Pendopo Dipokusumo Kabupaten Purbalingga |
Awal tahun 2016, Kabupaten Banyumas
merayakan Hari Jadinya dengan suasana yang berbeda. Selama 25 tahun, Kabupaten
Banyumas merayakan HUT pada tanggal 6 April. Kini warga Banyumas merasakan moment spesial, yaitu dengan perubahan
perayaan HUT menjadi tanggal 22 Februari. Apresiasi yang tinggi untuk Prof. Dr.
Sugeng Priyadi, guru akademik penulis, yang mencurahkan tenaga dan pikirannya
hampir 25 tahun untuk “menggugat” HUT Banyumas. Hal ini membuat daerah-daerah
lain juga melihat kesempatan yang sama untuk bertanya keapada sejarah daerahnya
masing-masing? Apakah selama ini HUT yang dirayakan sudah sesuai dengan fakta
sejarah?
Sebagai warga asli Purbalingga,
pertanyaan diatas pun sempat tersirat dibenak, karena tidak menutup kemungkinan
bahwa dengan ditemukannya dokumen-dokumen baru, maka akan menambah diskusi
tentang Hari Lahirnya Purbalingga. Bukan hal yang mustahil, hari lahir yang
selama ini dirayakan, hanya sebuah legitimasi politik tanpa melihat fakta sejarah.
Hal ini menjadi disorientasi historiografi yang tidak sesuai dengan fakta
sejarah. Berikut sedikit pemaparan yang penulis sajikan.
Prolog:
Penyampaian Dokumen
Dalam proses pengupulan data,
penulis dihadapkan kepada seorang anak yang menyodorkan sebuah makalah kuno
berangka tahun 1988. Tahun yang sama dengan tahun kelahiran penulis. Jadi sudah
28 tahun (black: dari 1988-2016) makalah itu dibuat. Makalah ini merupakan hasil
penelitian dari Panitia Peneliti
Hari Jadi Kabupaten Purbalingga, dan legalitasnya diakui pemerintah Kabupaten
Purbalingga dengan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Purbalingga dengan Nomor:
433-175 Tanggal 1 Februari 1988. Artinya, tim ini memang dibentuk oleh Bupati
sendiri untuk menelusuri hari lahir yang sesuai dengan fakta sejarah.
Dalam SK tersebut, bertindak sebagai
pelindung/penasihat adalah Bupati Purbalingga sendiri, yaitu Bapak Drs.
Soekirman. Tim ini diketuai Drs. Molejana, Sekertaris wilayah Daerah Tingkat II
Purbalingga. Sedangkan Ketua I dijabat oleh B. Soesasi Kepala Kantor Depdikbud
Kabupaten Purbalingga, dan untuk Ketua II diduduki oleh R. Soedjaman
Mertodibroto, Pensiunan Pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Tingka II Purbalingga.
Tim ini beranggotakan 10 (sepuluh) orang dari berbagai latar belakang, termasuk
didalamnya adalah Tri Atmo, seorang sejarawan senior yang bersahaja. Beliau concern dengan sejarah Purbalingga dari
Babad Purbalingga sampai sejarah kemerdekaan di Purbalingga.
Sementara itu, DPRD Kabupaten
Tingkat II Purbalingga juga membentuk sebuah Panitia Khusus, dengan tugas menyusun analisa dari sumber Arsip
Nasional. Panitia Khusus ini, juga diakui legalitiasnya dengan SK Pimpinan DPRD
Kabupaten Daerah Tingakt II Purbalingga bernomor: 01/Pim.DPRD/1988 Tanggal 19
Januari 1988. Tim khusus ini beranggotakan 13 (tigabelas) orang, yang diketuai
oleh Karsono, Ketua DPRD Purbalingga. Anggotanya berasal dari ketua Komisi dan
ketua Fraksi-Fraksi waktu itu.
Sebelum dibentuk tim ini, tahun 1984
telah dilakukan pengumpulan sumber awal untuk menentukan hari jadi Kabupaten
Purbalingga. Langkah awalnya dengan terbentuk“Panitia Empat” yang telah
menyusun Buku Babad dan Sejarah Purbalingga. Kemudian dari Panitia Empat ini,
terbentuk lagi sebauh Panitia Penyusun/Penyempurna Buku/Naskah Sejarah
Purbalingga yang kemudian terbentuklah Tim Peneliti Hari Jadi Kabupaten
Purbalingga. Tim peneliti menelusuri sumber-sumber berupa dokumen langsung dari
Arsip Nasional Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta.
