Oleh: Arif Saefudin
Juara 2 Lomba Esai Bulan Bahsa UGM 2016, Klik Disini |
Dunia sastra, hingga
saat ini masih menjadi dunia yang ‘terasing’ bagi kebanyakan generasi muda,
mereka lebih disibukan dengan aktivitas dengan gadget nya. Mereka
terjebak dalam rutinitas yang tanpa batas, yaitu rutinitas keseharian yang
membuat mereka ‘malas’ berkarya, apalagi untuk bersastra. Hal ini dipengaruhi
oleh berbagai aspek, salah satu aspeknya adalah persoalan masa lalu (Baca: Orde
Baru) yang banyak membelenggu sebagian sastrawan. Diluar itu, kaum elit
dianggap tidak menanggapi kritik para sastrawan dan cenderung tidak mau bergaul
dengan mereka. Akibatnya, kebijakan kebudayaan dan terutama kesastraan tidak
dapat perhatian yang serius dari pemerintah.[1]
Perkembangan dunia
sastra, pada masa reformasi ini bisa dikatakan sedang menemukan momentum baru,
apabila kita melihat toko-toko buku disekitar, tentunya akan dengan mudah
melihat berbagai karya sastra yang dihasilkan oleh para sastrawan hebat
Indonesia. Karya sastra ini berupa roman percintaan, puisi-puisi dan
novel-novel yang ber-genre ramaja. Selain media cetak, media online manjadi
tempat yang subur bagi pecinta sastra untuk menuntaskan dahaganya. Saat ini,
kita sering melihat karya-karya sastra diangkat kedalam layar lebar, sebuah
kenyataan yang tidak bisa dinikmati oleh sastrawan sekaliber Pramudya Ananta
Toer dan Chairul Anwar sekalipun.
Dibalik menggeliatnya
dunia sastra sekarang, sastra tidak betul-betul menjadi bagian dari kehidupan
bangsa Indonesia secara umum. Dalam dunia pendidikan misalnya, para pelajar
hanya memandang sebelah mata dan menganggap dunia sastra tidak penting. Hal ini
sudah dikatakan oleh Taufik Ismail sebagai ‘generasi nol buku’. Taufik Ismail
membandingkan pelajar lulusan 13 Negara, termasuk didalamnya Indonesia, bahwa
pelajar kita tidak diwajibkan membaca buku apalagi mewajibkan untuk menulis.
Generasi inilah yang disebut Taufik Ismail sebagai ‘generasi yang rabun
membaca, dan pincang menulis’.[2]
Kenyataan ini diperkuat
oleh fakta tentang apresisasi karya sastra dinegara tetangga dibandingkan di
Indoneisa, padahal penulisnya merupakan sastrawan kita. Misalkan saja, karya
Ahmad Fuadi, novel karyanya yang berjudul Negeri Lima Menara menjadi
bacaan wajib bagi beberapa sekolah yang ada di Australia.[3] Pertanyaanya, bagaimana kita sebagai
generasi muda memaknai sastra dan pentingnya sebuah budaya literer?
Budaya Literer untuk Pendidikan Karakter
Bila dilhat, pendidikan
kita lebih mengarah kepada sebuah tujuan untuk tidak memanusiakan manusia
secara utuh, lahir maupun batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang
bercorak materialistik, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan moral,
kemanusiaan, dan kemuliaan budi. Akibatnya keluaran dari nilai-nilai keagungan
budi dan keluhuran pekerti jadi tidak tersentuh. Mereka jadi kehilangan
kepekaan nurani, seperti melontarkan kata-kata barbar dan bahasa tubuh yang
kasar dan vulgar. Nilai-nilai estetika dan etika ini telah terkebiri dan
terkerdilkan oleh gaya hidup yang hedonis dan konsumtif.
Rendahnya tingkat
apresiasi generasi muda terhadap sastra hingga kini masih menjadi problematika
dikalangan pengamat dan pemerhati sastra. Kalau keadaan ini berlanjut, bukan
mustahil pengajaran apresiasi sastra didunia pendidikan semakin terpuruk dan
terasingkan dari hiruk pikuk persaingan antar bangsa. Menghadapi persaingan
global ini, dunia pendidikan menempati peran yang sangat penting untuk bisa
mengoptimalkan fungsinya sebagai pusat pendidikan nilai yang tidak hanya
berbasiskan aspek kognitif, namun juga merambah kedalam aspek afektif dan
psikomotor.
