Tanaman Sukun |
Sebagian
masyarakat Indonesia memang sudah familiar dengan beras sebagai makanan
pokoknya. Indonesia menurut data dari BPS, merupakan negara dengan konsumi
beras tertinggi di dunia. Penduduk Indonesia yang sudah mencapai 250 Juta
memerlukan kira-kira 30 Juta ton beras untuk keperluan pangan nasional.
Kedepannya, kebutuhan beras akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan
penduduk yang semaikin meningkat. Namun bila kita melihat produksi padi
nasional, rasanya sulit untuk mencapai swasembada beras, hal ini karena
berkurangnya lahan dan irigasi yang terbatas menyebabkan persedian beras dimasa
datang akan terancam menurun.
Keteergantungan
orang Indonesia terhadap beras sangat beresiko terhadap ketahanan pangan
nasional, karena hal ini akan merapuhkan kondisi stabilitas ekonomi, sosial dan
politik nasional. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah dalam mencanangkan
diversifikasi pangan yang bertujuan untuk memberikan makanan alternatif pada
masyarakat Indonesia harus kita dukung, karena dengan diservikasi pangan ini
akan mengurangi ketergantunga kita dengan beras. Selain itu, semakin banyak
fariasi makanan pokok, maka akan berdampak pada bertambahnya kualtias konsumsi
masyarakat. Makanan seperti sukun, talas dan ubi-ubian perlu dipertimbangkan
sebagai alternatif untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. dalam tulisan
ini, akan dibahas lebih spesifik Sukun sebagai makanan alternatif.
Sukun
dan Daya Pangan Lokal
Sebagai
negara yang mempunyai iklim tropis, Indonesia memiliki semua sumber daya hayati
maupun hewani. Berbagai tumbuhan dapat hidup dan berkembagn dengan sangat baik
diwilayah tropis ini, termasuk dalam hal ini adalah tanaman pangan untuk
manusia. Tanaman pangan yang mengandung karbohidrat ini berperan sangat penting
untuk pemberi stok makanan pokok pada suatu negara. Di Indonesia sendiri,
tanaman yang mengandung karbohidrat sangat banyak, bukan hanya beras, seperti
jenis umbi-umbian seperti sukun. Sukun yang nama latinya Astocarpus astilis ini juga merupakan makanan penghasil karbohidrat
yang masih jarang dilirik oleh masyarakat Indonesia.
Tanaman
sukun ini termasuk kedalam keluarga moraceae
yang tumbuh subur di Pacifik,
Polynesia dan Asia Tenggara sendiri, termasuk Indonesia. Pada zaman dahulu,
sukun merupakan makanan penting bagi bangsa Polinesia yang selalu membawa
kemanapun mereka singgah dan menanamnya disekitar kepulauan Pacifik. Dalam
tradisi Hawai, sukun dianggap sebagai sebuah simbol penggugah kedermawanan dan
kreatifitas. Hingga saat ini, negara yang menggunakan sukun sebagai makanan
pokoknya adalah negara-negara disekitar Kepulauan Karabia.
Di
Indonesia, terutama di pulau Jawa, Sukun berbentuk bulat, sedangkan didaerah
lainnya seperti Lampung berbentuk lonjong atau di Kalimantan ukurannya lebih
kecil. Disamping sebagai sumber pangan, buah sukun juga bisa dimanfaatkan
daunnya, seperti menurunkan kadar kolesterol darah, atau obat untuk mengaasi
peradangan. Indonesia, dalam hal ini Direktorat Jenderal Hortikultura
Kementerian Pertanian sejak tahun 2002 telah merintis produksi sukun yang terus
meningkat. Berbagai daerah yang mengalami peningkatan seperti di Jawa Barat
(terbesar) dan Jawa Tengah (terbesar kedua). Hal ini mengindikasikan, daerah
Jawa yang paling padat pendudukanya dibandingkan dengan pulau yang lainnya bisa
memanfaatkan sukun ini sebagai alternatifnya.