Bupati
Pertama: Perspektif Yuridis
Awalnya, Purbalingga merupakan sebuah
“Kademangan” dari wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta. Kademangan ini
dipimpin oleh Raden Demang Prawirodimedjo, dalam perkembangannya, daerah
Kademangan ini dinaikan tingkatanya dengan status “Distrik”. Sehingga Raden
Demang Prawirodimedjo diangkat sebagai kepala Distrik dengan gelar Raden Ronggo
Yudonegoro. Raden Ronggo Yudonegoro merupakan anak dari Bekel Kiai Wirowidjojo
dan cucu dari Bupati Temanggung, yaitu Wiro Digdo yang berpusaat di Surakarta.
Sumber mengenai Raden Ronggo
Yudonegoro dapat dilihat dari “Surat Residen Kedoe”, tertanggal 6 Januari 1829
Nomor 102 yang ditujukan kepada Luietenant
Gouvereur Generaal (LGG) dan Surat Resolusi tanggal 4 Februari 1834 Nomor
1. Dalam surat itu, berisi tentang kondisi kerusuhan yang terjadi akibat Perang
Diponegoro antara tahun 1825-1830. Pada waktu itu, Distrik Purbalingga menjadi
bawahan Kabupaten Magelang. Seiring meluasnya kerusuhan di Distrik Purbalingga,
dan ketidak mampuan Pemerintah Kabupaten Magelang menjangkau dan memadamkan
kerusuhan (seperti perang di Mandiraja dan Bitting tahun 1826) maka ditunjuklah
Raden Ronggo Yudonegoro menjadi kepala Distrik Purbalingga.
Ditunjuknya Raden Ronggo Yudonegoro
menjadi Kepala Distrik Purbalingga karena pengaruh yang dimilikinya. Seperti
tahun 1826, Raden Ronggo Yudonegoro berhasil memadamkan pembrontakan
Wirodikoro, bahkan berhasil memadamkan pemrontakan-Panembahan Bogor. Termasuk
“jasa” nya mengamankan wilayah dari gangguan Pasukan Pangeran Diponegoro.
Karena memadamkan pembrontakan-pembrontakan itu, kenaikan pangkat Raden Ronggo
Yudonegoro diberikan yang dulunya bergelar Raden Demang Prawirodimedjo.
Dengan pertimbangan itu, Pemerintah
Hindia Belanda atas ijin Vorstelanden
mengambil inisiatif mengangkat Raden Ronggo Yudonegoro menjadi seorang Regent atau Bupati di Purbalingga dengan
wilayah bekas Distrik Purbalingga. Hal ini merujuk pada Surat tertanggal di Magelang
10 Januari 1829 Nomor 709 dari Luitenant
General-Luitentant Gouvereur Generaal (LG-LGG) De Kock yang ditujukan
kepada De Minister Van Staat, Komissaris Generaal over Nederlansch Indie,
yang berisi tentang pertimbangan-pertimbangan Raden Ronggo Yudonegoro, seorang
Pejabat Tinggi Pribumi menjadi seorang Bupati atau Regent.
Atas pertimbangan dari para Bupati
dari Kedu tertanggal 6 Januari 1829 Nomor 102 dan pendapat LG-LGG pada tanggal 10
Januari 1829 Nomor 709, maka dengan resmi Raden Ronggo Yudonegoro diangkat
menjadi Regent van Purbalingga
(Bupati Purbalingga). Sedangkan pengangkatan tersebut, ditetapkan dalam Besluit
Kommissaris General tanggal 22 Januari 1829 Nomor 39 Atas Nama Raja.
Secara garis besar, keputusan tersebut
berisi beberapa poin.
Pertama, Raden
Ronggo Yudonegoro, Kepala Distrik Purbalingga dinaikan pangkatnya menjadi
Bupati (Regent) dengan gelar Raden Tumenggung Yudonegoro. Kedua,
Distrik Purbalingga berubah status menjadi Kabupaten Purbalingga yang berdiri
sendiri, yang semula masih dibawah Kabupaten Magelang. Ketiga, Bupati
mendapatkan gaji f.400,00 (empatratus gulden) selama sebulan, kemudian
akan ditetapkan setelah pembrontakan dihilangkan. Dan empat, Bupati
diperbantukan oleh seorang Patih (Raden Ing Ngabei Tirto Atmodjo) dan Kliwon
(Mas Merto Tudo), dan gaji beberapa pegawai lainnya, sesuai dengan yang
ditetapkan untuk Kepala Bupati Purbalingga.Sejak surat keputusan Kommissaris
General tanggal 22 Januari 1829 nomor 39, maka secara RESMI sebuah Kabupaten
Purbalingga lahir secara yuridis.
