Oleh: Arif Saefudin
Sumber: dari Essay yang menjadi 10 finalis terbaik lomba Essay Sejarah se-Jawa yang diadakan oleh UNNES
Berikutnya adalah tahap revolusi
(1945-1949), tahap ini lebih banyak menggunakan senjata untuk menghadang
serangan aksi “polisonisme”
Belanda I dan II yang ingin “mencengkeram” kembali wilayah Indonesia. Banyak
perlawanan-perlawanan di seluruh daerah
Indonesia yang dilakukan oleh
para pemuda, misalkan peristiwa Ambarawa,
Surabaya, Bandung dan lain sebagainya. Perjuangan
para pemuda pada tahap ini yang
paling menonjol dalam proses
lahirnya negara Indonesia, adalah
peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa ini bertujuan untuk “mengamankan” para
pemimpin dari pengaruh Jepang dan menegaskan untuk segera meproklamasikan
kemerdekaan, karena kondisi Indonesia sedang facum of power dengan ditandai Jepang menyerah kepada negara blok
Sekutu pada perang Dunia II. Salah satu
tokoh pemuda pada peristiwa Rengasdengklok adalah Sukarni
(1916-1971) dan Cairul Saleh (1916-1967), rata-rata umur mereka 28 tahun pada peristiwa itu.
Berkat peristiwa itu, kita bisa bangga karena kemerdekaan yang kita capai
berasal dari kepemimpinan dari orang Indonesia sendiri, dan bukan hadiah dari
Jepang ataupun dari Sekutu.
Tahap transisi (1950-1966)
merupakan tahap dari masa perang kemerdekaan kemasa Demokrasi Liberal dan
Demokrasi Terpimpinnya Sukarno. Pada masa ini, para pemuda sedang menikmati
euforia kemerdekaan, karena 27 Desember 1949 Belanda baru mengakui kedaulatan
Indonesia, dan sebagian besar sedang menata perekonomian dan menata kehidupan
bernegara. Gerakan-gerakan pemuda sebagian besar dibawah naungan partai politik
saat itu. Tragedi yang dilakukan oleh para pemuda, untuk merubah arah
perjalanan Indonesia adalah peristiwa demonstrasi pada tahun 1965-6, lewat
wadah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) para demonstran bergerak menuju
arah Istana untuk menuntuk Tritura (tiga tuntutan rakyat), yaitu: bubarkan PKI,
turunkan harga dan mobilisasi umum. Tokoh
aktifis 66 ini salah satunya adalah Soe Hok Gie (1942-1969) yang berumur 21
tahun ketika melakukan demonstrasi, seorang mahasiswa yang memegang
idelaismenya sampai akhir hayatnya.
Meskipun dalam proses pergantian dari Sukarno ke Soeharto
banyak menimbulkan kontroversi sampai saat ini dengan Surat Perintah Sebelas
Maret (Supersemar) yang sampai sekarang tidak di ketahui dimana surat yang asli,
tapi yang pasti peran pemuda kembali menjadi salah satu pionir pada arah masa depan bangsa,
peristiwa itu berperan besar
dalam lahirnya Orde Baru di bawah kepemimpina Soeharto yang kemudian menjadi presiden terlama sepanjang sejarah
Indonesia, 32 tahun.
Berikutnya adalah tahap militerisasi
(1967-1998), penulis menggunakan kata tahap militerisasi sebab pada masa Orde
Baru segala segi politik dan militer di dominasi oleh ABRI (Angkatan Perang
Republik Indonesia, sekarang TNI). Bahkan ada semboyan yang terkenal dengan “Dwifungsi
ABRI”, yaitu selain hak di militer juga di perbolehkan terjun ke dunia politik.
Pada masa ini, tidak banyak peran pemuda yang menonjol karena tekanan dari
militer dan mengkungkung aspirasi kaum muda terutama sangat membatasi
kegiatan-kegiatan para pelajar dan mahasiswa agar tidak memberikan kritik dan
saran terhadap pemerintah. Puncaknya terjadi pada peristiwa malapetaka
15 Januari 1974 (malari), yaitu peristiwa demonstari menyambut kedatangan PM
Jepang (Kakuei Tanaka). Mahasiswa meneriakan “Tritura Baru”, yaitu ganyang
korupsi, bubarkan asisten pribadi dan turunkan harga. Salah satu tokoh dalam
peristiwa ini adalah Sjarir (1945-2008), yang dijebloskan ke penjara setelah
peristiwa tersebut. Hampir setelah peristiwa malari ini, gerakan para pemuda sedikit
tidak terlihat sampai tahun 1997.
