Oleh:
Arif Saefudin[1]
Mungkin tidak
banyak yang mendengar, atau bahkan asing dengan nama yang sudah membuat bangga
Indonesia ini, namanya senantiasa bermekaran dari musim satu ke musim lainnya.
Bahkan inspirasi dalam dunia pendidikan, terutama khusus perempuan, membuat
namanya tidak lekang ditelan waktu, bahkan mampu menginspirasi dan memberikan
pemikiran perspektif baru hingga saat ini. Nama itu adalah Rahmah el-Yunusiyah
seorang perempuan kelahiran Minangkabau Minangkabau sudah terkenal telah
melahirkan begitu banyak tokoh-tokoh utama negeri ini, seperti founding father Muhammad Hatta (Wakil
Presiden RI yang pertama), Sutan Sjahrir (Perdana Menteri pertama Indonesia),
dan masih banyak lainnya.
Meskipun
hingga saat ini Rahmah el-Yunusiyah belum dianugrahi pahlawan nasional, namun
tidak ada yang menyangkal bahwa dalam sejarah hidupnya dipenuhi dengan
coretan-coretan emas yang masih berkilau hingga saat ini. Karena jasa-jasanya, Universitas
Al-Azhar Kairo, Mesir, memberikan gelar Syaikhah
(guru besar perempuan) pertama. Penganugrahan Syaikhah pada tahun 1957 ini didedikasikan karena jasa-jasanya
dalam memperjuangkan pedidikan kaum perempuan. Karena penganugrahan itu, Rahmah berhasil mewarnai kurikulum Al-Azhar.[2]
Prestasi yang sangat membanggakan bagi rakyat Minangkabau khususnya dan bagi
bangsa Indonesia umumnya.
Menurut Rahmah
el-Yunusiyah, seorang perempuan diberikan anugrah sekaligus persoalan yang
begitu pelik. Pada masanya, ada semacam aturan tidak tertulis, bahwa sehebat
apapun dan sepintar apapun seorang perempuan, pada akhirnya ‘kodrat’ dan ‘takdir’nya
akan kembali pada kehidupan rumah tangga mengurusi urusan dapur, sumur, dan
kasur.[3]
Bahkan anggapan tentang kebodohan dan posisinya sebagai sosok yang lemah
sekaligus menjadi manusia golongan kedua harus dijalani, tanpa mengenyam
pendidikan yang layak. Padahal segala sesuatu, apalagi mendidik anak, perlu
ilmu dan pengetahuan yang cukup, tidak hanya membesarkan secara fisik, namun
juga harus dibekali dengan non-fisik, pendidikan.[4]
Nama Rahmah
el-Yunusiyah mungkin bagi sebagian rakyat Indonesia terdengar asing ditelinga.
Kita lebih familiar bila menyebutkan perjuangan perempuan dengan nama Raden
Ajeng Kartini tentang emansipasi wanitanya. Sebenarnya kontribusi RA Kartini
hampir sama dengan Rahmah el-Yunusiyah, yaitu tentang pentingnya pendidikan
bagi kaum perempuan. Kontribusinya yang besar dalam memperjuangkan kaum
perempuan harus kita teladani. Terutama untuk generasi muda saat ini. Oleh
karena itu, tulisan ini berusaha menyajikan kilasan sejarah singkat kontirbusi Syaikhah Rahmah el-Yunusiyah dalam
memperjuangkan dan memajukan pendidikan kaum perempuan.
Bibit-Bibit Perjuangan
Rahmah
el-Yunusiyah lahir pada hari Jum’at, tanggal 29 Desember 1900
Masehi, atau bertepatan dengan tanggal 1 Rajab 1318 Hijriyah. Dia terlahir dari kalangan keluarga ulama, ayahnya
bernama Syekh Muhammad Yunus dan ibunya
Rafi’ah. Ayahnya merupakan seorang Qadli
di negeri Pandai Sikat dan Pimpinan Tarekat Naqsabandiyah
al-Khalidiyah. Pernah belajar ke Mekkah selama 4 tahun dan masih ada darah
keturunan dengan seorah tokoh perang Paderi, Tuanku Nan Pulang di Rao.