Sedangkan batas-batas wilayah
Kabupaten Purbalingga ditegaskan dengan laporan dari Residen C.A Varkevisser
tanggal 27 September 1830 tentang Banyumas dalam Bendel Banjoemaas 1.1.
menyebutkan, batas Kabupaten Purbalingga sebelah Timur dengan Boenzoer
(Banjarnegara); sebelah Barat berbatasan dengan Poerwokerto; sebelah Utara
dengan Kertonegoro dan sebelah Selatan berbatasan dengan Banzoemas (Banyumas).
Kenapa HUT Purbalingga 18 Desember?
Setelah tahun 1830, Perang Jawa
pimpinan Pangeran Diponegoro dapat dikatakan bisa ditaklukan. Setelah
ditaklukan kemabali, pemerintah Hindia Belanda mendapatkan wilayah kekuasaan
tambahan yang sebelumnya dikuasai oleh Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Salah satu wilahyah itu adalah Purbalingga. Hal ini ditegaskan dalam Besluit
Gouvernuer General di Batavia tertanggal 18 Desember 1830 Nomor 1,
mengenai “Pengambilan alihan kekuasaan atas wilayah-wilayah Vorstenlanden/bekas
wilayah Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta oleh Belanda”. Hal ini
disebutkan dalam Buku Java Oorlog
Jilid VI lampiran XXXII menyebutkan (beberapa point tidak disebutkan karena
berkaitan dengan daerah lain):
Point a, menetapkan
bahwa tanah-tanah yang dilepaskan oleh Kerajaan Surakarata dan Yogyakarta
terletak disebelah Barat dari wilayah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta akan dijadikan 2 (dua) Karsidenan, yaitu: Karsidenan Bagelan dan
Karsidenan Banjoemas.Point d, Karsidenan Banyumas akan terdiri dibawah
nama Banyumas dengan ditambah Distrik Karangkobar, sebagian Pulau Nusakambangan
dan sebagaian tanah Madura dikusai Chirebon dan juga tanah Karangsari dibawah
Tegal. Point g, Karsidenan Banyumas akan dibagi kedalam 4 Kabupaten,
yaitu: Banyumas; Ajibarang; Dayeuh Luhur dan Purbalingga. Dan point j,
Residen Banyumas akan bertempat tinggal di Banyumas dengan dibantu seorang
Asisten Residen di Ajibarang, Banjarnegara dan Purbalingga, juga seorang Kommies-ontvanger
(Penerima Pajak) dan Sekertaris Pengadilan Negeri.
Dalam keputuan selanjutnya, dalam
Resolusi 20 April 1831 Banjoemas 16/1 BAB 8 Bagian ke-7 disebutkan bahwa
Kabupaten Purbalingga dibagi menjadi 4 buah Distrik, yaitu: (1) Poerbo Lingga;
(2) Soeka Radja; (3) Kerta Negara/Bobot Sarie dan (4) Tjah Yono/ Pekiringan. Jadi
dengan kata lain, penetapan Hari Ulang Tahun Purbalingga yang dirayakan sejak Perda
Nomor 15 Tahun 1996 ditetapkan mengacu pada pengambil alihan wilayah kekuasaan
Kasunanan Surakartaoleh pemerintah Hinda Belanda. Pertanyaanya, mengapa harus
tanggal 18 Desember? Penulis pun tiadak bisa memastikan. Namun pertanyaan yang
justru timbul, kalau tanggal 18 dijadikan hari ulang tahun Kabupaten
Purbalingga, kenapa Banyumas justru tidak menggunakan tanggal itu? Padahal
tanggal tersebut justru merupakan tanggal terbentuknya Karsidenan Banyumas.
Awal Trah Dipokusumo Sampai Saat Ini
Dalam perjalanan memerintah
Kabupaten Purbalingga, Raden Tumenggung Yudonegoro ternyata tidak menunjukan
sikap yang kooperatif dengan pemerintah Belanda, yang kemudian justru ditangkap
dan diasingkan. Hal ini dituangkan Resolusi tanggal 20 Agustus 1831 Nomor 2 dan
tanggal 9 April 1831 Nomor 26 dilaporkan berdasarkan Surat dari Kabinet tanggal
7 (LL) Nomor 599, yang berisi penangkapan Raden Tumenggung Yudonegoro pada
tanggal 15 Desember 1830.
