Sumber Gambar |
KASIDAH SUNYI 3
Karya : Asep Zam Zam Noor
Aku letih menjengkal kesamaranmu
Menyusuri terowongan-terowongan panjang
Waktu ternyata sebuah gurun pasir
Yang menelanku. Tapi kematian kutahan
Hingga tenggorokanku terbakar sunyi
Di antara erangan dan jeritanku yang terpendam
Gunung batu hanya menyimpan kedamaianmu
Aku letih memahami rahasiamu
Menghirup kepulan pasir dan debu
Langkahku telah menuruni jurang dan suaraku
Ditenggelamkan batu karang. Kematian masih kutahan
Tapi waktu terus membentangkan gurun demi gurun
Dari keluasan tak bisa kujengkal jarak lagi
Matahari hanya mengisyaratkan keagunganmu yang jauh
Karya : Asep Zam Zam Noor
Aku letih menjengkal kesamaranmu
Menyusuri terowongan-terowongan panjang
Waktu ternyata sebuah gurun pasir
Yang menelanku. Tapi kematian kutahan
Hingga tenggorokanku terbakar sunyi
Di antara erangan dan jeritanku yang terpendam
Gunung batu hanya menyimpan kedamaianmu
Aku letih memahami rahasiamu
Menghirup kepulan pasir dan debu
Langkahku telah menuruni jurang dan suaraku
Ditenggelamkan batu karang. Kematian masih kutahan
Tapi waktu terus membentangkan gurun demi gurun
Dari keluasan tak bisa kujengkal jarak lagi
Matahari hanya mengisyaratkan keagunganmu yang jauh
***
KUPU-KUPU
Karya
: Asep Zam Zam Noor
Aku
tidur dalam pelukan bunga layu
Memimpikanmu melayarkan bintang-bintang
Ke ranjangmu. Sungai-sungai
Air mata yang mengering dalam doa-doaku
Aku menulis semua yang dibidikkan angin
Membaca semua yang dituliskan semilirnya padaku
Bercakap dengan udara yang dingin:
Betapa cepat kuda ajal merebut semua jalanku
Lautan itu mengandung bulan
Kaulah yang memompa perut gelombangnya!
Ikan-ikan yang minum dari matamu
Burung-burung mabuk dalam kejaran pandanganmu
Kembali pada debu. Kupu-kupu
Merontokkan lembar demi lembar rambutku
Memimpikanmu melayarkan bintang-bintang
Ke ranjangmu. Sungai-sungai
Air mata yang mengering dalam doa-doaku
Aku menulis semua yang dibidikkan angin
Membaca semua yang dituliskan semilirnya padaku
Bercakap dengan udara yang dingin:
Betapa cepat kuda ajal merebut semua jalanku
Lautan itu mengandung bulan
Kaulah yang memompa perut gelombangnya!
Ikan-ikan yang minum dari matamu
Burung-burung mabuk dalam kejaran pandanganmu
Kembali pada debu. Kupu-kupu
Merontokkan lembar demi lembar rambutku
***
RUMAH YANG TERBUKA
Karya : Asep Zam Zam Noor
Jarum pengelihatanku memasuki seluruh
pori-pori
Dalam tubuhmu. Keindahan yang kugali sering menjelma api
Yang menyalakan sumbu urat-urat darahku
Aku memintal lagu sepanjang lorong rahasiamu
Untuk kunyanyikan diam-diam. Tanganku meraba ayat-ayat
Tapi setiap kunaiki tangga ke langit terjauh
Aku selalu ditenggelamkan sinar bulan
Mengupas kemolekanmu dengan pisau pikiran
Adalah sia-sia. Keindahan hanya bisa kurasakan getarnya
Seperti cinta yang membakarku tiba-tiba
Aku menggali cahaya dari kuburan-kuburan kenanganmu
Untuk kunyalakan dalam jiwa. Dengan kaki telanjang
Kumasuki rumah batinmu yang terbuka
Di lantai pualam aku bergulingan sepanjang malam
Dalam tubuhmu. Keindahan yang kugali sering menjelma api
Yang menyalakan sumbu urat-urat darahku
Aku memintal lagu sepanjang lorong rahasiamu
Untuk kunyanyikan diam-diam. Tanganku meraba ayat-ayat
Tapi setiap kunaiki tangga ke langit terjauh
Aku selalu ditenggelamkan sinar bulan
Mengupas kemolekanmu dengan pisau pikiran
Adalah sia-sia. Keindahan hanya bisa kurasakan getarnya
Seperti cinta yang membakarku tiba-tiba
Aku menggali cahaya dari kuburan-kuburan kenanganmu
Untuk kunyalakan dalam jiwa. Dengan kaki telanjang
Kumasuki rumah batinmu yang terbuka
Di lantai pualam aku bergulingan sepanjang malam
***
PERNYATAAN
CINTA
Karya : Asep Zam Zam Noor
Kau yang diselubungi asap
Kau yang mengendap seperti candu
Kau yang bersenandung dari balik penjara
Tanganmu buntung karena menyentuh matahari
Sedang kakimu lumpuh
Aku mencintaimu
Dengan lambung yang perih
Pikiran yang dikacaukan harga susu
Pemogokan serta kerusuhan yang meletus
Di mana-mana. Darah dan airmataku tumpah
Seperti timah panas yang dikucurkan ke telingan
Kubayangkan tanganmu yang buntung serta kakimu
Yang lumpuh. Tanpa menunggu seorang pemimpin
Aku mereguk bensin dan menyemburkannya ke udara
Lalu bersama mereka akumelempari toko
Membakar pasar, gudang dan pabrik
Sebagai pernyataan cinta
Kau yang mengendap seperti candu
Kau yang bersenandung dari balik penjara
Tanganmu buntung karena menyentuh matahari
Sedang kakimu lumpuh
Aku mencintaimu
Dengan lambung yang perih
Pikiran yang dikacaukan harga susu
Pemogokan serta kerusuhan yang meletus
Di mana-mana. Darah dan airmataku tumpah