Sedangkan ibunya, biasa dipanggil Ummi Raf’iah, masih ada hubungan dengan mamak
Haji Miskin, sang pembaharu gerakan Paderi. Menikah pada usia 16 tahun,
sedangkan Syekh Muhammad Yunus
berusia 42 tahun. Rahmah el-Yunusiyah terlahir
sebagai anak terakhir dari lima bersaudara, yaitu Zainuddun Labay, Mariah,
Muhammad Rasyid, dan Rihanah.[5]
Kelahiran Rahmah el-Yunusiyah dibidani oleh kakek ibu mereka bernama Kurdi Kurai
(Hajjah Khadijah) yang berprofesi sebagai dukun beranak. Konon, kelahiran salah
satu founding father kita, Sutan
Sjahrir, juga dibidani oleh Hajjah Khadijah karena kebetulan rumahnya
berdekatan di Padang Panjang. Sejak kecil Rahmah el-Yunusiyah terkenal dengan sifat keras hati dan bercita-cita
tinggi. Kemaunannya keras dan susah untuk dihalang-halangi, bahkan sanggup
menangis apabila kemauanya tidak terpenuhi. Kepribadian yang kuat dan jiwa
besarnya sudah tampak menonjol. Hal ini bisa dilihat dari kecintaanya terhadap
pekerjaan masak memasak dan berbagai kerajinan tangan, bahkan sudah mampu
menjahit dan menambal pakainnya sendiri.[6]
Sejak kecil, Rahmah el-Yunusiyah dikenal jarang bergaul dengan teman-temannya,
karena sifat pemalu yang dimilikinya. Tapi sifat pemalu inilah yang dikemudian
hari menjadi tameng berbagai masalah yang dihadapinya shingga dia berlapang
dada dalam setiap kerumitan yang menghadang. Tempaan cobaan telah membentuk
kepribadian Rahmah el-Yunusiyah menjadi
seorang yang tabah, dan mempunyai pendirian yang kokoh serta keimanan yang
semakin kuat.
Pondasi Pendidikan
Ketika Rahmah el-Yunusiyah menginjak
umur 6 tahun pada tahun 1906 Masehi, Rahmah sudah ditinggalakan oleh ayahnya, Syekh Haji Muhammad Yunus karena wafat.
Sehingga interaksi dan pendidikan tidak didapatkan dari ayahnya, dia dibesarkan
oleh ibu dan kakak-kakaknya. Sejak kecil, Rahmah el-Yunusiyah tidak pernah
mendapatkan pendidikan formal seperti kakak-kakaknya yang lain, namun Rahmah belajar
ilmu agama kepada Engku Uzair, salah seorang murid Syekh Haji Muhammad Yunus.
Untuk mengajarkannya baca tulis,
para kakak-kakaknya, seperti Zainuddin Labay dan Muhammad Rasyad yang pernah
bersekolah mengajarinya baca-tulis latin dan angka-angka Arab atau angka
Melayu.[7] Terutama
kakak sulungnya, Zainuddin Labay, seorang tokoh pembaharuan sistem pendidikan
Islam, dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam, Diniyah School, yang didirikan tahun 1915. Dengan kemampuan
kakaknya yang bisa menguasai berbagai bahasa, Inggris, Arab, dan Belanda ini,
menjadi inspirasi Rahmah el-Yunusiyah dikemudian hari untuk
memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan.
Sejak usianya menginjak 10 tahun, Rahmah
el-Yunusiyah sudah aktif mengunjungi pengajian-pengajian yang
rutin diadakan dilingkungan sekitar. Konsep perpindahan pengajian antar surau
ke surau yang lain sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Minangkabau. Ada
sekitar 8 (delapan) surau yang melakukan pengajian dan bergantian.[8] Dengan
mengikuti pengajian tersebut, Rahmah el-Yunusiyah secara tidak langsung belajar
agama dan memperoleh pengalaman yang terus bertambah.
Dengan mengikuti kegiatan pendidikan
yang didikrikan oleh kakaknya itu, Rahmah belajar banyak hal. Dia mengikuti
pengajian dan pengajaran disekolah Diniyah
School tersebut, yang memberikan pengetahuan praktis
dan bergaul dengan banyak teman yang beragam. Awalnya Rahmah tidak
diperkenankan bergaul dengan anak laki-laki, namun setelah mengikuti itu Rahmah
bisa bergaul dengan murid laki-laki. Melalui pergaulan itu, dia bertukar fikiran
baik mengenai hukum Islam, sosial, budaya dan hubungan antar manusia. Melalui
pergaulan ini, Rahmah mulai menyadari tentang keadaan lingkungan sekitarnya,
terutama kaum perempuan, yang tidak diberikan kesempatan untuk menuntut ilmu
seperti yang dialaminya.