Tindakan pemerintah Hindia Belanda
yang menangkap Raden Tumenggung Yudonegoro dikarenakan kesengajaan melakukan
penyalahgunaan kekuasaan untuk mengumpulkan pajak dari uang rakyat, dan
mengumpulkan senjata-senjata dan beberapa amunisi. Meski tidak dijelaskan untuk
apa semua pengumpulan senjata itu, tapi yang pasti karena sikap itu Raden
Tumenggung Yudonegoro ditangkap. Perbuatan Raden Tumenggung Yudonegoro ini bisa
dilihat didalam Surat Laporan tanggal 2 Januari (LL) Nomor 2, bahwa oleh
Pengadilan Tinggi Hindia Belanda di Semarang memutuskan, Raden Tumenggung
Yudonegoro dijatuhi hukuman seumur hidup dan dibuang ke Timor.
Sebagai akibat dari ditangkapnya
Raden Tumenggung Yudonegoro, maka Kabupaten Purbalingga mengalami kekosongan
kekuasaan. Hal ini diketahui oleh beberapa penguasa-penguasa daerah lainnya,
sehingga para penguasa daerah ingin mengusulkan nama-nama untuk menggantikan
Raden Tumenggung Yudonegoro sebagai Bupati Purbalingga. Seperti dalam sebuah
Surat tertanggal 27 Maret 1834 Nomor 15, disebutkan bahwa Residen Surabaya
dengan suratnya tertanggal (ddo) 15 Januari (LL) Nomor 26/2 telah mengajukan
permohonan kepada Pemerintah Hinda-Belanda, supaya menantu Residen Surabaya,
yaitu Sultan Sumenep yang bernama Raden Ario Djojonegoro dapat diangkat menjadi
Bupati Purbalingga menggantikan Raden Tumenggung Yudonegoro.
Selain nama Raden Ario Djojonegoro,
juga ada nama-nama lain yang diusulkan untuk menempati kekosongan itu,
diantaranya adalah Mas Prawironegoro dari Ronggo Distrik Asinan Karsidenan
Kedu. Sementara itu, dengan adanya kekosongan Bupati Purbalingga, maka dengan
beberapa pertimbangan, Pemerintah Hinda Belanda kemudian ditunjukan Raden Ing Ngabei
Tirto Atmodjo, Patih dari Purbalingga menjadi Ronggo
sementara.
Setalah beberapa waktu pemerintahan
diisi oleh Raden Ing Ngabei Tirto Atmodjo, maka untuk mengisi kekosongan
jabatan Bupati Purbalingga, maka pemerintah Hindia Balanda mengangkat Raden Mas
Dipokusumo menjadi Bupati Purbalingga dengan gelar Raden Mas Tumenggung (RMT)
Dipokusumo, keputusan ini tertanggal 22 Agustus 1831 Nomor 1. Pertimbangan
pengangakatan RMT Dipokusumo didasarkan karena keberhasilannya menghalau
pemrontakan di Bitting wilayah dari Purbalingga pada tanggal 7 Desember 1826
serta memadamkan dan menghancurkan pemrontakan di Mandiraja, Karsidenan Banyumas
pada tanggal 11 Maret 1826.
Pengangkatan RMT Dipokusumo
dijelaskan oleh asisten Residen Purbalingga, CA. Varkevisser dalam sebauh Surat
Keterangan RMT Dipokusumo yang diketahui oleh Residen Banyumas tertanggal 27
Februari 1835. Pengangakatan RMT Dipokusumo menjadi Bupati Purbalingga juga
dijelaskan dalam sebuah Surat Keterangan yang ditulis tangan berbahasa
Jawa-Belanda dan ditangatangai sendiri oleh RMT Dipokusumo. Sebelum itu, pada
tanggal 23 Februari 1835, RMT Dipokusumo mengajukan permohonan kepada Gubernur
Jenderal Hindia Belanda untuk mendapatkan gelar “Adipati”.
