Sumber Gambar |
Sejak kita masih duduk di bangku sekolah
dasar hingga kini beranjak dewasa, mungkin sudah tidak asing lagi bila
mendengar kata “perpustakaan”. Setiap orang tentu memiliki prespektif
tersendiri tentang adanya suatu perpustakaan. Bagi sebagian orang yang
terpelajar, perpustakaan merupakan sumber ilmu yang integral bagi penerapannya
di dunia pendidikan. Namun bagi segelintir orang yang belum menyadari
pentingnya ilmu bagi kehidupan, mungkin mendengar kata ”perpustakaan” hanyalah
terbayang sebuah gedung lusuh yang berisi rak-rak buku dengan debu tebal
menyelimutinya. Seperti yang sudah dikatakan oleh Francis Bacon seorang filsuf
dari Inggris yang berpendapat bahwa, “Sebagian buku ditulis untuk dicicipi,
yang lainnya untuk ditelan, dan sebagian kecil untuk dikunyah dan dicerna;
maknanya, sebagian buku ditulis untuk dibaca segelintir saja, yang lainnya
untuk dibaca, tetapi tidak dengan penuh rasa ingin tahu; dan sebagian kecil
untuk dibaca seluruhnya, dengan ketekunan dan penuh perhatian”. Ini menjadi
suatu problema dimana buku yang seharusnya menjadi sumber ilmu dan teman
manusia, kini hanya sebagai penghias wajah perpustakaan.
Paradigma perpustakaan tentunya tak lepas dari
peran para pustakawannya, dimana pustakawan sebagai dasar penentu kualitas
suatu perpustakaan. Tetapi paradigma ini sering gugur berbanding terbalik
dengan minat rendahnya budaya membaca yang kini terus menerus tergerus oleh
pesatnya arus globalisasi. Semenjak
era globalisasi datang, segala proses mendunia seketika pun mulai berkembang pesat,
semua informasi mendunia sangat mudah didapatkan melalui internet. Kini
perpustakaan pun kalah saing dengan berbagai aplikasi yang lebih modern, lebih
efisien, murah dan mudah didapat. Kunjunagan ke perpustakaan tak seramai
kunjungan ke kantin, begitupula ke tempat-tempat tongkrongan remaja masa kini.
Generasi muda adalah calon
pemimpin dan harapan bangsa yang menjadi pilar-pilar penegaknya. Generasi muda
harus memiliki kecerdasan yang unggul dan kreatif melalui proses pembelajaran
yang teringeratif, jangan sampai generasi muda hancur terkena dampak negatif
globalisasi. Tanpa kita sadari, bangsa Indonesia saat ini sedang di jajah oleh
negara-negara adikuasa, yang mana kita ditanamkan budaya konsumtif dimana
generasi penerus kita hanya sebagai penikmat dari karya mereka. Semua
produk-produk berdatangan dari luar negeri, dari alat komunikasi, transportasi,
dan bahkan semua bidang dalam kehidupan sudah disediakan. Jika hal ini di
biarkan begitu saja, apakah kita mau Indonesia terjajah kembali? Tidak kan?
Kalau begitu mulai saat ini kita harus berubah dengan meningkatkan kualitas
sumber daya manusia sehingga terbentuk individu yang ber-lebel “produktif”
bukan “konsumtif”, ingatlah bahwa kita bukan bangsa “tempe” sebagaimana yang di
ucapkan oleh salah satu founding fathers kita:
"Kita bangsa besar,
kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta,
apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu!
Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, daripada makan bestik tapi budak."
[Bung Karno, Pidato HUT Proklamasi]
Sebagai negara yang besar,
dengan wilayah Indonesia 1,904,569 km2 dan
jumlah individunya mencapai 252.370.792 jiwa
penduduk. Sudah sepantasnya bila dunia pendidikan di Indonesia
perlu di “upgrade” untuk membentuk
individu-individu yang berkualitas, sehingga bisa menjadi “senjata” yang dapat
menumpas kerasnya persaingan kehidupan di era globalisasi pada masa mendatang.
