Cuplikan Dokumen di Museum Usman Janatin |
Sejarah kedua Pahlawan Serda KKO Usman bin H. Ali dan Kopral KKO Harun bin Said tidak bisa dipisahkan dengan diumumkannya DWI KOMANDO RAKYAT atau DWIKORA pada 3 Mei 1964.
Berdasarkan
Keputusan Presiden RI No. 95 tahun 1964 tentang pengerahan para Sukarelawan
Indonesia dalam rangka penggayangan dan penghancuran proyek neo-kolonialisme
“Malaysia”, pada masa itu banyak para sukarelawan yang diberangkatkan ke Daerah
Persiapan di Kepulauan Riau dan Kalimantan.
TNI
Angkatan Laut selain mengirimkan Brigade Pendarat Korps Komando juga
mengirimakn sukarelawan terdiri dari anggota militer maupun pegawai negeri atau
karyawan sipil.
Diantara
para sukarelawan tersebut terdapat anggota KKO Harun bin Said dan Kopral KKO
Usman bin Haji Moehamad Ali yang diberangkatkan dan bertugas didaerah Riau
Kepulauan sebagai Prajurit dan Pejuang Prajurit.
Dengan
menggunakan kapal Meriam (gunboat) Kopral KKO Usman dan kawan-kawan langsung
menuju ke Pulau Sambu untuk menggabungkan diri dengan sukarelawan lainnya dalam
Tim Brahma I dibawah pimpinan Kapten KKO paulus Subekti.
Di
Pulau Sumbu inilah Usman alias Djanatin bin Haji Moehamad Ali berjumpa dengan
Harun alias Tohir bin Said dan seorang Sukarelawan bernama Gani bin Aroeb yang
untuk selanjutnya ditempatkan di Pulau Layang guna menyipakan diri melaksanakan
tugas.
Pada
tanggal 9 Maret 1965 mereka mendapat tugas menyusup di Singapura untuk
melaksanakan sabotase terhadap instansi pemerintah.
Pada
pertengahan malam disaat kota Singapura mulai berangsur-angsur sepi mereka
bertiga sesuai dengna rencana pada sore harinya mulau menyusuri Orchard Road,
dimana terletak Hotel Mac Donald yang diantaranya penghuninya terdapat perwira,
swasta Inffris maupun warga asing lainnya. Untuk beberapa saat lamanya mereka
belum berhasil melaksanakan tugas, sebab situasi sekitar Hotel Mac Donald belum
memungkinakan karena masih ramai, namun demikian akhirnya mereka berhasil juga
meletakan bom di gedung tersebut. Hasil gemilang ketiga sukarelawan Indonesia
tersebut, hanya dengan bahan pelaedak 12,5 kg telah berhasil menghancurkan
apartemen (flat) Hotel Mac Donald di ORCHARD ROAD . Ledakan bom tersebut
menimbulkan kerusakan berat pada dua puluh buah toko disekitar hotel tersebut,
menghancurkan dua puluh empat buah kendaraan/mobil, disamping enam orang meninggal
dan tiga puluh lima orang mengalami luka berat dan ringan.
Dengan
hasil yang gemilang ini, mereka kemudian kembali ke suatu tempat yang
ditentukan dan pada hari yang cerah pada tanggal 11 Maret 1965 itu mereka
bertemu kembali dengan diawali salaman yang mesra sebagai tanda rasa puas hasil
gemilang. Mereka merundingkan kembali upaya melaksanakan tugas berikutnya
menghancurkan suatu apartemen yang letekanya tidak jauh dari hotel tersebut.
Mengingat
situasi dan kondisi tak memungkinkan, akhirnya mereka bersepakat untuk kembali
ke induk pasukan di Pulau Sambu, tetapi ternyata semua jalan telah dijaga keras
oleh alat keamanan Singapura, demikian pula perairan Selat Singapura yang
terletak antara Pulau Sambu dan Singapura (Singapura Naval Police).
Oleh
karena situasi yang sulit dan tidak memungkinkan keluar bersama, mereka sepakat
untuk mencari jalan sendiri-sendiri dan salah seorang terlebih dulu sampai di
Pulau Sambu serta berhasil menghadao Komandan, harus segera melaporkan hasil
yang telah dicapai di Singapura.
Gani
setuju kemudian memisahkan diri, tetapi Djanatin selaku Komandan tidak mau
berpisah dengan Tohir, karena Djanatin sendiri belum begitu hafal akan seluk
beluk Singapura, sedangkan bagi Tohir pelosok Singapura boleh dikatakan sudah
seperti kampung halamannya sendiri.
