. Jadi tidak setiap ada pelanggaran langusung
dieksekusi, jelas itu akan mengganggu proses pembelajaran.
Aturan yang mengikat antara peserta didik dan guru ini membuat semuanya terarah, jadi ketika peserta didik
melanggar, maka akan dengan nyaman menikmati sanksinya, tanpa suatu protes atau
tidak terima [lihat lampiran 2]. Termasuk didalamnya ketika peserta didik disuruh untuk
membawa buku umum non mata pelajaran setiap pelajaran sejarah, dengan
sendirinya mereka berlomba-lomba untuk meminjam ke perpustakaan atau membelinya
ke toko buku. Hal ini akan dipaparkan lebih lanjut.
Baca dan Hasilkan Karya
Strategi Fantastic Four yang ke-3
adalah Kecintaan Membaca; perasaan
mencintai memang harus tumbuh secara alami, namun cinta itu bisa tumbuh karena
terbiasa, seperti pepatah orang Jawa, witing
tresno jalaran soko kulino, cinta lahir karena terbiasa. Untuk menumbuhkan
kecintaan membaca, penulis mendorong minat baca terlebih dahulu, ada
unsur-unsur untuk menumbuhkan minat baca ini. Menurut Wilber Schram dalam buku The Anatomy of Attention, minat baca
terdiri dari beberapa unsur. Unsur pertama avaibility,
ada sesuatu yang tersedia didepan mata. Unsur kedua, contras, yaitu sesuatu yang lain dari biasanya dan perlu dilihat.
Unsur ketiga adalah reward, yaitu
ganjaran atau hadiah.[18]
Unsur-unsur ini yang membentuk minat baca seseorang.
Penumbuhan minat baca diawali dengan pembiasaan
membawa buku. Pembiasaan membawa buku sudah penulis terapkan kepada peserta
didik sejak 2013 silam, bahkan sebelum Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang
membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Mereka saya wajibkan untuk membawa
buku non pelajaran setiap kali pelajaran sejarah. Ketersediaan buku ini yang
mendorong peserta didik untuk mau membaca, awalnya mereka saya bebaskan penuh
untuk membawa segala bacaan non mata pelajaran, seperti majalah, novel, bahkan
komik sekalipun. Sehingga ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan mereka, dari
yang biasanya bersentuhan dengan buku paket pelajaran, sekarang sudah ada buku
baru yang “asing” terpampang didepan mata.
Peserta didik tidak membaca ketika pelajaran, tapi
mereka diwajibkan menjelaskan isi buku yang sudah dibacanya diluar kelas.
Sehingga tanpa mereka sadar, mereka sedang dipaksa untuk membaca buku. Setelah
menjelaskan sinopsis buku didepan kelas, mereka harus mengambil hikmah dibalik
isi buku itu. Biasanya durasinya sekitar 5 menit, penyampaian isi buku ini
setelah kata-kata motivasi dilakukan. Jadi pembukaan pembelajaran sekitar 7-10
menit. Dengan pembiasaan ini,
peserta didik akan terbiasa bersentuhan dengan buku dalam kesehariannya, dan
terpaksa dibaca, karena akan menjelaskan isinya. Kalau ada anak yang tidak
siap, maka akan langsung dicatat oleh sekertaris kelas kedalam sanki kesopanan.
Diakhir tahun, biasanya penulis memberikan reward
kepada nominasi peserta didik yang bisa menjelaskan isi buku dengan lancar dan bisa
mengambil hikmahnya [lihat Lampiran 4].
Bagian terakhir dari Fantastic Four adalah Keberanian
Berkarya. Hal inilah yang terpenting dari bagian-bagian yang lainnya. Setelah
membaca, selanjutnya kita harus berani menuliskannya, maka tanpa sadar budaya
literer akan terbangun dengan sendirinya. Biasanya setiap tahun, penulis
mengadakan sebuah proyek menulis yang wajib diikuti oleh semua peserta didik
yang penulis ajar. Misalkan tahun 2014, mengumpulkan esai-esai dan sudah
dicetak menjadi sebuah buku. Tahun 2015, membuat antologi puisi bersama mereka,
dan tahun 2016 ini sedang berproses untuk membuat sejarah desanya masih-masih
dan akan dibukukan juga. Untuk sementara, sejarah desa sudah penulis posting di blog pribadi yang beralamat
arifsae.com [lihat Lampran 5].