Selama menjadi siswa di Diniyah School, Rahmah menjadi lebih kritis tentang sikap ketidak terbukaan
yang dialami oleh sekolah Diniyah yang kurang memberikan penjelasan mengenai
problematika khusus perempuan. Perasaan ketidak puasan ini, sempat didiskusikan
dengan teman sesama perempuan, yaitu Rasuna Said dari Maninjau[9] dari
Bulaan Gadang Banuhampu, dan Jawana Basyir dari Lubuk Alung. Mereka berempat
sepakat untuk membentuk sebuah kelompok belajar yang didikrikan khusus untuk
perempuan. Rahmah el-Yunusiyah mengajak ketiga temannya itu untuk menambah ilmu
agama secara mendalam di luar sekolah Diniyah, diantaranya ke Surau Jembatan
Besi.[10]
Pelajaran yang diterima di Surau Jembatan
Besi inipun belum cukup memuaskan dahaga keilmuan agamanya. Hal ini dikarenakan
tidak terjawabnya pertanyaan-pertanyaan menyangkut tentang perempuan. Oleh
karena itu, Rahmah meminta kepada Syekh
Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul[11] untuk
berkenan memberikan privat kepadanya di rumahnya. Lewat gurunya itu, dia
memperdalam ilmu agama dan permasalahan tentang perempuan, disamping itu, dia
mendalami juga tentang bahasa Arab, fiqih dan ushul fiqih. Selain berguru
dengan Haji Rasul, dia juga mengaji keberbagai ulama-ulama besar lainnya,
seperti Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, Syekh Abdul Latif Rasyidi, Syekh
Mohammad Jamil Jambek dan Syekh Daud
Rasyidi. Lingkungan relijius dan cendekia seperti inilah yang telah menumbuhkan
kepribadian Rahmah el-Yunusiyah. [12]
Selain ilmu agama, Rahmah el-Yunusiyah
juga belajar tentang ilmu kebidanan di RSU Kayu Tanam, dan berhak mendapatkan
izin praktek/ijazah bidan dari dokter. Sebelum mengikuti khursus kebidanan ini,
awalnya Rahmah mendapatkan bimbingan yang diberikan oleh Kurdi Urai, seorang
bidan yang menolong kelahirannya. Selain itu, dia juga mempelajari ilmu tentang
pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K), dari enam dokter yang juga gurunya
dalam hal kebidanan, dokter tersebut adalah dr. Sofyan Rasyad dan dr. Tazar di
Rumah Sakit Umum Kayu Tanam, dr. A. Saleh di RSU Bukittinggi, dr. Arifin dari
Payukumbuh, dr Rasjidin dan dr A. Sani di Padang Panjang. Selain belajar
tentang ilmu kebidanan, sekaligus praktek di RSU Kayu Tanam.[13]
Bukan hanya ilmu agama dan
kesehatan, Rahmah el-Yunusiyah juga belajar tentang menenun dengan menggunakan
alat tenun bukan mesin yang pada masa itu banya dilakukan oleh masyarakat
Minangkabau. Ilmu bertenun ini dilengkapi dengan jahit-menjahit. Kedua ilmu
ini, menenun dan menjahit, nantinya dimasukan kedalam kurikulum sekolahnya.
Mengenai ilmu-ilmu lainnya, semisal ilmu alam, bumi dan lainnya, Rahmah
pelajari sendiri dari buku-buku. Ilmu-ilmu yang dia pelajari sejak muda,
diajarkan kepada murid-muridnya setelah dia mendirikan sekolah Diniyah puteri
pada tahun 1923.
Pengalaman dari berbagai tempaan
guru-gurunya dalam menuntut ilmu, membuat kepribadian Rahmah el-Yunusiyah
menjadi seorang yang sabar, penuh toleransi dan teguh pendirian, serta kokoh
dalam keimanan dan keilmuan. Hal ini menjadi investasi dikemudian hari untuk
mendirikan sekolah Diniyah perempuan, karena dia sempat kecewa melihat kaumnya
tidak bisa memperoleh pendidikan yang memadai. Padahal Rahmah el-Yunusiyah
meyakini betapa pentingnya peranan pendidikan sebagai salah satu jalan untuk
mengangkat derajat kaum perempuan.
Eksistensi Madrasah Diniyah Puteri
Rahmah el-Yunusiyah mempunyai idealis dan cita-cita
yang tinggi, cakrawala pandangannya jauh kedepan. Dia tidak mau memandang
perempuan hanya sebagai makhluk yang hanya melahirkan anak dan mengurus rumah
tangga saja. Namun jauh dari itu, dia ingin menempatkan perempuan mempunyai
derajat yang lebih tinggi dan pantas. Tapi diluar itu, para perempuan juga
harus mengerti posisi kodratnya sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu dan
sebagai anggoata masyarakat. Kaum perempuan harus bisa menjalankan perannya
sebagaimana digariskan dalam agama Islam.
Pada saat itu, masih sangat jarang kaum perempuan
mengenyam pendidikan. Pemikiran masyarakat waktu itu, terutama masyarakat
Melayu, memandang perempuan sebagai makhluk kelas dua yang tidak terlalu
memerlukan pendidikan yang tinggi. Perempuan saat itu masih sangat pasif, dan
belum mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi agama dan negaranya. Kondisi
ini membuatnya prihatin, dia berpendapat pendidikan sangat penting bagi kaum
perempuan. Dengan pendidikan, maka kaum perempuan akan terangkat harkat dan
martabatnya.