Dengan meninggkatkan budaya membaca pasti literatur di generasi muda akan
berubah, akan menjadi generasi muda yang berwawasan, cerdas dan unggul dalam
mutu.
Tekhnologi
Tak Sepenuhnya Mengerti
Setiap manusia diciptakan
oleh Tuhan pasti dianugerahi kelebihan pada masing-masing diri mereka, yang
dapat dikembangkan untuk kepentingan hidup. Kelebihan itu terus dikembangkan
dan dimanfaatkan oleh manusia untuk menciptakan hal baru, yang menjadikan dunia
sekarang “berevolusi”. Pada era globalisasi ini, memang tekhnologi yang
berperan aktif dalam kehidupan. Setiap negara di penjuru dunia saling
berlomba-lomba menciptakan inovasi baru seputar tekhnologi yang
dikembangkannya. Sudah sepantasnya bila Indonesia sebagai negara yang besar
harus bisa mandiri dan bersaing membuat inovasi-inovasi baru yang dapat berguna
bagi masyarakat luas. Untuk dapat mencapai impian tersebut, yang kita butuhkan
bukan hanya pemerintahan yang baik, tetapi seluruh anggota masyarakat yang
terintegrasi dalam satu ikatan.
Abad
ke-21 merupakan abad di era globalisasi, dimana segala proses mendunia di
segala bidang saling terikat dan informasi-informasi dunia mudah didapatkan.
Fenomena ini tentunya membawa banyak persoalan, salah satunya nasib dari
institusi pendidikan yang mana perpustakaan sebagai peranan di dunia pendidkan
menjadi terbengkalai. Ini menjadikan suatu tradisi baru, menyebabkan informasi
yang dulunya terikat dan berpusat di dalam perpustakaan sekarang telah
tergantikan oleh tekhnologi canggih berupa aplikasi seperti Google, Yahoo dan
sejenisnya. Hal ini telah menjadikan persaingan yang sangat ketat diantara
institusi penyedia informasi. Pada tanggal 14 April 2015 yang lalu, Pusat
Kajian Komunikasi (PUSKAKOM) UI melakukan rilis pers tentang hasil
survey profil pengguna
internet di Indonesia. Hal menarik pertama yang kita temukan
adalah sebuah fakta bahwa pengguna internet di Indonesia sudah mencapai angkat
88,1 Juta. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang ada 252,4
Juta, maka dapat dikatakan bahwa penetrasi pengguna internet di negara ini
mencapai 34,9%. Angka tersebut meningkat cukup banyak bila dibandingkan dengan
tahun 2013 dimana penetrasi internet baru mencapai 28,6%.
Teknologi
informasi dan komunikasi atau ICT (Information
and Communication Technology) telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari kehidupan global. Oleh karena itu, setiap Institusi harus selalu berusaha
untuk mengintegrasikan ICT, untuk membangun dan memberdayakan sumber daya
manusia berbasis pengetahuan agar dapat bersaing dalam era global (Siti
Muasaroh, 2007). Kebutuhan akan ICT sangat berhubungan dengan peran
perpustakaan sebagai kekuatan dalam pelestarian dan penyebaran informasi ilmu
pengetahuan yang berkembang seiring dengan kegiatan menulis, mencetak,
mendidik, serta pemenuhan kebutuhan masyarakat akan informasi (Siti Muasaroh,
2007). Kemajuan ICT dari tahun ke tahun merupakan bukti bahwa manusia selalu
berusaha mendapatkan cara yang mudah, cepat dan akurat dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Komputer merupakan salah satu hasil pemikiran manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dalam mengelola data menjadi informasi. Kecepatan mengolah
data dalam skala besar dan tingkat akurasi yang tinggi dari data yang
dihasilkan merupakan alasan mengapa komputer banyak digunakan sebagai sarana
dalam memenuhi kebutuhan informasi seperti perpustakaan digital, dimana
aplikasi ICT sangat menonjol dan memberikan kreasi baru, penyebaran dan akses
sumber informasi dalam bentuk digital melalui jaringan komputer (Deni Darmawan,
2008).