Dari sinilah muncul
kesadaran, bahwa pendidikan karakter yang berbudaya literer berbasis sastra
menjadi sebuah keniscayaan. Dunia sastra dan tradisi literer merupakan sarana
untuk membentuk karakter suatu bangsa. Bahasa dan kata adalah tubuh dari
pikiran dan gagasan manusia, imajinasi, dan proyeksi sebuah masyarakat dan
kebudayaannya.[4] Buku tetralogi Buru karya Pramudya Ananta
Toer misalnya, menggambarkan gambaran mengenai mentalitas baru insani pribumi
yang sedang mengalami perubahan dan menanti sebuah momentum kebangkinan
kesadaran nasional. Selain itu, novel Andrea Hirata berbicara tentang sebuah
perjuangan hidup mengejar kesuksesan ditengah kehidupan yang serba terbatas.
Novel ini memberikan inspirasi kepada penikmatnya agar kesulitan bukanlah
akhir, namun proses permulaan untuk menuju sebuah kesuksesan.
Selain dapat menjadi
media pembentukan karakter, secara umum sastra juga dapat menjadi saluran bagi
terbangunnya budaya literer dalam masyarakat. Budaya literer tidak hanya
berkenan dengan kemampuan teknis membaca dan menulis. Seorang yang terbebas
dari tunaaksara tidak dengan sendirinya dianggap sebagai bagian dari masyarakat
yang memiliki budaya literer. Hanya mereka yang memiliki kemampuan baca-tulis
lah yang secara teknis serta menjadikan aktifitas baca-tulis sebagai kebutuhan
sehari-harilah yang dianggap sebagai cerminan masyarakat yang berbudaya
literer.
Untuk menumbuhkan budaya
literer ini, memang tidak mudah. Generasi muda harus berani melawan tradisi
dengan berani berkreasi. Salah satunya dengan membuat puisi, karya sastra yang memang secara ‘tidak
sadar’ lebih dekat dengan anak muda. Oleh karena itu, penulis berusaha
membangun sebuah pondasi, menjaga obsesi dan menuju realisasi yang nyata dengan
membuat antologi puisi bersama anak-anak muda disekitar kita.
Membangun Pondasi dengan Antologi Puisi
Harapan itu selalu ada.
Tidak sedikit generasi muda yang mau dan berani untuk bersastra, sebab masih
banyak serpihan ‘mozaik-mozaik’ anak muda yang masih menjunjung tinggi dunia
sastra. Bila dilihat, tanpa sadar mereka sebenarnya sering bersentuhan dengan
dunia sastra. Salah satu contohnya adalah ketika kita melihat status mereka dimedia
sosial. Sebagian dari mereka, entah itu di facebook, twitter, path dan
media sosial yang lainnya, status mereka rata-rata puitis dan penuh ‘mistis’,
karena banyak dari mereka menuangkan alam pikiran distatus sosialnya, dan
banyak kata sajak-sajak mengalir tanpa mereka merasa.
Dari semangat itu,
penulis ‘menantang’ mereka untuk menyatukan puisi-puisi kedalam sebuah buku
kecil. Untuk mengumpulkan itupun tidaklah mudah, karena membutuhkan waktu yang
sedikit menguras tenaga dan pikiran. Hanya mereka yang mau berdamai dengan
rutinitas dikelas yang tanpa batas. Mereka disatu sisi harus berkutat pada
pelajaran dan tugas yang jelas segudang jumlahnya, namun harus mengumpulkan dan
membuat karya sastra berbentuk puisi.
Mereka mencoba berolah
sastra, belajar membuat dan menuliskan puisi serta mengapresiasikannya lewat
bentuk sebuah antologi. Mereka memadukan dan mengimajinasikan, itulah puisi. Hal
ini seusuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Shahnon Ahmad bahwa sebuah
kata dipadukan, maka akan mendapat garis-garis besar tentang pengertian puisi
yang sebenarnya. Unsur-unsur tersebut berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide,
nada, irama, kesan pembaca, kiasan dan perasaan yang bercampur baur menjadi
sebuah rangkaian kata.[5]
Untuk membuat sebuah
puisi saja membutuhkan waktu dan suasana yang mendukung terutama harus
mempunyai sebuah tema atau ide. Faktor tersebut harus ada dalam proses
pembuatan sebuah puisi, karena untuk mencari tema dan ide itu sifatnya hanya
sepintas terfikirkan. Pertanyaanya bagaimana menumbuhkan ide? Ide itu datangnya
tiba-tiba, maka kita perlu menyediakan catatan kecil, semisal buku harian atau
catatan di smartphone. Ide-ide yang datang tiba-tiba itu, setelah
ditulis dalam bentuk catatan-catatan kecil tersimpan maka dibuka lagi ketika
kita dalam keadaan yang tenang, dari hasil perenungan ini bisa digali terus
menjadi sebuah puisi.
