Pendopo Dipokusumo Purbalingga Di Muat dalam Opini Koran Satelitpost Edisi 6 Desember 2016. |
Awal tahun 2016, Kabupaten Banyumas merayakan
Hari Jadinya yang berbeda. Selama 25 tahun, Kabupaten Banyumas merayakan HUT
pada tanggal 6 April. Kini warga Banyumas merasakan moment yang berbeda, yaitu dengan perubahan perayaan HUT menjadi
tanggal 22 Februari. Apresiasi yang tinggi untuk Prof. Dr. Sugeng Priyadi, guru
akademik penulis, yang mencurahkan tenaga dan pikirannya hampir 25 tahun untuk
“menggugat” HUT Banyumas. Hal ini membuat daerah-daerah lain juga melihat
kesempatan yang sama untuk bertanya keapada sejarah daerahnya masing-masing? Apakah
selama ini HUT yang dirayakan sudah sesuai dengan fakta sejarah?
Sebagai warga asli Purbalingga,
pertanyaan diatas pun sempat tersirat dibenak, karena tidak menutup kemungkinan
bahwa dengan ditemukannya dokumen-dokumen baru, maka akan menambah diskusi
tentang Hari Lahirnya Purbalingga. Bukan hal yang mustahil, hari lahir yang
selama ini dirayakan, hanya sebuah legitimasi politik tanpa melihat fakta
sejarah. Hal ini menjadi disorientasi historiografi yang tidak sesuai dengan
fakta sejarah.
Beberapa waktu lalu, penulis
menemukan sebuah makalah berangka tahun 1988 dengan judul “Hari Jadi Kabupaten
Purbalingga”. Panitia penyusun makalah ini juga diakui pemerintah Kabupaten
Purbalingga dengan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Purbalingga dengan Nomor:
433-175 Tanggal 1 Februari 1988. Artinya, tim ini memang dibentuk oleh Bupati
sendiri untuk menelusuri hari lahir yang sesuai dengan fakta sejarah. Memang
sangat berbeda dengan cerita legendaris Ki Arsantaka, hal ini bisa menjadi
diskusi ilmiah lebih lanjut. Berikut garis besar isi makalah itu.
Raden Ronggo
Yudonegoro: Bupati Pertama?
Awalnya, Purbalingga merupakan
sebuah “Kademangan” dari wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta. Kademangan ini
dipimpin oleh Raden Demang Prawirodimedjo, dalam perkembangannya, daerah
Kademangan ini dinaikan tingkatanya dengan status “Distrik”. Sehingga Raden
Demang Prawirodimedjo diangkat sebagai kepala Distrik dengan gelar Raden Ronggo
Yudonegoro. Raden Ronggo Yudonegoro merupakan anak dari Bekel Kiai Wirowidjojo
dan cucu dari Bupati Temanggung, yaitu Wiro Digdo yang berpusaat di Surakarta.
Sumber
mengenai Raden Ronggo Yudonegoro dapat dilihat dari “Surat Residen Kedoe”,
tertanggal 6 Januari 1829 Nomor 102 yang ditujukan kepada Luietenant Gouvereur Generaal (LGG) dan Surat Resolusi tanggal 4
Februari 1834 Nomor 1. Dalam surat itu, berisi tentang kondisi kerusuhan yang
terjadi akibat Perang Diponegoro antara tahun 1825-1830. Pada waktu itu,
Distrik Purbalingga menjadi bawahan Kabupaten Magelang. Seiring meluasnya
kerusuhan di Distrik Purbalingga, dan ketidak mampuan Kabupaten Magelang
menjangkau dan memadamkan kerusuhan (seperti perang di Mandiraja dan Bitting
tahun 1826) maka ditunjuklah Raden Ronggo Yudonegoro menjadi kepala Distrik
Purbalingga.
Dengan
pertimbangan itu, Pemerintah Hindia Belanda atas ijin Vorstelanden mengambil inisiatif mengangkat Raden Ronggo Yudonegoro
menjadi seorang Regent atau Bupati di
Purbalingga dengan wilayah bekas Distrik Purbalingga. Hal ini merujuk pada
Surat tertanggal 10 Januari 1829 Nomor 709 dari Luitenant General-Luitentant Gouvereur Generaal (LG-LGG) De Kock
yang ditujukan kepada De Minister Van
Staat, Komissaris Generaal over
Nederlansch Indie, yang berisi tentang pertimbangan-pertimbangan Raden
Ronggo Yudonegoro, seorang Pejabat Tinggi Pribumi menjadi seorang Bupati atau
Regent.