Pada penelitian
sebelumnya tentang perpustakaan digital, paradigma, konsep dan teknologi
informasi yang digunakan (Imam Yuadi, 2007) bahwa liblary initiative
menggambarkan perpustkaan digital sebagai lingkungan yang bersama-sama memberi
koleksi, pelayanan dan manusia untuk menunjang kreasi, diseminasi, penggunaan
dan pelestarian data, informasi dan pengetahuan. Kelemahan dari sistem tersebut
belum tersentralisasi datang secara baik, sehingga masih mengalami kesulitan
dan mencari data, sehingga memerlukan pengembangan baru untuk menambah beberapa
fitur dari perpustakaan digital sehingga lebih mudah dalam pencarian data
sesuai dengan kebutuhan. Selain itu penelitian sebelumnya belum begitu
terintegrasi dengan ICT sehingga masih bersifat semi digital.
Ada
kalanya memang hidup tak selalu bergantung kepada teknologi, hidup tak sekedar
memencet dan menggeser tombol gadget, karena ada masalah lain dibalik
kecanggihan tekhnologi yaitu adalah dana untuk bisa membeli tekhnologi canggih
tersebut.
Masalah
Pendidikan Kita: Dana yang menjadi penghalangnya?
Negara akhir-akhir ini meminjam jutaan uang untuk perang; tidak
ada negara yang pernah meminjam uang banyak untuk pendidikan. Mungkin, tidak
ada negara yang cukup kaya untuk meminjamkan perang ataupun paradaban. Kita
harus memilih; tidak bisa kita memilih kedua-duanya.
~Abraham Flexner~
Mungkin
sebagian negara lebih mementingkan hasrat nafsunya untuk bisa memperluas
wilayah negaranya dibandingkan memperluas kualitas sumber daya manusianya.
Masalah yang kita hadapi saat ini memang “dana” lah yang menjadi benang merah
pendidikan di Indonesia. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang
disampaikan oleh Woro Salikin, Bidang Pemberdayaan Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia bahwa berbagai problematika yang dihadapi oleh perpustakaan
sekolah adalah masalah sumber daya manusia, anggaran dan mindset tentang
pengelolaan perpustakaan.
Selain itu banyak sekolah di tanah air yang belum
memiliki perpustakaan. Tidak kurang dari 98 ribu sekolah dasar (SD) di
Indonesia belum memiliki perpustakaan, dari total SD mencapai 148 ribu. Sedangkan
menurut Rahman Saleh kondisi perpustakaan di Indonesia pada umumnya bahwa 95%
dari sekitar 200.000 perpustakaan sekolah dan daerah di Indonesia tidak
memiliki sarana dan prasarana memadai layaknya perpustakaan. Dari 130.000
sekolah di Indonesia ternyata baru ada 18% diantaranya yang memiliki
perpustakaan. Kemudian dari data Kementrian Pendidikan Nasional hingga tahun
2011, dari 143.437 SD, sebanyak 79.445 atau 55,39 persen sekolah tanpa
perpustakaan. Di SMP sebanyak 39,37 persen sekolah (13.588 dari 34.511 sekolah)
tanpa perpustakaan. Perpustakaan sekolah masih mengahadapi berbagai
problematika seperti keterbasan SDM profesional, jumlah anggaran yang minim,
perabot perpustakaan yang tidak memberikan rasa nyaman bagi pemustaka serta
perhatian pimpinan yang kurang. Menurut Qolyubi Syihabuddin.dkk, keberadaan
perpustakaan sekolah sampai saat ini kondisinya masih memprihatinkan bukan saja
pada segi fisiknya (gedung dan ruang), tetapi juga dari segi pengelolaannya,
sumber daya manusia, koleksi, dan alat/perlengkapan fisik yang lain.