Diluar
pulau Jawa sendiri, sudah banyak masyarakat yang mengkonsumsi makanan laiun
selain beras sebgai makanan pokoknya, seperti Jagung (Madura dan Sulawesi), dan
Sagu (Maluku dan Papua), sehingga tidak terlalu sulit untuk menggali sumber
pangan lain yang mempunyai kesetaraan dengan beras. Sukun sendiri apabila
dibandingkan dengan beras tidak terlalu berbeda, kandungan karbohidrat dari 100
gram sukun sama dengan 1/3 karbohidrat beras. Apabila sukun diolah menjadi
tepung sukun, maka kandungan karbohidratnya sudah setara dengan beras dan kalau
dibandingkan dengan makanan sepreti Jagung dan Sagu, maka sukun masih mempunyai
kandungan karbohidrat yang lebih tinggi.
Potensi
Pengganti Beras
Untuk menghitung
potensi produski sukun sebagai sumber karbohidrat pengganti beras nasional,
maka perlu dihiutung berdasarkan tingkat konsumsi perkapita pertahun. Menurut
Supriyati (2015), jika konsumsi beras adalah 130 kg/kapita/th, maka untuk
penduduk Indonesia yang berjumlah 231 juta orang saat ini diperlukan 130 kg x
231,4 juta = 30,1 juta ton beras per tahun. Kandungan karbohidrat dari 100 gram
beras setara dengan 100 gram tepung sukun, masing-masing 78,9%. Berarti 1 kg
beras setara dengan 1 kg tepung sukun atau apabila kebutuhan beras 130 kg per
kapita per tahun berarti setara dengan 130 kg tepung sukun per kapita per
tahun.
Tanaman sukun berbuah
dua kali dalam satu tahun, di mana musim panen pertama umumnya pada bulan
Januari dan Februari yang produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan panen
musim kedua pada bulan Agustus dan September. Jika produksi optimal tanaman
sukun pada musim panen pertama berkisar antara 600-700 buah dan pada musim
panen kedua diasumsikan 50% atau 300 buah, maka satu tanaman sukun dapat menghasilkan
600 buah + 300 buah = 900 buah per tahun. Faktor geografis, agroekosistem, dan
potensi lahan merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat produksi sukun. Jika
dalam estimasi potensi sukun ini digunakan nilai koreksi antaragroekosistem
sebesar 30%, maka produksi buah sukun per tanaman rata-rata 600 buah. Dengan
asumsi bobot rata-rata sebuah sukun 600 gram (Syah dan Nazarudin 1994), dan
rendemen buah menjadi tepung adalah 30% (Noviarso 2003) maka satu tanaman sukun
dapat menghasilkan 600 buah x bobot per buah persentase kadar tepung per buah =
600 buah x 600 gram x 30% = 108.000 gram tepung sukun per tanaman atau 108 kg
tepung sukun per tanaman.
Apabila 10% dari
kebutuhan beras di Indonesia disubstitusi oleh tepung sukun, maka jumlah
tanaman sukun yang dibutuhkan untuk memproduksi 3 juta ton tepung sukun
dikalkulasi sebagai berikut: Jumlah kebutuhan karbohidrat per tahun dibagi
dengan rata-rata produksi karbodihrat per tanaman sukun per tahun =
3.000.000.000 kg : 108 kg = 27,8 juta tanaman sukun. Ini berarti untuk
mensuplai 10% kebutuhan karbohidrat nasional per tahun dibutuhkan 27,8 juta
tanaman sukun. Mengingat biaya untuk pengembangan sukun tidak sedikit dan daya
penerimaan masyarakat terhadap substitusi pangan ini tidak sederhana, maka
mensubstitusi beras dengan tepung sukun dapat secara bertahap dengan cara
memperkenalkan variasi olahan makanan yang bersumber dari tepung sukun yang
pada akhirnya terjadi proses perubahan pola konsumsi masyarakat. Artinya proses
substitusi ditawarkan kepada masyarakat tidak sekaligus, tetapi mengikuti
selera konsumen.
Masalah yang akan
dihadapi adalah ketersediaan lahan untuk pengembangan sukun. Apabila untuk
substitusi beras menggunakan angka 10%, maka diperlukan lahan seluas 278.700.
ha. Lahan seluas itu sulit diperoleh apabila sukun ditanam secara monokultur.