Atas
pertimbangan dari para Bupati dari Kedu tertanggal 6 Januari 1829 Nomor 102 dan
pendapat LG-LGG pada tanggal 10 Januari 1829 Nomor 709, maka dengan resmi Raden
Ronggo Yudonegoro diangkat menjadi Regent
van Purbalingga (Bupati Purbalingga). Sedangkan pengangkatan tersebut,
ditetapkan dalam Besluit Kommissaris General tertanggal 22 Januari 1829 Nomor 39
Atas Nama Raja. Secara garis besar,
keputusan tersebut berisi beberapa poin.
Pertama,
Raden Ronggo Yudonegoro, Kepala Distrik Purbalingga dinaikan pangkatnya menjadi
Bupati (Regent) dengan gelar Raden Tumenggung Yudonegoro. Kedua,
Distrik Purbalingga berubah status menjadi Kabupaten Purbalingga yang berdiri
sendiri, semula masih dibawah Kabupaten Magelang. Ketiga, Bupati
mendapatkan gaji f.400,00 (empatratus gulden) selama sebulan, kemudian
akan ditetapkan setelah pembrontakan dihilangkan. Dan empat, Bupati
diperbantukan oleh seorang Patih (Raden Ing Ngabei Tirto Atmodjo) dan Kliwon
(Mas Merto Tudo), dan gaji beberapa pegawai lainnya, sesuai dengan yang
ditetapkan untuk Kepala Bupati Purbalingga. Sejak surat keputusan Kommissaris General tanggal 22 Januari
1829 nomor 39, maka secara RESMI sebuah Kabupaten Purbalingga lahir secara
yuridis.
Kenapa Harus tanggal 18 Desember?
Setelah
tahun 1830, Perang Jawa pimpinan Pangeran Diponegoro dapat dikatakan bisa
ditaklukan. Setelah ditaklukan kembali, pemerintah Hindia Belanda mendapatkan
wilayah kekuasaan tambahan yang sebelumnya dikuasai oleh Kasunanan Surakarta
dan Kasultanan Yogyakarta. Salah satu wilayah itu adalah Purbalingga. Hal ini
ditegaskan dalam Besluit Gouvernuer General di Batavia tertanggal 18
Desember 1830 Nomor 1, mengenai “Pengambil alihan kekuasaan atas
wilayah-wilayah Vorstenlanden/bekas wilayah Kasunanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta oleh Belanda”. Hal ini disebutkan dalam Buku Java Oorlog Jilid VI lampiran XXXII yang
menyebutkan (beberapa point tidak disebutkan karena berkaitan dengan daerah
lain):
Point
a, menetapkan bahwa tanah-tanah yang dilepaskan oleh Kerajaan Surakarata
dan Yogyakarta terletak disebelah Barat dari wilayah Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta akan dijadikan 2 (dua) Karsidenan, yaitu: Karsidenan
Bagelan dan Karsidenan Banjoemas. Point g, Karsidenan Banyumas akan
dibagi kedalam 4 Kabupaten, yaitu: Banyumas; Ajibarang; Dayeuh Luhur dan
Purbalingga.
Jadi,
penetapan HUT Purbalingga yang dirayakan dengan landasan Perda Nomor 15 Tahun
1996 mengacu pada pengambil alihan wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta oleh pemerintah Hindia Belanda. Pertanyaanya, mengapa
harus tanggal 18 Desember? Penulis pun tidak bisa memastikan ini. Namun
pertanyaan lain yang justru timbul, kenapa Banyumas tidak menggunakan tanggal
18 Desember itu? Padahal tanggal tersebut justru merupakan tanggal terbentuknya
Karsidenan Banyumas.