Setelah RMT Dipokusumo menjabat,
kemudian diteruskan oleh keturanannya. Memang dalam Arsip Nasional Republik
Indonesia, tidak diketemukan secara jelas dan lengkap surat keputusan setelah
RMT Dipokusumo menjabat. Meskipun demikian, dalam Regeering Almenak Voor Nederlandsch Inde terbitan tahun 1881, 1882,
1888, 1903, 1906 dan 1929 dapat diketahui Bupati-Bupati yang telah menjabat
setelah RMT Dipokusumo, diantaranya adalah: (1) Raden Adipati Dhipokusumo
(berdasarkan Resolusi tanggal 7 Agustus 1846); (2) Raden Dhipoatmojo bergelar
Raden Tumenggung Dipokusumo (menjabat pada 4 September 1868; (3) Raden Taruno
Atmojo yang menjabat dari tanggal 14 Februari 1881; (4) Raden Dharma Kusumo
menjabat dari tanggal 13 September 1899; (5) Raden Tumenggung Sugondho yang
mulai menjabat dari tahun 29 Oktober 1925.
Setelah proklamasi 17 Agustus 1945,
dan berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda, Bupati Purbalingga yang memerintah
adalah (1) Mas Sujoto menjabat dari tahun 1946-1947; (2) Raden Mas Kartono
menjabat mulai tahun 1947-1950; (3) Raden Utoyo Kusumo menjabat 1950-1954; (3)
Raden Hadisukmo menjabat antara 1954-1960; (4) Raden Mohamad Suyadi menjabat
dari tahun 1960-1967; (5) Raden Bambang Murdharmo, SH, menjabat dari tahun
1967-1973; (6) Letkol. Guntur Darjono, menjabat dari tahun 1973-1979; (7) Drs.
Sutarno, menjabat dari tahun 1979-1984; (8) Drs. Sukirman, menjabat dari tahun
1985-1989; (9) Drs. Sularno dari tahun 1989-1999, setelah reformasi kemudian di
jabat oleh (10) Drs. Triyono Budi Sasongko, M.Si, kemudian dilanjutkan oleh
(11) Drs. Heru Sudjatmoko, M.Si dari tahun 2010, namun dalam proses
pemerintahan pada tahun 2013, menjadi Wakil Gubernur Jawa Tengah, sehingga
dilanjutkan wakilnya, (12) Drs. Sukento sampai 2015, saat ini (2016)
Purbalingga dipimpin oleh Tasdi, SH., MM dengan masa jabatan sampai 2020.
Catatan
Akhir: Sebuah Refleksi
Sebuah hari jadi bagi sebuah
kabupaten memang serasa sebagai moment
untuk menyalurkan “pesta” tahunan dan sebagai simbolisasi bahwa sebuah
kabupaten telah berdiri. Namun, dalam memilih hari jadi, seharusnya berdasarkan
data dan kecocokan jiwa lokalitas penduduk sekitarnya. Apalagi kalau dalam
menentukan hari lahirnya, terjadi kesalahan sejarah, dan ketidak nyambungan
dengan jiwa masyarakatnya. Hal ini tentunya akan terasa sebagai sebuah pesta
tahunan “pepesan koson”. Salah satu contoh “pepesan kosong”nya Kabupaten
Banyumas yang setelah 25 tahun merayakan hari jadinya, ternyata menurut Prof.
Sugeng Priyadi, penetapan 5 April adalah sebuah ahistory, atau kesalahan sejarah. Sehingga mulai tahun 2016,
Kabupaten Banyumas merubah perda-nya dan menetapkan hari jadinya menjadi 22
Februari, yang pada tahun 2016 ini merayakannya yang ke-444 tahun.
Seharunya Kabupaten Purbalingga juga
mau berkaca kepada sejarahnya sendiri, dan mengikuti jiwa zaman, yaitu mau
membuka dokumen sejarahnya. Ada pilihan secara yuridis yang bisa diambil,
yaitu, menjadikan tanggal 22 Januari 1829
sebagai HUT Purbalingga dengan ditandai oleh pelantikan resmi Raden Ronggo
Yudonegoro diangkat menjadi Regent van
Purbalingga (Bupati Purbalingga), dengan sebuah surat keputusan Besluit
Kommissaris General tertanggal 22 Januari 1829 Nomor 39 Atas Nama Raja.
Dan bukan 18 Desember 1830. Kenapa harus tanggal 18 Desember?
Seperti yang sudah dijelaskan
diatas, bahwa pada tanggal 18 Desember 1830 adalah hari pengambil alihan
kekuasaan wilayah Kerajaan Surakarta dan Yogjakarta kepada pemerintah Kolonial
Belanda. Jadi, penetapan HUT Purbalingga yang dirayakan dengan landasan Perda
Nomor 15 Tahun 1996 mengacu pada pengambil alihan wilayah kekuasaan Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta oleh pemerintah Hindia Belanda.