Sjarir berumur 29 tahun ketika melakukan demonstrasi tersebut.
Soeharto tidak pernah belajar
dengan peristiwa pergantian tampuk kekuasaan dari Sukarno tahun 1966-7. Seolah
Sukarno dan Soeharto tampil sangat memukau pada awal kekuasaannya menjadi
presiden, tapi lupa bagaimana harus turun dengan cara “santun”. Peristiwa 1998 menjadi buktinya,
hampir sama dengan peristiwa 1966, salah satu sebab kenapa Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden adalah
peran para pemuda dalam mengorbankan semangat perubahan dari rezim otoriter
menjadi pemerintahan reformasi dalam segala aspek dan membrantas praktek KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)
dengan menduduki gedung DPR/MPR oleh ribuan
mahasiswa. Berbagai
peristiwa yang dilakukan oleh pihak militer untuk meblackam demo ini tidak
berhasil, meskipun korban nyawa jatuh, tapi perjuangan pemuda terus berlanjut
sampai Soeharto menyatakan mengundurkan diri sebagai Presiden pada 21 Mei 1998,
salah satu peristiwanya
adalah peristiwa Trisakti,
Semanggi serta peristiwa yang lainnya.
Tahapan yang terakhir adalah tahap reformasi
sampai masa kini (1999-2013), pada tahapan ini sebagian para pemuda sedikit “terlena” dengan gaya hidup hedonis.
Banyak para aktifis 1998 yang dulunya mengkritik keras pemerintah Orde Baru menjadi
bagian dari birokrasi pemerintahan reformasi
dan terbawa arus sistem. Mereka menempati jabatan-jabatan stategis, tapi setelah
itu lupa pada perjuangan awal yaitu menegakan birokrasi dan membrantas KKN.
Banyak kasus mega korupsi yang justru
dilakukan oleh para kaum muda, seperti Bank Century dan Hambalang. Kasus tersebut yang sampai sekarang masih belum final dan tidak
jelas ujungnya. Bahkan karena kasus Hambalang tersebut, banyak para pejabat
yang masih tergolong muda di jadikan tersangka, kasus terbaru adalah penetapan
Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Demokrat) dan Andi Mallarangeng
(mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga) sebagai tersangka tindak korupsi
pembangunan sport center Hambalang.
Bahkan nama terakhir sudah dilakukan penahanan oleh KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi).
Tidak seperti jaman pra
kemerdekaan, yang berjuang dengan segala pengorbanan dan tidak sedikit para
pemuda yang menjadi korban perjuangan, tapi mereka mau meninggalkan segala
atribut almamater dan bersatu menuntut perubahan. Tapi sekarang banyak
demonstrasi yang dilakukan, tapi apakah membawa perubahan? Kadang justru
membuat kerusakan dan menyulut kemelut, tidak jarang juga hanya menjadi alat
bagi elite-elite politik yang berkepentingan. Sekarang justru sebagian pemuda yang muncul bukan prestasi tapi berbagai
hal yang menyimpang, seperti radikalisme, seks bebas, dan narkoba. Hal yang lebih miris lagi adalah para pemuda
menjadi pangsa pasar budaya-budaya asing yang “menyerang” Indonesia. Bahkan
yang lebih berbahaya lagi dan perlu menjadi perhatian kita semua adalah
munculnya kembali semangat kedaerahan (etnosentrisme) pada sebagian para pemuda
akhir-akhir ini.
Tema baru untuk
menggantikan perjuangan zaman dulu adalah pacaran, yang justru hanya menghambat gerak para pemuda.