Seperti timah panas yang dikucurkan ke telingan
Kubayangkan tanganmu yang buntung serta kakimu
Yang lumpuh. Tanpa menunggu seorang pemimpin
Aku mereguk bensin dan menyemburkannya ke udara
Lalu bersama mereka akumelempari toko
Membakar pasar, gudang dan pabrik
Sebagai pernyataan cinta
Betapa menyedihkan mencintaimu tanpa
kartu kredit
Tanpa kamar hotel atau jadwal penerbangan
Para serdadu berebut ingin menyelamatkan bumi
Dari gempa dahsyat. Kuda-kuda menerobos pagar besi
Anjing-anjing memercikkan api dari sorot matanya
Sementara aku melepaskan pakaian dan sepatu
Ternyata mencintaimu tak semudah turun ke jalan raya
Menentang penguasa atau memindahkan gunung berapi
ke tengah-tengah kota
Tanpa kamar hotel atau jadwal penerbangan
Para serdadu berebut ingin menyelamatkan bumi
Dari gempa dahsyat. Kuda-kuda menerobos pagar besi
Anjing-anjing memercikkan api dari sorot matanya
Sementara aku melepaskan pakaian dan sepatu
Ternyata mencintaimu tak semudah turun ke jalan raya
Menentang penguasa atau memindahkan gunung berapi
ke tengah-tengah kota
Aku berjalan dengan membawa kayu di
punggungku
Seperti kereta yang menyeret gerbong-gerbong kesedihan
Melintasi stasiun-stasiun yang sudah berganti nama
Kudengar bunyi rel yang pedih tengah menciptakan lagu
Gumpalan mendung meloloskan diri dari mataku
Menjadi halilintar yang meledakkan kemarahan
Pada tembok dan spanduk. Aku mencintaimu
Dengan mengerat lengan dan melubangi paru-paru
Aku mencintaimu dengan menghisap knalpot
Dan menelan butiran peluru
Seperti kereta yang menyeret gerbong-gerbong kesedihan
Melintasi stasiun-stasiun yang sudah berganti nama
Kudengar bunyi rel yang pedih tengah menciptakan lagu
Gumpalan mendung meloloskan diri dari mataku
Menjadi halilintar yang meledakkan kemarahan
Pada tembok dan spanduk. Aku mencintaimu
Dengan mengerat lengan dan melubangi paru-paru
Aku mencintaimu dengan menghisap knalpot
Dan menelan butiran peluru
Wahai kau yang diselubungi asap
Wahai kau yang mengendap seperti candu
Wahai kau yang terus bersenandung meskipun sakit dan miskin
Wahai kau yang merindukan datangnya seorang pemimpin
Tunggulah aku yang akan segra menjemputmu
Dengan sebotol minuman keras
Wahai kau yang mengendap seperti candu
Wahai kau yang terus bersenandung meskipun sakit dan miskin
Wahai kau yang merindukan datangnya seorang pemimpin
Tunggulah aku yang akan segra menjemputmu
Dengan sebotol minuman keras
***
HANYA SEUTAS PAMOR BADIK
Karya : D. Zawawi Imron
Karya : D. Zawawi Imron
Dalam tubuhku kau nyalakan dahaga
hijau
Darah terbakar nyaris ke nyawa
Kucari hutan
Sambil berdayung di hati malam
Bintang-bintang mengantuk
Menunggu giliran matahari
Ketika kau tegak merintis pagi
Selaku musafir kucoba mengerti:
Ternyata aku bukan pengembara
Kata-kata dan peristiwa
Telah lebur pada makna
Dalam aroma rimba dan waktu
Hanya seutas pamor badik, tapi
Tak kunjung selesai dilayari
Darah terbakar nyaris ke nyawa
Kucari hutan
Sambil berdayung di hati malam
Bintang-bintang mengantuk
Menunggu giliran matahari
Ketika kau tegak merintis pagi
Selaku musafir kucoba mengerti:
Ternyata aku bukan pengembara
Kata-kata dan peristiwa
Telah lebur pada makna
Dalam aroma rimba dan waktu
Hanya seutas pamor badik, tapi
Tak kunjung selesai dilayari
***
MENYANDARKAN
DIRI KE PILAR
Karya : D. Zawawi Imron
Menyandarkan diri ke pilar
Langit pun menggelegar
Aku tak paham, menggapa layang-layang yang sobek itu
Masih kuasa menjatuhkan bintang
Titik dimana aku harus berdiri
Ternyata pusat semesta
Bahkan tangga ke sorga akan tegak di tempat ini
Memang aku terlambat tahu
Hingga jasad terasa hanyalah kelopak duka
Tapi aku masih punya sisa gerak
Meski bergerak mungkin bernilai dosa
Nyawa pun terasa kental tiba-tiba
Sesaat heningmu yang kencana
Merangaskan waswas yang lebat bunga
Langit pun menggelegar
Aku tak paham, menggapa layang-layang yang sobek itu
Masih kuasa menjatuhkan bintang
Titik dimana aku harus berdiri
Ternyata pusat semesta
Bahkan tangga ke sorga akan tegak di tempat ini
Memang aku terlambat tahu
Hingga jasad terasa hanyalah kelopak duka
Tapi aku masih punya sisa gerak
Meski bergerak mungkin bernilai dosa
Nyawa pun terasa kental tiba-tiba
Sesaat heningmu yang kencana
Merangaskan waswas yang lebat bunga
***
LOSARI
TENGAH MALAM
Karya : D. Zawawi Imron
Dengan Putera-puteri Arsal
Malam begini dingin pun diantar kecipak selat
Langit yang putih oleh keramahan
Masih juga dipertahankan bulan
Untuk menangkap kata-kata
Yang berkecimpung bersama ikan-ikan
Zaman memang telah bertukar
Yang dulu peluru
Sekarang pisang panggang, O, sejarah!