Menurut pendapat
Darmono, mengatakan bahwa pada umumnya perpustakaan sekolah di Indonesia masih
mengalami berbagai hambatan sehingga belum bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Hambatan tersebut berasal dari dua aspek. Pertama adalah aspek struktural, dalam
arti keberadaan perpustakaan sekolah kurang memperoleh perhatian dari pihak
manajemen sekolah. Kedua adalah aspek teknis, artinya keberadaan perpustakaan
sekolah belum ditunjang aspek-aspek bersifat teknis yang sangat dibutuhkan oleh
perpustakaan sekolah seperti tenaga, dana, serta sarana dan prasarana.
Masalah-masalah tersebut menjadi pendorong rendahnya minat budaya masyarakat
untuk membaca buku, apalagi untuk pergi ke perpustakaan.
Belajar dari Kebiasaan si “Kutu Buku”
Apakah
kalian masih menganggap orang yang berkacamata tebal, berpenampilan cupu dan
suka membaca harus dipanggil si “kutu buku”? Memang ekspektasi orang
berbeda-beda, tetapi jangan menganggap si “kutu buku” ini adalah orang yang
kurang up-date. Orang seperti inilah
yang justru mempunyai wawasan luas di banding kita yang tidak suka membaca buku.
Membaca merupakan benteng dari kebodohan, karena dengan membaca seseorang dapat
mengetahui apa yang tidak diketahui orang lain dan menambah wawasan. Di era
globalisasi dengan mudahnya penyediaan informasi yang disediakan melalui
berbagai aplikasi, ternyata budaya membaca masih saja ditinggalkan.
Pada tahun 2006 berdasarkan data Badan Pusat Statistik
menunjukan, masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai
sumber utama mendapatkan informasi. Masyarakat lebih memilih menonton televisi
(85,9%), mendengarkan radio (40,3%) daripada membaca koran (23,5%). Pada tahun
2009 berdasarkan data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi
(OECD), budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52
negara di kawasan Asia Timur. Tahun 2011 berdasarkan Survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO) rendahnya minat baca ini, dibuktikan dengan indeks membaca masyarakat
Indonesia hanya 0,001 (dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih
memiliki minat baca tinggi). Pada tahun
2012 Indonesia menempati posisi 124 dari 187 Negara dunia dalam penilaian
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), khususnya terpenuhinya kebutuhan dasar
penduduk, termasuk kebutuhan pendidikan, kesehatan dan “melek huruf”. Indonesia
sebagai Negara berpenduduk 165,7 juta jiwa lebih, hanya memiliki jumlah
terbitan buku sebanyak 50 juta per-tahun. Itu artinya, rata-rata satu buku di
Indonesia dibaca oleh lima orang.
Apakah budaya membaca memang sudah benar-benar
ditinggalkan? Sampai-sampai satu buku hanya dibaca 5 orang per-tahun. Paradigma
hitam si “kutu buku” harus dinetralisasikan menjadi “manusia berwawasan” agar
cemoohan orang perihal manusia buku hanya menjadi cerita kelam saja. Salah satu
cara untuk menjadikan negara Indonesia menjadi negara yang maju di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah menjadikan masyarakat Indonesia sebagai
masyarakat yang gemar membaca. Pembinaan kebiasaan membaca masyarakar (reading
habit society), merupakan tanggung jawab bersama, dan dapat dilakukan melalui
berbagai jalur, antara lain: (1) jalur diri pribadi; (2) jalur lingkungan rumah
tangga/keluarga; (3) jalur lingkungan masyarakat; (4) jalur lembaga pendidikan;
(5) jalur instansional (perkantoran); (6) jalur intansi pembina (Perpustakaan
Nasional dan Badan Perpustakaan Propinsi) (Mardiah, 2014).
Uraian singkat diatas sudah menggambarkan wajah budaya
membaca masyarakat kita yang sudah semakin setitik tergerus oleh era globalisasi
dan masalah lainnya. Padahal membaca itu penting guna meninggkatkan kualitas
sumber daya manusia. Apakah kita mau menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang
tidak berwawasan? Sudah seharusnya wawasan nusantara kita harus di “upgrade”, kita harus mempersiapkan
amunisi-amunisi dan mulai memproduksi senjata agar dimasa mendatang generasi
penerus bisa mengatur masa. Kata mengatur masa diibaratkan seperti roda
kehidupan yang berputar, dimana memang negara kita sekarang ada dibawah, tetapi
dimasa yang akan datang dengan amunisi-amunisi senjata yang sudah dipersiapkan
kita akan berada di atas ambang batas kesuksesan.