Kalau
secara yuridis, ketika pengangakatan Raden Ronggo Yudonegoro diangkat sebagai
Bupati pertama Purbalingga tangggal 22 Januari 1829, maka selayaknya tanggal
itulah yang seharusnya dijadikan hari lahir, bukan tanggal 18 Desember 1830 yang
merupakan pembentukan Karsidenan Banyumas. Jadi dengan kata lain, HUT
Purbalingga yang dirayakan setiap tanggal 18 Desember itu, sama saja merayakan
kekalahan Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan merayakan
penyerahan kekuasaan bekas wilayah Kasunanan Surakarta dan Kesultanan
Yogyakarta kepada Belanda. Mari kita merefleksikan diri dengan berfikir kritis.
Sejarah
harus memiliki senjata ke-kritis-an. Memang untuk menuliskan sejarah kritis,
kita juga harus melihat sejarah tradisional. Kemampuan terbatas penulis yang
belum mampu membongkar Babad yang
berbicara tentang sejarah Purbalingga dari perspektif lokal. Karena menurut
Prof. Taufik Abdullah, ketika sejarah kritis ingin ditulis, maka masalah pertama
yang harus dihadapi adalah mencari “fakta” dibelakang historiografi tradisional
yang menentukan hayat “kewajaran sejarah”, dan tradisi lisan, yang merupakan mirage of reality.
Pertanyaan yang harus dijawab
terlebih dahulu sebelum berdiskusi secara ilmiah lebih lanjut adalah, kriteria
apa yang menjadi tolak ukur Kabupaten Purbalingga untuk menjadikan sebuah
tanggal menjadi tanggal “keramat” dan dijadikan Hari Jadi nya? Kalau Purbalingga ingin mencari hari jadi yang sesuai jiwa lokal nya, maka mencari arus histori versi lokal yang menjadi kemutlakan.
Versi lokal yang penulis maskud adalah versi dari babad yang berbicara tentang berdirinya Kabupaten Purbalingga. Dalam versi ini, Ki Arsantaka menjadi tokoh sentral dalam berdirinya Kabupaten Purbalingga. Menurut Tri Atmo, Ki Arsantaka merupakan putera dari Adipati Onje II dengan puteri dari Adipati Arenan. Ki Arsantaka setelah dewasa mengembara ke Timur dari rumahnya di Onje (Kecamatan Mrebet sekarang). Hingga tiba di Desa Masaran (sekarang Kecamatan Bawang, Banjarnegara). Disana Ki Arsantaka diangkat anak oleh Ki Rindik atau Ki Wanakusuma, menantu dari Ki Ageng Gendani dari Pdepokan Bangkongreng, sehingga nama Arsantaka diganti menjadi Arsakusuma.
Setelah itu, Ki Arsantaka menikah dengan Nyi Merden, puteri dari Ki Pranadipa (keturunan Adipati Wirasaba), dari pernikahannya ini, keturanannya akan menjabat Bupati Purbalingg, yaitu Raden Tumenggung Dipayuda III. Ki Arsantaka berjasa kepada saat perang Jenar, perang antara Mankubumi dengan Pakubuwono III. Jasa terbesar Ki Arsantaka karena berhasil menemukan jasad dari Nhabehi Dipayuda I, sehingga nanti anaknya, Ki Arsayuda diberikan gelar Raden Tumenggung Dipayuda III.
Awalnya perintahan berpusat di Karanglewas (sekarang Kecamatan Kutasari), setelah anaknya menjabat sebagai Ngabehi di Karanglewas, maka timbul ide dari Ki Arsantaka untuk memindahkan pemerintahannya ke arah Tenggara. Pertimbangan yang diperoleh dari Ki Arsantaka adalah karena letaknya yang dekat dengan Sungai Klawing, tujuanya untuk memudahkan perdagangan dan kesuburan tanah yang bisa dijadikan untuk pertanian. Pemindahan ini, bertepatan dengan tangga 23 Juli 1759 Masehi atau beretepatan dengan hari Senin Manis 26 Selo (Apit) tahun Jawa EHE 1684 Windu Kuntoro. Versi ini menunjukan bahwa, tanggal 23 Juli selayaknya dijadikan sebagai Hari Lahir Kabupaten Purbalingga. Namun, data ini harus ditelisik lagi. Semoga ada kesempatan penulis, untuk lebih mendalami data ini.[]