Kubiarkan diriku hanyut
Ke laut lain tempat bintang-bintang berlayar
Kami ingin bercakap sampai parau
Bukan karena risau
Pada sang waktu yang bagaikan lautan tenang
Kami harus menyalakan gelombang
Malam begini dingin pun diantar kecipak selat
Langit yang putih oleh keramahan
Masih juga dipertahankan bulan
Untuk menangkap kata-kata
Yang berkecimpung bersama ikan-ikan
Zaman memang telah bertukar
Yang dulu peluru
Sekarang pisang panggang, O, sejarah!
Kubiarkan diriku hanyut
Ke laut lain tempat bintang-bintang berlayar
Kami ingin bercakap sampai parau
Bukan karena risau
Pada sang waktu yang bagaikan lautan tenang
Kami harus menyalakan gelombang
***
MADURA AKULAH
DARAHMU
Karya : D. Zawawi Imron
di atasmu, bongkahan batu yang bisu
tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
biar berguling diatas duri hati tak kan luka
meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu
dari aku
anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
bahwa aku sapi karapan
yang lahir dari senyum dan airmatamu
seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
sebasah madu hinggaplah
menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua
di sini
perkenankan aku berseru:
-madura, engkaulah tangisku
bila musim labuh hujan tak turun
kubasahi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi karapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku
di ubun langit kuucapkan sumpah
-madura, akulah darahmu.
tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
biar berguling diatas duri hati tak kan luka
meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu
dari aku
anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
bahwa aku sapi karapan
yang lahir dari senyum dan airmatamu
seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
sebasah madu hinggaplah
menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua
di sini
perkenankan aku berseru:
-madura, engkaulah tangisku
bila musim labuh hujan tak turun
kubasahi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi karapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku
di ubun langit kuucapkan sumpah
-madura, akulah darahmu.
***
DANAU TAHAI
Karya:
Bambang Widiatmoko
Ada yang tak pernah berubah
Air danau yang hitam
Serupa bayangan matahari berpendar
Di atas jembatan kayu yang panjang
Terasa benar bedanya – alam terasa lapang
Air yang hitam mencipta keteduhan
Seperti bola matamu – terasa teduh
Karena belantara kehidupan telah kau tempuh
Dengan jiwa yang tak sempat mengeluh
Menghanyutkan diriku ke dasar danau
Dalam pusaran cinta – tapi terasa sia-sia
***
TAMAN SIRING
Karya : Bambang Widiyatmoko
Karya : Bambang Widiyatmoko
Pusaran air sungai Barito
Begitu menakutkan
Seperti daya magis yang dipancarkan
Daun-daun tersedot entah menuju ke mana
Malam berjalan perlahan di Marabahan
Pucat cahaya bulan, pucat pula
Kehidupan dalam alunan sungai yang dalam
Entah bagi cinta, masihkan terasa sia-sia?
Malam ini aku tetap setia
Mempermainkan kata, mempermainkan
Pedang menancap sukma
Jika cinta bicara, angin ikut tertawa
***
MATA AIR
Karya : Joko Pinurbo
Karya : Joko Pinurbo
Di musim kemarau semua sumber air di
desa itu mengering.
Perempuan-perempuan legam berbondong-bondong menggendong gentong
menuju sebuah sendang di bawah pohon beringin di celah bebukitan.
Tawa mereka yang renyah menggema nyaring di dinding-dinding tebing,
pecah di padang-padang gersang.
Setelah berjalan lima kilometer jauhnya, mereka pun sampai di mataair
yang tak pernah mati itu. Mereka ramai-ramai menuai air membuncah-buncah,
menuai airmata yang mereka tanam di ladang-ladang karang.
Bulan sering turun ke sendang itu, menemani gadis kecil
yang suka mandi sendirian di situ. Langit sangat bahagia
tapi belum ingin meneteskan airmata. Nanti, jika musim hujan tiba,
langit akan memandikan gadis kecil itu dengan airmatanya.
Perempuan-perempuan legam berbondong-bondong menggendong gentong
menuju sebuah sendang di bawah pohon beringin di celah bebukitan.
Tawa mereka yang renyah menggema nyaring di dinding-dinding tebing,
pecah di padang-padang gersang.
Setelah berjalan lima kilometer jauhnya, mereka pun sampai di mataair
yang tak pernah mati itu. Mereka ramai-ramai menuai air membuncah-buncah,
menuai airmata yang mereka tanam di ladang-ladang karang.
Bulan sering turun ke sendang itu, menemani gadis kecil
yang suka mandi sendirian di situ. Langit sangat bahagia
tapi belum ingin meneteskan airmata. Nanti, jika musim hujan tiba,
langit akan memandikan gadis kecil itu dengan airmatanya.
