Sukarno dan Indonesia (Sumber Gambar) |
Membicarakan salah satu founding father ini, tentu kita akan
dihidangkan seorang tokoh yang kompleks. Pada masa muda, harapan orang Jawa
menunggu sang Ratu Adil bertumpu dipundaknnya, beliau dijuluku Sang Ratu Jawa
Berpeci, yaitu pemimpin tradisional dalam bentuk modern. Berbagai gelar
disematkan dibelakang namannya, seperti Pemimpin Besar Revolusi atau Penyambung
Lidah Rakyat Indonesia, atau Panglima Tertinggi.
Tentunya gelar-gelar yang
lain masih sangat banyak. Namun diakhir masa jabatannya, banyak catatan sejarah
tidak menyenangkan tentang sang proklamator ini. Justru, masyarakat Indonesia
yang pada masanya memintanya untuk turun takhta. Sukarno dan sejarah terus
berdialektika terus menerus hingga saat ini, ideologi yang dipegang dari zaman
muda hingga tutup usia menjadi prinsip nya. Mari sejenak melihat ideologi sang
proklamator ini.
Ideologi
Sukarno
Ideologi Sukarno sedikit
banyak terpengruhi dari proses awal pendidikannya di HBS (sekolah menengah
Belanda). Saat menjalani pendidikanya
ini, dia tinggal ditempat HOS Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam (SI),
sebuah tempat kos yang dijuluki sebagai ‘miniatur Indonesia’, ini karena ada teman-teman
satu kos yang menentukan wajah sejarah Indonesia selanjutnya, seperti Alimin
(komunis), Kartosuwirjo (DI/TII) dan lainnya. Setelah lulus HBS, kemudian melanjutkan
ke THS (sekarang ITB) untuk menuntut cita-cita serta peranan yang memang beliau
inginkan.
Saat di THS inilah,
kekuatan membaca Sukarno sangat terpuaskan, buku-buku mengenai nasionalisme,
marxisme, sejarah, dan masalah-masalah internasional dilahapnya. Pengaruh
buku-buku ini terlihat dari pidatonya dipengadilan tahuan 1930, ‘Indonesia
Menggugat’. Pidato ini menekankan tentang hal ironi pada proses pengadilan yang
dari awal berjalan sebagai sebuah proses politik kolonial. Banyak tokoh-tokoh
yang disebut dari berbagai pidatonya, yang sebagian sarjana Eropa, seperti Karl
Kautsky dari Jerman dan Jean Jaures dari Prancis.
Nampaknya
pemikiran-pemikiran Sukarno inilah yang membedakan Hatta dan Sjahrir yang
tumbuh sebagai hasil pendidikan luar negeri, sedangkan Sukarno tidak sekalipun
mengenyam pendidikan luar negeri langsung. Hal inilah yang menyebabkan sosialisme
Sukarno lebih terasa ‘ke-Indonesia-an’nya. Makanya Sukarno sering disebut
Ideologinya sebagai ‘Sukarnois’. Namun, dasar dari semua itu adalah
pemikiran-pemikirannya tentang kritik terhadap Kapitalisme dan Imperialisme.
Tahun 1926-1927, Sukarno
tampil menjadi pemimpin politik dengan mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI),
yang didasarkan pada pergerakan Indonesia yang suram. Ini dikarenakan setelah
Sarekat Islam mengalami kemunduran justru karen terbelah menjadi beragai
organisasi lain, salah satunya menjadi cikal bakal PKI. PKI inilah yang
mengadakan pembrontakan tahun 1928 kepada pemerintah Belanda, meskiupun akhirnya
gagal. Inilah yang menjadi daya tarik tersendiri oleh Sukarno, dia melihat
kekuatan Islam yang besar namun dicampur dengan semangat perlawanan secara
nasional.
Pemikirannya ini
dituangkan kedalam buku ‘Indonesia Muda: Nasionalisme, Islam dan Marxisme’,
yang berisi tentang nasionalisme sebagai pokok isinya. Pada tulisannya itu,
Sukarno mengajak kepada orang Islam dan Nasionalis untuk tidak terkena phobia
Marxisme. ‘Saya bukan orang komunis, saya tidak memihak! Saya hanya menghendaki
kesatuan dan persaudaraan diantara berbagai gerakan’, begitu ucapannya.