Memproduksi
“Senjata Pengatur Masa”
Memproduksi mempunyai arti
kata menghasilkan suatu produk barang dalam jumlah yang banyak dan teratur.
Produksi disini bukan tentang menghasilkan barang ataupun benda lainnya, tetapi
kata produksi lebih mengarah ke dalam arti menghasilkan suatu individu yang
berkualitas tinggi. “Senjata pengatur
masa” mungkin orang akan bingung mendengarnya apakah senjata pengatur masa
itu? Apakah senjata pengatur masa ini benar-benar bisa mengatur masa dan waktu
dalam dunia yang sebenarnya? Mungkin anda pernah melihat tayangan animasi
“Doraemon” si robot canggih yang mempunyai kantong ajaib. Dengan kantongnya ia
bisa mengeluarkan apa saja yang dia inginkan termasuk juga bisa menjelajahi dan
mengatur waktu dengan alat ajaibnya.
Jadi mulailah memproduksi
amunisi-amunisi senjata untuk mengatur masa depan sejak dini, dengan mulai
menerapkan budaya membaca sebagai salah satu kewajiban, maka sudah dipastikan
kesuksesan masa depan akan dipegang oleh generasi baru Indonesia. Budaya
membaca harus dikembangkan sejak usia dini karena pendidikan merupakan proses
pembelajaran sepanjang hayat yang salah satunya perpustakaan sebagai dasar
pembentuknya.
Angkutan
Umum Sebagai Pabriknya
Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan, hal tersebut tertuang dalam UUD 1945 BAB XIII Pasal 31 Ayat 1
tentang Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan bukan hanya berlangsung di
sekolah. Pendidikan akan mulai segera setelah anak lahir dan akan berlangsung
sampai manusia meninggal dunia, sepanjang ia mampu menerima pengaruh - pengaruh.
Sudah dijelaskan bahwa pendidikan berlangsung sepanjang hayat dari usia dini
sampai tua nanti. Untuk membentuk generasi
“senjata pengatur waktu”, Indonesia perlu inovasi baru yang bisa membuat
perpustakaan digemari dan menjadikan budaya membaca sejak dini terangkat
kembali. Apakah anda pernah naik Angkutan kota (Angkot)?
Angkutan kota atau biasa disingkat Angkot adalah sebuah moda transportasi perkotaan yang merujuk kepada
kendaraan umum dengan rute yang sudah ditentukan. Tidak seperti bus yang mempunyai halte sebagai tempat
perhentian yang sudah ditentukan, angkutan kota dapat berhenti untuk menaikkan
atau menurunkan penumpang di mana saja. Jenis kendaraan yang digunakan adalah Mini Bus atau bus kecil. Umumnya sebuah
angkutan kota diisi oleh kurang lebih 10 orang penumpang, tetapi tidak jarang
penumpangnya hingga lebih dari 10 orang. Contohnya saja Angkutan kota yang
berada di kota Purbalingga, Jawa Tengah, menurut Bapak Siryanto selaku supir
angkutan kota ini mengaku terkadang satu buah angkotan bisa terisis 10 sampai
15 orang. Penumpang angkutan kota ini bervariasi dari pelajar (SD, SMP, SMA,
dan Mahasiswa), ada pula dari guru, pedagang dan masyarakat umum lainnya. Tarif
yang telah ditetapkan pemerintah bagi pelajar yaitu Rp. 2.500-per orangnya dan
Rp. 3000-per orang bagi penumpang umum. Sudah jelas jika pemerintah menjadikan
Angkutan kota sebagai aplikasi perpustakaan umum, maka akan terjadi proses
pembelajaran sepanjang hayat yang terbentuk
dari pelajar (SD, SMP, SMA, dan Mahasiswa), ada pula dari guru, pedagang juga
masyarakat umum lainnya.
