Masjid Sayyid Kuning dan M. Maksudi |
Di era melenium ini, masih
dijumpai suatu kenyataan bahwa umat Islam merupakan umat yang menjadi mayoritas
di Indonesia. Hal ini tidak saja terlihat dari segi kuantitasnya, tetapi juga
banyak praktek sosial dalam kehidupan bermasyarakat yang berlandaskan pada
sendi–sendi ajaran Islam (Syaidah, 2005: 45-46). Keadaan semacam ini tidak
dapat dilepaskan dari proses sejarah yang panjang sejak masuknya Islam di
Indonesia. Dari
cerita juru kunci masjid Raden Sayyid Kuning, M. Maksudi, Desa Onje merupakan
tempat pertama masuknya Islam di Purbalingga karena di tempat inilah yang
menjadi persinggahan utama para mubalig dari Timur Tengah.
Masjid Raden Sayyid Kuning mulai dikenal pada abad ke-13 sebagai
masjid yang pertama di Purbalingga. Bahkan para adipati menganggap Masjid Raden
Sayyid Kuning merupakan lambang kerajaan Islam mereka. Tidak mengherankan bahwa
sesudah beberapa abad, Masjid Raden Sayyid Kuning menjadi amat penting di
kalangan orang Purbalingga (Atmo, 2013: 1). Bukan rahasia lagi bahwa masjid merupakan
lembaga yang pokok dalam agama Islam. Kecenderungan umat Islam terhadap masjid
melebihi dari yang lain sebab masjid sebagai lambang dan monumen kejayaan serta
menunjukan adanya perkembangan Islam (Dhofier, 1982: 49). Dengan kata lain,
masjid menjadi titik tolak atau tolak ukur kemajuan dan perkembangan agama
Islam beserta kebudayaannya.
Sejak masuknya Islam di Purbalingga, yang diutamakan adalah
mendirikan masjid. Demikian
juga perkembangan Islam di Desa Onje, pembangunan masjid mendapat perhatian
yang utama. Termasuk di dalamnya Masjid Raden Sayid Kuning. Menurut Tri Atmo (2013: 5) perkembangan Masjid
Sayyid Kuning ini yang menjadi cikal bakal dan pusat komunitas Islam Aboge yang
penganutnya sudah tersebar luas diberbagai daerah di pulau Jawa.
Dari latar belakang diatas, penulis ingin
mengangkat karya tulis mengenai pengaruh Masjid Sayyid Kuning terhadap
kebudayaan masyarakat Aboge di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga
sebagai peninggalan artefak dan sosiofak.
Komunitas
Aboge di Desa Onje
Sungguh tidak mudah
memberikan penjelasan agama yang dianut oleh masyarakat tradisonal di Jawa.
Karena memang orang Jawa telah lama melakukan agama dalam tindakan, bukan agama
dalam gagasan (Endraswara, 2011: 30). Inilah yang dialami oleh masyarakat Aboge
di Desa Onje, mereka beragama dengan tindakan dan bukan dengan argumen dan
teori yang membuat rumit hati. Oleh karena itu, masyarakat Aboge pun kurang
bisa memberikan penjelasan secara teori, namun nyata secara tindakan. Penulis
kemudian berusaha membahas secara singkat corak pemikiran masyarakat Aboge.
Kata Aboge berasal dari kata
Alip Rebo Wage, yang mempunyai arti tanggal 1 Muharram Tahun Alif akan jatuh
pada hari Rebo (Rabu) pasaran Wage. Aboge adalah dasar perhitungan almanak
(Kalender) dalam satu windu atau delapan tahun (Atmo, 2013: 5-6). Gagasan
perhitungan Aboge berasal dari para wali-wali yang berasal dari Timur Tengah
dan Sunan Kalijaga yang berasal dari tanah Jawa. Mereka memadukan konsep Timur
Tengah berupa konsep-konsep huruf Hijaiyah, tahun Hijriyah dan nama-nama hari
berupa konsep pasaran (Wawancara dengan Bapak M.Maksudi, 15 Februari 2016). Maka,
dari penjelasan diatas Aboge adalah percampuran antara dua keyakinan Islam dan
tradisi lokal yang memunculkan sisi kehidupan religi bagi para penganutnya.