Pada
hari itu juga mereka berpisah sedangkan Djanatin dan Tohir tetap bersama
meskipun tidak berdekatan guna menghindari kecurigaan petugas keamanan
Singapura, sedangkan Gani sudah menghilang entah kemana. Setelah usaha
menerobos daerah pantai dimana mereka dulu mendarat tidak berhasil, maka
Djanatin dan Tohir tetap bersama meskipun tidak berdekatan guna menghindari
kecurigaan petugas keamanan Singapura, sedangkan Gani sudah menghilang entah
kemana. Setelah usaha menerobos daerah pantai dimana mereka dulu mendarat tidak
berhasil, maka Djanatin dan Tohir bersama mencari jalan keluar melalui
pelabuhan Singapura, tetapi ternyata jalan inipun tidak semudah yang mereka
perkirakan.
Pemeriksaan
tetap dilakukan dengan keras, setiap orang yang keluas masuk pelabuhan
digeledah dengan teliti, Usman dan Tohir yang telah mendapatkan latihan
dibidang intelejen dan berkat pengalamannya berhasil masuk kedalam pelabuhan
dengan menunjukan kartu anggota PRM Singapura dan menyamar sebagai anak kapal
dagang yang kebetulan sedang singgah di Pelabuhan Singapura.
Akhirnya
mereka berhasil naik ke kapal dagang “Begama” yang waktu itu merencanakan akan
berlayar menuju Bangkok, dengan menyamar sebagai pelayan dapur. Sampai tanggal
12 Maret 1965 mereka dengan aman bersembunyi dalam kapal tersebut, akan tetapi
pada malam itu pemilik kapal “Begama” bernama Kie Hok mengusir janatin dan
Tohir keluar kapal, padahal dia tahu bahwa kedua orang pemuda Indonesia itu
adalah anggota KKO AL. Dengan alasan takut diketahui oleh petugas Singapura
yang dapat mengakibatkan kapalnya ditahan, dia tetap berkeas hati mengusir
kedua Sukarelawan kita itu. Akhirnya pada pagi hari mereka keluar dari
persembunyaainya dan mereka berusaha mencari tempat lain tetapi tidak berhasil.
Ketika
mereka sedang mencari-cari, tiba-tiba mereka melihat perahu bermotor yang
dikemudikan oleh seorang Cina dan dengan keberanian yang luar biasa mereka
berhasil merebut perahu bermotor tersebut dan digunakan untuk menyeberang
menuju ke Pulau Sambu. Dalam pelayaran yang penuh ketegangan, mereka bernasib
malang karena sebelum berhasil menyeberangi perairan perbatsan
Indonesia-Singapura, mesin perahu motor mereka macet dan mengalami gangguan.
Akhirnya
pada pukul 09.00 pagi tanggal 13 Maret 1965 mereka tertangkap oleh Polisi
Peronda Laut Perairan Singapura dan dibawa langsung ke Singapura.
Mereka
ditahan dipenjara Changi. Keduannya diajukan ke pengadilan dan melalui proses
yang dimulai tanggal 4 Oktober 1965 sampai dengan 20 Oktober 1965, mereka
dijatuhi hukuman pidana mati oleh HIGHT COURT Singaura atas dasat section 302
PENAL CODE CHAPTER XVI.
Didalam
proses peradilan itu, pemerintah Indonesia telah menyediakan empat orang
pembela, yaitu: Mr. Braga dari Singapura, Noel Benjamin dari Malaysia, Prof.
Dr. Mchtar Kusumaatmaja, SH dari Indonesia dan Letkol Laut (KH) Gani Djembet,
SH Atase Ngkatan Laut RI di Singapura.
Kedua
terpidana, terhadap putusan Hakim tersebut mengajukan banding kepada FEDERAL
COURT OF MALAYSUA KUALA LUMPUR dan pada tanggal 5 Oktober 1966 Federal Court
tersebut tersebut mengeluarkan putusan seperti berikut:
1. Menola
permintaan banding tersebut kedua
2. Menguatkan
putusan dan hukuman yang telah dijatuhkan oleh HIGH COURT Singapura.
Atas
putusan FEDERAL COURT tersebut terpidana mengajukan permohonan kasasi kepada
PRIVY COUNCIL di London dan Badan Pengadilan ini pada tanggal 21 Me 1968
mengeluarkan putusan menolak permohonan kasasi itu.
Pada
tanggal 22 Mei 1968 Menteri Luar Negeri Adam Malik mengajukan surat kepada
Menteri Luar Negeri Singapura S. Rajaratnam untuk memohon klemensi bagi kedua
terpidana tersebut, demikian pula pada tanggal 1 Oktober 1968, Presiden
Soeharto mengutus Brigjen TNI Tjokro Pranolo, Sekertaris Militer menyampaikan
surat kepada Presiden Singapura Yusuf bin Ishak dan Perdana Menteri Lee Kuan
Yew dengan maksud yang sama.
