Pohon Kami
Karya Naira
Waktu masa lalu,kami punya pohon yang mungil
Yang kadang kami sirami dan tersirami air hujan
Dan juga terpancari hangatnya matahari
Disitu aku dan teman-teman bermain
Namun, kini...
Sebentar lagi hilang dari muka bumi
Waktu demi waktu selalu kami tunggu
Tapi sebentar lagi, pohon kami akan mati
Banjir air dimataku..
02-02-2016
Pohon-pohon itu sebentar lagi akan terkapar
ditanah. Tempat bermain yang nyaman untuk anak-anak, rumah yang rindang untuk
burung, semut, dan hewan kecil lainnya. Menjadi tempat paling tentram untuk
berkumpul, seperti tempat rapat orang-orang dikantoran. Kadang menjadi terminal
para pedagang keliling yang menjajakan dagangannya dikomplek perumahan kami.
“Apa salahnya pohon itu, Ma? Kok pohonya ditebang? Apa mereka tidak
paham dengan global warming?” Anakku
yang baru menginjak 7 tahun saja sudah tahu global
warming, bisa membuat puisi pula.
“Nanti kita tanam pohon yang lain
ya, Sayang?”
“Tapi menanam pohon itu kan lama menunggu
besarnya, Ma.”
“Kalo kita sabar pasti tidak lama kok.”
“Kenapa
sih mereka tega, Ma?” Tanya anakku
lagi, kini matanya kelihatan sembab, tanda kesedihan mendalam yang terpancar
diraut mukannya.
“Katanya pohon-pohon itu daunya
menimbulkan banyak sampah, akarnya juga merusak bangunan disekitarnya.”
“Kok
mereka yang repot, pohon itu kan ada didepan rumah kita? Yang kena sampahnya
juga bukan mereka? Betul kan, Ma?” Aku hanya mengiyakan, sembari kuelus
kepalannya yang sejak tadi bersandar dibadanku. Meskipun pohon itu memang bukan
punya kami pribadi.
“Siapa sih Mah, yang mulanya bicarakan soal penebangan itu?” Tanya anakku
penuh kesedihan.
“Banyak, Sayang. Orang-orang kan
juga cape setiap hari harus menyapu daun-daunnya.” Aku mencoba memberikan
alasan sekenanya.
“Ya sudah, nanti aku bantu menyapukan
setiap sore. Bener Ma, aku janji, yang penting pohon itu jangan ditebang.
Lagipula kasihan kan burung-burung itu. Ada rumah burung diatasnya, Ma?”
Tapi sudah terlambat. Anakku tidak
akan membersihkan sampah-sampah itu. Daun-daun yang rindang itu sudah ambruk sebelum bertemu dengan sinar
matahari. Tinggal hatiku sesak, mataku sembab. Sebentar lagi akan jebol.
Perasaan anakku begitu dalam kepada pohon yang tumbuh didepan rumah kami itu.
Perlahan ketika golok Bang Giman bergerak. Kemudian ranting-ranting itu
meluncur ketanah bergantian. Mata anakku terlihat nanar. Tak lama kedua pemilik
mata kecil itu menghilang. Meninggalkan goyangan korden yang tertetesi air mata
anakku. Terdengan raungan suara anakku didalam kamar. Terkunci, dikunci!
Orang-orang mulai berdatangan.
Tangan-tangan itu membantu dengan sigap Bang Giman untuk menebang pohon utamanya.
Beberapa orang menarik tambang dari arah kiri, yang lain memberikan aba-aba.
Dan pohon itu sudah dieksekusi. Sekarat! Oh anakku, begitu ramai sekarang pohon
halaman depan kita. Kini beberapa orang berebut mengambil bagian-bagian
tumpukan kayu. Sementara dari dalam kamar, anakku menjadi-jadi dengan
tangisannya.
Anakku hanya merindukan Semut Rangrang
yang bekerja berkejar-kejaran. Menggelar tikar dibawah pohon sambil bermain
warung-warungan. Uangnya dari daun-daunan yang berjatuhan untuk pembayaran.