Permasalahan itu yang membuat
dirinya bertekat untuk mendirikan sendiri sekolah khusus untuk anak-anak puteri.
Meskipun belum terpikirikan apakah sudah tepatkan waktunya? Masyarakat akan
menyekolahkan anaknya pada saat itu? Sudah siapkah para orang tua melepaskan
kungkungan anak-anak perawannya untuk dinikahkan dalam usia muda?
Kekhawatiran itu pernah disampaikan
kepada kakaknya, Zainuddin Labay el-Yunusy, yang teleh lebih dulu mendirikan Diniyah
School. Tanggapan kakanya sangat positif,
dan mendukung penuh rencana Rahma, dukungan juga diberikan oleh teman-teman
puteri pengurus dan anggota PMDS (Pesrsatuan Murid-Murid Diniyah School), suatu organisasi pelajar, dan
Rahmah el-Yunusiyah adalah ketua bagian puterinya.[14]
Dengan keputusan bulat, pada tanggal 1 November 1923 secara resmi Rahmah el-Yunusiyah
mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang diberi nama, Madrasah Diniyah Li al-Banat.
Ibarat bayi yang baru lahir, lembaga
pendidikan ini tidak langsung berkembang. Butuh perjuangan yang panjang dan
bahu membahu untuk terus membuat lembaga ini tetap eksis. Bersama kakaknya,
Zainuddin Labay, Rahmah berjuang mengelola sekolah. Awalnya muridnya hanya
70-an orang yang sebagaian besar adalah ibu-ibu muda. Kurikulum awal yang
digunakan juga sangat sederhana, yaitu pengetahuan agama dan bahasa Arab,
ditambah dengan pengetahuan umum yang praktis dan menjahit. Gurunya awalnya
hanya empat orang, yaitu Rahmah el-Yunusiyah merangkap sebagai pemimpin,
Darwisah, Nasisah, dan Djawena Basyir.[15]
Proses belajarnya berlangsung di serambi masjid
Pasar Usang. Namun Allah berkehendak lain, ditengah proses bertambahnya murid,
Allah memanggil kakaknya, Zainuddin Labay, yang meninggal pada usainya masih
muda. Kepergian kakaknya, yang ikut berjuang membuatnya terpukul. Tapi tekadnya
untuk memajukan sekolahnya masih berkobar tinggi. Dia melanjutkan keberadaan
Madrasah Diniyah dengan membangun gedung, meja, bangku dan perlengkapan
lainnya.
Untuk membagun gedung, Rahmah el-Yunusiyah
melakukan penggalangan dana dengan cara tour
ke berbagai kota. Dari Aceh hingga Sumatera Utara selama tiga bulan. Dalam
proses penggalangan dana ini, dia berhasil membangun gedung dan asrama yang
mampu menampung 275 dari 350 total murid keseluruhan. Berkat kegigihannya,
lembaga pendididikan Madrasah Diniyah berkembang sangat pesat.
Menjelang
kekuasaan Belanda berakhir, Rahmah juga sempat mendirikan empat lembaga puteri
lainnya. Pada tahun 1938, dia mendirikan Yunior Institut Puteri, sebuah sekolah
umum setingkat Sekolah Rakyat pada masa penjajahan Belanda atau Vervolgschool, Islamitisch Hollandse School setingkat dengan HIS (Hollandsch Inlandse School), yaitu
sekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, sekolah DAMAI (Sekolah
Dasar Masyarakat Indonesia) dan Kulliyatul
Mu’allimin El Islamiyah (KMI), sekolah Guru Agama Putra pada tahun 1940.[16]
KMI Putra ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan guru-guru agama
putra yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat di Sumatera Barat. Pada zaman
Jepang keempat lembaga pendidikan putri tersebut tidak dapat diteruskan.
Setelah Merdeka, pada tahun 1947, Rahmah
mendirikan empat buah lembaga pendidikan agama putri dalam bentuk lain, yaitu
Diniyah Rendah Putri (SDR) lama pendidikannya tujuh tahun, setingkat dengan
Sekolah Dasar enam tahun yang didirikan oleh pemerintah, Sekolah Diniyah
Menengah Pertama Putri Bagian A Tiga Tahun (DMP Bagian A), Sekolah Diniyah
Menengah Pertama Bagian B Lima Tahun (DMP Bagian B), dan Sekolah Diniyah
Menengah Pertama Bagian C Dua Tahun (DMP Bagian C). Tiga buah sekolah yang
disebut terakhir setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan bidang
studi agama dan bahasa Arab menjadi mata pelajaran pokok.[17]
Tahun 1964,
Rahmah mendirikan Akademi Diniyah Putri yang lama pendidikannya tiga tahun. kemudian
tanggal 22 November 1967, akademi ini dijadikan Fakultas Dirasat Islamiyah dan
merupakan fakultas dari Perguruan Tinggi Diniyah Putri. Fakultas ini “diakui”
sama dengan Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) untuk
tingkat Sarjana Muda dengan SK Menteri Agama RI No. 117 tahun 1967.[18]
Untuk mencapai
tujuan pendidikannya, Rahmah menganut sistem pendidikan terpadu, yaitu memadukan
pendidkan yang diperoleh dari rumah tangga, pendidikan yang diterima sekolah
dan pendidikan yang diperoleh dari masyarakat didalam pendidikan asrama. Dengan
sistem terpadu ini, teori ilmu pengetahuan dan agama serta pengalaman yang
dibawa oleh masing-masing murid dipraktekkan dan disempurnakan dalam pendidikan
asrama di bawah asuhan guru-guru asrama.