Pada
tanggal 9 Oktober 1968 permintaan Menteri Luar Negeri, Adam Malik dan Presiden
Soeharto ditolak.
Sebagaimana
diketahui kedua negara mempunyai perbedaan dalam sistem pengadilan dimana
negara Singapura menggunakan pola hukum Inggris dimana sistem yudikatif atau
pengadilan tidak dibawah pengaruh eksekutif melainkan sebagai lembaga mandiri,
sedangkan Indonesia menganut pola Anglo Saxon.
Oleh
karena hal itu, wajar apabila surat permohonan Presiden Soeharto ditolak oleh
pejabat negara Singapura karena memang diluar wewenangnya, seharusnya kita
meniru proses pembebasan penerbangan Allah Lauwrence Pope yang dihukume seumur
hidup dengna menghadapkan istri dan anaknya meminta ampunan ke Presiden RI
dengan mencium kakinya. Selain itu, pemerintah Amerika Serikat setuju
memberikan bantuan kepada Republik Indonesia diantaranya senapan M.I Garand
untuk melengkapai TNI-AD.
Kedua
anggota KKO AL setelah mengetahui semua usaha tidak berhasil, mereka minta agar
jenazahnya dibawa kembali dan dimakamkan ditanah air. Permohonan itu disetujui
oleh Presiden-Panglima Tertinggi disampaikan kepada kedua anggota oleh utusan
Presiden-Brigjen TNI Tjokro Pranolo disertai Atase Pertahanan Letkol Laut (KH)
Gani Djemat, SH.
Pada
pertemuan tersebut sehari sebelum hukuman dilaksanakan kedua anggota KKO AL
telah mencukur rambutnya pendek ala KKO AL dan meminta disampaiakan ucapan
“terima kasih kepada Presiden-Panglima Tertinggi ABRI atas perhatian dan usaha
yang telah dilakukannya, mereka telah siap mati demi kejayaan Bangsa, Negara,
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Korps Komando khususnya”.
Pada
tanggal 17 Oktober 1968 pagi hari menjelang waktu yang ditetapkan kedua anggota
KKO AL dengan sikap seorang prajurit pejuang sejati, berjalan dengan angkah
tegap menuju tiang gantungan tanpa mau ditutup kedua matanya guna melaksanakan
hukumannya, dengan disaksikan dokter dan petugas pelaksana penjara Changi.
Pada
pukul 06.00 waktu setempat kedua anggota KKO AL telah gugur ditiang gantungan
Penjara Changi dan beberapa saat kemudian setelah diberitahu bahwa hukuman
telah dilaksanakan, Atase Pertahanan Letkol Laut (KH) Gani Djemat, SH datang
kepenjara Changi untuk menyekasikan dan menerima jenazah kedua pahlawan.
Pada
hari itu juga jenazah kedua anggota KKO AL dijemput oleh tim penjemput ABRI
diantaranya KKO Subiyantoro untuk dibawa kembali ketanah aitu dengan pesawat
C-13 TNU-AU. Setibannya dilapangan udara Kemayoran diadakan penerimaan jenazah
kedua pahlawan dengan Inspektur Upacara Menteri Panglima AL Laksamana TNI Moeljadi,
untuk disemayamkan di Aula Departemen Hankam Markas Besar ABRI, utnuk
selanjutnya pada keesokan harinya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional
Kalibata dengan upacara kebesaran.
Pada
tanggal 18 Oktober 1968, rakyat Jakarta memberikan penghormatan terakhir kepada
kedua pahlawan di sepanjang jalan dari Departemen Hankam Markas Besar ABRI
sampai ke Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, sedangkan Sang Merah Putih
berkibar setengah tiang.
Bermacam
pernyataan keras dan ucapan simpati atas peristiwa penggantungan kedua anggota
KKO AL tersebut mengalir dan Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden RI No.
050/TK/1968 tertanggal 17 Oktober 1968 telah memberikan pangkat satu tingkat
atau mengangkat Serda KKO (Anm) Usman dan Kopral KKO (Anm) Harun sebagai
Pahlawan Nasional.
Perdana
Menteri Republik Singapura Lee Kuan Yew pada kunjungan kenegaraanya, pada saat
berziarah ke Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata melakukan ziarah ke pusara
kedua Pahlawan Nasional Serda KKO (Anm) dan Kopral KKO (Anm) Harun.
Sumber: Dokumen yang ada di Museum Usman Janatin