Semua proses itu melibatkan mereka dan yang penulis
tanamkan adalah, yang tertulis akan abadi. Hal ini sesuai dengan pepatah
Yunani, “Verba Volant, Scripta Manent” yang berarti bahwa sesuatu yang hanya diucapkan akan hilang
bersama angin, tapi yang tertulis akan abadi. Hal ini memang benar adanya, karena
sesuatu yang diucapkan sebagus apapun kalau tidak abadikan (dalam bentuk
tulisan atau rekaman) maka akan hilang bersama angin, tetapi sesederhana apapun
pemikiran kalau dituangkan kedalam bentuk tulisan tentu akan abadi selamanya.
Selain mendorong untuk membuat tugas dan membukukannya, penulis juga mendorong
untuk berani berkompetisi dalam sebuah kejuaraan.[19]
Untuk menemukan peserta didik yang mau berani berkompetisi
memang tidak mudah. Butuh peserta didik yang mampu berfikir dan bersikap “out of the box” dengan berani bertarung
dengan kesibukan remaja yang kebanyakan melenakan. Penulis mendorong untuk mau
melawan tradisi negatif dengan berani berkreasi. Sungguh ini sebuah tantangan
yang tidak mudah. Namun, penulis berusaha membangun sebuah pondasi, menjaga
orientasi untuk menuju realisasi yang nyata, salah satu caranya dengan
mengikuti berbagai kompetisi diberbagai ajang kejuaraan tulis menulis.
Dari tahun 2014, sudah sekitar 20 lomba yang penulis
menangkan bersama peserta didik, tapi kegagalannya mungkin lebih dari 20-an
lomba. Kompetisi yang kami ikuti bermacam-macam jenjang, dan berbagai disiplin
ilmu. Apabila mereka meraih keberhasilan dalam sebuah kompetisi, akan terpancar
sinar muka yang bahagia luar biasa. Itulah kenikmatan berkarya dengan anak muda
[lihat Lampiran 3]. Penulis
mengajarkan, jangan takut gagal, karena tidak ada yang salah dengan gagal, yang
salah kalau kita terpuruk kedalam kegagalan itu dan tidak mau bangkit lagi,
kalau gagal 20 kali, kita hanya perlu bangkit 21 kali. Begitu juga dengan
kompetisi, pasti akan merasakan kegagalan, tapi yang perlu diingat adalah hasil
tidak akan menyelingkuhi poeses. Itu!
4. KESIMPULAN DAN HARAPAN
Negara-negara maju
didunia tidak akan melepaskan kebiasaan membaca dan kegemaran menulis, inilah
yang disebut sebagai budaya literer. Apabila melihat sejarah Indonesia, banyak
hal yang membuat kita harus berkaca, terutama dalam budaya literasi. Banyak
sumber sejarah Indonesia justru sumber utamanya dari pemerintah kolonial
Belanda.
Saat ini, seiring
kemajuan tekhnologi dan ilmu pengetahuan, mulai timbul kesadaran akan
pentingnya sebuah dokumen, namun dokumen yang dimaksud adalah gambar atau foto,
bahkan ada jargon “no pict = hoax”.
Namun sayang, dokumen itu masih sangat jarang berbentuk tulisan, yang menurut
istilah Taufik Ismail sebagia “generasi nol buku yang rabun membaca dan pincang
menulis”. Rabun karena tidak pernah membaca, dan pincang karena tidak menuliskannya.
Hal ini sesuai data dari PISA yang menempatkan Indonesia keurutan 48
dari 56 negara.
Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, penulis mencoba “menyalakan lilin kecil dikelas”.
Caranya dengan membuat strategi Fantastic Four, membuat (1) Kata Motivasi, (2) Kontrak Cinta; (3) Kecintaan
Membaca; dan (4) Keberanian Berkarya. Setiap awal pembelajaran peserta
didik memberikan kata-kata motivasi kepada teman-teman yang lainnya. Kontrak
cinta untuk mengikat hati dengan peserta didik. Mereka yang menentukan
sanksisnya dengan bimbingan penulis. Untuk menumbuhkan budaya literer, penulis
sudah mewajibkan untuk membawa buku umum disetiap pelajaran sejarah, jadi
setiap pelajaran dimulai peserta didik memotivasi teman-teman yang lain,
kemudian dilanjutkan dengan memaparkan buku umum didepan kelas. Waktu yang
diberikan sekitar 5 menit, mereka dipaksa untuk memegang, membawa dan membaca.