Alternatifnya adalah penanaman secara polikultur bersama-sama dengan tanaman
lainnya, tanaman sukun disisipkan pada hamparan kebun buah-buahan lain atau
pekarangan. Prioritas penanaman sebaiknya diarahkan pada lahan kering, tegalan,
kebun dan pekarangan, atau lahan terlantar berbukit yang ketersediaan airnya
terbatas. Jenis lahan seperti itu banyak terdapat di Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Bali, Nusatenggara, dan Sulawesi.
Selain lahan kering
tersebut, pemerintah juga dapat memanfaatkan kawasan hutan rakyat yang luasnya
diperkirakan 1,57 juta ha. Total lahan kering yang tersedia adalah 18,9 juta
ha. Lahan yang dibutuhkan untuk pengembangan tanaman sukun pada tingkat
substitusi 10% adalah 278,700 ribu ha. Dengan demikian, pada lahan yang
tersedia dimungkinkan untuk ditanam sukun bukan secara monokultur. Kebutuhan
lahan akan berkurang lagi jika memperhatikan luas pertanaman sukun yang telah
ada di Indonesia.
Sukun sebagai sumber
karbohidrat pengganti beras memberikan harapan di masa depan, mengingat budi
daya tanaman sukun tidak memerlukan lahan beririgasi dan input produksi berupa
pemupukan, dan pestisida minimal, sehingga dapat dikatakan tanaman dengan input
rendah namun tetap berproduksi dua kali dalam setahun. Potensi pengembangan
tanaman sukun terbuka luas mengingat tanaman ini dapat berkembang pada
ketinggian sampai sekitar 700 m di atas permukaan laut, dan sangat cocok untuk
agroekosistem yang banyak mendapat sinar matahari seperti wilayah tropis,
bahkan tanaman sukun tetap dapat berkembang meskipun curah hujan relatif
kurang.
Sukun:
Sebuah Solusi?
Sukun termasuk tanaman
asli tropik, tumbuh baik di dataran rendah beriklim lembab panas dengan
temperatur 15-380C. Kisaran toleransi tumbuhnya cukup lebar, mulai dari wilayah
pantai sampai ketinggian 700 m dari permukaan laut. Sukun juga toleran terhadap
curah hujan tinggi, 80-100 mm per tahun dengan kelembaban 50-70% (Morton 1987)
Bahkan sukun dapat tumbuh dipulau karang dan pantai. Pada musim kemarau, di
saat tanaman lain menurun produksinya, sukun justru dapat menghasilkan buah
dengan lebat.
Kita tau bahwa tanaman
sukun mempunyai peluang besar untuk menopang kebutuhan sumber pangan karena
mempunyai kandungan gizi dan kalori yang tinggi. Pengembangan tanaman ini
secara intensif akan berkontribusi terhadap upaya menjamin ketahanan pangan
nasional. Mengingat kandungan karbohidratnya tinggi, sukun mempunyai potensi
untuk digunakan sebagai bahan makanan pokok substitusi beras. Sukun dapat
dipanen pada bulan Januari dan Agustus, bersamaan waktunya dengan petani
kekurangan beras.
Tanaman sukun merupakan tanaman yang sedikit
memerlukan perawatan dan dapat dibudidayakan pada berbagai kondisi agroklimat.
Keterbatasan lahan maka diperkirakan produksi sukun hanya mampu mensubstitusi
beras 10%, sukun diproduksi secara polikultur, disisipkan pada kebun
buah-buahan dan pekarangan. Diperlukan penguasaan teknologi pengolahan sukun,
baik dalam bentuk pangan yang lebih menarik dan modern maupun tepung.
Pengembangan sukun sebagai sumber pangan dilakukan melalui pendekatan
integratif antara petani, asosiasi produsen, pedagang, industri pangan, dan
pemangku kepentingan serta membangun komitmen, kebersamaan, konsistensi dan
koneksitas jaringan mitra kerja untuk mewujudkan ketersediaan sukun sebagai
sumber pangan alternatif yang dapat mensejahterakan rakyat.
Daftar Pusaka
Supriati, Y., I.
Mariska, dan S. Hutami. 2015. “Mikropropagasi sukun (Artocarpus communis Forst), tanaman sumber karbohidrat
alternatif”. Jurnal Ilmiah Nasional 7
(4): 219-226.
Sukmaningrum, A.
2013. “Formulasi produk makanan berkalori tinggi (pangan darurat) dari buah
sukun”. Skripsi. Sarjana Fakultas
Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.