Angkutan
kota mulai beroprasi pukul 05.30 pagi dan berhenti beroprasi pukul 05.00 sore
hari, yang mayoritas penumpangnya merupakan pelajar, tegas Bapak Siryanto.
Peraturan Mentri Pendidikan No. 21 tahun 2015 mengenai wajib membaca lima belas
menit sebelum pembelajaran bagi pelajar. Peraturan wajib membaca lima belas
menit sebelum pembelajaran pun bisa dilakukan didalam Angkot, apalagi bila Angkutan
kota ini dilengkapi dengan sarana perpustakaan seperti berbagai macam buku yang
mendukungnya. Undang-undang
Perpustakaan (UU no. 43/2007) pada akhir tahun 2007 lalu sebagai payung hukum
penyelenggaraan perpustakaan di Indonesia. Peraturan perundangan (tentang
perpustakaan) merupakan landasan hukum yang isinya adalah gagasan, konsep,
nilai, ide dan segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan di
perpustakaan, dan jika ide ini dikembangkan mungkin budaya membaca Indonesia
akan mulai terbangun kembali.
Sudah saatnya pabrik senjata pengatur waktu di
Indonesia mulai di operasikan untuk “mencetak” generasi-generasi penerus bangsa
yang berkualitas. Untuk itu diperlukan kerjasama dari berbagai golongan
masyarakat terutama pemerintah sebagai penggeraknya. Sudah saatnya
pioner-pioner Nusantara dihidupkan kembali melalui “jendela dunia” (buku). Mari
kita ramaikan paradigma dunia perpustakaan sejak usia dini hingga kita
kembali...
Daftar
Pustaka
Anonim. 2015. Profil
pengguna internet di Indonesia tahun 2015. Pusat Kajian Komunikasi (PUSAKOM) UI.
http://blog.idkeyword.com/profil-pengguna-internet-di-indonesia-tahun-2015/.
Di akses tanggal 20 April 2016.
Chaniago Marwadi. 2013. Buku Siswa IPS Kelas VII SMP/MTs K13. Halaman 65-66. https://www.scribd.com/doc/236091409/19/Jumlah-dan-Kepadatan-Penduduk-Indonesia. Di
akses tanggal 20 April 2016.
http://jagokata.com/kutipan/kata-pendidikan.html?page=1-5,
diakses tanggal 21 April 2016.
Ibrahim A, Afrina M. 2011. Pengembangan model perpustakaan berbasis tekhnologi informasi untuk meningkatkan
kinerja layananperpustakaan dan mewujudkan perpustakaan ideal berbasis digital
di fasilkom unsri. Jurusan Sistem Informasi, Fakultas Ilmu Komputer,
Universitas Sriwijaya , Ogan Ilir, Sumatara Selatan.
Mardiah. 2014. Menumbuhkan
minat baca Perpustakaan politeknik KP
Sidoarjo. http://bpsdmkp.kkp.go.id/apps/perpustakaan/?q=node/23.
diakses tanggal 21 April 2016.
Nurjanah. 2014. Problematika
perpustakaan sekolah (study kasus di smp negeri 3 Mertoyudan kabupaten
Magelang). Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk
memperoleh gelar magister dalam ilmu perpustakaan.
Saputera Agus. 2016. Perpustakaan
dan Pembelajaran Sepanjang Hayat. http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=belajar.
Diakses tanggal 21 April 2016.
Wahyudi Ari. 2014. Berapa
Sih Jumlah Penduduk Indonesia Sebenarnya? http://ariwahyudi.web.id/jumlah-penduduk-indonesia/.
Diakses tanggal 21 April 2016.
Wawancara dengan Bapak Siryanto, pada hari Kamis 7 April 2016.
Tulisan ini diikutkan kedalam Lomba
Penulisan Artikel Populer Untuk Siswa SLTA Tahun 2016 Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah, dan ditulis oleh Haris Nugroho XII IPS 1.