Andai ada peserta didik yang tidak mau menjelaskan didepan kelas, maka akan
dikenakan sanksi kategori sopan atau seragam, tergantung kesepakatan.
Dengan pemaksaan menjelaskan
isi buku didepan kelas, mereka akan akrab dengan buku-buku non mata pelajaran.
Model ini sudah penulis praktekan sekitar tahun 2013, sebelum Permendikbud No.
23 tahun 2015 diberlakukan. Selain membaca, peserta didik juga penulis dorong
untuk mengikuti berbagai event lomba.
Dengan mengikuti lomba, mereka diajarkan untuk berkompetisi dari berbagai
peserta didik diluar sekolah, bahkan seluruh Indonesia. Banyak berbagai
kompetisi yang sudah penulis dan peserta didik menangkan, dari level kabupaten,
provinsi hingga nasional. Dari persaingan ratusan hingga ribuan sudah kami
taklukan.
Selain memberikan
dorongan, penulis juga memberikan contoh nyata karya dari kompetisi yang penulis
ikuti secara pribadi. Selain mengikuti kompetisi, penulis juga mengajak
beberapa peserta didik untuk menggabungkan tulisan kedalam sebuah buku. Dari
tahun 2014 hingga saat ini, sudah 3 buku yang sudah kami hasilkan. Sekarang
penulis sedang mengumpulkan kepingan-kepingan sejarah desa masing-masing dan
berencana untuk membukukannya juga. Dengan berbagai variasi dan tantangan dalam
proses pembelajaran ini, penulis berharap agar suatu saat lahir generasi
literer yang menjunjung tinggi budaya membaca dan menulis.
Harapan kedepannya, penulis
menginginkan budaya literer bisa menyebar keseluruh Indonesia. Dari hal
terkecil bisa kita mulai, dengan kesadaran “buku adalah jendela dunia, dan
membaca adalah kuncinya”. Hal kecil inilah yang penulis lakukan dikelas-kelas,
harapanya dimasa depan adalah terjadinya (r)evolusi pena yang cinta membaca dan
gemar menulis. Dan terakhir, jangan takut untuk menuliskannya. Karena menulis
merupakan pekerajaan abadi, yang akan bertahan hingga beberapa generasi, jauh
melebihi umur penulis. Semoga kita sebagai bangsa Indonesia mampu menuju negara
berperadaban yang berpengaruh di dunia. Semoga!
DAFTAR PUSTAKA
Alfi Syahriyani. 2010.
“Optimalisasi Budaya Literasi di
Kalangan Mahasiswa: Upaya Meretas Komunikasi Global”., dalam Jurnal
UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora Volume 1, Desember 2010, hlm 67-78.
Arif Saefudin. 2015. Pembelajaran
Sejarah Kontroversial: Aplikasinya dalam Studi Kualitatif di Sekolah Menengah
Atas. Wonosobo: Gema Media.
Arif Saefudin dan Dwi
Suyoko. 2015. “Kata Pengantar”., dalam Pemuda
dan Tawaran Solusi Problematika Bangsa. Wonosobo: GemaMedia.
Bambang
Purwanto. 2006. Gagalnya Historiografi
Indonesiasentris ?! . Jogjakarta: Ombak.
Ellen G. White. 1977. Mind, Character and Personality Volume 1.
Washington: Estate, Inc.
http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-pisa., diakses tanggal 5 November 2016.
http://www.anneahira.com/teori-minat-baca.htm., diakses tanggal 5 November 2016.
Kholid A Harras. 2011.
“Mengembangkan Potensi Anak melalui Program Literasi Keluarga”, Jurnal
Artikulati Vol. 10 No. 1.
Masganti. 2012. Perkembangan Peserta Didik. Medan:
Perdana Publising.
Mikhael
Gewati. 2016. “Minat Baca
Indonesia Ada di Urutan ke-60 Dunia”., Kompas, 29 Agustus 2016.
Muhammad Takdir. 2012.
“Pendidikan Berbasis Budaya Literasi”, Suara Pembaharuan Edisi 7
September.
Riza Noer Arfani.
2004. “Globalisasi: Karakteristik
& Implikasinya”., dalam Majalah
Ekonomi Politik Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004.