Para wali mewariskan
perhitungan Aboge Kepada Ki Tepus Rumput sebagai Adipati Onje 1 untuk
mengembangkan perhitungan Aboge di Kadipaten Onje. Peran Ki Tepus Rumput
mengembangkan perhitungan Aboge, dilanjutkan oleh putra angkatnya yaitu Adipati
Onje II (Nyokkropati). Tidak berselang waktu yang lama, datanglah seorang ulama
ke Kadipaten Onje yang bernama Ngabdulah Syarif yang terkenal dengan nama Raden
Sayyid Kuning membantu Adipati Onje II untuk mengelola Masjid. Selanjutnya,
Adipati Onje II menobatkan Raden Sayyid
Kuning sebagai Imam pertama masjid yang bernama Masjid Raden Sayyid
Kuning dan sekaligus menjadikan menantu (Atmo, 2013: 6-7).
Sebelum datang ke Kadipaten
Onje, Raden Sayyid Kuning mengaji kepada Sunan Drajad. Setelah itu, Raden
Sayyid Kuning bersama Kyai Arsayuda menantu Ki Arsantaka, Syekh Mahdum Wali dan
Syekh Mahdum Umar mengamalkan ilmunya dengan melakukan Islamisasi di Karang
Lewas, Purwokerto. Pada saat itu, Raden Sayyid Kuning menetap di Purwokerto. Hingga
menetap di Kadipaten Onje untuk meneruskan dakwahnya. Sebagai Imam pertama, Raden
Sayyid Kuning berperan dalam mengelola Masjid dan memakmurkannya, dengan cara
mengajarkan ajaran Islam dan peritungan Aboge kepada masyarakat. Kemudian banyak
masyarakat yang mengikuti sistem perhitungan Aboge. Lambat laun masyarakat di
Desa Onje tersebut dikenal dengan komunitas Aboge (Wawancara dengan Bapak M. Maksudi,
15 Februari 2016).
Komunitas Aboge adalah sebuah
kelompok masyarakat Islam yang menggunakan sistem berdasarkan perhitungan Aboge
(Alip-Rebo-Wage), sebutan untuk tahun pertama (tahun Alif) dalam sewindu
(delapan tahun). Untuk menentukan hari dan bulan ini, Raden Sayyid Kuning
menetapkan hari Rabu Wage sebagai tanggal satu tahun pertama atau tahun Alif
(Atmo, 2013: 6-7). Jadi untuk menentukan tanggal dan hari para pengikutnya
tinggal melihat nama dan angka tahunya, kemudian baru melihat pasaranya.
Misalnya, dalam kalender Aboge, tanggal 1 Ramadhan 1428 H jatuh pada Jumat Wage
tanggal 14 September 2007, sedangkan kebanyakan umat Islam yang lain sudah
berpuasa hari Kamis Pon 13 September 2007 atau sehari sebelumya.
Sampai sekarang komunitas Aboge tidak dipimpin
oleh seorang ketua, namun pihak yang
bertanggung jawab dalam komunitas Aboge di Desa Onje adalah Imam besar Raden
Sayyid Kuning sebagai panutan bagi masyarakat Aboge untuk menentukan awal
Ramadhan, tanggal 1 Syawal dan hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha yang di dampingi
oleh sesepuh Aboge. Sejak tahun 2008 sampai sekarang, Imam besar Raden Sayyid
Kuning dipercayakan kepada Kyai Muhammad Maksudi, keturunan ke-9 dari Raden
Sayyid Kuning.
Berdamai
dengan Tradisi Lokal di Desa Onje
Tradisi lokal tidak selamanya menjadi tradisi yang terkucilkan.
Menurut Rohani (2016: 31) komitmen umat Islam Jawa yang menghargai warisan
tradisi, sekaligus pada saat yang sama apresiatif terhadap beragam perubahan
yang ada diluarnya. Belajar dari strategi akulturasi yang di gunakan oleh para
wali dalam mendakwahkan Islam, bahwa kebijaksanaan lokal tidak selalu harus
dihindari, malah dijadikan medium kultur dalam menebarkan ajaran agama.
Dalam konteks kultur
kepercayaan di Desa Onje, tidak bisa terlepaskan dari bangunan Masjid Sayyid
Kuning. Masjid Raden Sayyid Kuning merupakan salah satu peninggalan Cagar
Budaya Islam yang memiliki nilai historis yang tinggi ikut mengilhami
perencanaan bangunan masjid pada masa selanjutnya. Maka perlu dipahami tentang
penampilannya secara fisik untuk memperoleh gambaran dari kedudukan dari segi
arsitekturnya. Penampilan tersebut pada pokoknya tetap menampilkan ciri khas
daerah dan merupakan perwujudan dari berbagai unsur yang membaur, yakni unsur
tradisi daerah, Hindu, dan faktor masukan dari Islam sendiri (Rochim, 1983 :
74).