Dalam perjalanan mengola lembaga pendidikannya, Rahmah
el-Yunusiyah sebisa mungkin bersikap independen. Dia tidak berpihak kepada pihak
tertentu, baik itu pihak pemerintah atau swasta. Salah satu contohnya ketika dia
tidak setuju atas usulan afiliasi semua lembaga pendidikan Islam di
Minangkabau. Dia menolak penggabungan sekolah-sekolah Islam di Minangkabau oleh
Mahmud Yunus. Hal ini karena tidak adanya buku standar yang dijadikan rujukan,
karena melihat keadaan ini, Mahmud Yunus yang menjabat sebagai Direktur Normal School ingin mengadakan
konsep pembaharuan pendidikannya dan meprakarsai pembentukan panitia Islah al-Madaris al-Islamiyah Sumatera
Barat. Namun Rahmah tetap teguh pada pendirian independensi sekolahnya, maka
dia menolak keras ide itu.[19]
Menurutnya, lebih baik memelihara satu tapi terawat daripada
disatukan tapi porak poranda. Diniyah School
pun tidak mematuhi hasil keputusan dari musyawarah itu. Kondisi
sekolah-sekolah agama tersebut masih seperti semula hingga 1936, yaitu setelah
konferensi seluruh organisasi berhasil dalam standarisasi sekolah-sekolah agama
kaum muda. Berhadapan dengan politik kolonialisme pemerintahan Belanda, Rahmah
memilih sikap nonkooperatif dalam memperjuangkan kelangsungan sekolah yang
dipimpinnya. Atas dasar sikap ini, dia menolak bekerja sama dengan Belanda
termasuk dalam hal pemberian subsidi yang berulangkali ditawarkan. Subsidi
pemerintah kolonial akan membuat dirinya terikat, dan mengakibatkan keleluasan
pemerintah kolonial mempengaruhi pengelolaan program pendidikan Diniyah School
Putri ini.[20]
Dengan tegas
dan bijaksana Rahmah menyatakan bahwa perguruannya akan berusaha dengan
kekuatan sendiri menanggulangi berbagai kesulitan yang dihadapi. Independensi
sekolah ini sangat dikhawatirkan oleh Belanda kalau di kemudian hari akan
melahirkan tokoh-tokoh pejuang yang militan, sebagaimana yang pernah dilakukan
surau-surau dalam mencetak tokoh-tokoh pembaharu dan pejuang perang Paderi.
Sikap independen dan nonkooperatif tersebut, disamping menggambarkan ciri khas
kepribadiannya yang gigih, juga merupakan respon terhadap situasi politik saat
itu demi kelangsungan visi sekolahnya.
Tujuan Dakwah Rahmah
Didirikannya Diniyah Puteri ini merupakan sebuah
panggilan jiwa untuk memajukan peran perempuan. Dalam ajaran Islam, posisi
perempuan sangat dimuliakan, bahkan dalam sebuah hadist, surga berada ditelapak
kaki ibu. Maka untuk mencapai dan mewujudkan surga yang dijanjikan Allah itu,
perempuan harus lebih baik dalam perannya sebagai masyarakat, baik itu dalam
keluarganya dan sebagai warga negara. Untuk mewujudkan itu semua, pendidikan
merupakan hal yang pokok, hal inilah yang menjadi pokok tujuan utamanya, yaitu
membentuk puteri yang berjiwa Islam. Dengan kerangka ini, Rahma ingin perempuan
berpandangan luas dan tetap berpegang dengan ajaran Islam, selain itu juga
mengusahakan kebaikan dan kesejahteraan lahir dan batin, baik bagi dirinya,
keluarganya, masyarakat dengan mengikuti perintah Allah.