Pelajar yang seharusnya fokus untuk belajar ternyata banyak menyalah gunakan
kesempatan untuk sekedar mencari “kesenangan”, kalau zaman dulu para pelajar
menggunakan fasilitas apapun untuk belajar, kontras dengan para pelajar zaman
sekarang, dengan fasilitas yang serba ada dan serba modern justru menjadikan
para pelajar menjadi “terlena” dengan kecanggihan teknologi yang tidak jarang
disalahgunakan. Gaya
hidup “alay” yang hanya berisi kesenangan semu tanpa memikirkan masa depan
dirinya (apalagi masa depan bangsa). Banyak
hal negatif yang ditimbulkan dengan tidak mampunya para kaum muda memanfaatkan
teknologi yang serba canggih ini. Banyak kasus asusila yang justru terjadi, seperti kasus yang terbaru seorang siswi SMP
di Jakarta merekam (direkam) adegan yang tidak sepatutunya dengan di saksikan
oleh teman-temannya sendiri, bahkan sampai sekarang (Oktober 2013) pihak
kepolisian belum bisa menetapkan tersangka dari kasus tersebut.
Data yang memperlihatkan fakta
tersebut adalah survai Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS-PA) pada
tahun 2012 di 17 kota besar Indonesia dengan responden
sekitar 4700 remaja siswi pada jenjang pendidikan SMP hingga SMA. Survey itu membuat masyarakat semakin terbelalak matanya melihat hasilnya,
menurut survey tersebut bahwa 62,7 % remaja
SMP/SMA mengaku sudah pernah berhubungan suami istri pranikah, yang lebih
mencengangkan lagi adalah 21,2 % dari siswi-siswi tersebut mengaku telah
melakukan aborsi secara ilegal untuk menggugurkan
kandungannya.
Meskipun dari hasil survey itu kita semua merasa miris, tapi
kita semua harus optimis, kalau masih banyak kaum muda yang baik dan berpotensi
untuk menjadi calon pemimpin bangsa. Tidak
sedikit para pemuda yang menorehkan prestasinya di tingkat nasional bahkan
internasional. Banyak yang berkarya dalam bidang teknologi, olahraga, dan ilmu
sains. Tidak jarang juga para pemuda berjaya sebagai wirausaha yang sukses di
tingkat internasional, seperti Erick Tohir yang bisa membeli saham 70 % klub
raksasa Itali, Inter Milan. Mereka tidak hanya menuntut perubahan dengan hanya
sekedar “berkoar-koar”, tapi mereka memberikan sumbangsih yang nyata dan solusi
bagi perubahan dan kejayaan bangsa dan negara di tingkat internasional.
Penulis menasehati diri sendiri
untuk selalu fokus belajar dulu, dan tidak memikirkan hal-hal yang bisa mengganggu
proses belajar. Juga para pemuda yang lain di seluruh Indonesia, terus menempa
diri dalam proses perjalanan hidup. Tidak ada yang bisa di dapat dengan proses
yang instan, butuh proses untuk mencapai suatu tujuan. Sungguh tidak akan ada
kejayaan bangsa ini kalau para pemudanya tidak bisa berpegang teguh pada
prinsip dan belajar dari mana dia berasal, pengorbanan apa yang dilakukan para
pendahulu untuk meraih kemerdekaan, seperti kata yang di ungkapkan Sukarno
dengan Jas Merahnya, “jangan sekali-kali melupankan sejarah”, para pemuda harus
belajar dari sejarah agar bisa membawa diri dan bisa menentukan arah perjalanan
bangsa Indonesia kedepannya.
Ayo para pemuda Indonesia, di
tengah-tengah pergolakan zaman globalisasi ini, dan gejolak kemrosotan harga
diri dari para politisi atau pemimpin dari mulai eksekutif, legislatif sampai
yudikatif sudah terkena “virus” korupsi, harapan untuk merubah dan memperbaiki
masa depan bangsa masih ada. Para pemudalah tokoh utama yang akan memimpin bangsa
di masa depan, jika para pemuda tidak mau mengambil peran dalam kepemimpinan
bangsa, maka bisa di pastikan beberapa puluh tahun yang akan datang, tidak akan
ada lagi nama Bangsa
Indonesia! semoga tidak akan
terjadi seperti itu, kita bisa mencontoh para pendiri bapak bangsa (founding father),
karena pemuda pemimpin perubahan dan mencetak peradaban. Sebagai kaum muda yang mempunyai kemampuan dan kemauan
harus memberikan solusi dan tindakan nyata yang progres, saatnya para pemuda
membuktikan komitmennya kepada bangsa dan negara melalui pengabdian dan karya
nyata. Salam semangat untuk menuju perubahan bagi semua para pemuda di seluruh wilayah Indonesia….!
Sumber: dari Essay yang menjadi 10 finalis terbaik lomba Essay Sejarah se-Jawa yang diadakan oleh UNNES