“Firman
Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi Gitamu : “Innallahu la
yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim”. ” Tuhan tidak
merobah nasibnya sesuatu bangsa sebelum bangsa itu merobah nasibnya”
[Bung Karno, Pidato HUT Proklamasi, 1964]
Sebagai
negara yang besar, dengan wilayah Indonesia 1,904,569 km2
dan jumlah individunya mencapai 252.370.792 jiwa penduduk, pantas bila Indonesia disebut sebagai negara
“super”dengan segala problematika dan persaingan di berbagai segi yang ada. Perkembangan
ekonomi dunia serta perubahan struktural yang terjadi di berbagai bidang, telah
menimbulkan tantangan dan sekaligus menjadi peluang bagi Indonesia untuk
merubah nasibnya. Satu hal yang merupakan prasyarat untuk dapat mengatasi
tantangan dan persaingan yang ada, yakni dengan memanfaatkan peluang yang
timbul dan meningkatkan kualitas manusianya untuk dapat bersaing di dunia
internasional .
Indonesia adalah negara dengan cita-citanya yang ingin
menjadi negara besar, negara yang kuat, negara yang ingin diakui pula dihormati
keberadaanya dalam konstelasi dunia sebagai negara yang hebat. Namun, setelah
71 tahun Indonesia merdeka, belum sepenuhnya bangsa ini mencapai tujuan citanya
itu. Meskipun telah kita rasakan berbagai kemajuan yang ada di berbagai bidang,
kita harus tetap sadar bahwa pencapaian yang kita dapatkan sekarang masih kalah
hebatnya dengan bangsa lain, jangan sampai kita menjadi bangsa yang
terbelakang. Meningkatnya tindak kriminal dan semakin maraknya kasus, korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) menunjukan bangsa ini sudah mulai kehilangan jati
dirinya, belum lagi masalah disintegrasi yang menguatkan bangsa ini telah
terjadi degblackasi moral kebangsaan.
Untuk itu, sekarang kita harus tetap sadar
meningkatkan kemauan dan kemampuan kita karena kedepan masih banyak persoalan
yang lebih kompleks. Optimisme dan integritas seluruh golongan masyarakat
terutama generasi penerus bangsa dengan semangat nasionalisme untuk mewujudkan
cita-cita harus tetap dijalankan secara sistematik, terencana dan dalam proses
yang kontinyu/berkelanjutan.
Pendidikan
yang seharusnya menjadi dasar “Pembentukan” dan “Perbaikan” karakter bangsa
malah justru mengalami kegagalannya. Tak bisa dipungkiri, walaupun telah mengalami
kegagalan, namun pendidikan merupakan sarana utama memperbaiki moral, mental
dan karakter bangsa. Kita semua sepakat bahwa hanya dengan pendidikanlah
Indonesia bisa mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Sekarang
pertanyaannya, Bagaimana langkah yang disiapkan untuk merealisasikan
“cita-cita” bangsa Indonesia?
Transformasi Pendidikan :
Menyiapkan Manusianya
Untuk
bisa mengantarkan bangsa Indonesia kearah tujuan cita-citanya, diperlukan
sebuah transformasi pendidikan untuk meng “up-grade”
kualitas manusianya. Pendidikan merupakan kendaraan yang menjadi “tunggangan”
utama dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sistem Pendidikan kita
yang bisa disebut “Unik” karena macam rasa macam warnanya. Bisa disebut seperti
itu karena peserta didik di Indonesia bingung atas seringnya pergantian sistem
yang menghasilkan berbagai “Pro dan Kontra”. Misal saja pergantian Kurikulum
2006 yang belum bisa diukur titik keberhasilannya dilapangan, sudah diganti
oleh kurikulum 2013, padahal kurikulum merupakan jantung dari pendidikan (curiculum is the heart from education).
Ditambah kebijakan baru untuk anak SD berupa sistim “Full Day School” yang jelas memberatkan bagi anak se-usia mereka.
Memang Indonesia perlu perubahan, untuk itu diperlukan “gebragan”, diperlukan
transformasi pendidikan untuk menyiapkan dan membentuk manusia yang
berkompeten.
Transformasi Pendidikan merupakan
penggerak dalam merubah struktur masyarakat berkembang menuju masyarakat maju.