Pertanyaanya yang saya ulang, mengapa harus tanggal 18 Desember? Penulis pun
tidak bisa memastikan ini. Namun pertanyaan lain yang justru timbul, kenapa Banyumas
tidak menggunakan tanggal 18 Desember itu? Padahal tanggal tersebut justru
merupakan tanggal terbentuknya Karsidenan Banyumas.
Kalau secara yuridis, ketika
pengangakatan Raden Ronggo Yudonegoro diangkat sebagai Bupati pertama
Purbalingga tangggal 22 Januari 1829, maka selayaknya tanggal itulah yang
seharusnya dijadikan hari lahir, bukan tanggal 18 Desember 1830 yang merupakan
pembentukan Karsidenan Banyumas. Jadi dengan kata lain, HUT Purbalingga yang
dirayakan setiap tanggal 18 Desember itu, sama saja merayakan kekalahan Perang
Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan merayakan penyerahan kekuasaan bekas
wilayah Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta kepada Belanda. Mari kita
merefleksikan diri dengan berfikir kritis.
Sejarah harus memiliki senjata
ke-kritis-an. Memang untuk menuliskan sejarah kritis, kita juga harus melihat
sejarah tradisional. Kemampuan terbatas penulis yang belum mampu membongkar Babad yang berbicara tentang sejarah
Purbalingga dari perspektif lokal. Karena menurut Prof. Taufik Abdullah, ketika
sejarah kritis ingin ditulis, maka masalah pertama yang harus dihadapi adalah
mencari “fakta” dibelakang historiografi tradisional yang menentukan hayat
“kewajaran sejarah”, dan tradisi lisan, yang merupakan mirage of reality.
Versi lain
dari Ki Arsantaka: Habis
Versi lokal yang penulis maskud
adalah versi dari babad yang
berbicara tentang berdirinya Kabupaten Purbalingga. Dalam versi ini, Ki
Arsantaka menjadi tokoh sentral dalam berdirinya Kabupaten Purbalingga. Menurut
Tri Atmo, Ki Arsantaka merupakan putera dari Adipati Onje II dengan puteri dari
Adipati Arenan. Ki Arsantaka setelah dewasa mengembara ke Timur dari rumahnya
di Onje (Kecamatan Mrebet sekarang). Hingga tiba di Desa Masaran (sekarang
Kecamatan Bawang, Banjarnegara). Disana Ki Arsantaka diangkat anak oleh Ki
Rindik atau Ki Wanakusuma, menantu dari Ki Ageng Gendani dari Pdepokan
Bangkongreng, sehingga nama Arsantaka diganti menjadi Arsakusuma.
Setelah itu, Ki Arsantaka menikah
dengan Nyi Merden, puteri dari Ki Pranadipa (keturunan Adipati Wirasaba), dari
pernikahannya ini, keturanannya akan menjabat Bupati Purbalingg, yaitu Raden
Tumenggung Dipayuda III. Ki Arsantaka berjasa kepada saat perang Jenar, perang
antara Mankubumi dengan Pakubuwono III. Jasa terbesar Ki Arsantaka karena
berhasil menemukan jasad dari Nhabehi Dipayuda I, sehingga nanti anaknya, Ki
Arsayuda diberikan gelar Raden Tumenggung Dipayuda III.
Awalnya perintahan berpusat di
Karanglewas (sekarang Kecamatan Kutasari), setelah anaknya menjabat sebagai Ngabehi
di Karanglewas, maka timbul ide dari Ki Arsantaka untuk memindahkan
pemerintahannya ke arah Tenggara. Pertimbangan yang diperoleh dari Ki Arsantaka
adalah karena letaknya yang dekat dengan Sungai Klawing, tujuanya untuk
memudahkan perdagangan dan kesuburan tanah yang bisa dijadikan untuk pertanian.
Pemindahan ini, bertepatan dengan tangga 23
Juli 1759 Masehi atau beretepatan dengan hari Senin Manis 26 Selo (Apit)
tahun Jawa EHE 1684 Windu Kuntoro. Versi ini menunjukan bahwa, tanggal 23 Juli
selayaknya dijadikan sebagai Hari Lahir Kabupaten Purbalingga. Namun, data ini
harus ditelisik lagi. Semoga ada kesempatan penulis, untuk lebih mendalami data
ini.
Untuk menutup artikel ini, penulis
mengajukan pertanyaan awal, kriteria apa yang menjadi tolak ukur Kabupaten
Purbalingga untuk menjadikan sebuah tanggal menjadi tanggal “keramat” dan
dijadikan Hari Jadi nya? Yuridis atau Lokalis?