Apalagi dalam kondisi
anak muda yang sedang menyemai jati diri mereka. Mereka sedang menumbuhkan apa
yang terpendam dalam diri mereka, entah itu tentang pertemanan maupun masalah
cinta. Biasanya tema-tema seperti itu yang terlintas dibenak para anak muda.
Puisi mereka biasanya merupakan media yang paling tepat untuk terus menuangkan
perasaan mereka yang galau ataupun baper (terbawa
perasaan). Hal ini bisa berdampak positif, karena secara tidak langsung mereka
menumbuhkan budaya menulis bagi sekitarnya. Meskipun budaya membaca mereka
masih sedikit lemah, karena bisanya puisi yang mereka buat bukan karena dari
membaca, namun disebabkan karena pengalaman pribadi mereka yang sudah dialami.
Hal ini meskipun belum
lengkap, budaya menulis ini akan diimbangi dengan sendirinya karena mereka
setelah mau menulis, biasanya akan ‘terpaksa’ membaca, sehingga budaya yang
timbul akan lengkap dengan budaya membaca dan menulis. Kedua aspek ini tentunya
akan menumbuhkan karakter mereka menjadi karakter-karakter yang berpotensi menumbuhkan
budaya literer. Namun apabila bakat terpendam mereka tidak di ‘bangunkan’ maka
hal ini bisa mengancam semangat budaya membaca dan menulis.
Ada dua hal yang
mengancam budaya membaca dan menulis ini, yaitu pertama,
vokasionalisme baru, dimana lembaga-lembaga pendidikan hanya menekankan aspek
ketrampilan teknis. Semisal, banyak jurusan disekolah-sekolah yang hanya menjuruskan
minat siswa namun tidak melihat sisi-sisi yang lain, atau bakat yang ‘tertidur’
mereka. Dan yang kedua, terpaan luas dan intens dari multimedia,
khususnya media televisi yang menampilkan budaya-budaya konsumtif dan
pragmatis, semisal sinetron-sinetron yang sama sekali tidak ada nilai
pendidikannya, yang ada hanya pihak televisi mengejar rating dan pemasukan
iklan, sehingga secara tidak langsung televisi akan membunuh budaya menulis dan
membaca.[6] Oleh karena itu, semangat untuk melawan
dari serangan-serangan untuk mengkerdilkan semangat anak muda ini harus terus
dikobarkan.
Melalui semangat ini,
kiranya penulis berusaha terus menjaga tradisi bersastra untuk kaum muda.
Sebab, seperti yang sudah dibahas, kebiasaan membaca dan menulis merupakan
indikator majunya sebuah peradaban bangsa. Misalkan di negara Jepang,
penggunaan media kertas ternyata lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan
tisu toilet. Tradisi bersastra ini akan (setidaknya) menjaga agar usaha
menyemai jatidiri mereka terabadikan oleh sebauh karya puisi. Sehingga
diharapkan generasi sekarang tidak menjadi generasi yang menurut Taufiq Ismail
sebagai generasi yang ‘rabun membaca dan pincang menulis’ itu.
Kumpulan-kumpulan puisi
mereka harus berani dibukukan. Karena sudah banyak tersedia berbagai
penerbit-penerbit yang mau menerbitkan berbagai tulisan kita, meskipun
hanya penerbit indie. Hal ini mendorong penulis dan siswa bersama-sama untuk
membangunkan budaya literer ini kedalam sebuah buku antologi puisi.
Penerbit yang sudah menerbitkan buku antologi ini adalah Mer-C Publising yang
berada di Jakarta Selatan. Cetakan pertama pada bulan Februari 2016, dan ber
ISBN 978-602-71073-2-8 dengan judul buku “Retorika Cinta dalam Senja:
Antologi Puisi Menyemai Jati Diri”. Sebuah langkah awal dan pemicu bagi
bibit-bibit yang berbakat untuk mengembangkan dan mendorong supaya lebih
semangat untuk menuangkan semua ide kedalam bentuk tulisan.