Dalam pokok bahasan ini, transformasi pendidikan ditujukan untuk memajukan pola
pikir masyarakat, mengubah wawasan masyarakat agar mengaktualisasikan
optimalisasi potensi yang ada guna untuk mempercepat proses pembangunan
nasional. Mengapa harus menyiapkan manusianya? Karena manusia itu sendiri yang
akan membawa bangsanya meraih cita-cita. Bagaimana caranya? Caranya dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM), yang diperlukan
untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah pendidikan dan seluruh aspek pendorongnya
seperti, pemerintah, dan tenaga pengajar yang terintegrasi dalam suatu wadah.
Kualitas tenaga pengajar harus
segera di standarisasikan, harus berkemampuan intelektual yang mumpuni, guna
menyiapkan manusia yang kompeten. Dalam hal ini, Pemerintah dan tenaga pengajar
atau guru harus mengubah pola ajarnya agar tidak menjadikan peserta didik
bingung akan kebijakan dan sistim pendidikan yang ada. Strategi yang perlu diubah tenaga
pengajar atau guru yakni dengan mengubah paradigma teaching berlandaskan pada paradigma learning sebagai sistim yang berproses. Paradigma learning terlihat dalam empat visi
pendidikan menuju abad ke-21 versi UNESCO. Keempat visi pendidikan ini sangat
jelas berdasarkan pada paradigma learning, tidak lagi pada teaching,
yaitu learning to know, learning to do, learning to
live together, dan learning to be.
Hakikat dari paradigma learning to know artinya proses pembelajaran yang memungkinkan peserta
didik mendapatkan pengetahuan secara intelektual dan akademis, sehingga tercapainya
keseimbangan dalam penguasaan IPTEK. Selanjutnya dalam learning to do dalam hal ini, peserta
didik berkesempatan mengintegrasikan
pemahaman konsep, penguasaan keterampilan teknis dan intelektual, untuk
memecahkan masalah keseharian maupun masalah global.
Indonesia dengan negara yang mempunyai ragam suku dan budaya sangat diperlukan
integritas antar daerahnya, untuk itu perlu adanya pemersatu dalam dunia
pendidikan. Dalam pilar ke tiga ini, peserta didik diajarkan apa itu arti dari
kehidupan “learning to live together” (belajar
untuk hidup bersama). Ini diperlukan oleh peserta didik untuk bisa saling
menerima, bertoleransi, tenggang rasa dan memiliki jiwa sosial yang tinggi guna
untuk menyelesaikan tujuan bersama dalam dunia kerja nanti.
Muara akhir dari tujuan pembelajaran dalam paradigma
learning adalah “learning to be”. Dalam tahapan ini peserta didik sudah mempunyai
bekal yang lengkap dalam dunianya. Dalam teori paradigma ini, mampu menciptakan manusia mandiri yang
memiliki kemantapan emosional, intelektual, moral, spiritual, yang dapat
mengendalikan dirinya, konsisten dan memiliki rasa empati atau dalam dunia
psikologi telah memiliki, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional,
kecerdasan moral, dan kecerdasan spiritual. Bila
semua aspek diatas telah terpenuhi dalam diri seseorang, maka dalam paradigma learning to be (belajar untuk menjadi
sesuatu), orang tersebut akan bisa menjalankan tugas kerjanya dengan baik,
tidak hanya sebagai pemangku kekuasaan, tetapi mempunyai tanggung jawab atas
jabatanya.
Memanusiakan Manusia: Berbudaya
dan Berkarakter Bangsa
“Mendidik
seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral
adalalah
ancaman mara-bahaya kepada masyarakat”
-Theodore Roosevelt
Seperti
halnya robot yang mempunyai kecerdasan tetapi tidak mempunyai moral terhadap
sesamanya, akan pula menimbulkan mara-bahaya kepada manusia pada umumnya. Bila
pendidikan hanya dijadikan sebagai “transfer
of knowledge” yang hanya memberi ilmu pengetahuan secara akademis, tanpa
memberikan “transfer of values” atau
penanaman nilai karakter, sama saja kita menciptakan “robot” bukan generasi
penerus bangsa. Di era globalisasi ini, masyarakat terutama generasi penerus
bangsa telah terdegblackasi moralnya. Tidak ada yang hidup untuk tujuan
bangsanya, semua berjalan menggapai citanya sendiri, kini setiap individu hanya
berfikir untuk sukses, bisa membahagiakan keluarganya, menjadi kaya mempunyai
banyak harta, tahta, dan pasangan hidupnya. Sekarang yang harus dilakukan oleh Indonesia
adalah bagaimana mengubah generasi penerus bangsa agar hidup hanya untuk
kesuksesan bangsanya, bukan untuk ego setiap individunya.