Kalimat sederhana yang menjadi tujuan sekolah ini adalah
membentuk puteri yang berjiwa Islam dan ibu pendidik yang cakap dan aktif serta
bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air atas
pengabdiaan kepada Allah SWT. Ini berarti membentuk perempuan yang berjiwa
Islam. Serta mengarahkan permpuan untuk menjadi “ibu pendidik”, yang berarti, pertama, ibu pendidik baik dalam rumah
tangga, hal ini dikarenakan seorang perempuan mempunyai fitrah sebagai ibu bagi
anak-anaknya, rumah tangga akan tercermin dalam tingakh laku sehari-hari sebgai
anggota keluarga.
Arti ibu pendidik yang kedua, pendidik yang baik disekolah, yaitu kemampuan dan bakat
untuk menjadi seorang pengajar. Sifat lemah lembut merupakan sifat utama bagi
pendidik yang baik, dan ini dimiliki terutama oleh perempuan. Dan yang ketiga, ibu pendidik didalam masyarakat,
karena masyarakat membutuhkan figur ibu untuk menjadi seorang mubalihgat yang menyebarkan kebenaran.
Oleh karena itu, konsep al ummu madrasatil
uula, ibu adalah sekolah pertama, merupakan tempat yang pertama memberikan
pondasi karakter.
Kiprah diluar Madrasah Diniyyah
Selain mengasuh lembaga Madrasah Diniyah puterinya, Rahmah
el-Yunusiyah juga aktif dalam berbagai kegiatan-kegiatan sosial keagamaan
lainnya. Pada tahun 1930-an, ikut dalam pergerakan Permi (persatuan Muslimin
Indonesia), dia juga dekat dengan kalangan Muhammadiyah, dan bekerjasam dengan
tokoh wanita lainnya, Rasuna Said, yang juga sempat mengajar di sekolahnya.
Rahmah el-Yunusiyah juga aktif dalam berbagai gerakan yang
menentang praktek-praktek penindasan oleh pemerintah Belanda. Langkah-langkah
nya dengan cara mendirikan Perserikatan Guru-Guru Puteri Islam di Bukittinggi,
menjadi ketua panitia penolakan Kawin Bercatat, dan Ketua Pergolakan Organisasi
Sekolah Liar. Pada tahun 1933, Rahmah el-Yunusiyah memimpin rapat umum kaum ibu
di Padang Panjang, karena perbuatannya ini, dia dikenakan denda oleh pemerintah
Belanda sebesar 100 Golden karena tuduhan membicarakan masalah politik dan
menghasut massa.
Rahmah el-Yunusiyah juga pernah menjadi anggota dan pengurus
Sarekat Kaum Ibu Sumatera (GKIS) Padang Panjang. Organisasi ini berjuang untuk
menegakan harkat dan martabat kaum perempuan dengan menerbitkan majalah
bulanan. Hingga pada tahun 1935, Rahmah el-Yunusiyah mewakili ibu Sumatera
Tengah ke kongres perempuan yang diadakan di Jakarta. Dalam kongres ini, Rahmah
bersama Ratna Sari memperjuangkan kaum perempuan Indonesia untuk mengenakan
selendang. Setelah kongres berakhir, dia tidak langsung pulang ke Padang
Panjang, namun tinggal di Jakarta untuk mendirikan pendidikan khusus perempuan
di Gang Nangka, kwitang, Kebong Kacang, Tanah Abang, Jatinegara dan Johar di
Rawasari.[21]
Pada zaman Jepang, selain menjalankan sekolahnya yang sudah maju,
dia juga aktif dalam organisasi Anggota Daerah Ibu (ADI) yang bertujuan untuk
menentang pemerintahan kolonial Jepang menggunakan perempuan-perempuan,
terutama perempuan khusus Sumatera Tengah, sebagai penghibur untuk melayani
tentara-tentara Jepang. ADI juga menuntut pemerintah Jepang, untuk menutup
rumah bordil dikarenakan bertentangan dengan kebudayaan dan agama Indonesia
secara umum. Gerakan ADI boleh dikatakan berhasil, hal ini dibuktikan dengan pemerintah
Jepang mengambil perempuan-perempuan dari Korea dan Singapura.
Rahmah el-Yunusiyah juga pernah menjadi ketua Haha Nokai (Organisasi Kaum Ibu) di Padang Panjang. Pada akhir
pendudukan Jepang, menjadi anggota peninjau yang dipimpin oleh Mohammad Sjafei.
Ketika perang Pasifik pecah, Rahmah rela menjadikan sekolahnya dijadikan rumah
sakit dadakan untuk menampung para pejuang yang terluka. Setelah merdeka,
Rahmah mengayomi Laskar Sabililah dan Laskar Hizbulwatan, selain itu, dia juga
turut andil mempelopori terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Disamping itu, juga menjadi anggota Mahkamah Syari’at Bukittinggi
dan anggota Majelis Islam Tinggi Sumatera Tengah. Nama besar Rahmah el-Yunusiyah
juga sempat dimasukan sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Namun dia tidak pernah sampai ke Jakarta, karena lebih mengurus ibunya yang
sakit. Dalam bidang politik lainnya, nama Rahmah el-Yunusiyah juga termasuk
pendiri partai Masyumi di Minangkabau. Hingga pemilu pertama tahun 1955, dia
terpilih menjai anggota parlemen mewakili daerah Sumatra Tengah (1955-1958).