Vonis yang dijatuhakn para tetangga sungguh hebat, hanya karena dedaunannya
mengotori lingkungan dan akarnya merusak bangunan. Orang-orang lupa akan
kehebatan manfaat pohon itu, dialah awal munculnya kebersamaan diblok perumahan
ini.
Kami adalah pendatang yang awalnya
tidak saling mengenal. Rutinitas yang menyibukan sehari-hari sangat menyita
waktu, mengakibatkan pertemuan antar tetangga sangat jarang terjadi. Hingga
pohon itu tumbuh dengan subur. Kami menyiraminnya dengan rutin. Kami memagarinya
agar tidak terinjak-injak, awalnya anak-anak yang bermain, lama-kelamaan para
ibu-ibu yang awalnya mengawasi anak-anak bermain akhirnya berbincang kesana
kemari. Dan akhirnya menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan untuk sekedar sharing rumah tangga. Ditempat itu, kami
bertukar informasi. Kami jadi tahu siapa yang sedang sakit, siapa yang butuh
pertolongan, atau hal-hal kecil yang tidak penting seperti mencari baju yang
bagus, sandal yang murah.
Yang lebih menyenangkan adalah
singgahnya para pedagang. Seperti tukang sayur, tukang bubur, tukang siomay,
dan tukang-tukang yang lain. Aku tidak akan berjalan jauh untuk membeli itu
semua. Lebih dari itu, pohon itu menjadi sarang-sarang burung. Biasanya buah-buahnya
menjadi santapan kelelawar dimalam hari, meskipun bekas-bekas makanan
kelelawarnya bermuntahan didepan halaman, namun aku selalu membersihkannya.
Belum lagi suara burung cuit cuit
yang menghadirkan keasrian alam ditengah perumahan.
***
Memang benar, semua berjalan baik.
Proses penebangan berjalan lancar dan aman. Dari puncak muda sampai pangkal
semua dibabat. Pohon-pohon yang sudah mengabdikan diri kepada lingkungan
sekitar perumahan kami. Anak-anak, ibu-ibu, para pedagang, hingga burung dan
kelelawar. Pipiku masih basah. Lebih terasa sedihnya lagi, akibat penebangan
pohon itu perlahan-lahan mualai terasa. Setelah penebangan itu, perlahan
sorotan sinar matahari memelototi kami dengan tajam. Tak ada belas kasihan.
“Mama, coba lihat, burung-burung itu
datang, tapi cuma berputar-putar disitu. Kasihan sekali, Ma.” Dalam hatiku
bergumam mereka pasti mencari tempat yang biasanya dijadikan sandaran, untuk
sekedar bertengger dibatang atau mencari tempat yang nyaman untuk membuat
sangkar. Itu rengekan yang entah berapa kali aku dengar dari mulut Naira kecilku.
“Tuh kan, Ma. Kasihan
burung-burungnya, berputar-putar begitu. Mereka pasti kelaparan...”
“Tidak apa-apa, nanti kan burungnya
mencari makanan ditempat lain, mereka kan punya insting, Sayang.”
“Tidak mau! Suara burung itu indah,
pokoknya aku tidak mau burung itu pindah, Mah!”
Mulut ini tersumbat untuk bicara. Hanya
bisa diam. Tiba-tiba anakku meneteskan air matannya lagi.
“Aduh, anak mama kok sekarang jadi cengeng begini ya?”
Tak terasa mataku juga mulai menghangat. Kupeluk anakku erat-erat. Dadanya
terasa mengemuruh didadaku.
“Orang-orang disini jahat-jahat
semua! Aku benci mereka, Mama..!” Aku tidak tahan lagi, pipiku juga akhirnya
ikut basah.
“Sudahlah, Nak. Daripada
sedih-sedihan begitu mending kita jalan-jalan yuk, ini kan hari libur,” Ayahnya
tiba-tiba mendekat memecahkan suasana haru itu.