“Memanusiakan manusia”
merupakan langkah awal untuk menciptakan manusia yang sesunggguhnya, dalam
artian manusia yang mengerti akan tugas dan kewajibannya sebagai manusia yang
bermartabat dan bertanggung jawab pada negaranya. Untuk itu, diperlukan
pendidikan yang di implementasikan dengan budaya dan karakter bangsa Indonesia,
supaya membentuk generasi yang dapat bekerja keras bagi kesuksesan
negaranya.
Melihat dari pengertian budaya dan karakter bangsa, Soelaiman Soemardi & Selo Soemardjan
mengartikan bahwa budaya adalah buah atau hasil karya cipta & rasa
masyarakat, dan suatu kebudayaan yang memang mempunyai hubungan amat erat
dengan perkembangan yang ada di masyarakat. Sedangkan karakter itu sendiri
merupakan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang
yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues)
yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir,
bersikap, dan bertindak (Jaenudin Riswan, 2011). Dapat dikatakan bahwa budaya
merupakan hasil dari karakter setiap perbuatan manusia yang berproses secara
kontinyu, membentuk suatu kebiasaan dan
kebudayaan.
Proses pembentukan
karakter yang berbudaya, haruslah terbagi dalam tiga tahap yaitu di lingkungan
keluarga sebagai awal pembentuknya, lingkungan sekolah sebagai penyeimbang
nilai dan ilmu, serta lingkungan sosial atau media massa. Lingkungan keluarga
membawa pengaruh yang cukup penting bagi pembentukan karakter. Kochanska, dkk.
(2004) menyatakan bahwa kelekatan antara orangtua dan anak merupakan aspek yang
sangat penting bagi awal perkembangan moral anak. Kemudian, sekolah sebagai
lingkungan kedua, turut mempengaruhi konsep diri, keterampilan sosial, nilai,
kematangan penalaran moral, perilaku prososial, pengetahuan tentang moralitas,
dan sebagainya (Berkowitz, 2002).
Dalam tahap ketiga, pengaruh lingkungan sosial dan
media massa terhadap karakter anak-anak dan remaja membawa dampak tersendiri. Media massa merupakan wahana pengembang kebudayaan. Dengan adanya televisi, anak dan remaja disajikan pada gambaran situasi
tertentu yang disertai dengan reaksi yang seharusnya dilakukan, dan juga akibat
dari reaksi tersebut. Apabila anak dan remaja terus-menerus melihat
adegan-adegan negatif, maka mereka akan menganggap adegan tersebut sebagai
sesuatu yang wajar. Jika hal ini terus berlanjut, anak dan remaja akan
melakukan adegan yang serupa (Huesmann, dkk., 2003; Robinson, dkk., 2001).
Kesimpulannya,
jika orangtua menerapkan pola asuh yang baik terhadap anaknya dengan menanamkan nilai moral,
serta sekolah yang menanamkan pendidikan nasionalisme yang kuat , dengan
memasukan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, akan tercipta suatu generasi
emas. Tayangan media massa yang bersifat negatif pun harus segera digantikan
oleh tayangan yang bernilai moral, berkarakter bangsa dan menayangkan
kebudayaan bangsa, yang hasilnya akan mengubah kebiasaan anak, sehingga
mempunyai jiwa nasionalisme
bagi bangsanya. Untuk itu, dalam membentuk suatu sistem
pendidikan, haruslah pendidikan yang mengimplementasikan budaya dan karakter
bangsa. Budaya lokal dan nasional serta nilai karakter yang tertanam dalam
pancasila, haruslah dimasukan dalam setiap sendi kehidupan para generasi
penerus bangsa. Pendidikan melalui budaya dan karakter bangsa diharapkan mampu
menciptakan generasi yang bertanggung jawab dan sadar akan kewajiban sebagai
warga negara untuk bisa berjuang bagi kesuksesan negaranya, bukan untuk dirinya
sendiri. Dengan transformasi ini, generasi bangsa mendatang diharapkan bisa
bekerja penuh demi suksesnya Indonesia.
Penulis: Haris Nugroho XII IPS 1 SMA NEGERI 2 PURBALINGGA
TULISAN INI MASUK 10 BESAR ESAI SEF UNS 2016, DIPRESENTASIKAN TANGGAL 22 OKTOBER 2016.