Jam dinding sudah menunjukan pukul 01.00 WIB, suara brrrttt brrrrtttt dari printer terdengar dikesunyian malam. Kelengkapan
berkas-berkas lamaran untuk melamar dibeberapa sekolah sudah selesai tersusun.
Rasa kantuk yang ditahannya semakin menjadi-jadi. “Huftt....mau tidur dulu aah,
tapi baiknya aku bereskan dulu ini semua.” batinnya.
Rencananya lamaran itu akan dia kirim via pos besok. Ada beberapa yang
diantarkan langsung. Tapi yang lainnya harus pakai pos karena memang jaraknya
yang lumayan jauh. Laptop dan printer sudah dia matikan dan membereskan
kertas-kertas yang berserakan. Dihembuskannya nafas dalam-dalam, “Allhamdulilah, plong!” senyum lega
terbentuk dibibirnya. Dia beranjak kekamar tidurnya dan melihat isterinya sudah
nyenyak tertidur.
Adzan subuh sudah berkumandang, suasana
dingin yang menusuk tulang merebak keseluruh ruangan rumah. Selimut tebal
tiba-tiba ditarik pelan. “Mas, bangun, shubuhan dulu?” dia kaget. Agak malas
jawabanya, “Heeemmmm.”, dia kemudian bangun menuju tempat wudhu. Setelah
melaksanakan sholat Shubuh terselip do’a supaya lamarannya ada yang berhasil.
Pagi nanti akan dia kirimkan lamaran ini via pos 10 dan yang 5 akan diserahkan
sendiri ke sekolahan yang jaraknya dekat. Dia sempatkan jalan pagi disekitar
rumahnya. Setelah selesai jalan pagi, dia menuju dapur untuk minta dibuatkan
kopi oleh istrinya.
“De, tolong buatkan kopi donk.”
Istrinya yang sedang sibuk didapur segera mempersiapkan kopi pesanan suaminya. “Tadi
malam tidur jam berapa mas?” tanya isterinya sambil tanganya terus meracik
kopi.
“Sekitar jam 1 malam, nanti aku coba
kirim lamaran ke kantor pos, sudah tak buat 15 rangkap, yang 5 mau aku antarkan
sendiri, semoga ada yang berhasil.”, dia menjawab pertanyaan istrinya sambil mengambil
handuk untuk siap-siap mandi.
“Iya, semoga berhasil ya mas, ada
sekolah yang manggil njenengan, ini
kopinya tak taruh meja”. Jawaban suaminya hanya singkat, “Iya.”, dan kemudian
beranjak kekamar mandi. Dia khwatir isterinnya kembali menanyakan pertanyaan
yang lebih banyak . Meskipun istrinya tidak banyak menuntut, tapi perasaan
tidak enak dalam hatinya masih berkecamuk karena sudah 6 bulan sejak lulus S1 hanya
mengajar di SKB paket C. Dia mengenal istrinya dikampus tempat mereka kuliah,
mereka beda jurusan. Dia menikahi istrinya setelah 1 bulan kelulusannya dengan
cara yang sederhana. Baginya menikah muda adalah cita-citannya dari dulu.
Urusan rezeki, dia percaya akan diberikan jalan oleh Allah. Istrinya sudah
menjadi guru SD. Setelah istrinya berangkat, diapun menyalakan motornya dan melaju
dengan kecepatan sedang.
***
Matahari sudah mulai menampakan hangatnya ketika dia sampai. Setelah
motornya dimatikan, dia melangkah memasuki kantor pos. Jam sudah menunjukan 09.45
WIB. Berkas-berkas dikeluarkan setelah mengambil nomor antrian. Dan tiba-tiba, “Dorrr....”
ada suara mengagetkannya dari belakang. Karena kantor pos yang dia datangi
merupakan kantor pos terbesar dikota Purbalingga, sehingga tidak terlalu
melihat orang-orang disekitarnya.
“Astaghfirulloh, Ajiii. Tak
kira siapa, bagaimana kabarnya? Kerja dimana sekarang?” Tanyanya pada sosok
teman satu jurusan dibangku kuliah dulu.
“Alhamdulillah baik..Aku
sekarang kerja di Bank Yok. Kamu kerja dimana sekarang? Mau kirim apa nih?” Tanya balik Aji pada Yoko. Tanpa
basa-basi, Aji langsung meraih tumpukan amplop dan melihat tulisan sampul
amplopnya.
“Emmm, apa ini Yok? Mesti lamaran kerja ya? Belum dapat kerja?” tanya
Aji. Yoko hanya mengangguk kecil. Ada rasa enggan didirinya untuk bicara dengan
Aji yang terkenal usil itu.