W.F
Stuterheim menyatakan bahwa asal mula bangunan masjid Jawa mendapat pengaruh
lokal terutama pada luas dan bentuk atapnya. Seperti halnya atap masjid yang
memiliki model atap berbentuk limas mengandung arti filosofis yang berkaitan
dengan tingkatan kehidupan manusia yang diharapkan mencapai tingkatan kehipupan
yang semakin lama semakin tinggi. Maka, atap masjid selalu berbentuk limasan
yang semakin ke atas semakin kecil ukurannya yang pada puncaknya diberi semacam
genta (Soekmono, 1973: 83).
Hal
tersebut mempunyai makna simbolik yang tinggi yaitu melambangkan keadaan alam
semesta dan tingkatan kehidupan manusia. Gaya masjid kuno di Jawa yang demikian
itu disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pembuatan bangunan itu orang muslim
Indonesia sendiri, sehingga gaya arsitektur yang ada sebelumnya masih
dilanjutkan. Mengenai latar belakangnya gaya bangunan yang menunjukan
kelanjutan pengaruh pra Islam, disebabkan pembuatannya antara lain untuk
menarik perhatian atau simpatik masyarakat yang belum masuk Islam. Pembuatannya
mempunyai maksud yang lebih dalam. Maksud tersebut untuk menarik perhatian atau
simpatik masyarakat yang belum masuk Islam atau yang baru masuk Islam. Sehingga
mereka senang masjid yang gayanya masih mengingatkan pada unsur bangunan
Hindu-Budha. Perubahan kepercayaan dari Hindu-Budha ke Islam itu memerlukan
penyesuaian perlahan-lahan dan penuh dengan kebijakan.
Secara garis besar terdapat
dua teori mengenai dasar bangunan masjid kuno di Jawa yaitu teori berdasarkan
penafsiran agama yang diungkapkan oleh Hidding dan Rouffaer. Hidding dalam
teori ini menyatakan bahwa atap yang
berbentuk limas dan hampir menyerupai piramida berasal dari bentuk Gunung Suci
Mahameru, tempat pemujaan tertinggi bagi umat Hindu. Selain bentuk atapnya,
Hidding pun menguatkan pendapatnya dengan adanya sumber air pada masjid pun
memiliki persamaan dengan kaidah gunung yang memiliki sumber mata air pada
kepercayaan Hindu (Mastuki, 2003: 5).
Menurut
Mastuki HS (2003: 5-6) atap yang berbentuk limas kemungkinan besar memang
berdasar pada bentuk gunung, yang banyak dipuja agama Hindu. Meski demikian
struktur bangunan masjid Jawa tetap diupayakan sesuai dengan syariat (aturan
Islam) secara fungsional. Atapnya sendiri yang berbentuk seperti gunung
merupakan suatu bentuk akulturasi budaya antara Islam dan Jawa. Dalam Islam
memang tidak ada aturan yang pasti mengenai bentuk bangunan dan arsitektur
masjid, sehingga menimbulkan adanya perbedaan bentuk, corak dan langgam yang
beraneka ragam. Perbedaan bentuk corak dan langgam ini banyak pengaruh oleh
unsur adat dan kebiasaan lama yang lebih dahulu berkembang, bahan-bahan yang
ada dalam lingkungannya, pengalaman arsitektur dan kemajuan tekhnologi,
industri bahan-bahan baru, tuntunan kebutuhan dan berkembangnya fungsi masjid.
Sebagai akibat dari hal
berkembangnya fungsi masjid, adanya fungsi yang semakin berkembang maka masjid
sebagai bangunan tumbuh setahap demi setahap dari bentuk awal yang sederhana
kearah bentuk yang lebih sempurna. Semakin meluasnya fungsi dan tuntutan perkembangan
sehingga dengan demikian masjid itupun dapat berfungsi sebagai sarana
penyempurnaan bagi segala kegiatan manusia dalam melaksanakan ajaran Islam.