***
PENUMPANG
TERAKHIR
Karya : Joko Pinurbo
Karya : Joko Pinurbo
untuk Joni Ariadinata
Setiap pulang kampung, aku selalu menemui bang becak
yang mangkal di bawah pohon beringin itu dan memintanya
mengantarku ke tempat-tempat yang aku suka.
Entah mengapa aku sangat suka tamasya dengan becaknya.
Mungkin karena genjotannya enak, lancar pula lajunya.
Malam itu aku minta diantar ke sebuah kuburan.
Aku akan menabur kembang di atas makam nenek moyang.
Kuburan itu cukup jauh jaraknya dan aku khawatir bang becak
akan kecapaian, tapi orang tua itu bilang tenang tenang.
Sepanjang perjalanan bang becak tak henti-hentinya bercerita
tentang anak-anaknya yang pergi merantau ke Jakarta
dan mereka sekarang alhamdulillah sudah jadi orang.
Mereka sangat sibuk dicari uang dan hanya sesekali pulang.
Kalaupun pulang, belum tentu mereka sempat tidur di rumah
karena repot mencari ini itu, termasuk mencari utang
buat ongkos pulang ke perantauan.
Baru separuh jalan, nafas bang becak sudah ngos-ngosan,
batuknya mengamuk, pandang matanya berkunang-kunang,
aduh kasihan. “Biar gantian saya yang menggenjot, Pak.
Bapak duduk manis saja, pura-pura jadi penumpang.”
Mati-matian aku mengayuh becak tua itu menuju kuburan,
sementara si abang becak tertidur nyaman, bahkan mungkin
bermimpi, di dalam becaknya sendiri.
Setiap pulang kampung, aku selalu menemui bang becak
yang mangkal di bawah pohon beringin itu dan memintanya
mengantarku ke tempat-tempat yang aku suka.
Entah mengapa aku sangat suka tamasya dengan becaknya.
Mungkin karena genjotannya enak, lancar pula lajunya.
Malam itu aku minta diantar ke sebuah kuburan.
Aku akan menabur kembang di atas makam nenek moyang.
Kuburan itu cukup jauh jaraknya dan aku khawatir bang becak
akan kecapaian, tapi orang tua itu bilang tenang tenang.
Sepanjang perjalanan bang becak tak henti-hentinya bercerita
tentang anak-anaknya yang pergi merantau ke Jakarta
dan mereka sekarang alhamdulillah sudah jadi orang.
Mereka sangat sibuk dicari uang dan hanya sesekali pulang.
Kalaupun pulang, belum tentu mereka sempat tidur di rumah
karena repot mencari ini itu, termasuk mencari utang
buat ongkos pulang ke perantauan.
Baru separuh jalan, nafas bang becak sudah ngos-ngosan,
batuknya mengamuk, pandang matanya berkunang-kunang,
aduh kasihan. “Biar gantian saya yang menggenjot, Pak.
Bapak duduk manis saja, pura-pura jadi penumpang.”
Mati-matian aku mengayuh becak tua itu menuju kuburan,
sementara si abang becak tertidur nyaman, bahkan mungkin
bermimpi, di dalam becaknya sendiri.
Sampai di kuburan aku berseru bangun
dong pak,
tapi tuan penumpang diam saja, malah makin pulas tidurnya.
Aku tak tahu apakah bunga yang kubawa akan kutaburkan
di atas makam nenek moyangku atau di atas tubuh
tapi tuan penumpang diam saja, malah makin pulas tidurnya.
Aku tak tahu apakah bunga yang kubawa akan kutaburkan
di atas makam nenek moyangku atau di atas tubuh
bang becak yang kesepian itu.
***
RENDEZVOUS
Karya : Joko Pinurbo
Karya : Joko Pinurbo
Kau sudah tak sabar menungguku di
halaman rumah berdinding putih itu.
Di atas bangku di bawah pohon cemara duduk seorang wanita setengah baya sedang suntuk membaca dan sesekali tertawa.
Nah, perempuan itu mengangkat kaki kirinya,
kemudian menumpangkannya ke yang kanan.
Pahanya tersingkap, clap, kau terkejap: kaususupkan
cerlap cahayamu ke celah-celah itu dan aku cemburu.
Maka aku pun segera berderai lembut di atas parasmu.
Aku berdebar ketika perempuan itu melonjak girang:
"Ah, gerimis senja telah datang."
Hanya agar perempuan kita bahagia, kau dan aku rela berebut bianglala
dan ingin segera melilitkannya ke tubuhnya.
Sebab sesaat lagi kau sudah jadi malam dan aku hujan,
dan perempuan itu tidak mencintai keduanya: ia akan cepat-cepat
masuk ke rumahnya, membiarkan kita berdua menghapus jejaknya.
(2002)
Di atas bangku di bawah pohon cemara duduk seorang wanita setengah baya sedang suntuk membaca dan sesekali tertawa.
Nah, perempuan itu mengangkat kaki kirinya,
kemudian menumpangkannya ke yang kanan.
Pahanya tersingkap, clap, kau terkejap: kaususupkan
cerlap cahayamu ke celah-celah itu dan aku cemburu.
Maka aku pun segera berderai lembut di atas parasmu.
Aku berdebar ketika perempuan itu melonjak girang:
"Ah, gerimis senja telah datang."
Hanya agar perempuan kita bahagia, kau dan aku rela berebut bianglala
dan ingin segera melilitkannya ke tubuhnya.