“Mudah-mudahan berhasil Yok,” suara lirih Aji membuatnya terdiam
sejenak. Runtut pertanyaan Aji tentang berapa lamaran yang sudah dikirim serta
kegiatan apa saja yang dilakukan setelah lulus sarjana. Dijawabnya dengan singkat.
“Coba kamu ikuti ‘caraku’, setelah lulus daftar di Bank, pasti sudah
setengah tahun yang lalu kamu bekerja.” Meskipun Aji lulusan Fakultas Keguruan,
dia tidak mau menjadi guru honorer karena gajinya kecil. Ucapan Aji begitu
jelas dan menusuk ditelingannya.
“Maksudmu Ji?” tanyanya ingin tahu arti dari ucapan Aji itu.
“Aahhh....masa kamu tidak tahu maksudku?” heran Aji. Sepertinya Aji
menyesal terlanjur berbicara padanya lalu mengambil sikap tutup mulut. Dia jadi
penasaran. Rasa engganya semula untuk bicara dengan Aji sirna. Tiba-tiba Yoko
dipanggil oleh teller untuk menyerahkan
berkas yang dikirim. Setelah selesai, dia kembali ketempat duduk dan
melanjutkan obrolannya dengan Aji.
“Ji, sebenarnya yang seperti itu aku sudah tahu, tapi aku tidak percaya
hal itu,” dia mencoba memancing Aji supaya lebih banyak bicara. Dia jadi ingat
bahwa Aji mempunyai mantan pacar waktu kuliah dan mungkin akan tertarik ketika dia
tawarkan no HP mantannya. Semoga ini bisa membuat Aji bicara.
“Ji, aku punya no HP nya Lulu loh,”
pancingnya sambil menatap lebih serius Aji. “Hah, masa?? Mana sini, aku minta
nomornya,” ternyata taktiknya jitu, dengan mengambil posisi duduk disampingnya
dan pura-pura melihat sekeliling kantor pos, Aji kembali berucap dengan sedikit
berbisik pelan. “Akuu.....nitip uang dan terima beres.” dia mengerutkan dahinya
dan menoleh kearah Aji.
“Maksudmu?” tanyanya. Namun Aji diam. Dia makin penasaran. Dicobanya
memancing penjelasan itu dengan memberikan nomor HP Lulu. Dia sikut badan
temannya itu. “Emm,iya,,iya,” Aji langsung tanggap. “Aku dulu titip uang 20
Juta kesodaraku yang kerja di Bank, setelah itu kamu pasti diterima dan
menikmati gaji besar kaya aku,” ucap Aji terpaksa.
“Hahh..yang bener aja Ji? Ati-ati kalau bicara loh. Mbok jadi fitnah!”
“Fitnah? Hehehe....!!” Aji tertawa kecil melihat ekspresi muka temannya
itu. “Yoko,,Yoko! Ini sudah jadi rahasia umum. Teman-teman kita yang bekerja di
Bank rata-rata seperti itu.”
“Kamu jangan asal ngomong Ji!” Yoko kembali menegaskan pernyataan
temannya itu sekali lagi.
“Iya! Sumpah. La aku buktinya
Yok. Wong kalau kamu mau, nanti tak bantu
ke Om ku yang kepala sekolah, zaman sekarang mencari sekolah tanpa punya ‘chenel’ susah Yok.” Rasa ingin tahu Yoko
lebih membludak dan ingin bertanya lebih jauh lagi. Tapi, tiba-tiba suara dari
pegawai teller pos memanggil namanya,
tanda surat lamaran sudah selesai diinput
data untuk dikirimkan. Setelah selesai, mereka berpamitan.
***
Waktu terus berjalan. Dua bulan
telah berlalu sejak dia mengirimkan surat lamaran kerjannya di kantor pos. Hari
itu, ada surat datang dari tukang pos. Setelah membuka suratnya, kop surat tertulis
MA favorit di kota Purbalingga, tertulis perihal balasan surat lamaran. Dia
teruskan kebawah, rupanya pemberitahuan bahwa pihak sekolah meminta maaf karena
tidak ada lowongan guru disekolah tersebut. Ini merupakan surat pemberitahuan
sejenis yang kesekian kalinya.
Untuk kali ini dia sedikit tertekan.
Dia kecewa untuk kesekian kalinya. Padahal sekolah itu merupakan MA terbaik
dikotanya. Terbayang kembali olehnya, begitu repot menyusun surat lamaran itu,
terbayang juga kuliah yang sudah 4 tahun dan harapan istri serta keluarganya
yang ingin melihat dia mengajar disekolah formal. Meskipun sekarang dia sudah
mengajar sebagai guru di SKB paket C, tapi sistem kerjannya tetap berbeda
dengan sekolah formal.