Tapi pelukan anakku semakin erat. Dia menggelengkan kepalannya. “Pasti
teman-temanku tidak mau lagi main disitu. Nanti aku tidak punya teman lagi.”
“Tidak sayang, tempat main kan
banyak, Nak...” Tiba-tiba ayahnya coba menenangkan suasana.
“Tapi kami sudah berjanji untuk buat rumah-rumahan pohon,
Yah..Hikz..Hikz”
Perlahan mataku terfokus kedepan halaman rumah. Terasa sekali langit
begitu terang. Kupandang halaman. Aku tersentak. Dedaunan dan bunga-bunga itu!
Bertahun-tahun kurawat sekarang sudah berubah bentuk! Anthurium itu!
Suplir-suplir itu!!!
“Sayang, sebentar, Mama harus
menyirami bunga-bunga itu dulu. Sekarang mereka cepat kena panasnya.”
“Tuh kan, Ma....” Suara anakku
menyalahkan.
Aku baru tersadar, dua hari sudah pohon-pohon itu ditebang. Banyak
perubahan yang terjadi begitu drastis. Seperti tanaman pot ku yang layu, sudah
pasti karena mereka langsung bertatapan dengan matahari. Selama ini, aku
menyirami tanaman-tanamanku dua hari sekali. Tapi kali ini sepertinya harus dua
kali sehari! Aku mulai kelabakan. Banyak pula yang sudah lunglai batangnya. Dua
hari ini akau tidak memperdulikannya. Inilah akibat pertama yang kurasakan
setelah pohon-pohon itu ditebang.
***
Hari berikutnya. Aku masih termangu
didepan jendela. Rutinitas baru setelah pohon-pohon itu tidak ada lagi.
Mengintip situasi diluar dari balik jendel. Mirip seorang putri yang akan
terkena kutukan bila tubuhnya terkena sinar matahari. Hanya menarik nafas lemah
menikmati batu-batu taman yang lesu. Warna pagar mendadak kusam dimataku.
Daun-daun menjadi lebih banyak berwarna coklat dibanding yang berwarna hijau.
Sedasyat ini halamanku dianiaya oleh
saudaranya sendiri? Matahari, yang sebenarnya membutuhkan sinarnya untuk
kelangsungan hidupnya sendiri. Tak ada gerakan apapun diluar sana. Suasana
terasa sepi. Sinar matahari memantul dari logam-logam yang masuk rumah tanpa
hambatan. Juga melalui jendela-jendela. Isi rumah benderang bahkan kesilauan. Ketidaknyaman
ini membuatku kedalam. Lalu siap duduk untuk menyalakan televisi. Tapi
lagi-lagi pantulan itu masuk boks kaca dihadapanku. Aku menelan ludah.
Seekstrim inikah akibat pohon-pohon itu ditebang? Dan pantulan-pantulan itu.
Seperti kutukan yang menghantui rumah ini hingga kedalam. Akhirnya kuhampiri
suamiku yang sedang mengotak-atik laptopnya.
“Kenapa, Ma? Gelisan sekali?”
“Rumah ini mulai panas, Yah. Pantulan
matahari itu membuat mata Mama silau”
“Ya, begitulah.” Suamiku bangkit,
“Siang-siang begini enaknya makan es, Ma..”
“Sepertinya tdak ada. Tadi pagi saja
Mama mau nuggu tukang bubur tidak berhenti.”
“Terus tukang es, kemana?”
“Ya.. Sudah lewat, Yah. Semua orang
sudah tidak ada lagi yang mau singgah. Jangankan mereka, anak-anak saja sudah
tidak ada. Makannya Mama bingung nih, kemana anak kita mainnya...Biasanya
mereka bermain dibawah pohon didepan rumah kita..”
Suamiku termangu..