Sebab sesaat lagi kau sudah jadi malam dan aku hujan,
dan perempuan itu tidak mencintai keduanya: ia akan cepat-cepat
masuk ke rumahnya, membiarkan kita berdua menghapus jejaknya.
(2002)
***
TANPA CELANA AKU
DATANG MENJEMPUTMU
Karya : Joko Pinurbo
Karya : Joko Pinurbo
untuk Wibi
Empat puluh tahun yang lampau kutinggalkan kau
di kamar mandi, dan aku pun pergi merantau
di saat kau masih hijau.
Kau menangis: “Pergilah kau, kembalilah kau!”
Kini, tanpa celana, aku datang menjemputmu
di kamar mandi yang bertahun-tahun mengasuhmu.
Seperti pernah kaukatakan dalam suratmu:
“Jemputlah aku malam Minggu,
bawakan aku celana baru.”
Di kamar mandi yang remang-remang itu
kau masih suntuk membaca buku.
Kaulepas kacamatamu dan kau terpana
melihatku tanpa celana. Sebab celanaku tinggal satu
dan seluruhnya kurelakan untukmu.
“Hore, aku punya celana baru!” kau berseru.
Kupeluk tubuhmu yang penuh goresan waktu.
(2002)
Empat puluh tahun yang lampau kutinggalkan kau
di kamar mandi, dan aku pun pergi merantau
di saat kau masih hijau.
Kau menangis: “Pergilah kau, kembalilah kau!”
Kini, tanpa celana, aku datang menjemputmu
di kamar mandi yang bertahun-tahun mengasuhmu.
Seperti pernah kaukatakan dalam suratmu:
“Jemputlah aku malam Minggu,
bawakan aku celana baru.”
Di kamar mandi yang remang-remang itu
kau masih suntuk membaca buku.
Kaulepas kacamatamu dan kau terpana
melihatku tanpa celana. Sebab celanaku tinggal satu
dan seluruhnya kurelakan untukmu.
“Hore, aku punya celana baru!” kau berseru.
Kupeluk tubuhmu yang penuh goresan waktu.
(2002)
***
JEMBATAN
Karya : Sutardji Calzoum Bachri
Karya : Sutardji Calzoum Bachri
Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yangberdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai palaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu !
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita ?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu
mengucapkan kibarnnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yangberdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai palaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu !
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita ?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu
mengucapkan kibarnnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.
***
NGIAU
Karya : Sutardji Calzoum Bachri
Karya : Sutardji Calzoum Bachri
Suatu gang panjang menuju lumpur dan terang tubuhku
mengapa
panjang.Seekor kucing menjinjit tikus yang menggelepar
tengkuknya. Seorang perempuan dan seorang lelaki bergigitan.
Yang mana kucing yang mana tikusnya? Ngiau! Ah gang
yang panjang. Cobalah tentukan! Aku kenal Afrika aku kenal
Eropa aku tahu Benua aku kenal jam aku tagu jentara
aku kenal terbang. Tapi bila dua manusia saling gigitan
menanamkan gigi-gigi sepi mereka akan ragu menetapkan yang
mana suka yang mana luka yang mana hampa yang mana
makna yang mana orang yang mana kera yang mana dosa yang
mana surga.
panjang.Seekor kucing menjinjit tikus yang menggelepar
tengkuknya. Seorang perempuan dan seorang lelaki bergigitan.
Yang mana kucing yang mana tikusnya? Ngiau! Ah gang
yang panjang. Cobalah tentukan! Aku kenal Afrika aku kenal
Eropa aku tahu Benua aku kenal jam aku tagu jentara
aku kenal terbang. Tapi bila dua manusia saling gigitan
menanamkan gigi-gigi sepi mereka akan ragu menetapkan yang
mana suka yang mana luka yang mana hampa yang mana
makna yang mana orang yang mana kera yang mana dosa yang
mana surga.
***
PARA PEMINUM
Karya : Sutardji
Calzoum Bachri
di lereng lereng
para peminum
mendaki gunung mabuk
kadang mereka terpeleset
jatuh
dan mendaki lagi
memetik bulan
di puncak
mereka oleng
tapi mereka bilang
--kami takkan karam
dalam lautan bulan--
mereka nyanyi nyai
jatuh
dan mendaki lagi
di puncak gunung mabuk
mereke berhasil memetik bulan
mereka mneyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka
di puncak
semuanya diam dan tersimpan
para peminum
mendaki gunung mabuk
kadang mereka terpeleset
jatuh
dan mendaki lagi
memetik bulan
di puncak
mereka oleng
tapi mereka bilang
--kami takkan karam
dalam lautan bulan--
mereka nyanyi nyai
jatuh
dan mendaki lagi
di puncak gunung mabuk
mereke berhasil memetik bulan
mereka mneyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka
di puncak
semuanya diam dan tersimpan
***
WALAU
Karya : Sutardji
Calzoum Bachri
walau penyair besar
takkan sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak
tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas Allah
takkan sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak
tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas Allah