Lama-kelamaan terwujudlah masjid-masjid yang sengaja diperuntukan bagi
kepentingan penggalian ilmu keagamaan tersebut. Dengan demikian pada masa-masa
berikutnya, muncul pula masjid-masjid yang berorientasi kepada kemanusiaan
seperti masjid rumah sakit, masjid penginapan, masjid sekolah yang itu semua
merupakan cerminan dari perkembangan masjid. Namun bagaimanapun berkembangnya
bangunan masjid yang secara fisik dan kegunaan seolah-olah terus berubah dan
bertambah. Ciri-ciri khusus yang merupakan rambu-rambu pelaksanaan pembuatan
masjid sepanjang perjalanan sejarah berkembang itu tetap tidak berubah.
Belajar dari pengalaman para
penyebar Islam awal di Jawa (walisongo) umumnya, dan di Purbalingga (Raden
Sayyid Kuning) khusunya, corak agama Islam yang dianut masyarakat Aboge di Desa
Onje mrupakan berbagai macam akulturasi berbagai macam tradisi budaya yang ada
di Jawa dan mengemasnya dengan sedemikian rupa memanfaatkan tradisi-tradisi
lama yang baik, dan memasukan tradisi-tradisi baru yang lebih baik. Dengan
demikian, agama Islam Aboge tidak hanya meng copy paste corak keberagamaan di Timur Tengah. Melainkan produk
kreatif dan tradisi intelektual sehingga melahirkan corak tersendiri dalam
beragama. Sebuah corak keberagamaan Islam yang mampu berdamai dengan tradisi
lokal, bukan??
Simpulan
Pada uraian diatas, maka ada
beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai simpulan, yaitu:
1.
Masjid Raden Sayyid Kuning menduduki tempat
yang sangat penting dikalangan masyarakat Desa Onje.
2.
Mayoritas jamaah Masjid Raden Sayyid Kuning
adalah masyarakat Aboge yang berjalan secara damai dengan masyarakat di desa
lain.
3.
Agama Islam Aboge tidak hanya meng copy paste corak keberagamaan di Timur
Tengah. Melainkan produk kreatif dan tradisi intelektual sehingga melahirkan
corak tersendiri dalam beragama.
Saran
Peneliti
juga memberikan saran sehubungan dengan topik yang diteliti yaitu:
1. Pemerintah
dan warga sekitar hendaknya bekerja sama untuk melakukan sosialisasi masyarakat
secara makro tentang keberadaan Masjid Raden Sayyid Kuning di desa Onje yang
merupakan benda cagar budaya.
2. Jamaah
Aboge di Masjid Raden Sayyid Kuning hendaknya lebih terbuka untuk mendiskusikan
sistem penetapan awal bulan yang diyakini agar masyarakat mengerti dan memahami
perbedaan dalam penentuan hari-hari besar Islam seperti 1 Muharam, 1 Ramadhan,
dan 10 Dzulhijjah.
Sumber Buku
Atmo, Tri. 2013. Ki Arsantaka: Pendiri Kabupaten
Purbalingga. Purbalingga: Komunitas Pencinta Sejarah dan Budaya.
Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren:
Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Endraswara, Suwardi. 2012. Agama Jawa: Menyusuri
Jejak Spiritualias Jawa. Yogyakarta: Lembu Jawa.
Mastuki (ed). 2003. Intelektualsime Pesantren.
Jakarta: Diva Pustaka Jakarta.
Muchtarom, Zaini. 2002. Islam di Jawa dalam
Perspektif Santri dan Abangan. Jakarta: Salemba Diniyah.
Priyadi,
Sugeng. 2011. Metode Penelitian Sejarah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rochim,
Abdul, 1983. Masjid dalam karya
Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Angkas.
S. Purwoko, Bambang dan M. Warwin R. Sudarmo. 2009. Sejarah Banyumas dari Masa ke Masa. Purwokerto:
Yayasan Sendang Mas.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Jakarta:
Kanisius.
Sumber
Jurnal Ilmiah
Rohani. 2016. “Islam Nusantara: Pergulatan Agama
dan Tradisi Lokal”., dalam Jurnal Sketsa Pendidikan Vol. 1 No. 1 Januari-Maret
2016: Hal 26-34.
Sumber
Majalah
Syaidah, Khasmah. 2005. “Menyingkap Generasi
Berpendidikan Islam”., dalam Majalah Mihrab edisi 1, tahun III, Oktober
2005. Hal: 43-53.
Wawancara
Wawancara
dengan Bapak M. Maksudi, 15 Februaru 2016.
Tulisan ini diikutkan dalam lomba Jelajah Budaya di Banyumas, Banjarnegara dan Purbalingga.