Nama besarnya bahkan melampaui batas negaranya, tahun 1955,
Diniyah puteri mendapatkan kunjungan dari Rektor Universitas Al-Azhar Kairo,
Mesir. Dalam kunjunganya, rektor Al-Azhar sangat mengagumi sistem pendidikan
yang dikembangkan oleh Rahmah. Bahkan, setelah kunjungannya, pihak Universitas
Al-Azhar membuka khusus fakultas untuk permpuan yang diberi nama, Kuliyyah Banat. Tahun berikutnya, tahun
1956 pihak Universitas Al-Azhar mengundang Rahmah untuk berkunjung ke Kairo.
Dalam kunjungannya itu, pihak universitas menganugrahkan gelar Syeikhah kepada Rahma el-Yunusiyah,
gelar yang sebelumnya belum pernah diberikan kepada seorang perempuan.[22]
Rahmah el-Yunusiyah telah berhasil membuktikan kepada dunia bahwa
muslimah Indonesia bukanlah perempuan yang terbelakang. Bahwa muslimah
taat bisa berkontribusi bagi keluarga, masyarakat, agama dan bangsanya. Rahmah berhasil
mewujudkan cita-cita yang sejak muda di gagasnya, karena keyakinan yang teguh
kepada Allah SWT serta tekadnya yang membaja.
Catatan Akhir
Bagi sebagian
rakyat Indonesia yang bersikap ‘kolot’ terhadap pentingnya pendidikan perempuan
yang tinggi, masih menjadi domain bagi kehidupan sehari-hari dilingkungan kita.
Lihat saja disekitar kita, bagaimana istilah ‘dapur, sumur, dan kasur’ masih
begitu populer dikalangan masyarakat. Ungkapan ini ingin menegaskan kita bahwa
sehebat apapun perempuan, pada akhirnya “kodrat” dan “takdir” perempuan akan
kembali pada kehidupan rumah tangga yang hanya mengurusi urusan memasak,
mencuci dan seks.
Anggapan ini
bukanlah hal baru, namun sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Dalam
masyarakat Sumatra Barat pun, asumsi perempuan tidak layak mengenyam pendidikan
terlalu tinggi kerap menjadi bahan perdebatan. Rahmah el-Yunusiyah yang lahir
di tanah Minang mencoba menolak anggapan itu. Dia beranggapan bahwa permpuan
memiliki hak belajar yang sama dengan laki-laki. Bahkan dibanding laki-laki,
permpuan juga mampu dan bahkan jauh lebih hebat bila diadu dengan kecerdasan.
Persoalannya terletak pada akses pendidikannya. Saat itu, jauh sebelum
Indonesia merdeka, sistem pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dari yang
diharapkan dan perempuan belum memiliki akses pendidikan yang sama dengan
laki-laki.
Menurutnya
perempuan tidak harus menuntut emansipasi dalam semua bidang. Seorang perempuan
juga harus berperan di rumah untuk mendidik anak-anaknya. Namun, tanggung jawab
sosial atas kesejahteraan masyarakat, agama dan negaranya juga menanti andil
kaum perempuan. Tanggung jawab itu diberikan dengan jalan menempuh pendidikan,
baik pendidikan dilingkungan keluarga maupun dilingkungan masyarakat. Mungkin
jika saat ini Rahmah el-Yunusiyah masih hidup, dia akan sependapat bahwa
membangun masyarakat tanpa melibatkan perempuan bagai burung yang terbang hanya
menggunakan satu sayap. Mendidik seorang perempuan berarti mendidik semua
manusia, mendidik perempuan berarti membangun negara, karena perempuan adalah
tiang negara.
Lewat lembaga pendidikan yang didirikannya, Madrasah Diniyyah,
Rahmah el-Yunusiyah berusaha menyumbangkan pemikirannya untuk merombak
paradigma lama itu. Meskipun tidak mudah, penuh jalan berliku, namun
kegigihannya untuk memajuka pendidikan perempuan nampaknya hingga saat ini
sudah berbuah. Hingga akhir hayatnya pada tanggal 26 Februari 1969,
pendiriannya tidak berubah, tetap ingin memajukan pendidikan kaum perempuan di
Indonesia. Meskipun Rahmah el-Yunusiyah telah tiada tapi semangatnya tetap
mengalir hingga hari ini. Kisah hidupnya tetap memberi inspirasi bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Daftar Pustaka
Abudin Nata. 2000. Tokoh-Tokoh
Pembaharuan Islam Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Aminnudin Rasyad, dkk.