***
PUTRA-PUTRA
IBU PERTIWI
Karya : WS. Rendra
Karya : WS. Rendra
Bagai wanita yang tak ber-ka-be saja
Ibu pertiwi terus melahirkan putra-putranya
Pahlawan-pahlawan bangsa
Dan patriot-patriot negara
(Bunga-bunga
kalian mengenalnya
Atau hanya mencium semerbaknya)
Ada yang gugur gagah dalam gigih perlawanan
Merebut dan mempertahankan kemerdekaan
(Beberapa kuntum
dipetik bidadari sambil senyum
Membawanya ke sorga tinggalkan harum)
Ada yang mujur menyaksikan hasil perjuangan
Tapi malang tak tahan godaan jadi bajingan
(Beberapa kelopak bunga
di tenung angin kala
Berubah jadi duri-duri mala)
bagai wanita yang tak ber-ka-be saja
Ibu pertiwi terus melahirkan putra-putranya
Pahlawan-pahlawan dan bajingan-bajingan bangsa
(di tamansari
bunga-bunga dan duri-duri
Sama-sama diasuh mentari)
Anehnya yang mati tak takut mati justru abadi
Yang hidup senang hidup kehilangan jiwa
(mentari tertawa sedih memandang pedih
Duri-duri yang membuat bunga-bunga tersisih)
Ibu pertiwi terus melahirkan putra-putranya
Pahlawan-pahlawan bangsa
Dan patriot-patriot negara
(Bunga-bunga
kalian mengenalnya
Atau hanya mencium semerbaknya)
Ada yang gugur gagah dalam gigih perlawanan
Merebut dan mempertahankan kemerdekaan
(Beberapa kuntum
dipetik bidadari sambil senyum
Membawanya ke sorga tinggalkan harum)
Ada yang mujur menyaksikan hasil perjuangan
Tapi malang tak tahan godaan jadi bajingan
(Beberapa kelopak bunga
di tenung angin kala
Berubah jadi duri-duri mala)
bagai wanita yang tak ber-ka-be saja
Ibu pertiwi terus melahirkan putra-putranya
Pahlawan-pahlawan dan bajingan-bajingan bangsa
(di tamansari
bunga-bunga dan duri-duri
Sama-sama diasuh mentari)
Anehnya yang mati tak takut mati justru abadi
Yang hidup senang hidup kehilangan jiwa
(mentari tertawa sedih memandang pedih
Duri-duri yang membuat bunga-bunga tersisih)
***
INPUT DAN OUTPUT
Karya : WS. Rendra
Karya : WS. Rendra
Di mesjid-mesjid dan majlis-majlis
taklim
berton-ton huruf dan kata-kata mulia
tanpa kemasan dituang-suapkan
dari mulut-mulut mesin yang dingin
ke kuping-kuping logam yang terbakar
untuk ditumpahkan ketika keluar.
Di kamar-kamar dan ruang-ruang rumah
berhektar-hektar layar kehidupan mati
dengan kemas luhur ditayang-sumpalkan
melalui mata-mata yang letih
ke benak-benak seng berkarat
untuk dibawa-bawa sampai sekarat.
Di kantor-kantor dan markas-markas
bertimbun-timbun arsip kebijaksanaan aneh
dengan map-map agung dikirim-salurkan
melalui kepala-kepala plastik
ke segala pejuru urat nadi
untuk diserap sampai mati.
Di majalah-majalah dan koran-koran
berkilo-kilo berita dan opini Tuhan
dengan disain nafsu dimuntah-jejalkan
melalui kolom-kolom rapi
ke ruang-ruang kosong tengkorak
orang-orang tua dan anak-anak.
Di hotel-hotel dan tempat hiburan
beronggok-onggok daging dan virus
dengan bungkus sutera disodor-suguhkan
melalui saluran-saluran resmi
ke berbagai pribadi dan instansi
untuk dinikmati dengan penuh gengsi
Di jalan-jalan dan di kendaraan-kendaraan
berbarel-barel bensin dan darah
dengan pipa-pipa kemajuan ditumpah-ruahkan
melalui pori-pori kejantanan
ke tangki-tangki penampung nyawa
untuk menghidupkan sesal dan kecewa
berton-ton huruf dan kata-kata mulia
tanpa kemasan dituang-suapkan
dari mulut-mulut mesin yang dingin
ke kuping-kuping logam yang terbakar
untuk ditumpahkan ketika keluar.
Di kamar-kamar dan ruang-ruang rumah
berhektar-hektar layar kehidupan mati
dengan kemas luhur ditayang-sumpalkan
melalui mata-mata yang letih
ke benak-benak seng berkarat
untuk dibawa-bawa sampai sekarat.
Di kantor-kantor dan markas-markas
bertimbun-timbun arsip kebijaksanaan aneh
dengan map-map agung dikirim-salurkan
melalui kepala-kepala plastik
ke segala pejuru urat nadi
untuk diserap sampai mati.
Di majalah-majalah dan koran-koran
berkilo-kilo berita dan opini Tuhan
dengan disain nafsu dimuntah-jejalkan
melalui kolom-kolom rapi
ke ruang-ruang kosong tengkorak
orang-orang tua dan anak-anak.
Di hotel-hotel dan tempat hiburan
beronggok-onggok daging dan virus
dengan bungkus sutera disodor-suguhkan
melalui saluran-saluran resmi
ke berbagai pribadi dan instansi
untuk dinikmati dengan penuh gengsi
Di jalan-jalan dan di kendaraan-kendaraan
berbarel-barel bensin dan darah
dengan pipa-pipa kemajuan ditumpah-ruahkan
melalui pori-pori kejantanan
ke tangki-tangki penampung nyawa
untuk menghidupkan sesal dan kecewa
***
BEGITU ENGKAU BERSUJUD
Karya : Emha Ainun Nadjib
Karya : Emha Ainun Nadjib
Begitu engakau bersujud, terbangunlah
ruang
yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
pula telah engkau dirikan masjid
Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
telah kau bengun selama hidupmu?
Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
meninggi, menembus langit, memasuki
alam makrifat
Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara
adzan
Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
Allah, engkaulah kiblat
Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
didengar Allah, engkaulah tilawah suci
Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
Allah, engkaulah ayatullah
Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
menjadilah engkau masjid
yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
pula telah engkau dirikan masjid
Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
telah kau bengun selama hidupmu?
Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
meninggi, menembus langit, memasuki
alam makrifat
Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara
adzan
Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
Allah, engkaulah kiblat
Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
didengar Allah, engkaulah tilawah suci
Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
Allah, engkaulah ayatullah
Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
menjadilah engkau masjid
***
DOA SEHELAI DAUN KERING
Karya : Emha Ainun Nadjib
Karya : Emha Ainun Nadjib
Janganku suaraku, ya ‘Aziz
Sedangkan firmanMupun diabaikan
Jangankan ucapanku, ya Qawiy
Sedangkan ayatMupun disepelekan
Jangankan cintaku, ya Dzul Quwwah
Sedangkan kasih sayangMupun dibuang
Jangankan sapaanku, ya Matin
Sedangkan solusi tawaranMupun diremehkan
Betapa naifnya harapanku untuk diterima oleh mereka
Sedangkan jasa penciptaanMupun dihapus
Betapa lucunya dambaanku untuk didengarkan oleh mereka
Sedangkan kitabMu diingkari oleh seribu peradaban
Betapa tidak wajar aku merasa berhak untuk mereka hormati
Sedangkan rahman rahimMu diingat hanya sangat sesekali
Betapa tak masuk akal keinginanku untuk tak mereka sakiti
Sedangkan kekasihMu Muhammad dilempar batu
Sedangkan IbrahimMu dibakar
Sedangkan YunusMu dicampakkan ke laut
Sedangkan NuhMu dibiarkan kesepian
Akan tetapi wahai Qadir Muqtadir
Wahai Jabbar Mutakabbir
Engkau Maha Agung dan aku kerdil
Engkau Maha Dahsyat dan aku picisan
Engkau Maha Kuat dan aku lemah|
Engkau Maha Kaya dan aku papa
Engkau Maha Suci dan aku kumuh
Engkau Maha Tinggi dan aku rendah serendah-rendahnya
Akan tetapi wahai Qahir wahai Qahhar
Rasul kekasihMu maíshum dan aku bergelimang hawaí
Nabi utusanmu terpelihara sedangkan aku terjerembab-jerembab
Wahai Mannan wahai Karim
Wahai Fattah wahai Halim
Aku setitik debu namun bersujud kepadaMu
Aku sehelai daun kering namun bertasbih kepadaMu
Aku budak yang kesepian namun yakin pada kasih sayang dan pembelaanMu
Sedangkan firmanMupun diabaikan
Jangankan ucapanku, ya Qawiy
Sedangkan ayatMupun disepelekan
Jangankan cintaku, ya Dzul Quwwah
Sedangkan kasih sayangMupun dibuang
Jangankan sapaanku, ya Matin
Sedangkan solusi tawaranMupun diremehkan
Betapa naifnya harapanku untuk diterima oleh mereka
Sedangkan jasa penciptaanMupun dihapus
Betapa lucunya dambaanku untuk didengarkan oleh mereka
Sedangkan kitabMu diingkari oleh seribu peradaban
Betapa tidak wajar aku merasa berhak untuk mereka hormati
Sedangkan rahman rahimMu diingat hanya sangat sesekali
Betapa tak masuk akal keinginanku untuk tak mereka sakiti
Sedangkan kekasihMu Muhammad dilempar batu
Sedangkan IbrahimMu dibakar
Sedangkan YunusMu dicampakkan ke laut
Sedangkan NuhMu dibiarkan kesepian
Akan tetapi wahai Qadir Muqtadir
Wahai Jabbar Mutakabbir
Engkau Maha Agung dan aku kerdil
Engkau Maha Dahsyat dan aku picisan
Engkau Maha Kuat dan aku lemah|
Engkau Maha Kaya dan aku papa
Engkau Maha Suci dan aku kumuh
Engkau Maha Tinggi dan aku rendah serendah-rendahnya
Akan tetapi wahai Qahir wahai Qahhar
Rasul kekasihMu maíshum dan aku bergelimang hawaí
Nabi utusanmu terpelihara sedangkan aku terjerembab-jerembab
Wahai Mannan wahai Karim
Wahai Fattah wahai Halim
Aku setitik debu namun bersujud kepadaMu
Aku sehelai daun kering namun bertasbih kepadaMu
Aku budak yang kesepian namun yakin pada kasih sayang dan pembelaanMu
***
KETIKA ENGKAU BERSEMBAHYANG
Karya : Emha Ainun Nadjib
Karya : Emha Ainun Nadjib
Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar
Bacaan Al-Fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya
Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi
Ruku’ lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis
Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup
Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali
Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya
Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun
Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
Dadamu mencakrawala, seluas ‘arasy sembilan puluh sembilan
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar
Bacaan Al-Fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya
Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi
Ruku’ lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis
Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup
Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali
Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya
Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun
Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
Dadamu mencakrawala, seluas ‘arasy sembilan puluh sembilan
***
KUDEKAP KUSAYANG-SAYANG
Karya : Emha Ainun Nadjib
Karya : Emha Ainun Nadjib
Kepadamu kekasih kupersembahkan
segala api keperihan
di dadaku ini demi cintaku kepada semua manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan
diri dalam hidup demi mempertahankan kemesraan rahasia,
yang teramat menyakitkan ini, denganmu
Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah
persemayaman dalam jiwa remuk redam hamba-hambamu
Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang, dan ketika
mereka tancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah dari
mereka sendiri, sehingga bersegera aku mengusapnya,
kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang-sayang,
kupeluk,
kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan
lagi pisau ke punggungku, sehingga mengucur lagi darah
batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya,
kusumpal,
kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku, kudekap,
kusayang-sayang.