Akhirnya terdiam. Tatapan kami
sama-sama lurus keluar. Udara semakin panas. Matahari semakin bebas menerjang
tanaman-tanaman pot ku. Suasana sepi sekali. Para pedagang yang meramaikan keteduhan
pohon itu sudah tidak nampak lagi. Bahkan baru saja selintas tukang sol lewat.
Setelah dia melihat sesaat kearah pohon-pohon yang tidak ada lagi. Dia berlalu
entah kemana.
***
Lihat saja, sejak pohon-pohon itu
ditebang, hari Minggu, anakku minta jalan-jalan dengan alasan dirumah
membosankan!
“Coba kalau pohon itu jangan
ditabang dulu ya, Yah?” Ucapku tiba-tiba. Sementara mataku lurus kosong kejalan
yang akan dilalui oleh mobil kami.
“Mama ini aneh-aneh saja. Tenang Ma,
barusan kan Ayah beli bibit Pohon Mangga. Ayah jamin, kesejukan rumah kita akan
kembali lagi dengan pohon ini.”
“Terus kalau ada yang protes lagi,
bagaimana Yah?
“Suamiku yang sedang menyetir itu
menggeleng dengan tenang. “Tidak akan, nanti kita tanam dihalaman rumah kita.”
Aku menarik nafas panjang. “Mestiya
sebelum kita tebang, pohon rambutan itu sudah kita tanam.”
“Sudahlah, Ma, tidak ada gunannya
menyesali. Yang terpenting kan belum terlambat untuk menanamnya kembali...” Aku
terdiam. Lalu kutoleh anakku yang sedang tidur dibelakang.
“Naira tidur ya, Ma?” Suamiku
mengikuti arah gerak kepalaku.
“Ya, dia kecapaian mungkin,
gara-gara pohon itu ditebang, kita jadi boros, Yah.”
“Sudahlah, Ma.”
Akhrinya aku terdiam. Kupejamkan
mata. Jalan tak nampak lagi. Hanya deru mesin ditelingaku. Lalu pohon-pohon itu
mengembang di alam pikiranku. Rindang sekali...
***
Sorenya, nampak suamiku sudah siap
dengan cangkulnya dan tiga bibit Pohon Mangga. Aku mulai berani keluar. Karena
seperti puteri yang takut sinar matahari, aku hanya berani keluar setelah
matahari benar-benar berada disebelah Barat. Barulah tampak tetanggaku juga
bermunculan. Ada yang sambil mendorong bayi, ada yang menggendong, dan ada yang
menuntunnya sambil membawa tempat makan.
“Wah, Pak Rudi sudah mau tanam pohon
baru, ya?” pertanyaan itu terlontar tiba-tiba dari tetangga yang lewat, “Pohon
apa itu, Pak?”
“Pohon Mangga, Pak.”
“Saya juga menanam pohon Blimbing Wuluh.
Selain buahnya bisa dimakan, juga bisa buat obat.”
Suamiku hanya manggut-manggut.
“Oya. Bu..Bu Rudi sudah bertemu Bang
Giman belum? Dia kan sakit setelah menebang pohon itu, Bu.” Sambil telunjuknya
menunjuk pohon-pohon yang sudah rata itu.
Aku tersentak, “Sakit apa?”
“Katannya demam, Bu.”
“Bu Joko tahu dari siapa?”
“Dari Bu Taufik, kemarin dia mau
minta tolong Bang Giman untuk pasang kramik baru. Tapi Bang gimannya ternyata
sedang sakit..”
Aku melongo. Kutatap suamiku yang juga mendadak menghentikan
menanamnya..
Malamnya suamiku berbisik, “Pohon manapun punya peran penting dalam kehidupan
manusia. Kita merasakanya sendiri, beberapa pohon saja yang ditebang, imbasnya
sampai kekehidupan kita. Apalagi yang jumlahnya hektaran ya, Ma? Makannya kita
harus menghormati meski hanya sebatang pohon, mulai sekarang kita rawat pohon
kita dan lingkungan sekitar kita.”
Aku menganggukan kepalaku...***