Konsep ini rasanya dihadirkan
disaat waktu yang tepat, dimana perjuangan pegerakan sedang dihambat oleh
pemerintah Belanda. Dengan berbagai gerakannya, Sukarno akhirnya beberapa kali diasingkan.
Dalam pengasingan inilah Sukano mendefinisikan konsepsi rakyatnya lebih lanjut
sehingga melahirkan ‘marhaenisme’ atau kekuatan semangat rakyat, senjata paling
ampum menurut Sukarno.
Revolusi Belum Selesai
Setelah kenyang dengan
pembuangan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, Sukarno akhirnya dipertemukan
dengan Hatta (yang terkadang dalam beberapa sisi berbeda pandangan) dan mau
berkolaborasi dengan Jepang. Kedua proklamator ini akhirnya dipertemukan menjadi
‘dwitunggal revolusi’. Pada zaman revolusi, nampaknya ideologi Sukarno tidak
terrealisasi dengan baik. Namun warisan terbesar dari idelogi Sukarno adalah
Pancasila, sebuah ideologi yang menyatukan berbagai golongan.
Saat masa diplomasi,
Sukarno lebih memilih Hatta dan Sjahrir untuk menjalankan diplomasi dengan
Belanda. Sukarno mendukung seluruh perjuangan dengan sistem pemerintahan
parlementer, termasuk mendukung diatasinya pembrontakan-pembrontakan dalam
negeri, seperti Pembrontakan PKI Madiun 1948. Sukarno berdiri sebagai sosok pribadi
yang identik dengan revolusi Indonesia, kharismannya selalu dinanti rakyat dari
berbagai penjuru wilayah Indonesia.
Setelah tahun 1950,
kemerdekaan Indonesia dicapai dengan bentuk RIS (Republik Indonesia Serikat)
yang kemudian menjadi NKRI hingga kini. Sukarno merasa seolah menjadi presiden
titipan Hindia Belanda secara sosial politik, seperti pembentukan Uni
Belanda-Indonesia. Sukarno menuntut untuk membubarkan Uni. Banyak yang melihat
hal ini menjadi suatu ancaman perjalanan stabilitas politik, terlebih setelah
1955 dengan banyaknya partai dan pemberian ruang kepada PKI untuk mendampingi
konsepsi Sukarno yang lama diidam-idamkan, NASAKOM. Perbedaan ini yang akhirnya
memisahkan dwitunggal revolusi dengan mundurnya Hatta sebagai wakil presiden
tahun 1958.
Sebagai pemimpin Revolusi,
Sukarno menuntut untuk kembali kepada UUD 45, dengan cara Dekrit Presiden 1959.
Dekrit ini dikeluarkan karena macetnya kehidupan politik karena perpecahan
partai-partai dan ancaman kup diberbagai daerah. Setelah dekrit itu
diikrarkan, praktis Indonesia memasuki babak baru, yaitu Demokrasi Terpimpin. Sistem
ini menuntut untuk menggabungkan kekuatan partai dan militer dibawah pimpinan
presiden, sang pemimpin besar revolusi.
Kelemahan dari sebuah
Demokrasi Terpimpin terletak pada kekuatan Sukarno sendiri, dan beliau sadar
bahwa fisiknya tidak abadi. Banyak pihak-pihak yang menunggu andai pemimpin
besar revolusi itu terjadi sesuatu. Memang proses itu terus berlanjut, namun
hal inilah yang menjadi awal kejatuhannya. Peristiwa
Gerakan 30 September 1965 menjadi puncak pecahnya ‘gelas’ persatuan kebangsaan
saat itu.
Persoalan saat ini bukan
lagi mengenai “siapa Sukarno”. namun yang terpenting adalah “dimana kita
memposisikan ideologi warisan Sukarno”. Jasa Sukarno bagi kehidupan kebangsaan
saat ini adalah kebhinekaan yang diwariskan untuk selalu dijaga. Karena
perjuangan Sukarno sejatinya belum selesai, kita semua yang memperjuangkan
cita-citanya, merawat berbagai macam golongan dalam bingkai
ke-Indonesia-an.