di dadaku ini demi cintaku kepada semua manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan
diri dalam hidup demi mempertahankan kemesraan rahasia,
yang teramat menyakitkan ini, denganmu
Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah
persemayaman dalam jiwa remuk redam hamba-hambamu
Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang, dan ketika
mereka tancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah dari
mereka sendiri, sehingga bersegera aku mengusapnya,
kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang-sayang,
kupeluk,
kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan
lagi pisau ke punggungku, sehingga mengucur lagi darah
batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya,
kusumpal,
kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku, kudekap,
kusayang-sayang.
BIOGRAFI PENYAIR
Asep Zam Zam Noor
Acep Zamzam Noor (lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 Februari 1960, umur 56 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia.Acep
adalah putra tertua dari K.
H. Ilyas Ruhiat, seorang ulama kharismatis dari Pondok
Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Ia menikahi seorang santri
bernama Euis Nurhayati dan dikaruniai orang anak bernama Rebana Adawiyah, Imana
Tahira, Diwan Masnawi, Abraham Kindi. dan Luna. Acep menghabiskan masa kecil
dan remajanya di lingkungan pesantren, melanjutkan pendidikan pada Jurusan Seni
Lukis FakultasSeni
Rupa dan Desain ITB,
lalu Universitá
Italiana per Stranieri, Perugia, Italia.
Kini, tinggal di Desa Cipasung, Tasikmalaya.
D. Zawawi Imron
D.
Zawawi Imron lahir di desa Batang-batang 1 Januari 1945 di ujung timur pulau
Madura, mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10
Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 1982. Setelah tamat Sekolah Rakyat
(SR, setara dengan sekolah dasar) dia melanjutkan pendidikannya di Pesantren
Lambicabbi, Gapura, Semenep. Kumpulan sajaknya BulanTertusuk Ilallang mengilhami Sutradara Garin Nugroho untuk
membuat film layar perak Bulan Tertusuk Ilalang. Kumpulan sajaknya Nenek Moyangku Airmata terpilih sebagai
buku puisi terbaik dengan mendapat hadiah Yayasan Buku Utama pada 1985.
Bambang Widiatmoko
Dr. Bambang Widiatmoko M.Eng lahir pada tahun 1965 di Boyolali. Beliau adalah peneliti kelahiran Boyolali tahun 1965 yang telah menghasilkan karya bermanfaat bagi
masyarakat dan diakui dunia internasional. Bambang Widiatmoko 13 tahun belajar
di Tokyo Institute of Technology, Jepang, untuk program S-2 hingga doktor itu mencatatkan 30
paten di Jepang. Kebanyakan berbasis laser. Karya terbesar Bambang adalah Optical Frequency CombGenerator (OFCG).
Joko Pinurbo
Joko Pinurbo (lahir di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962, umur 54 tahun) adalah sastrawan
berkebangsaan Indonesia. Karya-karya puisinya
merupakan perpaduan antara naratif, ironi refleksi diri, dan kadang mengandung
unsur "kenakalan". Tahun
2005, dia menerima anugerah dari Khatulistiwa Literary Awards kategori puisi melalui bukunya, Kekasihku. Ia lulus dari jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta. Joko Pinurbo pernah
menjadi redaktur Basis, Gatra, dan Sadhar terbitan IKIP Sanata Dharma, juga
mengajar di almamaternya, dan terakhir bekerja di PT Grasindo cabang Yogyakarta.
Sutardji
Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bachri dengan sapaan
akrab Bung Tardji, lahir di Rengat, Indragiri Hulu, pada tanggal 24 Juni 1941.
Sutardji C. Bachri merupakan putra dari pasangan Mohammad Bachri yang berasal
dari Prembun, Kutoarjo, Jawa Tengah dan May Calzum yang berasal dari Tanbelan,
Riau. Beliau terlahir sebagai anak kelima dari sebelas bersaudara. Sutardji
Calzoum Bachri adalah pujangga Indonesia terkemuka. Ia di beri gelar sebagai
“Presiden Penyair Indonesia”. Bung Tardji memiliki seorang istri yang bernama
Mariham Linda pada tahun 1982 dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama
Mila Seraiwangi.
W.S
Rendra
W.S.
Rendra yang memiliki nama asli Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir di Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935 meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Sejak muda, dia menulis
puisi, skenario drama, cerpen, dan esai sastra di berbagai media massa. Pernah
mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada, dan dari perguruan tinggi itu pulalah dia menerima
gelar Doktor Honoris Causa. Penyair yang kerap
dijuluki sebagai "Burung Merak", ini, tahun 1967 mendirikan Bengkel
Teater di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater
itu, Rendra melahirkan banyak seniman antara lain Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi, dan lain-lain. Ketika
kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, ia memindahkan Bengkel Teater
di Depok, Oktober 1985.
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun
lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 27 Mei 1953. Beliau adalah budayawan
dan intelektual muslim asal Jombang.Anak keempat dari 15 bersaudara ini pernah menjalani
pendidikan di Pondok Modern Gontor-Ponorogo dan menamatkan pendidikannya di SMA
Muhammadiyah I Yogyakarta. Namun pendidikan formalnya di UGM, tepatnya di
Fakultas Ekonomi, hanya mampu Cak Nun selesaikan 1 semester saja.