Meskipun buku antologi ini masih
terbatas penulisnya (3 orang penulis), namun setidaknya penulis mencoba
menyumbangkan pikiran dan tenaga, untuk tetap membuat ‘lilin kecil tetap
menyala dan berubah menjadi kobaran api yang besar’ lewat generasi muda yang
berpotensi untuk bersinggungan secara langsung dengan dunia sastra. Akhirnya penulis
menyadari bahwa dunia sastra pada umumnya akan ‘bangun’ dari tidurnya selama
masih ada pena-pena anak muda yang berani menerobos dan menuangkan buah
pikirannya meski hanya sekedar antologi puisi sederhana. Semoga dunia sastra
pada umumnya, dan sastra pesantren khusunya akan terus menggeliat dan
mengeluarkan taringnya. Esai ini penulis tutup dengan sepenggal puisi dalam
antologi buku Retorika Cinta dalam Senja:
DIMANA CINTA SESUNGGUHNYA?
Cinta, bila kau datang tiba-tiba
Kedekatan jiwa, kecantikan mesra
Rindu nan penuh khayal merajut jiwa
Seisi hati menggenap untuknya
Asa mencinta tuk menyatu sepenuh tenaga
Rasa menjadi hidup hampa
Jika tanpa dia
Cinta, sekarang bila kau tahu
Dasar niat itu dibawah pusarmu
Nafsu raga jadi tujuanmu
Keduannya bersama cinta
Pasangan cinta itu idaman, alasannya
Cinta, sesatkah kamu cinta?
Sesat,! Jika sekumpul alasan akan pecinta
Pola tata krama dianggap tercela
Asal haram jadi halal, cinta untuk pecinta
Cinta, sekarang belum waktunya?
Siksaan adzab selanjutnya
Neraka akibatnya
Apa??? Neraka? Belakang urusannya
Itu masih lama
Cinta, sekarang kamu siapa?
Syariat, dihantam alasan apa saja
Lingkungan, berdukung berduyun mengiya
Keluarga, bila sudah ‘ada’, pasti setuju diterima
Apa??? Neraka? Masih kasat mata
Itu masih lama
Cinta, dimana kamu cinta yang sesungguhnya?
Hanya lewat jalan restu-Nya
Yang bisa memborgol modus cinta
Minta restulah pada-Nya
Semoga petunjuk-Nya
Datang untuk cinta yang sesungguhnya
Purbalingga, 8 November 2015
Daftar Pustaka
“Bacaan Wajib”, Rubrik Nama dan Peristiwa, Harian Kompas,
28 November 2015.
Larlen. 2012. “Nilai Estetika Puisi Dua Pintu Kita dan Batu Pelangi”.,
dalam Jurnal Pena Vol. 2 No. 3 Desember 2012. Hlm 97-117.
Taufiq Ismail. 2009. “Dari Pasar Djohar ke Djalan Kedjaksaan”, Makalah pada
Seminar Nasional Pengembangan Model Pembelajaran Sastra yang Komunikatif dan
Kreatif, Universitas Negeri Semarang, Ahad, 7 Juni 2009.
Wildan Yatim. 1979. “Tidak didukung Situasi Politik”., dalam rubrik dialog
dengan tema “Sastra Kita: Tetapkah Terpencil?”, Jurnal Prisma edisi
April 1979.
Yudi Latif. 2009. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan
Berbasis Kesastraan. Jakarta: Kompas.
[1] Lihat Wildan Yatim.
1979. “Tidak didukung Situasi Politik”., dalam rubrik dialog dengan tema
“Sastra Kita: Tetapkah Terpencil?”, Jurnal Prisma edisi April
1979.
[2] Lihat makalah dari Taufiq
Ismail. 2009. “Dari Pasar Djohar ke Djalan Kedjaksaan”, Makalah pada
Seminar Nasional Pengembangan Model Pembelajaran Sastra yang Komunikatif dan
Kreatif, Universitas Negeri Semarang, Ahad, 7 Juni 2009.
[3] “Bacaan Wajib”, Rubrik Nama dan Peristiwa, Harian Kompas,
28 November 2015.
[4] Lihat buku Yudi Latif. 2009. Menyemai Karakter
Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: Kompas.
[5] Lihat Larlen. 2012.
“Nilai Estetika Puisi Dua Pintu Kita dan Batu Pelangi”., dalam Jurnal
Pena Vol. 2 No. 3 Desember 2012. Hlm 97-117.
[6] Yudi Latif. 2009. ibid..,
hlm 19.