1991. Rahmah el Yunusiyah dan Zainuddin Labay
el Yunusy: Dua Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia, Riwayat Hidup,
Cita-Cita dan Perjuangannya. Jakarta: Pengurus Diniyah Puteri Perwakilan
Jakarta.
Azyumardi Azra. 2008. Membangkik Batang Tarandam: Wacana dan
Praksis Revitalisasi Mina`ng in Reinventing Indonesia. Jakarta: Penerbit
Mizan.
Hasril Chaniago. 2010. 101 Orang Minang di Pentas Sejarah.
Padang: Citra Budaya Indonesia.
Jajat Burhanudin (ed).
2002. Ulama Perempuan Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mahmud Yunus. 1993. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.
Magdalia Alfian. 2012.
“Rahmah El Yunusiah: Pioneer of Islamic Women Education in Indonesia,
1900-1960’s”., dalam Jurnal Tawarikh:
International Journal for Historical Studies, 4 (1) 2012.
Tantang Ahmad Syahrul
Alim. 2013. “Rahmah el-Yunusiyah: Pelopor Pendidikan Islam Muslimah Indonesia”
dalam http://www.dakwatuna.com/2013/04/30/32399/rahma-el-yunusiyah-pelopor-pendidikan-muslimah-indonesia/., diakses tanggal 10 Juli 2016.
Zulmuqin. 2015. Transformation of the Minangkabau Islamic
Education: The Study of Educational thought of Abdul Karim Amrullah, Abdullah
Ahmad And Rahmah El-Yunusiyah., dalam Jurnal AL-TA’LIM
JOURNAL 22 (2), 2015.
[1] Tulisan ini diikutkan dalam Lomba KUPI "Ulama Perempuan".
[2]
Lihat Magdalia Alfian. 2012. “Rahmah El Yunusiah: Pioneer of Islamic Women
Education in Indonesia, 1900-1960’s”., dalam Jurnal Tawarikh: International Journal for Historical Studies, 4
(1) 2012., Hlm 63.
[3]
Dapur, berarti hanya mengurus masalah masak memasak. Sumur, berarti tentang
kebersihan rumah dan kasur, berarti hanya melayani suami di tempat tidur.
[4] Lihat Zulmuqin. 2015. Transformation of the Minangkabau Islamic Education: The Study of
Educational thought of Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad And Rahmah
El-Yunusiyah., dalam Jurnal AL-TA’LIM
JOURNAL 22 (2), 2015, Hlm
155-164.
[5]
Lihat Aminnudin Rasyad, dkk. 1991. Rahmah
el Yunusiyah dan Zainuddin Labay el Yunusy: Dua Tokoh Pembaharu Sistem
Pendidikan di Indonesia, Riwayat Hidup, Cita-Cita dan Perjuangannya.
Jakarta: Pengurus Diniyah Puteri Perwakilan Jakarta., hlm 35-38.
[6]
Jajat Burhanudin (ed). 2002. Ulama
Perempuan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama., hlm 1-38.
[7]
Magdalia Alfian. 2012. Op.Cit., Hlm
57.
[8]
Ibid.,
[9]
Nama Rusuna Said dikemudian hari diangkat menjadi pahlawan Nasional.
[10]
Ibid.
[11]
Haji Abdul Karim Amrullah ini merupakah ayah dari ulama terkenal Haji Abdul
Malik Karim Amrullah atau lebih familiar dengan panggilan Buya HAMKA.
[12]
Azyumardi Azra. 2008. Membangkik Batang
Tarandam: Wacana dan Praksis Revitalisasi Minang in Reinventing Indonesia.
Jakarta: Penerbit Mizan. Hlm 551-552.
[13]
Zulmuqin. 2015. Op. Cit., hlm 161.
[14]
Zulmuqin. 2015. Op. Cit., hlm 161.
[15]
Ibid.,
[16]
Abudin Nata. 2000. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam Indonesia. Jakarta:
Raja Grafindo Persada., hlm 30.
[17]
Tantang Ahmad Syahrul Alim. 2013. “Rahmah el-Yunusiyah: Pelopor Pendidikan
Islam Muslimah Indonesia” dalam http://www.dakwatuna.com/2013/04/30/32399/rahma-el-yunusiyah-pelopor-pendidikan-muslimah-indonesia/.,
diakses tanggal 10 Juli 2016.
[18] Ibid.,
[19]
Mahmud Yunus. 1993. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Hidakarya Agung. Hlm 193.
[20] Ibid.,
[21]
Hasril Chaniago. 2010. 101 Orang Minang di
Pentas Sejarah. Padang: Citra Budaya Indonesia., hlm 427.
[22]
Magdalia Alfian. 2012. Op.Cit., Hlm
64.