Ruth W.Sandwell. tt. “Using Primary Documents in Social
Studies and History”., dalam Jurnal The
Anthology of Social Studies: Volume 2, Issues and Strategies for Secondary
Teachers. Hlm 295-307.
Taufiq Ismail. 2009. “Dari Pasar
Djohar ke Djalan Kedjaksaan”, Makalah pada Seminar Nasional
Pengembangan Model Pembelajaran Sastra yang Komunikatif dan Kreatif. Universitas
Negeri Semarang, Ahad, 7 Juni 2009.
Tiyas Nur Haryani. 2012.
“Menakar Generasi Literer”, dalam Surat Kabar
Solopos, 24 Juli 2012.
Sardiman, A.M. 2012. Interaksi
dan Motivasi Belajar. Yogyakarta: Raja Grafindo Persada.
Sugiharto dan Deny
Setiawan. 2015. “Pemanfaatan Bonus
Demografi melalui Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di Sumatera Utara”.,
dalam Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu
Sosial 7 (1) (2015): 1-12.
Yudi Latif. 2009. Menyemai
Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: Kompas.
Permendiknas
No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi.
Permindikbud
No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Naskah ini rencananya diikutkan Simposium Guru 2016, namun karena syarat NUPTK naskah ini kandas terlindas.
Naskah ini rencananya diikutkan Simposium Guru 2016, namun karena syarat NUPTK naskah ini kandas terlindas.
[2] Riza Noer Arfani.
2004. “Globalisasi: Karakteristik
& Implikasinya”., dalam Majalah
Ekonomi Politik Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004.
[3] Sugiharto dan Deny
Setiawan. 2015. “Pemanfaatan Bonus
Demografi melalui Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di Sumatera Utara”.,
dalam Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu
Sosial 7 (1) (2015): 1-12.
[4] Alfi Syahriyani. 2010.
“Optimalisasi Budaya Literasi di
Kalangan Mahasiswa: Upaya Meretas Komunikasi Global”., dalam Jurnal
UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora Volume 1, Desember 2010, hlm 67-78.
[5] Arif Saefudin. 2015. Pembelajaran
Sejarah Kontroversial: Aplikasinya dalam Studi Kualitatif di Sekolah Menengah
Atas. Wonosobo: Gema Media., hlm 43.
[6] Ruth W.Sandwell. tt. “Using Primary Documents in Social Studies and History”.,
dalam Jurnal The Anthology of Social
Studies: Volume 2, Issues and Strategies for Secondary Teachers. Hlm
295-307.
[7] Bambang Purwanto. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris ?! .
Jogjakarta: Ombak.
[8] http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-pisa., diakses tanggal 5
Oktober 2016.
[9] Tiyas Nur Haryani. 2012. “Menakar Generasi Literer”,
dalam Surat Kabar Solopos, 24 Juli 2012.
[10] Mikhael Gewati.
2016. “Minat Baca Indonesia Ada di Urutan ke-60 Dunia”., Kompas,
29 Agustus 2016.
[11] Taufiq Ismail. 2009. “Dari Pasar
Djohar ke Djalan Kedjaksaan”, Makalah pada Seminar Nasional
Pengembangan Model Pembelajaran Sastra yang Komunikatif dan Kreatif,
Universitas Negeri Semarang, Ahad, 7 Juni 2009.
[12] Kholid A Harras.
2011. “Mengembangkan Potensi Anak melalui Program Literasi Keluarga”, Jurnal
Artikulati Vol. 10 No. 1.
[13] Muhammad Takdir.
2012. “Pendidikan Berbasis Budaya Literasi”, Suara Pembaharuan Edisi 7
September.
[14] Ellen G. White. 1977.
Mind, Character and Personality Volume 1.
Washington: Estate, Inc., Hlm 14.
[15] Masganti. 2012. Perkembangan Peserta Didik. Medan:
Perdana Publising., Hlm 145
[16] Yudi Latif. 2009. Menyemai
Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: Kompas.,
Hlm 15-18.
[17] Sardiman, A.M. 2012. Interaksi
dan Motivasi Belajar. Yogyakarta: Raja Grafindo Persada, hlm 85.
[18] http://www.anneahira.com/teori-minat-baca.htm., diakses tanggal 5
Oktober 2016.
[19] Arif Saefudin. 2015.
“Kata Pengantar”., dalam Pemuda dan
Tawaran Solusi Problematika Bangsa. Wonosobo: GemaMedia.., Hlm ii.