Tidak lama setelah itu, HP nya berbunyi, ternyata ada sms masuk dari Aji,
“Lagi dirumah tidak? Aku lagi berkunjung kerumah nasabah didesamu, kalau
dirumah aku mau main nanti.” Setelah dibaca sms dari temanya itu, dia membalas
bahwa sekarang ada dirumah.
Setelah sampai dirumah Yoko, Aji dipersilahkan duduk dan Yoko
mengambilkan minuman untuk Aji. Jam-jam pagi memang tidak ada orang dirumah,
istrinya pergi mengajar di SD, dan mertuannya pergi berjualan dipasar. Tanpa
sadar ketika Yoko mengambilkan minum, Aji melihat surat pemberitahuan penolakan
dari sekolah dimeja. Ketika sudah selesai menyajikan hidangan, duduklah Yoko.
Aji memulai percakapan. “Sudah berapa penolakan yang kamu terima Yok?” tanpa
basa-basi Aji bersuara ‘menusuk’ hati Yoko. “Sudah deh Yok, ikuti caraku saja? Mumpung bulan ini Bank ku akan
mengadakan rekruitmen, kalau tidak aku bantu masukan ke sekolah Om ku, kan
sebentar lagi tahun ajaran baru.”
“Mmmm, begitu ya?” jawaban Yoko hambar.
“Iya Yok, zaman gini kamu terus berpegang pada idealismu sama saja mati
konyol.” Tuding Aji. Yoko sudah mulai terpancing untuk menjawabnya.
“Mati Konyol? Tidaklah! Mungkin memang belum rezekiku.” dalihnya. Dia
tatap Aji. Temannya yang usil itu seperti tidak menerima dalihnya dan mendesak
terus. Dari pada diam terus, Yoko menjawab terus terang.
“Ji, kamu memang ingin tahu alasanku kenapa aku tadak mau bekerja selain
jadi guru, dan aku juga tidak mau menjadi guru karena chanel mu itu?” Aji cepat mengiyakan. Kemudian Yoko memulai
percakapannya, “Begini Ji,” dia kembali terdiam dan menghela nafasnya.
“Heiii!” Aji mengagetkan. “Begini apa maksudmu Yok?”
“Begini. Aku tidak mau bekerja diluar dunia pendidikan karena panggilan
dan pilihan hidupku, aku kuliah menimba ilmu selama 4 tahun dengan tujuan
menjadi pendidik, kenikmatan tersendiri mentransferkan ilmu yang sudah
dipelajari selama 4 tahun, juga menjadi bekal amalan kita diakhirat, kan ilmu
yang bermanfaat salahsatu amalan yang tidak akan terputus setelah kita
meninggal kelak.” Kembali diam, Aji menegaskan temannya lagi dan sepertinya
belum paham maksud tersirat dari Yoko.
“Terus....? Kenapa aku tawarkan bantuan jadi guru kok malah kamu tidak mau?” Aji mengalihkan pertanyaanya pada
masalah tawarannya untuk dikenalkan kepada Om nya yang jadi kepala sekolah.
“Kalau masalah itu, untuk sekarang aku lebih memilih tetap mengajar di SKB
dulu, usahaku untuk mencari kerja tidak akan berhenti, aku menikmati proses ini.
Bukan karena ‘dititipkan’ om kamu. Aku ucapkan beribu terima kasih, tapi memang
ini pilihan hidupku, kalaupun saat ini aku belum dipanggil, aku anggap semata-mata
memang belum rezekiku. Aku yakin, dari sekian sekolah, pasti ada 1 yang memang
membutuhkan guru, cepat atau lambat. Aku percaya kuasa Allah.” Jawaban Yoko
cukup membungkamkan Aji. Akhrinya Aji cepat-cepat mengalihkan pembicaraan
setelah mengetahui jawaban sebenarnya dari temannya itu.
Setelah cukup bertamu, Aji pamit untuk melanjutkan kunjungannya kerumah
nasabah-nasabah yang akan disurvey.
***
Satu bulan berlalu setelah Aji main
kerumahnya. Dia meyakini bahwa rezeki tidak akan tertukar. Mungkin saat ini
belum saatnya dia bekerja jadi guru di sekolah formal. “Aku tidak boleh
menyerah.” Ucapnya dalam hati, kebetulan bulan ini tahun ajaran baru hampir
dimulai.
Tidak lama berselang, ada telepon
masuk, dilihatnya dari nomor baru. Bukan nomor HP, itu nomor kantor. Dia
penasaran, dan mengangkatnya, “Hallo, Assalamualaikum.”
Ucapnya. “Waalikumsalam, betul ini
dengan bapak Suyoko Nugroho? Kami dari SMA.......” ***